Pagi itu langit Jakarta tampak mendung, seakan memberi isyarat akan datangnya badai. Di dalam apartemen penthouse Arsenio Li, suasana sedikit berbeda dari biasanya. Aroma sup ayam mengepul dari dapur, dan Aluna tampak sibuk di balik kitchen island, mengenakan apron abu-abu dengan baju tidur satin warna krem.
Perutnya mulai sedikit menonjol, meski belum begitu terlihat oleh mata awam. Tapi bagi Arsenio, setiap perubahan kecil pada tubuh Aluna terasa nyata. Lelaki itu duduk di meja makan sambil membaca koran, sesekali melirik istrinya yang sedang mengaduk pelan kuah bening di panci. “Sejak kapan kamu bisa masak?” tanyanya tanpa menurunkan koran. Aluna melirik cepat. “Sejak G****e dan YouTube jadi sahabatku.” Arsenio menyeringai. “Kalau nanti kamu bosan jadi istri miliarder, bisa buka catering.” Aluna tertawa ringan. “Boleh juga, tapi kamu yang jadi kurirnya.” “Aku? CEO antar makanan?” “CEO: Cintaku Ekspres Online.” Mereka berdua tertawa. Canggung, tapi hangat. Bukan seperti pasangan yang baru saling mengenal tiga bulan, tapi seperti teman lama yang mulai menemukan irama. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Sekitar pukul sembilan pagi, pintu apartemen diketuk keras. Arsenio langsung berdiri, ekspresinya berubah serius. “Siapa?” tanya Aluna. “Aku juga nggak tahu,” jawab Arsenio sambil berjalan ke pintu. Begitu dibuka, wajah seseorang dari masa lalu menyambut mereka dengan senyum sinis. “Lama tidak bertemu… Arsen.” Clarissa. Aluna langsung merasa darahnya naik. Perempuan itu kini berdiri angkuh di depan mereka, mengenakan dress mahal warna marun dan heels setinggi harapan palsu. “Aku hanya mau bicara. Lima menit,” kata Clarissa dengan santai. Arsenio menoleh ke Aluna. “Boleh?” Aluna ingin menolak. Tapi ia tahu, masa lalu tak akan bisa dikubur hanya dengan berpaling. --- Di Ruang Tamu Clarissa duduk seperti ratu, sementara Arsenio duduk berseberangan, dengan tangan menyilang di dada. “Langsung saja, Clar. Apa maksudmu datang ke sini pagi-pagi?” Clarissa tersenyum. “Aku hanya ingin mengingatkanmu, Arsen. Kamu dan aku... belum selesai.” “Sudah selesai sejak tiga tahun lalu. Kamu yang selingkuh, ingat?” Clarissa tersenyum seolah tidak bersalah. “Selingkuh atau cari kebahagiaan? Kamu dingin, sibuk, dan... tidak pernah benar-benar melihatku.” “Jadi kamu datang ke sini untuk menyalahkan aku?” Arsenio menaikkan alisnya. “Salah tempat. Ini rumahku, dan kamu tamu tak diundang.” Clarissa berdiri. “Kau pikir pernikahanmu dengan perempuan itu bisa menutup masa lalu kita? Kau pikir publik akan percaya ini cinta sejati?” Arsenio berdiri juga, mendekat. “Dengar baik-baik. Aku mencintai Aluna. Dan kalau kamu pikir bisa merusak kami dengan cerita lama, kamu salah besar.” Tepat saat itu, Aluna muncul dari balik dinding. Ia menatap Clarissa dengan tenang, meski dalam dadanya badai sudah berkecamuk. “Clarissa,” katanya. “Kami sedang sarapan. Kalau kamu sudah selesai mencemari udara pagi kami, silakan pulang.” Clarissa tersenyum manis, tapi matanya menyimpan racun. “Sampai jumpa lagi, Nona Kontrak.” --- Beberapa Jam Kemudian Setelah Clarissa pergi, Arsenio dan Aluna kembali ke meja makan, tapi suasana sudah berubah. “Maaf,” kata Arsenio akhirnya. Aluna mengaduk sendok di dalam mangkuk supnya tanpa benar-benar lapar. “Dia masih cinta sama kamu?” “Entahlah,” Arsenio menjawab jujur. “Tapi aku sudah tidak cinta sama dia.” “Bagaimana kalau dia nggak berhenti? Kalau dia terus ganggu kita?” “Aku akan lindungi kamu. Kita. Anak kita.” Aluna menatap mata suaminya. “Kamu janji?” “Janji.” Dan di saat itu, meski badai masa lalu mengintip dari balik jendela, hati Aluna merasa sedikit lebih kuat. --- Sore Hari – Kantor Arsenio Arsenio sedang berdiri di depan jendela kaca lantai 30, memandangi jalanan Jakarta yang padat. Rapat bersama dewan direksi baru saja selesai, dan pikirannya belum benar-benar fokus. Asisten pribadinya, Kevin, masuk sambil membawa dokumen. “Pak, ini laporan keuangan akhir bulan dan—” Kevin terdiam ketika melihat ekspresi Arsenio yang kosong. “Pak? Anda baik-baik saja?” Arsenio mengangguk pelan. “Cuma mikir soal Aluna... dan Clarissa.” Kevin, yang sudah cukup lama bekerja dengan Arsenio, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berani bicara. “Kalau boleh jujur, Pak... dulu Anda lebih tenang. Tapi sejak menikah... Anda terlihat lebih manusiawi.” Arsenio tertawa pelan. “Manusiawi itu bagus atau buruk?” Kevin mengangkat bahu. “Kalau bisa bikin Anda tersenyum saat rapat, saya rasa itu bagus.” Arsenio menatap langit yang mulai berwarna jingga. “Manusiawi, ya...” gumamnya. --- Malam Hari – Klinik Khusus Sementara itu, Clarissa berdiri di ruang tunggu sebuah klinik spesialis kandungan. Ia menggenggam hasil tes darah dengan wajah datar. Seorang dokter keluar, memanggil namanya. “Clarissa Huang?” Ia berdiri dan masuk ke ruangan dokter. Setelah duduk, sang dokter menjelaskan dengan tenang, “Hasil tes menunjukkan kadar hCG Anda positif. Anda sedang hamil, usia kandungan sekitar lima minggu.” Clarissa tersenyum tipis. Tapi senyuman itu bukan kebahagiaan. Itu adalah rencana. --- Apartemen Arsenio – Malam Aluna duduk di sofa, memegang buku jurnalnya yang mulai ia isi sejak tahu dirinya hamil. Ia menulis dengan pena biru tua, huruf-huruf yang kadang bergetar karena emosi: > Hari ini aku bertemu lagi dengan masa lalu suamiku. Clarissa. Dia cantik, elegan, dan beracun. Tapi aku percaya… bahwa apa yang kita punya sekarang lebih nyata daripada sejarah mereka. Karena apa yang tumbuh dalam tubuhku ini adalah bukti dari sesuatu yang tak bisa dipalsukan… Arsenio muncul dari kamar, mengenakan T-shirt dan celana santai. Ia duduk di samping Aluna dan mengintip jurnal itu. “Boleh aku baca?” Aluna buru-buru menutupnya. “Nggak boleh.” “Kenapa?” “Ini... privasi calon ibu,” jawabnya sambil memeluk jurnal itu erat-erat. Arsenio tertawa, lalu mendekat dan mengecup pelipisnya. “Baiklah. Tapi aku punya hadiah.” Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut biru dari sakunya. Aluna membuka dengan penasaran, lalu menatap terkejut. Sebuah liontin perak dengan ukiran huruf L + A = ∞ “Kenapa infinity?” “Karena kita nggak tahu ujungnya. Tapi aku ingin semua ini... nggak pernah berakhir.” Dan malam itu, Aluna tertidur di dada Arsenio, dengan liontin baru tergantung di lehernya dan harapan baru yang mulai tumbuh. Keesokan Harinya – Kafe Elara Aluna duduk sendiri di sudut kafe Elara, mengenakan blus putih longgar dan celana kulot krem. Tangannya sibuk mengaduk teh chamomile yang mulai dingin. Ia baru saja selesai dari kontrol kandungan dan merasa perlu waktu sendiri, jauh dari suasana rumah atau kantor Arsenio yang kini terasa seperti markas perang dingin. Pikirannya masih melayang pada Clarissa. Sosok wanita itu seperti bayangan yang mengikuti setiap langkah Aluna. Di matanya, Clarissa sempurna—cantik, dewasa, punya latar belakang sepadan dengan Arsenio. Dan yang lebih mengganggu, kedekatan mereka pernah nyata. “Aku nggak boleh kalah,” bisiknya pada diri sendiri. “Tapi… ini bukan soal menang atau kalah. Ini soal bertahan.” Tiba-tiba, suara wanita menyapa dari belakangnya. “Sendiri aja, Bu Arsenio?” Aluna menoleh dan mendapati sosok yang tak asing berdiri di hadapannya: Tiara, reporter muda yang terkenal di media online gosip ternama. “Tiara…?” Aluna sedikit terkejut. “Boleh duduk?” tanya Tiara dengan senyum ramah. “Silakan.” Tiara menarik kursi, duduk santai. Ia tidak menyalakan perekam suara, dan tidak membawa kamera. “Aku nggak sedang kerja, tenang aja. Cuma... penasaran.” Aluna mengangkat alis. “Penasaran?” “Kamu dan Arsenio. Kok bisa ya? Maksudku, kamu bukan dari kalangan atas, tapi kalian kelihatan cocok. Ada chemistry.” Aluna tersenyum kaku. “Itu karena kami berusaha. Cinta itu bukan tentang seberapa sepadan latar belakangnya, tapi seberapa kuat dua orang mau saling memilih setiap hari.” Tiara mengangguk. “Kamu tahu nggak, Clarissa lagi gosipin kamu di belakang?” Aluna menegang. “Apa?” “Ada bisikan dia lagi sebar kabar kalau kamu cuma ‘alat’ untuk bikin image Arsenio kelihatan family-man. Katanya kamu nggak sungguh-sungguh hamil. Bahkan... katanya dia juga hamil.” Aluna membeku. Hamil? Clarissa? --- Malam Hari – Penthouse Arsenio Begitu Arsenio pulang, Aluna langsung menghampirinya. “Aku dengar Clarissa hamil,” katanya tanpa basa-basi. Arsenio yang sedang membuka dasi langsung menoleh. “Apa?” “Katanya... dari kamu.” Arsenio mengernyit. “Itu tidak mungkin. Aku tidak pernah tidur dengan dia sejak putus. Bahkan sebelum itu pun, hubungan kami sudah hambar.” “Tapi dia menyebarkan kabar itu ke media.” Arsenio mendekat. “Dengar, Aluna. Aku akan urus ini. Tapi kamu harus percaya sama aku.” Aluna mengangguk pelan. “Aku percaya… tapi aku juga takut. Aku nggak mau anak kita lahir di dunia yang penuh gosip dan kebohongan.” Arsenio menarik tubuh Aluna ke dalam pelukannya. “Kita akan lindungi anak kita, dan kamu. Clarissa cuma cari perhatian. Aku janji, dia nggak akan ganggu kamu lagi.” --- Beberapa Hari Kemudian – Kantor Li Group Di ruang rapat utama, Arsenio mengadakan pertemuan darurat dengan tim hukum dan humas. “Mulai hari ini, semua gerakan Clarissa diawasi. Kalau dia menyebarkan berita palsu, tuntut atas pencemaran nama baik.” Salah satu pengacara, Bu Dina, menyela. “Pak, kami juga mendapat informasi bahwa Clarissa menjalin kerja sama dengan salah satu rival perusahaan kita—Red Lotus Corp.” Arsenio mengepalkan tangan. “Dia bukan hanya ingin menghancurkan hidupku, tapi juga bisnis ini.” Kevin, asistennya, menambahkan, “Sepertinya dia sedang bermain politik perusahaan. Menyebar gosip, membuat publik bingung, lalu menjatuhkan Anda dari citra baik.” Arsenio menatap semua yang hadir. “Baik. Kalau dia ingin perang... kita beri dia perang.” --- Sementara Itu – Rumah Sakit Internasional Clarissa duduk di ruangan VIP rumah sakit dengan ekspresi frustrasi. Di tangannya, hasil USG yang memang menunjukkan ia hamil. Tapi kebenaran sesungguhnya hanya ia yang tahu. Bayi itu... bukan dari Arsenio. Tapi dunia tidak perlu tahu. Asal ia bisa memainkan waktunya dengan baik, publik akan percaya bahwa Arsenio adalah ayahnya. Dan jika Arsenio menyangkal, ia tinggal memainkan kartu terakhirnya—fitnah. Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari seseorang dengan inisial “R.L.”: > “Pastikan kamu masuk ke berita utama. Red Lotus siap dukung langkah berikutnya.” Clarissa tersenyum puas. “Ayo, Aluna. Lihat seberapa jauh kamu bisa bertahan.” --- Satu Minggu Kemudian – Rumah Keluarga Li Keluarga besar Arsenio mengadakan makan malam khusus. Kali ini, suasananya jauh lebih formal. Tuan Li Hong Xian memimpin di kursi utama, sementara Aluna duduk di samping Arsenio, tampak sedikit gugup. Madam Liana menatap mereka dengan tajam. “Aku dengar kabar dari luar. Tentang Clarissa. Apa benar dia hamil, Arsen?” Arsenio menatap ibunya dengan tenang. “Dia hamil. Tapi itu bukan anak saya.” “Dan kamu yakin?” tanya Madam Liana. “Sangat yakin.” Tuan Li mengetuk meja. “Aku tidak suka drama. Kalau dia menyebut namamu, kita harus siapkan bukti. Kita harus uji DNA nanti.” Aluna menelan ludah. Pertemuan keluarga ini tak ubahnya ruang interogasi. “Aku percaya sama Arsenio,” kata Aluna akhirnya. “Dan aku yakin dia tidak akan pernah bohong pada anak kami... atau pada saya.” Ucapan itu membuat semua orang terdiam. Tuan Li akhirnya tersenyum tipis. “Kamu punya keberanian, menantu.” --- Beberapa Hari Kemudian – Live Televisi Clarissa muncul di acara talkshow malam, mengenakan dress hitam dan ekspresi sendu. “Aku hanya ingin kebenaran. Arsenio dan aku pernah saling mencintai. Dan sekarang... aku sedang hamil. Aku tidak minta dia kembali, hanya... tanggung jawab.” Host acara itu memancing drama dengan menampilkan foto-foto lawas Clarissa dan Arsenio. Publik kembali terpecah. Ada yang memihak Clarissa, tapi lebih banyak yang mulai curiga dengan dramanya. Sementara itu, di rumah, Aluna menonton siaran itu sambil menggenggam tangan Arsenio. “Kamu yakin kamu siap hadapi semua ini?” tanya Aluna lirih. Arsenio mengangguk. “Aku akan hadapi semuanya. Untuk kamu. Dan anak kita.” --- Malam Itu – Di Balkon Aluna berdiri sendiri, menatap langit malam Jakarta yang penuh lampu. Arsenio datang menghampiri, membawa secangkir teh hangat. “Untuk ibu hamil tercantik,” katanya, menyerahkan cangkir itu. Aluna tersenyum. “Terima kasih.” Arsenio memeluknya dari belakang. “Aku tahu kamu lelah. Tapi setelah badai ini, aku janji... akan ada pelangi.” Aluna menyandarkan kepala ke dada Arsenio. “Aku nggak butuh pelangi. Aku cuma butuh kamu… tetap ada.” Dan malam itu, meski dunia luar semakin bising, di antara mereka, hanya ada keheningan yang menyembuhkan.Malam itu, suasana rumah kontrakan Bima terasa menegangkan. Lampu temaram membuat bayangan di dinding bergerak-gerak, seolah ada sosok yang mengintai.Reyhan, Ayara, dan Ardi duduk di ruang tamu kecil. Bima gelisah, mondar-mandir, wajahnya penuh rasa takut.“Kalau saya buka mulut, saya dan keluarga bisa diburu,” kata Bima lirih. “Saya sudah lihat sendiri bagaimana orang-orang Rasya bekerja. Mereka nggak segan-segan menghilangkan orang.”Reyhan menatapnya dengan sorot mata tegas. “Itulah sebabnya kami datang. Kami akan lindungi Anda, Pak Bima. Tapi tanpa kesaksian Anda, kebenaran nggak akan pernah terungkap.”Ayara menambahkan, suaranya lembut namun penuh keteguhan. “Kami paham risikonya. Tapi kami juga percaya, orang baik selalu punya jalan. Dan Anda bukan sendirian.”Bima terdiam lama, sebelum akhirnya menghela napas. “Baiklah. Saya akan bantu. Tapi kita harus hati-hati. Rasya punya orang di mana-mana.”---Gerakan di Luar RumahTanpa mereka sadari, Reno dan beberapa anak buah Rasya
Pagi itu, layar televisi di hampir semua kafe, kantor, bahkan warung kecil menayangkan breaking news. Nama Reyhan terpampang besar di headline:“Skandal Besar: Pengusaha Muda Diduga Rekayasa Data Korupsi.”Ayara yang baru saja menyalakan TV di apartemen langsung terpaku. Tubuhnya terasa lemas, remote jatuh dari tangannya.“Tidak mungkin…” suaranya bergetar. “Mereka… mereka balikkan semuanya…”Reyhan keluar dari kamar, masih mengenakan kemeja setengah dikancingkan. Ia mendekati layar televisi, menatap dengan rahang mengeras.Di layar, seorang “ahli keuangan” yang sebenarnya adalah boneka bayaran Rasya berbicara lantang.“Bukti yang katanya ditemukan oleh Reyhan itu tidak valid. Ada indikasi manipulasi data. Bahkan, ada jejak digital yang menunjukkan bahwa file itu direkayasa dari laptop milik Reyhan sendiri.”Wajah Reyhan tetap dingin, tapi tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Ayara menoleh padanya. “Rey… ini fitnah. Kamu harus jelasin ke publik. Kamu nggak
Pagi itu, langit Jakarta mendung seakan ikut menahan napas menunggu badai yang akan segera datang. Reyhan, Ayara, dan Ardi duduk di sebuah kafe kecil yang cukup sepi, jauh dari keramaian. Di meja mereka tergeletak sebuah map cokelat yang berisi print out data korupsi Rasya.Ayara sesekali melirik ke luar jendela, waspada kalau-kalau ada orang mencurigakan yang membuntuti mereka. Tangannya tak berhenti menggenggam erat jemari Reyhan.“Aku masih nggak tenang, Rey,” bisiknya. “Tadi malam mereka bisa tahu tempat kita, padahal apartemen kamu itu pakai keamanan berlapis. Bagaimana kalau hari ini mereka sudah pasang mata juga di sekitar sini?”Reyhan menatapnya lembut, meski wajahnya sendiri terlihat tegang. “Aku tahu, Ara. Tapi ini satu-satunya cara. Kita harus serahkan bukti ini sebelum Rasya sempat menghilangkannya.”Ardi mengangguk mantap. “Tenang aja, Ara. Bu Mira itu jurnalis senior, dia bukan orang sembarangan. Dia sudah biasa menghadapi ancaman kayak gini. Kalau data ini sudah di tan
Pagi itu, suasana apartemen Reyhan penuh ketegangan. Flashdisk kecil berisi bukti korupsi Rasya terletak di atas meja, seolah menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.Ayara menatapnya dengan wajah gelisah. “Rey… kalau bukti ini sampai salah langkah, Rasya bisa balas dendam lebih gila lagi. Kamu yakin kita siap?”Reyhan menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Ayara penuh keyakinan. “Aku tahu risikonya. Tapi kalau kita diam, dia akan semakin kuat. Kita nggak boleh kasih dia kesempatan lagi.”Ardi, yang sibuk memeriksa data dari laptop, ikut menimpali. “Semua bukti sudah jelas. Transfer dana fiktif, rekening luar negeri, nama-nama perusahaan boneka. Kalau ini sampai keluar ke publik, Rasya habis.”Ayara menggigit bibir. “Tapi kita harus hati-hati. Rasya itu licin. Dia pasti sudah pasang mata di mana-mana.”---Rencana PublikasiReyhan kemudian berdiri, berjalan ke arah papan tulis kecil di ruang tamu. Ia menggambar alur strategi:1. Kirim data ke media besar yang independen.2. S
Malam turun perlahan, menyelimuti kota dengan cahaya lampu yang berkelap-kelip. Di kejauhan, gedung Surya Corp berdiri gagah, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan. Namun bagi Reyhan, gedung itu kini lebih menyerupai benteng musuh yang penuh jebakan.Ayara berdiri di depan jendela apartemen, menatap gedung itu dengan hati gelisah. “Rey, apa kamu yakin harus lakukan ini malam ini?” tanyanya lirih, suaranya bergetar.Reyhan meraih jaket kulitnya, wajahnya penuh tekad. “Justru malam ini saat yang tepat. Keamanan lebih longgar setelah jam kerja, dan sebagian besar karyawan udah pulang. Kalau aku nunggu besok, Rasya bisa makin rapat nutupin jejaknya.”Ardi yang duduk di sofa ikut menimpali, “Aku udah atur seseorang di dalam. Namanya Pak Bima, kepala arsip lama yang masih hormat sama Reyhan. Dia bakal bantu kasih akses. Tapi setelah itu, kita sendiri yang harus cari dokumen.”Ayara menggigit bibir, lalu menghampiri Reyhan dan menggenggam tangannya erat. “Janji sama aku, kamu bali
Hujan baru saja reda sore itu, tapi hawa dingin masih menusuk. Dari jendela apartemen mungilnya, Ayara melihat langit yang kelabu, seakan mencerminkan suasana hatinya.Ponselnya terus berbunyi, notifikasi dari media sosial, portal berita, dan pesan tak dikenal. Semuanya menuding Reyhan sebagai pengkhianat keluarga, bahkan kriminal yang dituduh mencuri data perusahaan.“Rey…” Ayara menoleh ke suaminya yang duduk di kursi, wajahnya lelah menatap laptop. “Fitnah ini makin parah. Mereka bilang kamu kabur bawa dokumen penting.”Reyhan menghela napas panjang, lalu menutup laptop. “Itu jelas permainan Rasya. Dia memang sengaja menjebakku. Aku udah menduga ini bakal terjadi.”Ayara menggenggam tangannya erat. “Terus kita harus gimana? Kalau terus-terusan gini, nama kamu bisa rusak selamanya.”Reyhan menatap Ayara dalam-dalam, sorot matanya tajam. “Justru itu, Ara. Aku nggak boleh diam. Kalau aku lari, Rasya menang. Aku harus buktikan siapa yang sebenarnya bersalah.”---Gerakan RasyaDi gedun