Share

Hari Pernikahan

Penulis: Hernn Khrnsa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-02 21:29:24

Gaun putih sederhana membalut tubuh Sara dengan indah, tanpa manik-manik berlebihan, tanpa taburan kristal seperti di film-film.

Gaun pengantin itu bukan pilihannya. Ia bahkan tidak ikut menyiapkannya. Semua diatur oleh Matthew. Pria dingin yang akan menikahinya sebentar lagi.

Sara memerhatikan pantulan dirinya sendiri di depan cermin. "Kau siapa? Kenapa kau tampak berbeda?" tanyanya aneh.

Riasan wajah menutupi kantuk dan sisa tangis dua malam terakhir. Hatinya terasa beku. Ia tak tahu perasaan apa yang tiba-tiba hadir di sana.

Pintu ruangannya diketuk, menampilkan sosok Harold yang sudah siap mengantarnya ke depan altar pernikahan.

"Kau sudah siap, kan?" tanya Harold menatap putrinya sendiri.

Seharusnya, hari pernikahan menjadi hari yang paling membahagiakan bagi sang pengantin. Tapi Harold sama sekali tidak melihat rona bahagia di wajah cantik putrinya.

"Sara, maafkan Papa," bisik Harold lirih penuh rasa bersalah.

Jika saja keluarganya tidak terlilit hutang, putrinya tidak perlu menikah pria yang bahkan tidak dikenalnya.

Sesal itu menghimpit dada Harold, menekannya dengan rasa bersalah yang sampai kapanpun belum tentu bisa ia tebus.

Sara berusaha tersenyum dan kepalanya mengangguk pelan. Ia sudah selesai dan siap. Ia menarik nafas dalam-dalam dan berusaha tenang.

Ia genggam tangan sang papa yang terasa dingin. Mungkin, ini adalah genggaman terakhirnya sebagai seorang putri. Sebab sebentar lagi, ia akan resmi menyandang status baru, menjadi seorang istri.

---

Pernikahan berlangsung di ballroom hotel mewah milik Stanley Group. Tapi hanya sedikit tamu undangan. Hanya keluarga inti, perwakilan bisnis penting, dan beberapa orang media yang diundang secara terbatas, dan semuanya atas kendali Matthew.

Dan di altar, pria itu berdiri seperti patung. Mengenakan jas hitam sempurna, wajahnya tanpa ekspresi, seperti biasa. Matanya menatap Sara saat ia melangkah mendekat.

Seketika, Sara merasa seperti aktor figuran dalam drama milik orang lain.

Pendeta membacakan sumpah. Suara Matthew terdengar mantap saat mengucapkan janji pernikahan, tanpa ragu, tanpa jeda.

Sementara Sara mengucap janji dengan suara tercekat. Ini berat baginya, sangat berat hingga ia merasa kakinya lemas.

Tetapi kemudian, tepuk tangan terdengar. Kamera menyorot mereka. Untuk sesaat, Sara merasa seperti selebrita yang disorot kamera.

Setelah itu, tak ada pelukan hangat. Tak ada kecupan dahi atau bahkan senyuman singkat.

Matthew hanya menunduk tipis, lalu membisikkan sesuatu. "Tugasmu sudah dimulai."

Sara mengerutkan kening, tapi tak membalas. Ia hanya mengikuti langkah Matthew yang berjalan keluar dari aula. Tak ada pesta resepsi, hanya makan malam tertutup untuk keluarga.

---

Selepas makan malam keluarga itu, Sara langsung diajak untuk pergi dan tinggal di rumah Matthew. Rumah megah bergaya modern dengan dinding kaca, taman pribadi, dan penjagaan ketat. Tapi, sebagus apapun rumah itu, Sara tetap merasa asing.

"Letakkan barang-barangmu di sana," kata Matthew setengah memerintah seraya menunjuk ke dalam kamar Sara.

Matthew berdiri di ambang pintu kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Sara. Pria itu berdiri, menatapnya dengan angkuh dan mengenakan piyama satin.

“Kamar ini milikmu. Kita tidak perlu berbagi tempat tidur. Jangan ikut campur urusan pribadiku,” katanya datar.

Sara menahan sesak yang tiba-tiba menyerangnya. “Kenapa kau menikahiku jika kau bahkan tidak mau hidup bersamaku sebagai suami istri?”

Matthew menoleh. “Karena aku hanya butuh istri, bukan pendamping hidup.”

Setelah itu, Matthew berbalik dan menutup pintu kamarnya dengan cukup keras hingga Sara terkejut.

Sara berdiri lama di depan kamarnya sendiri. Dunia tempat di mana ia tinggal terasa makin asing. Hubungan macam apa yang baru saja ia jalani ini?

Melangkahkan kakinya masuk, Sara meletakkan kopernya di tepi tempat tidur. Kamarnya luas dengan desain sederhana, segala keperluannya bahkan sudah tersedia di sana.

"Apakah dia yang sudah menyiapkan semua ini?" gumamnya memperhatikan lemari pakaiannya.

Kemudian, ia berjalan mendekati cermin. Berniat untuk melepaskan riasannya sebelum beranjak tidur. Tapi lagi-lagi, ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin.

"Ayo, Sara. Kau harus kuat! Kau harus bisa bertahan demi Papa!" katanya menyemangati diri sendiri.

Dan tanpa Sara sadari, sepasang mata tengah memperhatikan gerak-geriknya dalam diam. Bibirnya tertarik ke atas.

"Kau mungkin tidak mengingatku, tapi aku selalu mengingat bagaimana kita pernah saling jatuh cinta," monolognya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Meminta Maaf

    Matthew tak bisa fokus bekerja hari itu lantaran memikirkan perubahan sikap Sara yang menurutnya jadi lebih dingin, padahal kemarin, hubungan mereka sudah jauh lebih baik. Di saat yang bersamaan, David datang di waktu yang tepat saat Matthew membutuhkan bantuannya. “Kau terlihat tidak bersemangat, Matt. Ada apa? Jangan bilang ini karena Sara,” tebak David yang justru langsung diangguki oleh Matthew tanpa ragu. “Lagi?” tanya David lagi tak percaya. “Kau sepertinya sangat tidak beruntung dalam hal percintaan,” ledeknya sambil terkekeh pelan. Matthew berdecak sebal, “Diamlah, David. Sebaiknya kau membantuku sekarang, aku benar-benar tidak bisa mengerti apa pun yang diinginkan perempuan!” David tertawa makin keras, membuat Matthew melemparkan tatapan tajam kepadanya. “Oke, oke, kemarilah. Dan ceritakan kepadaku apa sebenarnya masalahmu? Bukankah sebelumnya kau bilang kalau dia suka dengan bunga yang kau beri?” Matthew duduk di sebelah David sambil menghela nafas berat, “Itulah yang

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Sikapnya Berubah

    Pagi harinya, Matthew kembali mencoba mengetuk kamar Sara, untuk memastikan perempuan itu baik-baik saja. Namun, belum sempat Matthew mengetuk, perempuan itu muncul dari dalam dengan wajah yang segar sehabis mandi. "Kau belum berangkat?" tanya Sara, berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Ia memalingkan wajah begitu melihat Matthew menatapnya. Terlebih lagi, ia ingin menyembunyikan matanya yang sembab sehabis menangis. "Belum." Matthew menjawab singkat, tetapi tatapannya tertuju kepada wajah Sara intens. "Kau habis menangis?" tanyanya menyadari kedua mata Sara yang sembab. Sara menggeleng pelan, "Tidak." "Lalu?" tanya Matthew lagi, kali ini meraih dagu Sara agar perempuan itu menatapnya balik. "Kau bisa jelaskan kenapa matamu sembab, bukan? Kau habis menangis?" "Tidak, tadi mataku terkena sabun cair saat mandi," alibinya sambil menepis tangan Matthew dari dagunya. Matthew tak percaya, ia justru curiga. "Apa terjadi sesuatu?" tanyanya lagi, tak membiarkan Sara pergi. "Tidak ad

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Rencana Celine

    Teriknya matahari siang memantul di atas helm putih yang dikenakan Matthew. Ia berdiri tegap di sisi pagar pembatas proyek pembangunan gedung tinggi yang kini memasuki tahap struktur lantai lima. Debu dan suara denting logam bercampur aduk dengan teriakan para pekerja yang sibuk menjalankan tugas masing-masing.Matthew melipat kedua tangannya di dada. Matanya menelaah setiap detail, mulai dari crane yang sedang mengangkat balok beton hingga pemasangan bekisting di sisi barat bangunan. Di tengah panas yang menyengat, pria itu tetap tenang dan serius. Ia selalu memastikan proyeknya berjalan presisi, tanpa celah. Namun, ketenangan itu terganggu ketika suara langkah kaki terdengar mendekat.“Kak Matthew!” Suara ceria itu terdengar begitu kontras dengan suasana proyek.Matthew menoleh. Ia melihat Celine yang berjalan ke arahnya, perempuan itu mengenakan kemeja putih longgar yang digulung di bagian lengan dan celana panjang khaki, dengan sepasang kacamata hitam menggantung di kerah bajun

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Yang Berbeda

    Sara menatap foto itu untuk kesekian kalinya. Tak ada kata yang mampu mewakili perasaannya saat ini. Hatinya terasa remuk, kecewa, dan juga bingung. Tangan Sara sedikit gemetar saat ia akhirnya meletakkan ponsel itu di meja kecil di samping tempat tidurnya. “Apa aku cuma lelucon baginya?” gumamnya lirih, hampir seperti sebuah bisikan untuk dirinya sendiri. . Ia pikir, perhatian Matthew selama beberapa hari terakhir, seperti bunga yang ia bawa, cara pria itu merawat lukanya, bahkan saat Matthew membantunya berjalan ke kamar mandi adalah perhatian yang tulus. Tetapi sekarang, semua itu terasa semu. Hanya seperti sebuah formalitas yang dijalankan karena belas kasihan, atau lebih buruk lagi, karena rasa bersalah pria itu. "Betapa bodohnya aku menganggap pria itu mungkin mulai memperhatikan aku," monolog Sara pelan. Ia ingin sekali menangis, atau mungkin bercerita kepada seseorang agar hatinya yang berat bisa lebih lega. Tetapi ia sadar, ia hanya sendirian di rumah ini. Ak

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Panggilan Tiba-tiba

    Pagi itu terasa berbeda. Cahaya matahari menyelinap lembut lewat celah tirai dapur, memantul di meja makan yang sudah tertata rapi. Di atasnya, dua cangkir teh hangat mengepulkan aroma menenangkan, ditemani sepiring roti panggang dan telur dadar yang masih hangat.Sara duduk di ujung meja, mengenakan sweater abu-abu lembut dan celana longgar. Wajahnya tampak lebih cerah dari biasanya. Matthew menyusul masuk ke dapur dengan kemeja santai berwarna krem yang lengannya digulung sampai siku. Wajahnya tampak lebih rileks dibanding biasanya.“Selamat pagi,” ucapnya sambil tersenyum.Sara menoleh dan mengangguk. “Pagi. Kau bangun lebih dulu rupanya. Sarapan ini, kau yang buat?”Matthew duduk di kursi seberangnya dan menyodorkan sendok. “Kalau rasanya aneh, maafkan aku. Aku cuma mengikuti video tutorial.”Sara tersenyum kecil. “Tenang saja. Aku tidak berekspektasi tinggi dari CEO yang mendadak jadi chef.”Matthew tertawa pelan. “Tapi setidaknya aku sudah berusaha.”Mereka mulai makan dalam ke

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Membantu Sara

    Mentari pagi menyapa lewat celah-celah kecil jendela kamarnya. Sara menggeliat bangun saat sinar matahari tepat mengenai wajahnya. "Ugh! Sudah jam berapa ini?" gumamnya seraya merentangkan tangan sebelum membuka matanya perlahan. Sara terbeliak begitu melihat sosok tinggi tegap berdiri di tepi tempat tidurnya, memperhatikan dirinya yang baru saja bangun dari tidur. "Kau?! Sedang apa kau di kamarku?" Matthew tersenyum tipis, "Kau masih saja terlihat cantik walau baru bangun tidur," pujinya membuat Sara malu dan langsung menutup wajahnya dengan selimut. "Kau mau apa pagi-pagi di kamarku? Keluarlah!" pinta Sara, mengusir Matthew secara halus. Tetapi, pria itu bergeming di tempatnya. "Memangnya kenapa? Ini rumahku, aku bebas mau pergi ke mana saja," katanya bersikeras tak mau pergi. Sara pasrah. "Terserah kau saja, memangnya kau tidak pergi bekerja? Biasanya, kau sudah pergi pagi-pagi buta." Sara menyibak selimutnya dan mengayunkan kakinya turun. Tapi, kakinya masih terasa sakit hi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status