Langit di atas Isle of Hywren menggantung rendah, berwarna kelabu pucat, seolah awan pun tak sanggup menatap masa lalu yang terkubur di tanah ini.Meri berdiri di depan bangunan batu yang nyaris tertelan oleh akar-akar pohon tua. Plakat di dinding retaknya masih menyisakan huruf yang nyaris hilang: Bibliotheca Hywren – didirikan 1723. Pintu kayunya terbuka sedikit, seolah mengundangnya masuk, atau mungkin... memperingatkan untuk pergi.Dr. Zhu menyusul dari belakang, jaketnya berdebu setelah membongkar pagar besi berkarat di halaman depan. “Kau yakin ini tempatnya?”“Aku nggak tahu kenapa... tapi tubuhku tahu,” bisik Meri pelan. Ia menyentuh sisi kayu tua itu. Hangat.Langkah pertama ke dalam ruangan itu seperti melangkah ke perut bumi. Aroma lembap kertas tua dan jamur menampar indera mereka. Cahaya remang-remang dari jendela tinggi memantul di partikel debu yang menari di udara.Rak-rak buku menjulang dalam keheningan.Meri melangkah tanpa bicara. Kakinya, entah mengapa, membawa ke
Cahaya dari jendela tinggi di ruang kerja Adrian menyapu meja kaca tempat tiga file fisik tersusun rapi. Di hadapannya, Lucien berdiri dengan ekspresi tegang, sementara dua orang lain duduk diam: Theo Bram, kepala keamanan sistem Montclair Group, dan Nina Farrell, analis hukum senior yang dikenal sangat loyal pada keluarga Montclair sejak era kakek Adrian.Adrian membuka percakapan tanpa basa-basi. Suaranya dalam dan presisi.“Aku tidak akan ulang dua kali. Yang kubutuhkan dari kalian adalah kecepatan, ketelitian, dan kerahasiaan mutlak.”Dia menyapu pandangan ke seluruh ruangan. “Mulai hari ini, kita audit semua jalur keuangan, komunikasi, dan relasi proyek luar negeri yang melibatkan nama Julian Vale atau entitas Blackmoor Ltd. Siapa pun yang kalian curigai sebagai bagian dari lingkaran itu, tandai diam-diam. Jangan buat kegaduhan.”Theo mengangguk. “Backtracking server pusat akan butuh dua-tiga hari, tapi aku bisa mulai dari pergerakan proyek Aurora. Ada sinyal aneh dari sana sejak
Pintu penthouse terbuka perlahan.Adrian berdiri di ambangnya, membisu. Ia tak langsung melangkah masuk, seolah berharap ada seseorang—suara, bayangan, apa pun—yang menyambut. Tapi tidak ada. Hanya kesunyian yang menelannya bulat-bulat.Jaket hitamnya masih basah oleh keringat dan gerimis bandara. Napasnya belum stabil sejak tadi. Langkahnya pelan, berat, tapi akhirnya ia masuk juga. Sepatunya menginjak marmer dengan bunyi sepi yang menyakitkan.Ruang tamu itu masih sama. Tapi semuanya terasa berbeda.Di meja kaca, peta bintang yang Meri buat untuknya tergeletak terbuka. Di sampingnya, bingkai foto pernikahan mereka—yang dulu nyaris ia pecahkan—berdiri tegak seperti saksi bisu dari semua yang telah ia hancurkan sendiri.Adrian menjatuhkan diri ke sofa. Tangannya menggantung di lutut, kepalanya tertunduk. Tak ada kata. Tak ada air mata. Hanya tubuh yang seperti kehilangan gravitasi, terbenam dalam kehampaan yang dibuat oleh dirinya sendiri.Lucien berdiri tak jauh darinya, tak berkata
Langit Montclair masih gelap saat ponsel Adrian bergetar di meja samping ranjang.Ia belum tidur. Matanya kosong menatap langit-langit kamar, sementara tangan kirinya mencengkeram selimut yang dingin di sisi tempat tidur yang seharusnya hangat oleh tubuh Meri.Getaran kedua terdengar. Lalu ketiga. Ia akhirnya meraih ponsel.Lucien. Jam di layar menunjukkan pukul 04.47 pagi.Adrian langsung mengangkat. "Ada apa?"“Dapat kabar.” Suara Lucien terdengar cepat dan tegas. “Check-in di bandara 15 menit yang lalu, cocok dengan salah satu alias yang pernah dipakai Dr. Zhu.”Adrian duduk tegak. “Dan Meri?”“Ya, sepertinya dia juga. Penerbangan jam 06.00. Gerbangnya belum ditutup. Aku cek langsung ke kontakku di sana—perempuan muda, rambut warna tembaga, ditemani pria Asia.”Adrian tidak menjawab. Ia sudah bangkit dari tempat tidur, mengganti pakaian dengan gerakan terburu-buru.Lucien menambahkan cepat, “Kita masih bisa ke sana kalau berangkat sekarang. Aku sudah di mobil. Lima belas menit lagi
Langit mendung menggantung rendah di atas distrik tua kota, tempat waktu seolah berjalan lebih lambat dari pusat bisnis Montclair. Lucien menyesuaikan kerah jasnya saat memasuki lorong sempit yang dipenuhi aroma herbal kering dan kayu tua. Bangunan itu tampak seperti kantor biasa dari luar, tapi ia tahu siapa yang tinggal di dalamnya.Pintu dibuka sebelum ia sempat mengetuk. Dr. Zhu berdiri di ambang pintu, tampak tenang seperti biasanya, namun sorot matanya lebih waspada dari pertemuan mereka sebelumnya."Lucien," sapa Zhu singkat. "Silakan masuk."Lucien masuk tanpa banyak basa-basi. Pandangannya menyapu ruangan yang penuh rak kayu tinggi, gulungan naskah tua, dan botol-botol kaca berisi cairan berwarna aneh. "Aku datang karena Adrian hampir gila dan mati," ucap Lucien langsung, nada suaranya datar tapi mengandung tekanan.Zhu menatapnya sejenak sebelum beranjak ke meja teh. "Maka semoga teh ini bisa membantu menjernihkan pikiran. Aku tidak percaya pada kebetulan.""Aku juga tidak,
Apartemen itu terlalu sunyi. Dindingnya pucat, jendelanya berembun, dan aroma herbal yang tajam selalu menggantung di udara. Meri duduk di depan meja kayu kecil yang penuh tumpukan buku sihir tua dan lembaran-lembaran kuno beraksara aneh. Rambutnya digelung asal, wajahnya pucat, dan lingkar hitam di bawah matanya semakin jelas.Sudah lima hari sejak ulang tahun Adrian. Sejak ia pergi.Sejak ia memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa kutukan itu tidak membunuh pria yang ia cintai.Tangannya gemetar saat membuka lembar baru dari manuskrip Vale. Sebagian halaman hangus di pinggirnya, tinta memudar, dan satu frasa di tengah kalimat menggantung:“...dan jika darah Vale yang belum ternoda—”Ia menggigit bibirnya. Lemah. Lapar. Pusing. Tapi ia tetap membaca.“Berhenti dulu, Meri,” suara Dr. Zhu terdengar dari ambang pintu. Pria itu masuk sambil membawa secangkir ramuan hangat. “Kau belum makan apapun sejak pagi.”“Aku harus menyelesaikan bagian ini.” Meri menolak halus, suaranya serak. “