Setelah pertemuan tak terduga tempo hari, Clau mendapat fakta baru mengenai suaminya. Ia pun bingung harus mempercayai siapa, harus berada di pihak siapa.Antara Arjuna dan Clara memiliki alibi tertentu. Claudya segera pulang ke penthouse, memilih merebahkan diri untuk menyambut esok hari.Kenyataannya mata hanya tertutup tanpa bisa menghentikan pikiran buruk. Clau turun dari ranjang, meraih sling bag di atas kursi kecil. Membuka perlahan amplop putih berisi kertas hitam putih dan kedua benda bergaris merah.Clau menyentuh dadanya yang berdenyut nyeri, menangisi sebuah foto kecil pemberian Clara. Membaca data yang tertulis, baik tanggal dan identitas. Mencocokkan dengan kejadian beberapa bulan lalu ketika Clara menghilang.“Tidak mungkin.” Lirihnya.Mencoba menampik kenyataan pahit bahwa Clara pernah mengandung anak Arjuna. “Arjuna itu jahat! Sebaiknya kamu pergi! Dia memaksa aku menggugurkan kandungan.”Kalimat Clara terpatri kuat dalam benak Claudya, seketika teringat akan isi perj
Clau susah payah menelan ludah, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Ingin sekali hatinya berteriak dan menumpahkan segala amarah. Membutuhkan penjelasan lebih terkait keadaan yang membelenggu, tetapi batinnya belum siap menerima kenyataan.“Kenapa Tuan diam saja?” tantang Clau, menahan gerakan kelopak mata agar bulir bening tidak menetes.“Ayo tunjukan sifat aslimu Arjuna! Aku ingin tahu seberapa jahatnya kamu!” lirih Clau dalam hati.“Permisi Tuan.”Clau melepas sabuk pengaman, menekan ikon kunci otomatis pada layar. Segera keluar dari mobil dan berjalan masuk seorang diri.Sedangkan Arjuna tersenyum masam sembari memukul setir mobil karena Clau meninggalkannya sendirian. Sama halnya dengan Clau, Arjuna mengepalkan kedua tangan, menggeram marah pada situasi dan kondisi.“Dasar perempuan tidak tahu balas budi.” Umpat Arjuna menatap pintu utama gedung.Tidak tinggal diam, Arjuna menyusul Claudya, membanting pintu mobil begitu keras. Menghentak setiap langkah kaki menuju penthouse,
Clau urung bertanya kepada Clara, tidak mungkin membongkar rahasia di depan Laras. Acuh tak acuh adalah sikap paling baik untuk saat ini. Tepat pukul 7 malam, Clau berpamitan kepada Laras, bergegas keluar dari rumah sakit.Dadanya sesak sekali menghirup aroma parfum Clara, dapat dipastikan Arjuna dan Clara menjalin hubungan di belakangnya. Keyakinan bertambah besar bahwa peliknya masalah antara Arjuna dan kakaknya didasari oleh kehadiran janin tak bersalah.Sepanjang perjalanan pulang Clau melamun, menatap keluar jendela. Mengabaikan dering gawai yang berulang kali mengganggu. Khawatir emosinya meluap, sebelum puas menuntaskan rasa penasaran karena tidak bisa menahan diri.“Tuan Muda di mana?” tanya Clau setibanya di griya tawang.“Kebetulan Nyonya. Tuan menunggu di ruang kerja.” Asisten rumah tangga membantu membawa tas dan mantel Clau.Clau membuka pintu ruang kerja Arjuna, menghampiri pria yang memang menunggu kedatangannya. Duduk di sofa panjang depan meja, menarik napas guna mene
“Arjuna …” lirih Clau.“Diam! Dan tahan sebentar.” Suara Arjuna merambat parau.Clau memandangi wajah tampan suaminya , gurat kecemasan begitu tampak pada rahang yang ditumbuhi rambut halus. Arjuna segera membawa Clau menuju mobil, mengendarai dengan kecepatan sedang. “Terima kasih.” Clau melengkungkan sedikit senyum manis.“Tugasku melindungi semua pegawai. Bukan hanya dirimu!”Arjuna tetaplah Arjuna, usai melambungkan Clau ke angkasa, kini menghempaskannya melalui kata-kata menusuk. Desah putus asa keluar dari bibir sensual itu, Arjuna menatap pada rambu lalu lintas lalu beralih kepada Clau yang meringis perih.Kendaraan roda empat ini memutar arah, bertolak ke penthouse karena jaraknya lebih dekat dibanding rumah sakit. Dalam perjalanan pulang Arjuna menghubungi dokter sekaligus sahabatnya di salah satu rumah sakit besar Kota Zurich.Pria berjuta pesona ini tak mengizinkan Clau berjalan seorang diri, menggendong ala bridal sampai memasuki kamar utama. Membaringkan penuh kehati-hat
“Tuan tunggu! Kakakku kenapa?” “Tidak lihat kalau aku sibuk, hah?” Arjuna berlari keluar ruang kerja.Clau mengejar Arjuna ke lantai 2, memerhatikan secepat kilat suaminya mengganti pakaian jauh lebih rapi. Blue jins, kaos putih polos dan jaket kulit serta sepatu kets, melekat dan menyempurnakan ketampanan seorang Arjuna. Berdiri di ambang pintu, Clau menelan ludah, menggigit bibir bawahnya. Menunggu pria di dalam kamar selesai menghubungi seseorang. Dirinya pun penasaran, apa yang terjadi dengan Clara, sampai Arjuna sepanik ini.“Apa yang terjadi? Boleh aku ikut?”Arjuna tidak bersuara, gerakan dagu menjadi tanda persetujuan. Tanpa mengganti baju, Clau mengikuti sang suami. Clau juga tidak berani banyak bertanya, mengingat wajah tegas dan sorot mata Arjuna menunjukkan ketegangan.Sebesar apapun Clau membenci Clara, tetap tersimpan setitik rasa sayang terhadap kakaknya. Apalagi Clara dulu selalu melindungi Clau dari bullying di sekolah. Semua jasa itu tak akan pernah terlupakan wala
Kelopak mata Clau nyaris tertutup sempurna, raganya terlalu letih menjalani liku kehidupan tiada ujung. Samar-samar bayang seorang pria tampan nampak khawatir. Jujur saja hatinya berharap orang itu adalah Arjuna Caldwell –suaminya.Namun sekarang Clau lagi-lagi tersadar harus menelan pil pahit, dirinya pasrah ketika mendengar suara yang lain. Tidak memiliki sisa tenaga untuk berdebat, napasnya pun terdengar lemah. Satu pinta pada benaknya, bahwa orang ini memiliki tujuan baik.“Terima kasih Tuan Lehman.” Lirih Clau tertahan di tenggorokan.“Kamu tidak perlu mengucapkan terima kasih Clau. Anggap saja ini salah satu usahaku merebut perhatianmu.” Clau menghela napas, batinnya berkata miris “Tuhan … kenapa harus pria lain yang ada di sisiku, suamiku ke mana?”Rupanya Presiden Direktur Mann Inc itu membawa Clau ke restoran terdekat berjarak beberapa langkah saja. Memesan privat room dan beragam makanan serta minuman, termasuk aneka botol berisi vitamin. Clau menahan malu karena Andreas me
Clau mengehela napas dan memandang Arjuna yang bersandar pada railing tangga. Tatapan dingin menusuk relung hati dapat Clau rasakan, kendati bibir sensual itu terkatup rapat jawabannya sudah bisa ditebak. Clau tergelak pilu, lalu mendongak memilih mengalihkan perhatian pada langit-langit, menahan ledakan air mata.Salahnya memang, berharap pada seseorang yang tidak pernah meliriknya sedikitpun. Clau terlalu larut dalam perasaan hingga terperosok sendirian ke dalam lubang kehancuran.“Jangan bicara omong kosong Claudya! Jangan pernah bermimpi dicintai!” kata-kata Arjuna bak belati tajam.“Baik, terima kasih atas peringatannya.” Clau mengangguk setuju, satu sudut bibirnya berkedut tipis karena hatinya dihancurkan kesekian kali. Ia pun bersumpah akan mengubur dan memusnahkan perasaan yang baru saja bersemi.Minggu ke minggu berikutnya, Clau tidak lagi menangis, air matanya mengering akibat terlalu perih torehan luka. Clau pun lebih sering menjenguk Laras di rumah sakit, meskipun tetap m
Clau menatap wajah dokter harap-harap cemas, karena merusak jadwal praktik. Tetapi ia juga tidak bisa menunggu lebih lama lagi. “Bagaimana dokter? Aku janji tidak lama.” Clau mengulang pertanyaannya lagi.“Mari ke ruang poli obgyn, Nyonya.”Clau mengekor di belakang langkah kaki dokter kandungan, meremas kesepuluh jemari tangan karena gelisah. Sekujur tubuhnya pun banjir keringat padahal cuaca di luar tampak teduh.Rasa tegang kian bertambah, manakala terakhir kali memasuki ruangan ini untuk tujuan berbeda. Clau melirik monitor besar dan alat USG lalu menyentuh perutnya. “Semoga aku salah.” Harapannya dalam hati.Dokter memberikan alat tes kehamilan, meminta Clau lebih dulu mengeceknya. Dalam toilet, detak jantung Clau tidak karuan, tangannya ragu-ragu menggunakan test pack. Ia pun menutup mata dan mengigit bibir bawah ketika benda itu berhasil tersiram air seni.Perlahan kelopak mata terbuka, tanganya bergetar melihat dua garis merah teramat jelas. Hampir saja menjatuhkan benda kec