Kehidupan Sara setelah menjadi istri dari Matthew berjalan datar, mereka jarang bertemu. Bahkan untuk sekadar mengobrol singkat pun jarang dilakukan.
Matthew selalu pergi ketika Sara belum bangun dan pulang ketika malam sudah sangat larut. Dan ini sudah hari ketujuh setelah mereka menikah. Sara mulai merasa bosan dengan kehidupan pernikahannya, ia merasa dikekang dan dibatasi. Matthew membuatnya tak berdaya dengan hanya berdiam di rumah seharian. "Aku tidak bisa terus seperti ini, aku bisa tiada seperti tahanan rumah. Aku harus bicara dengannya malam ini!" Dengan niat yang kuat, Sara memutuskan untuk menunggu Matthew pulang di ruang tamu. Ia menyalakan televisi dan menunggu selama hampir satu jam. Tapi, pria itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan pulang. Sara yang kelelahan akhirnya tertidur di sofa sambil memeluk bantal. Pukul sebelas malam, Matthew baru sampai di rumah. Ia sengaja melakukan hal itu agar ia tidak perlu berinteraksi lebih banyak bersama Sara. "Aku ingin laporan itu diserahkan besok," kata Matthew menutup telepon seraya berjalan masuk. Tetapi, tatapannya justru tertuju ke ruang tamu. Televisi dan lampu masih menyala padahal biasanya sudah padam pukul sepuluh. Berjalan ke arah sana, Matthew justru terkejut dengan kehadiran Sara yang tertidur. "Apakah dia menungguku pulang?" gumamnya merasa kasihan. Mengendurkan tautan dasinya, ia berniat untuk membawa Sara kembali ke kamarnya. Namun, belum sempat Matthew menyentuhnya, Sara menggeliat bangun. "Ya Tuhan! Kau sudah pulang rupanya! Maaf, aku tertidur!" pekik Sara terkejut dan langsung bangkit berdiri. Matthew menegakkan punggungnya dan menatap Sara yang memakai piyama satin tanpa berkedip. "Sedang apa kau di sini? Malam kian larut, sebaiknya kau kembali ke kamar!" katanya memerintah lalu berbalik memunggungi Sara. "Tunggu dulu!" Sara setengah berteriak. "Aku perlu bicara denganmu." Matthew terdiam di tempat, kepalanya berpikir keras mengenai hal apa yang akan dibicarakannya sampai rela menunggunya pulang? Membalikkan badan, Matthew kembali menatapnya. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanyanya seraya menggulung lengan kemejanya sebatas siku. Sara mengambil langkah mendekat, tangannya tertaut di depan, ragu bertanya. Ia takut jawaban yang akan diberikan Matthew jauh dari harapannya sendiri. Matthew melirik arlojinya. "Katakanlah, aku sudah lelah dan ingin istirahat," katanya dingin. "Aku … aku bosan di rumah, bolehkah aku bekerja di luar?" tanya Sara seraya memberanikan diri menatap mata Matthew. Pria itu bergeming, menatap Sara dari atas sampai ke bawah. Tatapan ragu sekaligus tidak percaya. "Aku berjanji. Aku akan tetap memenuhi tanggung jawabku, aku juga tidak akan pulang terlambat. Aku janji," kata Sara berusaha meyakinkan diri bahwa ia bisa dipercaya. Matthew membenarkan posisi kacamatanya. Satu tangannya ia masukkan ke dalam saku celana dan berjalan mendekati Sara. "Kenapa?" "Ap-apa?" Sara bingung, ia mengambil langkah mundur lantaran Matthew terus mendesaknya. "Kenapa kau ingin bekerja? Apakah rumah ini tidak cukup nyaman bagimu? Apakah fasilitas yang aku sediakan untukmu masih belum cukup?" Sara menggeleng kuat. "Tidak … bukan, bukan seperti itu maksudku. Aku hanya …." Suaranya seakan tercekat. "Apakah uang yang sudah aku keluarkan untukmu masih kurang banyak? Sehingga kau masih tidak bisa bersikap patuh?!" kata Matthew setengah berteriak. Entah mengapa, mengetahui bahwa Sara ingin bekerja, Matthew jadi merasa takut kehilangan perempuan itu, lagi. Ia takut sewaktu-waktu Sara bisa lari darinya tanpa kembali lagi. "Bukan … bukan seperti itu maksudku," sahut Sara diiringi isak tangis. Hatinya terasa perih. "Aku … aku hanya—" "Cukup! Aku tidak ingin mendengar apapun lagi," sela Matthew langsung melangkah menjauh dari sana. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. "Kenapa dia malah menangis?" gumamnya kalut. Ia menaiki anak tangga dengan langkah besar, meninggalkan Sara seorang diri di sana. Tetapi, sebelum memasuki kamarnya sendiri, Matthew menyempatkan diri untuk melihat Sara. Perempuan itu masih terisak di ruang tamu, Matthew berpikir apakah ia sudah menyakiti hati istrinya? Matthew lalu mengirim pesan kepada kepala pelayanannya untuk menghibur Sara. Ia ingin melakukannya tapi ia tidak bisa. Tanpa Sara sadari, pelayan yang sering menyambutnya datang menghampiri seraya membawa segelas air putih. "Nyonya," panggilnya pelan. "Jangan bersedih." Sara mendongak, menatap perempuan yang selalu ramah kepadanya itu. Tak ingin terlihat lemah, cepat-cepat ia mengusap air matanya. "Aku … aku hanya sedih karena menonton film tadi," alibi Sara tak ingin orang lain tahu bahwa ia sakit hati. "Sudah larut, sebaiknya Nyonya pergi tidur sekarang," katanya lagi sopan. Sara mengangguk, lalu berjalan dengan pelan menaiki tangga sambil mengusap pipinya. Sebelum memasuki kamarnya, Sara menyempatkan diri untuk memandang pintu kamar Matthew yang tertutup. "Tidak kusangka kau begitu kejam!" makinya pelan lalu berusaha untuk membuka pintu kamarmu sendiri. Namun, belum sempat Sara masuk. Pintu kamar Matthew terbuka, menampilkan sosok pria itu yang sudah berganti baju. Pandangan mereka bertemu, tapi tak ada seorang pun yang bicara. Sara masih kalut dan Matthew tak tahu harus mengatakan apa. Keduanya jadi canggung setelah perdebatan kecil di ruang tamu. "Kau boleh bekerja," kata Matthew tiba-tiba. Sorot matanya tetap dingin saat menatap Sara. Sementara itu, Sara terlihat bingung. "Maaf? Kau bilang apa barusan?" "Kau boleh bekerja, tapi ada syaratnya." "Syarat?" tanya Sara bingung.Ruang kerja Morgan masih terasa berat setelah kedatangan Matthew. Napasnya masih sedikit terengah, meski wajahnya berusaha kembali tenang. Ia tahu betul bahwa sosok Matthew Stanley bukanlah orang yang bisa dianggap main-main. Sekali pria itu memutuskan sesuatu, maka tak ada yang mampu menghalanginya.Tak lama kemudian, pintu ruang kerja itu terbuka pelan. Celine masuk dengan senyum tipis, meski sorot matanya gelisah.“Ayah,” panggilnya lembut. “Tadi aku lihat Kak Matthew datang. Dia bicara apa padamu?”Morgan menatap putrinya dengan tajam, membuat Celine sedikit gugup. Lalu, dengan suara berat, Morgan berkata, “Kau membuat masalah besar, Celine.”Celine terbelalak, langkahnya terhenti. “Apa maksud Ayah?”Morgan bangkit dari kursinya, menghampiri Celine dengan ekspresi penuh amarah yang ditahan. “Matthew datang ke sini dengan bukti. Semua fitnah, gosip, dan rumor buruk tentang Sara. Yang mana, semua itu jejakmu, Celine. Kau pikir Ayah tidak tahu? Kau pikir perbuatanmu bisa kau tutupi
Malam itu, Matthew duduk di ruang kerjanya dengan wajah serius. Sejak beberapa hari terakhir, ia sengaja menyimpan jarak dengan Celine. Bukan hanya karena fokus untuk memperbaiki hubungannya dengan Sara, tetapi juga karena kecurigaan yang kian menguat dalam benaknya. Matthew menyalakan layar laptopnya, menelusuri kembali email-email mencurigakan dan catatan keuangan yang sempat ia temukan. Ia memang sengaja menaruh seseorang untuk memantau gerak-gerik Celine selama beberapa hari terakhir sejak peristiwa tuduhan miring kepada Sara. Dan malam ini, laporan itu akhirnya sampai di tangannya.Dokumen-dokumen itu jelas menunjukkan ada aliran dana yang masuk ke rekening Celine dari sebuah perusahaan kecil yang tidak asing bagi Matthew. Sebuah perusahaan boneka yang sering dipakai untuk menutupi transaksi ilegal. Aliran dana itu ternyata terkait dengan gosip yang sempat beredar mengenai Sara. Semakin Matthew membacanya, semakin dadanya bergemuruh. Semua fitnah dan rumor yang melukai perasaan
Pagi itu, sinar matahari masuk perlahan ke kamar rumah Harold. Sara masih terlelap, wajahnya terlihat tenang meski jelas ada sisa-sisa kelelahan dari malam-malam penuh tangis sebelumnya. Matthew berdiri di ambang pintu kamar Sara, menatap sosok istrinya yang tertidur dengan perasaan yang campur aduk.Dalam hati, ia ingin sekali membangunkan Sara dan mengajaknya sarapan bersama, tapi ia sadar bahwa Sara mungkin butuh waktu lebih banyak. Perempuan itu butuh ruang untuk bernapas, untuk memulihkan luka yang sudah ia buat sendiri. Maka, ia memilih langkah berbeda.Matthew meraih jas kerjanya, lalu menuliskan sebuah catatan kecil yang ia letakkan di meja samping tempat tidur. “Istirahatlah hari ini. Jangan khawatirkan apa pun. Aku akan pulang secepat mungkin.”Dengan itu, ia pun meninggalkan rumah Harold tanpa membangunkan Sara. Ia masih sempat untuk meninggalkan satu kecupan hangat sebelum benar-benar pergi dari kamar istrinya. •••Di perjalanan menuju kantor, pikirannya tidak bisa tena
Celine duduk di dalam mobil mewahnya, jarinya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah. Sejak pagi, pikirannya dipenuhi rasa kesal yang tak kunjung reda. Semalam ia sudah memastikan kabar tentang Matthew, bahwa pria itu memilih tinggal di rumah Harold, ayah Sara. Dan pagi ini, kabar yang ia dapat dari orang kepercayaannya membuat darahnya terasa mendidih oleh kecemburuan. Matthew bahkan menyiapkan sarapan untuk Sara.“Tidak masuk akal,” gumamnya dengan nada tajam, matanya menatap kosong ke arah jalanan. “Aku sudah melakukan segalanya, sudah membuat Sara terlihat buruk, sudah menaburkan rumor, bahkan membuat Kak Matthew salah paham, tapi kenapa? Kenapa pada akhirnya dia kembali padanya. Selalu kembali padanya.”Rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram kuat setir mobil. Dalam hatinya, tumbuh dendam yang semakin gelap.Tak ingin membuang waktu lagi, Celine memutuskan menemui orang yang paling bisa membantunya. Ia tahu, selama ini ayahnya tak pernah menyukai Sara, terlebih setelah pernika
Pagi itu, suasana rumah Harold terasa berbeda. Di dapur, sudah ada seseorang yang sibuk bergerak dengan penuh keseriusan.Matthew bangun jauh lebih pagi daripada biasanya. Malam tadi ia hampir tak bisa tidur, terus memikirkan cara untuk mendapatkan kembali hati Sara. Ia tahu ucapan maaf saja tidak cukup. Ia harus melakukan sesuatu yang sederhana, misalnya hal-hal kecil yang mungkin bisa mengetuk hati istrinya.Maka, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan sendiri. Ia tidak terbiasa dengan dapur, apalagi untuk memasak sesuatu yang rumit, tapi tekadnya lebih kuat daripada keraguannya.Dengan celemek yang sedikit kekecilan, Matthew berdiri di depan kompor. Tangannya berusaha sigap membalik telur yang hampir gosong. “Astaga, sepertinya ini lebih sulit dari rapat dengan para klien besar,” gumamnya pelan sambil mengelap keringat di pelipis.Harold yang sejak tadi mendengar suara berisik dari dapur akhirnya masuk dengan langkah perlahan. Ia tertegun sebentar melihat menantunya yang biasanya r
Sara berdiri terpaku di depan pintu, masih terpengaruh oleh kata-kata Matthew yang penuh penyesalan. Hatinya memang mulai goyah, tapi luka yang sudah terlanjur ditorehkan terlalu dalam untuk bisa sembuh begitu saja. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan gejolak perasaannya.“Ayah benar,” ucapnya lirih, menoleh pada Harold. “Aku tidak boleh mengambil keputusan saat masih diliputi emosi. Untuk sekarang, aku memilih tetap di sini.”Matthew mendengar itu, dan hatinya seperti diremas kuat. Namun, alih-alih memaksa, ia mengangguk dengan wajah penuh ketulusan. “Baik, Sara. Jika itu yang membuatmu lebih tenang, aku akan menghormatinya.”Sara terdiam, menunduk agar Matthew tidak melihat matanya yang berkaca-kaca.Harold yang sejak tadi mengamati, akhirnya bersuara. “Kalau begitu, Matthew, pulanglah dulu. Biarkan Sara beristirahat.”Namun, Matthew menatap mertuanya dengan sorot mata bulat, penuh tekad. “Ayah, bolehkah aku menginap di sini malam ini?”Sara spontan menoleh, terkejut deng