เข้าสู่ระบบSinar mentari menyusup lewat celah-celah kecil jendela kamarnya. Perempuan yang masih bergelung di dalam selimut itu lalu menggeliat.
Melirik jam yang ada di atas nakas, Sara langsung menegakkan punggung. "Sudah pagi, rasanya kenapa aku baru tidur sebentar, ya?" gumamnya seraya meregangkan tangan yang terasa pegal. Sara bangun lebih pagi dari biasanya, demi menjalankan tugasnya sebagai istri dari Matthew Stanley. Mengayunkan kakinya turun, Sara langsung bergegas ke kamar mandi. "Aku harus cepat," katanya sambil berpakaian serapi mungkin. Ia mengenakan pakaian yang sudah ada di lemari, mengoleskan lip balm tipis dan menyisir rambutnya sekenanya. Kemudian, ia turun untuk menyiapkan sarapan atau mungkin kopi untuk Matthew. Meskipun mereka menikah karena terpaksa, tapi setidaknya, Sara ingin bersikap selayaknya terhadap pria itu. Namun, di sana sudah ada seorang pelayan yang tengah menyiapkan meja. "Pagi," sapa Sara ramah. Ia tersenyum kepada pelayan yang belum dikenalnya itu. "Pagi, Nyonya. Mari sarapan! Saya sudah siapkan semuanya," kata pelayan itu tak kalah ramah. Sara duduk di meja makan, niatnya untuk menyiapkan sarapan hilang sudah. Semua makanan sudah tersaji di sana. Tapi, hanya ada dirinya sendiri di sana. Rumah mewah itu, benar-benar terasa sepi. Seperti sebuah kastil yang ditinggalkan penghuninya. "Ke mana dia? Apakah dia sudah pergi?" tanya Sara memberanikan diri sambil mengolesi rotinya dengan selai kacang. Pelayan itu menoleh, "Maksud Nyonya … Tuan Matthew? Beliau sudah berangkat pukul 5 tadi pagi, Nyonya." Sara tampak terkejut, namun dengan cepat merubah ekspresinya. "Oh, begitu … baiklah." Pelayan itu tersenyum singkat, "Tapi, Tuan menitipkan pesan, katanya, Nyonya bisa melakukan apa saja di rumah. Asal jangan memasuki ruang kerja dan kamar pribadinya." "Hanya itu?" tanya Sara lagi. Pelayan itu berbalik dan mengambil sebuah kotak hitam yang sudah Matthew titipkan padanya pagi tadi. "Tuan juga menitipkan ini untuk Nyonya." Sara menerima kotak itu dan membukanya. Di dalamnya, ada sebuah ponsel keluaran terbaru dan sebuah catatan dengan tulisan tangan. "Kau hanya boleh menghubungiku jika ada keadaan darurat." Sara membaca pesan itu dan mengerutkan kening. "Apa maksudnya? Apakah aku tidak boleh menghubunginya untuk hal lain?" gumamnya heran. Ketika ia mengangkat pandangan untuk menanyakan hal tersebut, tetapi pelayan itu sudah pergi. ••• Sinar sore menembus kaca jendela kantor pusat Stanley Group. Gedung megah 30 lantai itu berdiri di jantung kota, menjulang seperti simbol kekuasaan dan kekayaan yang tak bisa digoyahkan. Tapi, di dalam ruang direktur utama, suasana tak pernah benar-benar hangat. Matthew Stanley duduk di balik meja kerjanya yang besar, dikelilingi tumpukan dokumen dan layar monitor. Pikirannya tidak sepenuhnya ada di sana. Tatapannya kosong, menatap layar monitor yang menampilkan data proyek properti terbaru. "Permisi, Tuan." Pintu diketuk, suara seorang perempuan mengalihkan atensinya. "Masuk!" Sekretaris pribadinya, Maya Robert, muncul dari balik pintu dan melangkah masuk membawa berkas. “Proposal kerja sama dengan Royal Holdings, Tuan,” katanya. “Dan … biodata lengkap yang Anda minta mengenai Sara Clementine.” Matthew hanya mengangguk singkat sementara Maya meletakkan berkas itu di meja dan pergi tanpa pertanyaan. Ia tahu, atasannya tak suka ditanya. "Tunggu, Maya." Perempuan itu kembali berbalik meski tangannya sudah meraih handle pintu. "Ya, Tuan? Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan?" "Siapkan mobil, tiga puluh menit lagi, aku akan pergi ke luar," katanya. Maya mengangguk singkat dan berjalan keluar untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Begitu pintu tertutup, Matthew membuka lembar demi lembar. Foto-foto kecil Sara ada di sana. Data akademik. Riwayat pendidikan dan pekerjaannya. Bahkan foto lama Sara bersama ibunya. Semua hal mengenai istrinya ada di sana. Matanya tertumbuk pada wajah wanita itu. Senyum lembut dan tangan yang menggenggam lengan kecil seorang bocah laki-laki berusia lima belas tahun. Ia memejamkan mata sejenak. Ingatan itu kembali, saat di mana ia bukanlah siapa-siapa. Tapi, anak kecil dan ibunya itu justru menerimanya seperti keluarga. "Aku sudah menepati janjiku, Sara. Kini tinggal kau yang harus menepati janjimu," lirihnya sendu. Menatap ke luar jendela ruangan kantornya, sinar jingga makin kentara. Pertanda malam akan segera tiba. Matthew lantas mulai bersiap untuk pergi ke suatu tempat.Pagi berikutnya, Sara bangun lebih awal. Saat ia turun ke dapur, aroma kopi sudah memenuhi ruangan. Matthew berdiri di dekat counter dapur dengan rambut sedikit berantakan dan kemeja yang masih belum dirapikan. Biasanya, ia akan pura-pura sibuk, pura-pura tidak melihat Sara terlebih dahulu. Tapi tidak kali ini.Matthew menoleh. "Pagi," katanya lembut sambil tersenyum dan mengerlingkan mata ke arah Sara yang mendekat. Perempuan itu balas tersenyum malu, lalu membalas, “Pagi.”Matthew memutar tubuhnya ke arah meja makan. "Aku buatkan kopi untukmu, silakan diminum.” Ia menggeser cangkir putih ke tempat Sara. “Tidak terlalu manis, karena kau sudah terlalu manis," katanya menggoda. Sara terkekeh pelan seraya mengangkat alis sedikit, terkejut. "Kau masih ingat kesukaanku, ya?"Matthew tersenyum tipis. “Itu salah satu hal yang tidak pernah kulupakan.”Ucapan itu membuat dada Sara menghangat. Bukan rasa yang meledak-ledak, tapi seperti selimut lembut yang membungkus perlahan.Mereka sarapan
Udara malam terasa lebih sejuk ketika mereka keluar dari hotel. Musik pesta yang tadinya memenuhi telinga perlahan menghilang, digantikan deru suara mobil yang lalu-lalang dari kejauhan. Matthew membuka pintu mobil untuk Sara tanpa berkata apa-apa, tapi gerakannya lebih lembut daripada sebelumnya. Tanpa sadar, ia sedang mencoba merapikan jarak yang ia buat sendiri.Begitu pintu mobil tertutup, keheningan menyelubungi ruang mobil. Matthew masuk ke sisi pengemudi, menyalakan mesin, lalu mulai menyetir pelan. Lampu kota memantul di kaca depan seperti kilatan-kilatan kecil yang lewat begitu cepat.Untuk beberapa menit, tak ada satu kata pun terucap. Sara menatap keluar jendela, sementara Matthew beberapa kali meliriknya tanpa sengaja, atau mungkin justru sengaja, tapi tidak cukup berani menatap lebih lama.Akhirnya, Matthew menghela napas pelan. “Tadi di pesta ….” Ia berhenti, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman.”Sara menoleh perlahan, sudut
Lampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Aula besar Hotel Langford dipenuhi tamu-tamu bergaun indah dan jas hitam rapi. Musik lembut dari orkestra di sudut ruangan mengalun merdu, menambah kesan mewah malam itu.Di depan pintu masuk, sebuah mobil hitam berhenti perlahan. Dari dalamnya, Matthew keluar lebih dulu. Penampilannya seperti biasa, dengan jas hitam yang melekat sempurna pada tubuhnya, rambutnya tertata rapi, ekspresi tenang yang sulit diterjemahkan. Kemudian, ia berputar sedikit, lalu membuka pintu di sisi penumpang.Sara keluar dengan langkah hati-hati. Gaun biru tua yang dikirim Matthew sore tadi tampak sederhana, tapi jatuh dengan anggun di tubuhnya. Rambutnya disanggul setengah, memperlihatkan leher jenjangnya yang berhiaskan kalung berlian kecil.Begitu Sara berdiri di sampingnya, Matthew sempat terpaku sejenak. Tak ada kata yang keluar, hanya seulas napas panjang yang ia tahan sebelum mengulurkan tangan.“Siap?” tanyanya pelan, suaranya hampi
Langit sore terlihat berwarna tembaga ketika Matthew duduk di ruang kerjanya, menatap undangan berlapis kertas tebal yang baru saja diantarkan oleh salah seorang kurir. Logo keluarga yang terukir dengan tinta emas tampak mencolok di bagian depan. Matthew menatap nama pengundang itu cukup lama. Nathaniel Beckett, seorang kolega bisnis lama, pemilik perusahaan besar yang berperan penting dalam pengembangan proyek Matthew di pusat kota. Acara itu bukan sekadar pesta biasa. Itu ajang penting bagi para pengusaha, tempat di mana kesepakatan bisnis sering kali lahir di tengah lantunan musik klasik dan gelas sampanye.Namun malam itu, bagi Matthew, pesta itu lebih terdengar seperti beban. Ia lantas menyandarkan punggung di kursi, menarik napas panjang sambil memutar undangan itu di tangannya.Datang ke pesta itu berarti tampil berdua dengan Sara. Padahal, hubungan mereka belum benar-benar pulih. Ia masih menutup diri, sementara Sara mencoba mendekat dengan penuh hati-hati. Ia tahu, menghadi
Matahari baru saja naik ketika aroma roti panggang dan kopi memenuhi dapur rumah itu. Sara berdiri di depan kompor dengan rambut yang diikat seadanya. Wajahnya masih tampak letih karena semalaman tidak tidur, tetapi pagi itu, ia bertekad untuk mencoba memperbaiki keadaan.Ia memecahkan dua butir telur ke atas wajan, menatap cairan kuning itu mengeras pelan di atas panas api. Suara mendesisnya memenuhi keheningan rumah, menggantikan percakapan yang semalam tak pernah terjadi.Di meja makan, piring-piring sudah tertata rapi. Ada buah potong, roti, omelet, dan secangkir kopi hitam, minuman kesukaan Matthew setiap pagi. Sara menatap hasil kerjanya, menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin ini bisa jadi awal yang baru.Ia ingin menunjukkan bahwa ia masih peduli, bahwa ia masih ingin memperjuangkan mereka.Suara langkah kaki di lantai atas membuat jantungnya berdebar pelan. Ia menoleh ke arah tangga, menunggu.Matthew turun perlahan dengan kemeja kerja yang rapi dan waja
Malam itu, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan cahaya hangat ke arah dinding, tapi hawa di dalam rumah justru terasa dingin dan berat.Sara duduk di sofa dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuan. Sejak sore, ia menunggu Matthew pulang, berharap setidaknya malam ini mereka bisa bicara dengan kepala dingin. Tapi jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam, dan suaminya belum juga muncul.Begitu suara mobil berhenti di depan rumah, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia segera berdiri, menatap ke arah pintu. Langkah kaki itu terdengar berat, tenang, dan tanpa emosi.Matthew muncul di ambang pintu dengan jas kerja yang masih menempel di tubuhnya. Ia tampak lelah, tapi yang lebih jelas terlihat adalah jarak di matanya. Tatapan yang dulu lembut kini tampak tumpul, seolah ia sengaja membuat tembok di antara mereka.“Kau belum tidur?” tanya Matthew datar, tanpa nada marah tapi juga tanpa kehangatan.Sara menelan ludahnya. “A







