Share

Perdebatan

Author: Hernn Khrnsa
last update Last Updated: 2025-06-04 15:22:10

Kehidupan Sara setelah menjadi istri dari Matthew berjalan datar, mereka jarang bertemu. Bahkan untuk sekadar mengobrol singkat pun jarang dilakukan.

Matthew selalu pergi ketika Sara belum bangun dan pulang ketika malam sudah sangat larut. Dan ini sudah hari ketujuh setelah mereka menikah.

Sara mulai merasa bosan dengan kehidupan pernikahannya, ia merasa dikekang dan dibatasi. Matthew membuatnya tak berdaya dengan hanya berdiam di rumah seharian.

"Aku tidak bisa terus seperti ini, aku bisa tiada seperti tahanan rumah. Aku harus bicara dengannya malam ini!"

Dengan niat yang kuat, Sara memutuskan untuk menunggu Matthew pulang di ruang tamu. Ia menyalakan televisi dan menunggu selama hampir satu jam.

Tapi, pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Sara yang kelelahan akhirnya tertidur di sofa sambil memeluk bantal.

Pukul sebelas malam, Matthew baru sampai di rumah. Ia sengaja melakukan hal itu agar ia tidak perlu berinteraksi lebih banyak bersama Sara.

"Aku ingin laporan itu diserahkan besok," kata Matthew menutup telepon seraya berjalan masuk.

Tetapi, tatapannya justru tertuju ke ruang tamu. Televisi dan lampu masih menyala padahal biasanya sudah padam pukul sepuluh.

Berjalan ke arah sana, Matthew justru terkejut dengan kehadiran Sara yang tertidur. "Apakah dia menungguku pulang?" gumamnya merasa kasihan.

Mengendurkan tautan dasinya, ia berniat untuk membawa Sara kembali ke kamarnya. Namun, belum sempat Matthew menyentuhnya, Sara menggeliat bangun.

"Ya Tuhan! Kau sudah pulang rupanya! Maaf, aku tertidur!" pekik Sara terkejut dan langsung bangkit berdiri.

Matthew menegakkan punggungnya dan menatap Sara yang memakai piyama satin tanpa berkedip.

"Sedang apa kau di sini? Malam kian larut, sebaiknya kau kembali ke kamar!" katanya memerintah lalu berbalik memunggungi Sara.

"Tunggu dulu!" Sara setengah berteriak. "Aku perlu bicara denganmu."

Matthew terdiam di tempat, kepalanya berpikir keras mengenai hal apa yang akan dibicarakannya sampai rela menunggunya pulang?

Membalikkan badan, Matthew kembali menatapnya. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya seraya menggulung lengan kemejanya sebatas siku.

Sara mengambil langkah mendekat, tangannya tertaut di depan, ragu bertanya. Ia takut jawaban yang akan diberikan Matthew jauh dari harapannya sendiri.

Matthew melirik arlojinya. "Katakanlah, aku sudah lelah dan ingin istirahat," katanya dingin.

"Aku … aku bosan di rumah, bolehkah aku bekerja di luar?" tanya Sara seraya memberanikan diri menatap mata Matthew.

Pria itu bergeming, menatap Sara dari atas sampai ke bawah. Tatapan ragu sekaligus tidak percaya.

"Aku berjanji. Aku akan tetap memenuhi tanggung jawabku, aku juga tidak akan pulang terlambat. Aku janji," kata Sara berusaha meyakinkan diri bahwa ia bisa dipercaya.

Matthew membenarkan posisi kacamatanya. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku celana dan berjalan mendekati Sara.

"Kenapa?"

"Ap-apa?" Sara bingung, ia mengambil langkah mundur lantaran Matthew terus mendesaknya.

"Kenapa kau ingin bekerja? Apakah rumah ini tidak cukup nyaman bagimu? Apakah fasilitas yang aku sediakan untukmu masih belum cukup?"

Sara menggeleng kuat. "Tidak … bukan, bukan seperti itu maksudku. Aku hanya …." Suaranya seakan tercekat.

"Apakah uang yang sudah aku keluarkan untukmu masih kurang banyak? Sehingga kau masih tidak bisa bersikap patuh?!" kata Matthew setengah berteriak.

Entah mengapa, mengetahui bahwa Sara ingin bekerja, Matthew jadi merasa takut kehilangan perempuan itu, lagi. Ia takut sewaktu-waktu Sara bisa lari darinya tanpa kembali lagi.

"Bukan … bukan seperti itu maksudku," sahut Sara diiringi isak tangis. Hatinya terasa perih. "Aku … aku hanya—"

"Cukup! Aku tidak ingin mendengar apapun lagi," sela Matthew langsung melangkah menjauh dari sana.

Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Kenapa dia malah menangis?" gumamnya kalut. Ia menaiki anak tangga dengan langkah besar, meninggalkan Sara seorang diri di sana.

Tetapi, sebelum memasuki kamarnya sendiri, Matthew menyempatkan diri untuk melihat Sara.

Perempuan itu masih terisak di ruang tamu, Matthew berpikir apakah ia sudah menyakiti hati istrinya?

Matthew lalu mengirim pesan kepada kepala pelayanannya untuk menghibur Sara. Ia ingin melakukannya tapi ia tidak bisa.

Tanpa Sara sadari, pelayan yang sering menyambutnya datang menghampiri seraya membawa segelas air putih.

"Nyonya," panggilnya pelan. "Jangan bersedih."

Sara mendongak, menatap perempuan yang selalu ramah kepadanya itu. Tak ingin terlihat lemah, cepat-cepat ia mengusap air matanya.

"Aku … aku hanya sedih karena menonton film tadi," alibi Sara tak ingin orang lain tahu bahwa ia sakit hati.

"Sudah larut, sebaiknya Nyonya pergi tidur sekarang," katanya lagi sopan.

Sara mengangguk, lalu berjalan dengan pelan menaiki tangga sambil mengusap pipinya. Sebelum memasuki kamarnya, Sara menyempatkan diri untuk memandang pintu kamar Matthew yang tertutup.

"Tidak kusangka kau begitu kejam!" makinya pelan lalu berusaha untuk membuka pintu kamarmu sendiri.

Namun, belum sempat Sara masuk. Pintu kamar Matthew terbuka, menampilkan sosok pria itu yang sudah berganti baju.

Pandangan mereka bertemu, tapi tak ada seorang pun yang bicara. Sara masih kalut dan Matthew tak tahu harus mengatakan apa. Keduanya jadi canggung setelah perdebatan kecil di ruang tamu.

"Kau boleh bekerja," kata Matthew tiba-tiba. Sorot matanya tetap dingin saat menatap Sara.

Sementara itu, Sara terlihat bingung. "Maaf? Kau bilang apa barusan?"

"Kau boleh bekerja, tapi ada syaratnya."

"Syarat?" tanya Sara bingung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Sebuah Undangan

    Langit sore terlihat berwarna tembaga ketika Matthew duduk di ruang kerjanya, menatap undangan berlapis kertas tebal yang baru saja diantarkan oleh salah seorang kurir. Logo keluarga yang terukir dengan tinta emas tampak mencolok di bagian depan. Matthew menatap nama pengundang itu cukup lama. Nathaniel Beckett, seorang kolega bisnis lama, pemilik perusahaan besar yang berperan penting dalam pengembangan proyek Matthew di pusat kota. Acara itu bukan sekadar pesta biasa. Itu ajang penting bagi para pengusaha, tempat di mana kesepakatan bisnis sering kali lahir di tengah lantunan musik klasik dan gelas sampanye.Namun malam itu, bagi Matthew, pesta itu lebih terdengar seperti beban. Ia lantas menyandarkan punggung di kursi, menarik napas panjang sambil memutar undangan itu di tangannya.Datang ke pesta itu berarti tampil berdua dengan Sara. Padahal, hubungan mereka belum benar-benar pulih. Ia masih menutup diri, sementara Sara mencoba mendekat dengan penuh hati-hati. Ia tahu, menghadi

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Mencoba Memperbaiki

    Matahari baru saja naik ketika aroma roti panggang dan kopi memenuhi dapur rumah itu. Sara berdiri di depan kompor dengan rambut yang diikat seadanya. Wajahnya masih tampak letih karena semalaman tidak tidur, tetapi pagi itu, ia bertekad untuk mencoba memperbaiki keadaan.Ia memecahkan dua butir telur ke atas wajan, menatap cairan kuning itu mengeras pelan di atas panas api. Suara mendesisnya memenuhi keheningan rumah, menggantikan percakapan yang semalam tak pernah terjadi.Di meja makan, piring-piring sudah tertata rapi. Ada buah potong, roti, omelet, dan secangkir kopi hitam, minuman kesukaan Matthew setiap pagi. Sara menatap hasil kerjanya, menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri bahwa mungkin ini bisa jadi awal yang baru.Ia ingin menunjukkan bahwa ia masih peduli, bahwa ia masih ingin memperjuangkan mereka.Suara langkah kaki di lantai atas membuat jantungnya berdebar pelan. Ia menoleh ke arah tangga, menunggu.Matthew turun perlahan dengan kemeja kerja yang rapi dan waja

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Hati yang Bergetar

    Malam itu, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu ruang tamu menyala lembut, memantulkan cahaya hangat ke arah dinding, tapi hawa di dalam rumah justru terasa dingin dan berat.Sara duduk di sofa dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuan. Sejak sore, ia menunggu Matthew pulang, berharap setidaknya malam ini mereka bisa bicara dengan kepala dingin. Tapi jam sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam, dan suaminya belum juga muncul.Begitu suara mobil berhenti di depan rumah, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia segera berdiri, menatap ke arah pintu. Langkah kaki itu terdengar berat, tenang, dan tanpa emosi.Matthew muncul di ambang pintu dengan jas kerja yang masih menempel di tubuhnya. Ia tampak lelah, tapi yang lebih jelas terlihat adalah jarak di matanya. Tatapan yang dulu lembut kini tampak tumpul, seolah ia sengaja membuat tembok di antara mereka.“Kau belum tidur?” tanya Matthew datar, tanpa nada marah tapi juga tanpa kehangatan.Sara menelan ludahnya. “A

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Batin yang Merana

    Suasana kantor terasa sangat sunyi, hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Di balik pintu kaca ruang kerjanya, Matthew duduk menatap layar komputer yang sudah mati sejak setengah jam lalu. Tumpukan dokumen di mejanya bahkan belum tersentuh.Ia seharusnya sedang meninjau laporan keuangan proyek baru, tapi pikirannya entah di mana. Ia tidak bisa memfokuskan pikirannya pada pekerjaan. Setiap kali mencoba fokus, bayangan wajah Sara selalu muncul, wajah yang ketakutan saat ia memergokinya malam itu, wajah yang penuh luka saat melihat dirinya memilih diam.Matthew memejamkan mata dan mengusap wajahnya kasar. “Kenapa aku tidak bisa berhenti memikirkannya,” gumamnya pelan.Ia menghela napas berat, mencondongkan tubuh ke depan, menatap kedua tangannya sendiri. Jemarinya bergetar tipis, bukan karena marah, tetapi karena ia terlalu lelah menahan perasaan yang terlalu banyak."Sara pasti membenciku sekarang. Ia pasti berpikir aku pria kejam yang tidak punya hati. Tapi bagaimana aku

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Lara Sara

    Sara duduk termenung di ruang tamu, cangkir teh di tangannya sudah dingin, tak sedikit pun tersentuh. Sejak Matthew pergi pagi tadi, suasana rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Ia menatap kosong ke arah jendela, mencoba menenangkan diri, tapi rasa sesak di dadanya tak kunjung reda.“Kenapa aku begitu ceroboh?” gumamnya lirih. Ia mengingat kembali malam tadi, saat Matthew memergoki dirinya tengah membuka dokumen yang seharusnya tidak ia sentuh. Seharusnya ia bisa menahan rasa penasaran itu, seharusnya ia percaya bahwa suatu hari Matthew akan dengan sendirinya bercerita.Tapi kini semuanya sudah terlambat. Yang tersisa hanyalah tatapan dingin Matthew yang menghantuinya sejak malam hingga pagi tadi.Sara menarik napas panjang, lalu menundukkan kepala sambil menggenggam erat cangkir itu. “Aku hanya ingin tahu dirimu lebih dalam, Matthew. Aku tidak berniat melukaimu.” Suara tangisnya pecah, matanya mulai basah. Ia merasa seperti orang asing di rumah yang seharusnya jadi tempat pulang.

  • Istri Kontrak Sang Ahli Waris   Kembali Dingin

    Ruang kerja itu masih dipenuhi ketegangan. Matthew berdiri memunggungi Sara, foto masa kecilnya masih tergenggam erat di tangan. Nafasnya berat, naik turun seolah ia tengah menahan sesuatu yang nyaris meledak.Sara berdiri di belakangnya, tak berani mendekat lagi. Hatinya digelayuti rasa bersalah yang kian menghimpit. Ia ingin mengatakan sesuatu, menjelaskan, atau sekadar meminta maaf. Tapi kata-kata seakan tertelan.“Matthew," panggil Sara lirih, suaranya hampir tak terdengar.Pria itu tak bergeming. Ia menutup mata, mencoba menenangkan dirinya, namun rasa sakit itu terlalu nyata. Semua luka lama yang berusaha ia kubur, kini seakan digali paksa kembali. Dan orang yang melakukannya adalah istrinya sendiri, orang yang ia cintai, orang yang semestinya ia percaya.Dengan suara serak, Matthew akhirnya berkata, “Aku tidak ingin bicara sekarang.”Sara menggigit bibirnya, air matanya jatuh lagi. “A-aku hanya ingin mengerti. Aku tidak bermaksud melukaimu, Matthew. Aku—”“Cukup,” potong Matthe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status