LOGINGaun putih sederhana membalut tubuh Sara dengan indah, tanpa manik-manik berlebihan, tanpa taburan kristal seperti di film-film.
Gaun pengantin itu bukan pilihannya. Ia bahkan tidak ikut menyiapkannya. Semua diatur oleh Matthew. Pria dingin yang akan menikahinya sebentar lagi. Sara memerhatikan pantulan dirinya sendiri di depan cermin. "Kau siapa? Kenapa kau tampak berbeda?" tanyanya aneh. Riasan wajah menutupi kantuk dan sisa tangis dua malam terakhir. Hatinya terasa beku. Ia tak tahu perasaan apa yang tiba-tiba hadir di sana. Pintu ruangannya diketuk, menampilkan sosok Harold yang sudah siap mengantarnya ke depan altar pernikahan. "Kau sudah siap, kan?" tanya Harold menatap putrinya sendiri. Seharusnya, hari pernikahan menjadi hari yang paling membahagiakan bagi sang pengantin. Tapi Harold sama sekali tidak melihat rona bahagia di wajah cantik putrinya. "Sara, maafkan Papa," bisik Harold lirih penuh rasa bersalah. Jika saja keluarganya tidak terlilit hutang, putrinya tidak perlu menikah pria yang bahkan tidak dikenalnya. Sesal itu menghimpit dada Harold, menekannya dengan rasa bersalah yang sampai kapanpun belum tentu bisa ia tebus. Sara berusaha tersenyum dan kepalanya mengangguk pelan. Ia sudah selesai dan siap. Ia menarik nafas dalam-dalam dan berusaha tenang. Ia genggam tangan sang papa yang terasa dingin. Mungkin, ini adalah genggaman terakhirnya sebagai seorang putri. Sebab sebentar lagi, ia akan resmi menyandang status baru, menjadi seorang istri. --- Pernikahan berlangsung di ballroom hotel mewah milik Stanley Group. Tapi hanya sedikit tamu undangan. Hanya keluarga inti, perwakilan bisnis penting, dan beberapa orang media yang diundang secara terbatas, dan semuanya atas kendali Matthew. Dan di altar, pria itu berdiri seperti patung. Mengenakan jas hitam sempurna, wajahnya tanpa ekspresi, seperti biasa. Matanya menatap Sara saat ia melangkah mendekat. Seketika, Sara merasa seperti aktor figuran dalam drama milik orang lain. Pendeta membacakan sumpah. Suara Matthew terdengar mantap saat mengucapkan janji pernikahan, tanpa ragu, tanpa jeda. Sementara Sara mengucap janji dengan suara tercekat. Ini berat baginya, sangat berat hingga ia merasa kakinya lemas. Tetapi kemudian, tepuk tangan terdengar. Kamera menyorot mereka. Untuk sesaat, Sara merasa seperti selebrita yang disorot kamera. Setelah itu, tak ada pelukan hangat. Tak ada kecupan dahi atau bahkan senyuman singkat. Matthew hanya menunduk tipis, lalu membisikkan sesuatu. "Tugasmu sudah dimulai." Sara mengerutkan kening, tapi tak membalas. Ia hanya mengikuti langkah Matthew yang berjalan keluar dari aula. Tak ada pesta resepsi, hanya makan malam tertutup untuk keluarga. --- Selepas makan malam keluarga itu, Sara langsung diajak untuk pergi dan tinggal di rumah Matthew. Rumah megah bergaya modern dengan dinding kaca, taman pribadi, dan penjagaan ketat. Tapi, sebagus apapun rumah itu, Sara tetap merasa asing. "Letakkan barang-barangmu di sana," kata Matthew setengah memerintah seraya menunjuk ke dalam kamar Sara. Matthew berdiri di ambang pintu kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Sara. Pria itu berdiri, menatapnya dengan angkuh dan mengenakan piyama satin. “Kamar ini milikmu. Kita tidak perlu berbagi tempat tidur. Jangan ikut campur urusan pribadiku,” katanya datar. Sara menahan sesak yang tiba-tiba menyerangnya. “Kenapa kau menikahiku jika kau bahkan tidak mau hidup bersamaku sebagai suami istri?” Matthew menoleh. “Karena aku hanya butuh istri, bukan pendamping hidup.” Setelah itu, Matthew berbalik dan menutup pintu kamarnya dengan cukup keras hingga Sara terkejut. Sara berdiri lama di depan kamarnya sendiri. Dunia tempat di mana ia tinggal terasa makin asing. Hubungan macam apa yang baru saja ia jalani ini? Melangkahkan kakinya masuk, Sara meletakkan kopernya di tepi tempat tidur. Kamarnya luas dengan desain sederhana, segala keperluannya bahkan sudah tersedia di sana. "Apakah dia yang sudah menyiapkan semua ini?" gumamnya memperhatikan lemari pakaiannya. Kemudian, ia berjalan mendekati cermin. Berniat untuk melepaskan riasannya sebelum beranjak tidur. Tapi lagi-lagi, ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. "Ayo, Sara. Kau harus kuat! Kau harus bisa bertahan demi Papa!" katanya menyemangati diri sendiri. Dan tanpa Sara sadari, sepasang mata tengah memperhatikan gerak-geriknya dalam diam. Bibirnya tertarik ke atas. "Kau mungkin tidak mengingatku, tapi aku selalu mengingat bagaimana kita pernah saling jatuh cinta," monolognya.Pagi berikutnya, Sara bangun lebih awal. Saat ia turun ke dapur, aroma kopi sudah memenuhi ruangan. Matthew berdiri di dekat counter dapur dengan rambut sedikit berantakan dan kemeja yang masih belum dirapikan. Biasanya, ia akan pura-pura sibuk, pura-pura tidak melihat Sara terlebih dahulu. Tapi tidak kali ini.Matthew menoleh. "Pagi," katanya lembut sambil tersenyum dan mengerlingkan mata ke arah Sara yang mendekat. Perempuan itu balas tersenyum malu, lalu membalas, “Pagi.”Matthew memutar tubuhnya ke arah meja makan. "Aku buatkan kopi untukmu, silakan diminum.” Ia menggeser cangkir putih ke tempat Sara. “Tidak terlalu manis, karena kau sudah terlalu manis," katanya menggoda. Sara terkekeh pelan seraya mengangkat alis sedikit, terkejut. "Kau masih ingat kesukaanku, ya?"Matthew tersenyum tipis. “Itu salah satu hal yang tidak pernah kulupakan.”Ucapan itu membuat dada Sara menghangat. Bukan rasa yang meledak-ledak, tapi seperti selimut lembut yang membungkus perlahan.Mereka sarapan
Udara malam terasa lebih sejuk ketika mereka keluar dari hotel. Musik pesta yang tadinya memenuhi telinga perlahan menghilang, digantikan deru suara mobil yang lalu-lalang dari kejauhan. Matthew membuka pintu mobil untuk Sara tanpa berkata apa-apa, tapi gerakannya lebih lembut daripada sebelumnya. Tanpa sadar, ia sedang mencoba merapikan jarak yang ia buat sendiri.Begitu pintu mobil tertutup, keheningan menyelubungi ruang mobil. Matthew masuk ke sisi pengemudi, menyalakan mesin, lalu mulai menyetir pelan. Lampu kota memantul di kaca depan seperti kilatan-kilatan kecil yang lewat begitu cepat.Untuk beberapa menit, tak ada satu kata pun terucap. Sara menatap keluar jendela, sementara Matthew beberapa kali meliriknya tanpa sengaja, atau mungkin justru sengaja, tapi tidak cukup berani menatap lebih lama.Akhirnya, Matthew menghela napas pelan. “Tadi di pesta ….” Ia berhenti, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku tidak bermaksud membuatmu tidak nyaman.”Sara menoleh perlahan, sudut
Lampu-lampu kristal berkilau memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Aula besar Hotel Langford dipenuhi tamu-tamu bergaun indah dan jas hitam rapi. Musik lembut dari orkestra di sudut ruangan mengalun merdu, menambah kesan mewah malam itu.Di depan pintu masuk, sebuah mobil hitam berhenti perlahan. Dari dalamnya, Matthew keluar lebih dulu. Penampilannya seperti biasa, dengan jas hitam yang melekat sempurna pada tubuhnya, rambutnya tertata rapi, ekspresi tenang yang sulit diterjemahkan. Kemudian, ia berputar sedikit, lalu membuka pintu di sisi penumpang.Sara keluar dengan langkah hati-hati. Gaun biru tua yang dikirim Matthew sore tadi tampak sederhana, tapi jatuh dengan anggun di tubuhnya. Rambutnya disanggul setengah, memperlihatkan leher jenjangnya yang berhiaskan kalung berlian kecil.Begitu Sara berdiri di sampingnya, Matthew sempat terpaku sejenak. Tak ada kata yang keluar, hanya seulas napas panjang yang ia tahan sebelum mengulurkan tangan.“Siap?” tanyanya pelan, suaranya hampi
Langit sore terlihat berwarna tembaga ketika Matthew duduk di ruang kerjanya, menatap undangan berlapis kertas tebal yang baru saja diantarkan oleh salah seorang kurir. Logo keluarga yang terukir dengan tinta emas tampak mencolok di bagian depan. Matthew menatap nama pengundang itu cukup lama. Nathaniel Beckett, seorang kolega bisnis lama, pemilik perusahaan besar yang berperan penting dalam pengembangan proyek Matthew di pusat kota. Acara itu bukan sekadar pesta biasa. Itu ajang penting bagi para pengusaha, tempat di mana kesepakatan bisnis sering kali lahir di tengah lantunan musik klasik dan gelas sampanye.Namun malam itu, bagi Matthew, pesta itu lebih terdengar seperti beban. Ia lantas menyandarkan punggung di kursi, menarik napas panjang sambil memutar undangan itu di tangannya.Datang ke pesta itu berarti tampil berdua dengan Sara. Padahal, hubungan mereka belum benar-benar pulih. Ia masih menutup diri, sementara Sara mencoba mendekat dengan penuh hati-hati. Ia tahu, menghadi
Matahari baru saja naik ketika aroma roti panggang dan kopi memenuhi dapur rumah itu. Sara berdiri di depan kompor dengan rambut yang diikat seadanya. Wajahnya masih tampak letih karena semalaman tidak tidur, tetapi pagi itu, ia bertekad untuk mencoba memperbaiki keadaan.Ia memecahkan dua butir telur ke atas wajan, menatap cairan kuning itu mengeras pelan di atas panas api. Suara mendesisnya memenuhi keheningan rumah, menggantikan percakapan yang semalam tak pernah terjadi.Di meja makan, piring-piring sudah tertata rapi. Ada buah potong, roti, omelet, dan secangkir kopi hitam, minuman kesukaan Matthew setiap pagi. Sara menatap hasil kerjanya, menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin ini bisa jadi awal yang baru.Ia ingin menunjukkan bahwa ia masih peduli, bahwa ia masih ingin memperjuangkan mereka.Suara langkah kaki di lantai atas membuat jantungnya berdebar pelan. Ia menoleh ke arah tangga, menunggu.Matthew turun perlahan dengan kemeja kerja yang rapi dan waja
Malam itu, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan cahaya hangat ke arah dinding, tapi hawa di dalam rumah justru terasa dingin dan berat.Sara duduk di sofa dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuan. Sejak sore, ia menunggu Matthew pulang, berharap setidaknya malam ini mereka bisa bicara dengan kepala dingin. Tapi jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam, dan suaminya belum juga muncul.Begitu suara mobil berhenti di depan rumah, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia segera berdiri, menatap ke arah pintu. Langkah kaki itu terdengar berat, tenang, dan tanpa emosi.Matthew muncul di ambang pintu dengan jas kerja yang masih menempel di tubuhnya. Ia tampak lelah, tapi yang lebih jelas terlihat adalah jarak di matanya. Tatapan yang dulu lembut kini tampak tumpul, seolah ia sengaja membuat tembok di antara mereka.“Kau belum tidur?” tanya Matthew datar, tanpa nada marah tapi juga tanpa kehangatan.Sara menelan ludahnya. “A







