Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu. Kilatan petir menyambar sesekali, menyinari langit yang kelam. Di dalam penthouse yang hangat, Aluna menggeliat di atas ranjang, perutnya yang mulai membuncit terasa sedikit kencang. Ia mengelusnya pelan, bibirnya menyunggingkan senyum kecil.
“Selamat malam, Nak… Semoga kamu nggak mimpi buruk kayak Mama barusan,” bisiknya. Namun, di sisi lain ranjang, Arsenio tidak sedang tidur. Ia berdiri di depan jendela kaca besar, matanya menatap gelapnya malam dengan raut penuh beban. Ponselnya tergenggam erat di tangan kanan, sementara pikirannya jauh melayang ke apa yang akan terjadi esok hari. Uji DNA. Besok pagi, pengacara Clarissa mengajukan sidang pengesahan untuk tes tersebut di depan hakim. Meskipun Arsenio yakin bayi itu bukan darah dagingnya, ia tahu: dunia tidak akan percaya hanya dari omongannya. Dan yang lebih mengganggu, Red Lotus Corp makin terang-terangan menyerang bisnis Li Group. Beberapa proyek tender besar dicuri, bahkan ada satu klien lama yang tiba-tiba membatalkan kontrak kerja sama. “Musuh kita nggak cuma satu,” gumam Arsenio. “Dan aku harus bersih dari semua ini… demi Aluna.” --- Pagi Hari – Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Pagi itu, gedung pengadilan dipenuhi media. Kamera, wartawan, dan suara-suara gaduh memenuhi area luar gedung. Mobil hitam mewah Arsenio berhenti di depan pintu masuk, dan dari dalam, Arsenio turun lebih dulu, mengenakan setelan abu gelap. Di belakangnya, Aluna ikut turun, dengan pakaian formal hamil sederhana, tapi elegan. Sorak sorai media langsung menyambut. “Pak Arsenio, apa benar Anda menolak anak dari Clarissa?” “Bu Aluna, bagaimana perasaan Anda tentang tes DNA ini?” Arsenio melindungi Aluna dengan tubuhnya, dan mereka berjalan cepat masuk ke dalam gedung bersama pengacara pribadi mereka, Bu Dina. Di dalam ruang sidang, suasana lebih tegang. Clarissa sudah duduk di bangku seberang, mengenakan gaun pastel dan memasang ekspresi lemah lembut. Namun sorot matanya tajam ketika bertemu pandang dengan Aluna. Aluna membalas tatapan itu. Tidak dengan dendam, melainkan keteguhan. Hakim memulai persidangan dengan suara tenang namun tegas. “Sidang hari ini akan memutuskan apakah permintaan tes DNA dari pihak penggugat—Nona Clarissa Huang—diterima dan dapat dilaksanakan sesuai hukum.” Clarissa berdiri, suaranya manis tapi menusuk. “Saya hanya ingin keadilan, Yang Mulia. Saya hamil anak dari Tuan Arsenio Li, dan ia menolak mengakui anak ini. Saya tidak ingin warisan. Saya hanya ingin anak saya tidak lahir sebagai anak tanpa ayah.” Bisik-bisik kecil terdengar di antara pengunjung sidang. Arsenio berdiri setelahnya. “Yang Mulia, saya tidak pernah memiliki hubungan intim dengan Clarissa dalam kurun waktu yang memungkinkan kehamilan ini terjadi. Tapi saya tidak menolak tes DNA. Justru saya ingin membuktikan kebenaran agar tidak ada lagi fitnah.” Hakim mengangguk. “Dengan kesepakatan kedua belah pihak, maka sidang akan dilanjutkan minggu depan dengan pengambilan sampel.” Clarissa tersenyum tipis. “Terima kasih, Arsen.” Arsenio hanya menatapnya dingin. --- Di Mobil – Dalam Perjalanan Pulang Aluna duduk diam, menatap keluar jendela. Tangannya menggenggam tali tasnya erat. Arsenio melirik dari samping. “Kamu nggak perlu ikut tadi,” katanya pelan. “Aku harus tahu musuhku. Biar aku tahu cara bertahan.” Arsenio menggenggam tangannya. “Dia bukan tandingan kamu.” Aluna tersenyum samar. “Tapi dia tahu cara main kotor. Aku cuma takut... anak kita ikut kena dampaknya.” Arsenio mengecup tangannya. “Anak kita akan tumbuh dengan bangga. Karena dia punya ibu yang luar biasa kuat.” Aluna menatap suaminya dalam-dalam. Untuk sesaat, ketakutannya memudar. --- Sore Hari – Restoran Li Group Di salah satu cabang restoran milik keluarga Li, Kevin—asisten Arsenio—bertemu diam-diam dengan seseorang misterius. Mereka duduk di pojok ruangan, jauh dari pandangan umum. “Informasi yang saya temukan… mengejutkan,” kata si pria misterius, menyerahkan amplop cokelat. Kevin membukanya. Di dalamnya, terdapat dokumen keuangan Red Lotus Corp, beberapa foto, dan satu salinan e-mail berisi bukti transfer uang. “Mereka bayar Clarissa?” “Ya. Untuk menjatuhkan Arsenio. Tapi bukan itu saja… Ada orang dalam di Li Group yang membocorkan informasi internal.” Kevin mengepal tangannya. “Siapa?” Pria itu tersenyum sinis. “Aku hanya bisa beri inisial. ‘Y.L.’. Mungkin kamu tahu siapa.” Kevin menegang. Yolanda Li. Adik tiri Arsenio. --- Malam Hari – Kamar Aluna dan Arsenio Aluna duduk di ranjang sambil membaca buku bayi. Ia tampak tenang, tapi pikirannya penuh tanya. Pintu kamar terbuka, dan Arsenio masuk dengan wajah serius. “Aku baru dapat laporan. Clarissa dibayar Red Lotus.” Aluna terdiam, lalu perlahan berkata, “Aku nggak kaget.” “Tapi ada yang lebih buruk. Seseorang dari keluargaku ikut bermain.” Aluna memandangnya. “Siapa?” “Yolanda.” Aluna menelan ludah. “Kenapa dia?” “Dia dendam. Sejak kecil, dia merasa aku selalu dapat perhatian Ayah. Meski dia anak dari istri kedua, dia selalu merasa di bawah bayang-bayangku.” Arsenio duduk di samping istrinya. “Kalau dugaanku benar… dia yang kasih akses data proyek ke Red Lotus.” Aluna menatap suaminya. “Kamu mau konfrontasi?” “Belum. Aku butuh bukti kuat. Tapi aku janji… tidak akan ada yang bisa menghancurkan kita.” --- Di Kediaman Keluarga Li – Kamar Yolanda Yolanda berdiri di depan cermin, mengenakan gaun pesta dengan perhiasan berkilau. Di belakangnya, layar laptop terbuka, menunjukkan laporan keuangan Li Group yang telah ia salin diam-diam. Ponselnya berbunyi. “Ya, ini aku,” katanya. Suara pria dari seberang: “Langkah berikutnya sudah siap. Setelah Clarissa, kita hancurkan image Arsenio di bursa saham. Tekan reputasinya.” Yolanda tersenyum. “Biarkan dia tahu, dunia nggak hanya milik pewaris tunggal.” Keesokan Harinya – Kantor Pusat Li Group Arsenio berdiri di depan jendela ruang kerjanya, mengenakan jas navy rapi, wajahnya dingin seperti pagi yang mendung. Kevin masuk dengan setumpuk dokumen di tangan. “Kita temukan data akses terakhir ke sistem internal, dan semuanya menunjuk ke akun milik departemen investasi… milik Yolanda.” Arsenio tak menoleh. “Dia bahkan nggak berusaha menyembunyikan jejak?” “Justru itu. Seolah-olah dia ingin ditemukan.” Arsenio akhirnya berbalik, tatapannya tajam. “Aku mau kamu kumpulkan semua data. Lengkap. Kita tidak akan sembarangan menuduh anggota keluarga—tapi kalau dia benar terbukti, aku akan keluarkan dia dari perusahaan ini. Tak peduli apa kata Ayah.” Kevin mengangguk. “Baik, Tuan.” “Dan satu lagi,” Arsenio menambahkan. “Aku ingin mulai kembangkan divisi hukum internal. Kita perlu benteng dari dalam. Kalau Red Lotus bisa menyusup lewat darah sendiri, maka aku harus perkuat pondasi di bawahku.” --- Di Apartemen Clarissa Clarissa menatap layar ponselnya dengan marah. Pesan dari Red Lotus masuk lagi: > “Percepat. Kita butuh pemicu skandal. Kalau kamu gagal, jangan harap proyek kerja sama ini jalan.” Ia melempar ponselnya ke kasur. “Brengsek,” gumamnya. “Mereka pikir aku pion? Aku bukan mainan siapa pun!” Namun, ia juga tahu posisinya kini terikat. Ia sudah terlalu banyak menerima uang dari Red Lotus, dan jika ia kabur, reputasinya bisa hancur total. Mendadak, pintu apartemen diketuk keras. Begitu dibuka, berdiri di depan pintu seorang pria bertubuh tegap, mengenakan jas hitam dan topi—pengawal dari Red Lotus. “Bos ingin kamu tampil di media dua hari lagi. Cerita soal tekanan dari keluarga Li. Bikin publik simpati.” Clarissa mendengus. “Dan kalau aku nggak mau?” Si pria menatapnya tajam. “Kamu tahu isi kontrakmu. Dan kamu tahu siapa yang bisa bikin semua fotomu dari masa lalu tersebar.” Clarissa mematung. Ia tidak pernah takut pada Arsenio, tapi Red Lotus... mereka bisa membuat orang menghilang tanpa jejak. --- Sementara Itu – Rumah Keluarga Li Aluna sedang duduk bersama Madam Liana di ruang santai. Hubungan mereka mulai sedikit mencair, walau tetap terasa formal. “Kamu terlihat lelah, Aluna,” kata Madam Liana sambil menyuguhkan teh herbal. Aluna tersenyum kecil. “Biasa, Bu. Bayinya aktif malam-malam. Tendangan kecil tapi bikin deg-degan.” Madam Liana menyentuh tangan Aluna. “Kamu tahu, sejak pertama Arsenio bilang mau nikah kontrak, aku khawatir. Tapi kamu... ternyata lebih dari yang aku bayangkan.” Aluna mengangkat alis. “Maksud Ibu?” “Kamu bukan sekadar ‘istri kontrak’. Kamu penyeimbang buat Arsen. Dia lebih tenang, lebih manusiawi. Kalau kamu bersedia... setelah ini, aku ingin hubungan kalian dilanjutkan. Bukan hanya karena bayi.” Aluna terdiam. Dadanya bergemuruh. Selama ini, ia tak pernah benar-benar yakin apakah ia diterima sebagai bagian dari keluarga. “Tapi itu... kalau Arsenio juga menginginkannya,” tambah Madam Liana. --- Di Sisi Lain – Kantor Red Lotus Corp Di ruang rapat yang dingin, CEO Red Lotus—pria paruh baya bermata elang bernama Hendra Wijaya—menatap layar penuh grafik saham. “Li Group masih terlalu stabil. Kita perlu guncangan internal. Manfaatkan Yolanda. Paksa dia buka lebih banyak.” Salah satu anak buahnya berkata, “Tapi Tuan, Yolanda mulai ragu. Dia ingin keuntungan lebih besar.” Hendra tersenyum dingin. “Semakin tamak seseorang, semakin mudah dijatuhkan. Mainkan dia. Tapi jangan sampai dia tahu kita hanya ingin menjatuhkan Arsenio.” --- Sore Hari – Apartemen Pribadi Yolanda Yolanda duduk di depan meja rias, mengenakan gaun merah darah dan perhiasan mahal. Wajahnya tampak cemas meski makeup-nya sempurna. Ia membuka laptop, masuk ke akun e-mail terenkripsi. Dari: Hendra W. > “Proyek besar berikutnya: serahkan dokumen tender untuk konstruksi pelabuhan. Kami akan beri 5% dari nilai proyek jika berhasil.” Yolanda menggertakkan gigi. "Kenapa aku yang selalu kerja, tapi mereka yang dapat nama?" Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. Seorang pembantu masuk membawa selembar surat dari kantor Arsenio. Surat pemanggilan. Yolanda memucat. --- Malam Hari – Penthouse Arsenio Aluna duduk di balkon, menyentuh perutnya yang semakin membesar. Langit malam dipenuhi bintang, tapi pikirannya tak seindah langit itu. Arsenio menghampiri sambil membawa dua gelas susu hangat. “Aku pikir kamu tidur,” katanya. “Anakmu suka gerak kalau malam,” jawab Aluna pelan. Arsenio duduk di sebelahnya, menyerahkan segelas susu. “Boleh aku tanya sesuatu?” Aluna menatapnya. “Tentu.” “Kalau kontrak kita habis nanti... dan kamu bebas memilih, kamu masih mau bersamaku?” Arsenio terdiam sejenak. Matanya menatap dalam, seolah sedang menggali perasaannya sendiri. “Awalnya aku pikir kamu cuma bagian dari rencana. Tapi sekarang...” Ia mengusap perut Aluna pelan. “Kamu rumah. Tempat aku pulang.” Aluna menahan air matanya. Tapi satu hal masih menggantung: apakah kata-kata itu tulus... atau hanya bagian dari permainan yang lebih besar? --- Esok Paginya – Ruang Rapat Direksi Li Group Yolanda duduk di ujung meja, dikelilingi jajaran direksi. Arsenio berdiri di tengah, dengan ekspresi tenang tapi tajam. “Ini adalah bukti kamu mengakses data tender secara ilegal dan memberikannya ke Red Lotus,” ujar Arsenio sambil menunjukkan dokumen. Yolanda mencoba tenang. “Itu salah paham. Aku—aku hanya ingin membantu proyek agar lebih cepat. Aku—” “Yolanda,” potong Arsenio. “Kami bisa menuntutmu. Tapi karena kamu masih keluarga, aku akan beri dua pilihan: kamu mundur dengan terhormat dari posisi direktur... atau kita lanjut ke jalur hukum.” Yolanda terdiam. Matanya berkaca-kaca. Tapi ia tahu, tak ada ruang untuk pembelaan. “Aku... akan mengundurkan diri.” Arsenio mengangguk. “Keputusan bijak.” Namun di dalam hati Yolanda, api dendam baru saja menyala.Malam itu, suasana rumah kontrakan Bima terasa menegangkan. Lampu temaram membuat bayangan di dinding bergerak-gerak, seolah ada sosok yang mengintai.Reyhan, Ayara, dan Ardi duduk di ruang tamu kecil. Bima gelisah, mondar-mandir, wajahnya penuh rasa takut.“Kalau saya buka mulut, saya dan keluarga bisa diburu,” kata Bima lirih. “Saya sudah lihat sendiri bagaimana orang-orang Rasya bekerja. Mereka nggak segan-segan menghilangkan orang.”Reyhan menatapnya dengan sorot mata tegas. “Itulah sebabnya kami datang. Kami akan lindungi Anda, Pak Bima. Tapi tanpa kesaksian Anda, kebenaran nggak akan pernah terungkap.”Ayara menambahkan, suaranya lembut namun penuh keteguhan. “Kami paham risikonya. Tapi kami juga percaya, orang baik selalu punya jalan. Dan Anda bukan sendirian.”Bima terdiam lama, sebelum akhirnya menghela napas. “Baiklah. Saya akan bantu. Tapi kita harus hati-hati. Rasya punya orang di mana-mana.”---Gerakan di Luar RumahTanpa mereka sadari, Reno dan beberapa anak buah Rasya
Pagi itu, layar televisi di hampir semua kafe, kantor, bahkan warung kecil menayangkan breaking news. Nama Reyhan terpampang besar di headline:“Skandal Besar: Pengusaha Muda Diduga Rekayasa Data Korupsi.”Ayara yang baru saja menyalakan TV di apartemen langsung terpaku. Tubuhnya terasa lemas, remote jatuh dari tangannya.“Tidak mungkin…” suaranya bergetar. “Mereka… mereka balikkan semuanya…”Reyhan keluar dari kamar, masih mengenakan kemeja setengah dikancingkan. Ia mendekati layar televisi, menatap dengan rahang mengeras.Di layar, seorang “ahli keuangan” yang sebenarnya adalah boneka bayaran Rasya berbicara lantang.“Bukti yang katanya ditemukan oleh Reyhan itu tidak valid. Ada indikasi manipulasi data. Bahkan, ada jejak digital yang menunjukkan bahwa file itu direkayasa dari laptop milik Reyhan sendiri.”Wajah Reyhan tetap dingin, tapi tangannya mengepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.Ayara menoleh padanya. “Rey… ini fitnah. Kamu harus jelasin ke publik. Kamu nggak
Pagi itu, langit Jakarta mendung seakan ikut menahan napas menunggu badai yang akan segera datang. Reyhan, Ayara, dan Ardi duduk di sebuah kafe kecil yang cukup sepi, jauh dari keramaian. Di meja mereka tergeletak sebuah map cokelat yang berisi print out data korupsi Rasya.Ayara sesekali melirik ke luar jendela, waspada kalau-kalau ada orang mencurigakan yang membuntuti mereka. Tangannya tak berhenti menggenggam erat jemari Reyhan.“Aku masih nggak tenang, Rey,” bisiknya. “Tadi malam mereka bisa tahu tempat kita, padahal apartemen kamu itu pakai keamanan berlapis. Bagaimana kalau hari ini mereka sudah pasang mata juga di sekitar sini?”Reyhan menatapnya lembut, meski wajahnya sendiri terlihat tegang. “Aku tahu, Ara. Tapi ini satu-satunya cara. Kita harus serahkan bukti ini sebelum Rasya sempat menghilangkannya.”Ardi mengangguk mantap. “Tenang aja, Ara. Bu Mira itu jurnalis senior, dia bukan orang sembarangan. Dia sudah biasa menghadapi ancaman kayak gini. Kalau data ini sudah di tan
Pagi itu, suasana apartemen Reyhan penuh ketegangan. Flashdisk kecil berisi bukti korupsi Rasya terletak di atas meja, seolah menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja.Ayara menatapnya dengan wajah gelisah. “Rey… kalau bukti ini sampai salah langkah, Rasya bisa balas dendam lebih gila lagi. Kamu yakin kita siap?”Reyhan menghela napas dalam-dalam, lalu menatap Ayara penuh keyakinan. “Aku tahu risikonya. Tapi kalau kita diam, dia akan semakin kuat. Kita nggak boleh kasih dia kesempatan lagi.”Ardi, yang sibuk memeriksa data dari laptop, ikut menimpali. “Semua bukti sudah jelas. Transfer dana fiktif, rekening luar negeri, nama-nama perusahaan boneka. Kalau ini sampai keluar ke publik, Rasya habis.”Ayara menggigit bibir. “Tapi kita harus hati-hati. Rasya itu licin. Dia pasti sudah pasang mata di mana-mana.”---Rencana PublikasiReyhan kemudian berdiri, berjalan ke arah papan tulis kecil di ruang tamu. Ia menggambar alur strategi:1. Kirim data ke media besar yang independen.2. S
Malam turun perlahan, menyelimuti kota dengan cahaya lampu yang berkelap-kelip. Di kejauhan, gedung Surya Corp berdiri gagah, jendela-jendelanya memantulkan kilau lampu jalan. Namun bagi Reyhan, gedung itu kini lebih menyerupai benteng musuh yang penuh jebakan.Ayara berdiri di depan jendela apartemen, menatap gedung itu dengan hati gelisah. “Rey, apa kamu yakin harus lakukan ini malam ini?” tanyanya lirih, suaranya bergetar.Reyhan meraih jaket kulitnya, wajahnya penuh tekad. “Justru malam ini saat yang tepat. Keamanan lebih longgar setelah jam kerja, dan sebagian besar karyawan udah pulang. Kalau aku nunggu besok, Rasya bisa makin rapat nutupin jejaknya.”Ardi yang duduk di sofa ikut menimpali, “Aku udah atur seseorang di dalam. Namanya Pak Bima, kepala arsip lama yang masih hormat sama Reyhan. Dia bakal bantu kasih akses. Tapi setelah itu, kita sendiri yang harus cari dokumen.”Ayara menggigit bibir, lalu menghampiri Reyhan dan menggenggam tangannya erat. “Janji sama aku, kamu bali
Hujan baru saja reda sore itu, tapi hawa dingin masih menusuk. Dari jendela apartemen mungilnya, Ayara melihat langit yang kelabu, seakan mencerminkan suasana hatinya.Ponselnya terus berbunyi, notifikasi dari media sosial, portal berita, dan pesan tak dikenal. Semuanya menuding Reyhan sebagai pengkhianat keluarga, bahkan kriminal yang dituduh mencuri data perusahaan.“Rey…” Ayara menoleh ke suaminya yang duduk di kursi, wajahnya lelah menatap laptop. “Fitnah ini makin parah. Mereka bilang kamu kabur bawa dokumen penting.”Reyhan menghela napas panjang, lalu menutup laptop. “Itu jelas permainan Rasya. Dia memang sengaja menjebakku. Aku udah menduga ini bakal terjadi.”Ayara menggenggam tangannya erat. “Terus kita harus gimana? Kalau terus-terusan gini, nama kamu bisa rusak selamanya.”Reyhan menatap Ayara dalam-dalam, sorot matanya tajam. “Justru itu, Ara. Aku nggak boleh diam. Kalau aku lari, Rasya menang. Aku harus buktikan siapa yang sebenarnya bersalah.”---Gerakan RasyaDi gedun