Pagi itu, mentari belum sepenuhnya muncul saat Aluna terbangun karena rasa mual yang tiba-tiba. Ia buru-buru bangkit dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi. Suara air keran mengalir bersamaan dengan suara muntahannya yang menggema.
Tak lama kemudian, Arsenio masuk, masih mengenakan kaus dan celana panjang tidur. Ia menghampiri Aluna yang sedang duduk di samping bathtub sambil memegang perut. “Kamu oke?” tanyanya cemas. Aluna mengangguk pelan meski wajahnya masih pucat. “Mualnya makin sering…” Arsenio mengambil segelas air hangat lalu berlutut di depannya. “Minum dulu,” ujarnya lembut. Aluna menerimanya dan menyesap perlahan. Sementara itu, Arsenio duduk di lantai di sebelahnya, memegang tangan Aluna tanpa banyak bicara. Hening sejenak, namun justru keheningan itu terasa paling nyaman. “Arsen…” Aluna akhirnya membuka suara. “Hm?” “Kamu... masih anggap aku cuma istri kontrak?” Pertanyaan itu membuat Arsenio menoleh. Tatapannya dalam, ragu-ragu, seolah sedang menimbang jawaban yang tepat. “Aku nggak tahu...” katanya jujur. “Tapi kamu lebih dari sekadar kontrak sekarang.” Aluna menggigit bibirnya. Hatinya berkecamuk. Antara ingin percaya, dan takut berharap terlalu jauh. --- Siangnya – Kantor Li Group Arsenio berdiri di depan jendela kaca kantornya, memandangi langit Jakarta yang mendung. Hari itu terasa berat. Meski Yolanda sudah mengundurkan diri, badai belum benar-benar berlalu. Kevin masuk, membawa dua berkas. “Satu untuk konferensi pers minggu depan. Satu lagi laporan investigasi baru dari divisi internal.” Arsenio membuka berkas kedua. Di sana, tercantum nama-nama pihak yang diam-diam bekerja sama dengan Red Lotus, termasuk beberapa nama dari investor minoritas. “Kita kebobolan di rapat pemegang saham,” gumamnya. Kevin mengangguk. “Tapi yang lebih penting… mereka tahu tentang bayi Aluna.” Arsenio menoleh cepat. “Apa maksudmu?” “Red Lotus dapat informasi bahwa kamu dan Aluna tidak hanya menikah kontrak, tapi juga akan punya anak. Mereka akan gunakan ini untuk menjatuhkan reputasimu. Menyebarkan gosip bahwa bayi itu hasil rekayasa demi mempertahankan bisnis keluarga.” Arsenio mengerutkan alis. “Bayi itu bukan alat. Dan Aluna... bukan pion. Aku nggak akan biarkan siapa pun sentuh mereka.” --- Sore Hari – Café Rahasia Aluna duduk berhadapan dengan Tia, sahabat masa kecilnya yang kini menjadi editor majalah gaya hidup. Tia baru saja kembali dari Singapura dan langsung menelepon Aluna untuk bertemu. “Jadi… kamu hamil anak CEO paling dingin se-Asia Tenggara?” goda Tia dengan mata membulat. Aluna menertawakan ucapan itu. “Sstt… pelan-pelan. Ini masih rahasia keluarga.” Tia menyandarkan badan ke kursi. “Aku cuma bisa bilang satu hal: kamu berubah, Lun. Kamu lebih tenang, lebih kuat.” “Aku harus begitu, Ti. Dunia tempat aku hidup sekarang... penuh tipu daya. Kalau aku lemah, aku bisa hancur.” Tia menatap sahabatnya lama. “Tapi kamu bahagia?” Aluna terdiam. Pertanyaan itu seperti menghantam hatinya yang paling dalam. “Kadang aku merasa bahagia, kadang aku cuma merasa... bertahan.” Tia meraih tangan Aluna. “Kamu harus tahu bedanya. Karena bertahan demi cinta... beda rasanya dengan bertahan karena tanggung jawab.” Aluna menatap sahabatnya. Kata-kata itu terus terngiang di benaknya. --- Malam Hari – Penthouse Ketika Aluna pulang, penthouse terasa sunyi. Arsenio belum pulang dari kantor. Ia berjalan ke kamar, melepas sepatu, dan meletakkan tas. Di atas meja rias, ada kotak kecil dengan pita merah. Aluna membuka kotak itu, dan di dalamnya terdapat kalung berliontin berlian kecil. Di balik tutup kotaknya, ada catatan kecil bertuliskan: > “Untuk istri dan calon ibu dari anakku. –A.H.” Aluna tersenyum. Tangannya gemetar saat menyentuh liontin itu. Ia tahu Arsenio bukan pria romantis. Tapi setiap tindakannya, sekecil apa pun, selalu berarti banyak. Namun di saat yang sama, suara ponselnya berbunyi. Nomor tak dikenal. “Hallo?” sapanya ragu. Sebuah suara wanita terdengar—dingin dan tajam. > “Kalau kamu pikir dia benar-benar mencintaimu, kamu bodoh. Dia hanya melindungimu karena tanggung jawab.” “Siapa ini?” > “Tanya Arsenio, kenapa dia menyembunyikan masa lalunya yang sebenarnya darimu. Tanya dia… tentang ‘Yelena’.” Klik. Telepon terputus. Aluna mematung. Yelena? Siapa itu? Dan kenapa nama itu terdengar... seperti luka yang tak pernah sembuh? --- Di Tempat Lain – Mobil Arsenio Dalam perjalanan pulang, Arsenio membuka galeri ponselnya. Sebuah foto tersimpan di folder rahasia: perempuan berambut hitam panjang, mengenakan gaun putih di pantai. Senyumnya manis. Matanya penuh cahaya. Yelena. Foto itu hanya ia lihat sekali dalam beberapa bulan terakhir, tapi malam itu… ia tak bisa menahan diri. “Maafkan aku,” bisiknya lirih. Mobil terus melaju dalam keheningan. Tapi hati Arsenio justru makin bising oleh ingatan yang selama ini ia kubur dalam-dalam. Keesokan Harinya – Pagi yang Sunyi Aluna duduk di meja makan, sarapan seorang diri. Biasanya Arsenio akan turun, minimal menyapanya sebelum berangkat ke kantor, tapi pagi ini hanya keheningan yang menemaninya. Pikirannya masih tertuju pada percakapan misterius semalam. Nama itu—Yelena—terus terngiang di benaknya. Siapa dia? Apakah dia mantan? Atau lebih dari itu? Ketika langkah kaki akhirnya terdengar, Aluna segera menoleh. Arsenio muncul dengan setelan kerja dan raut wajah serius. Ia terlihat tergesa. “Kamu nggak makan dulu?” tanya Aluna, mencoba terdengar biasa saja. “Ada meeting mendadak. Maaf ya,” jawab Arsenio sambil meraih jasnya. Aluna menatapnya, ragu-ragu. Tapi ia tak ingin diam. “Aku ditelepon seseorang tadi malam.” Langkah Arsenio terhenti. “Dia bilang… aku harus tanya tentang Yelena.” Tubuh Arsenio membeku. Matanya menatap Aluna, tak berkedip. Beberapa detik hening sebelum ia akhirnya berkata, “Jangan dengarkan omong kosong orang. Aku akan jelaskan semuanya… tapi tidak sekarang.” “Kenapa nggak sekarang?” desak Aluna. “Ada hal yang lebih penting yang harus aku urus hari ini.” Aluna menahan napas. “Kamu marah?” Arsenio menghela napas dalam. “Aku cuma… nggak siap.” Ia pun pergi, meninggalkan Aluna dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. --- Di Kantor Li Group – Sesi Rahasia Di ruang meeting tertutup, Kevin memasukkan flashdisk ke laptop Arsenio. Video rekaman dari kamera tersembunyi mulai diputar. Tampak Yolanda bertemu dengan pria dari Red Lotus di lounge hotel, menyerahkan dokumen tender yang sebelumnya hilang. “Bukti ini cukup kuat untuk membawa kasus ke ranah hukum,” kata Kevin. Arsenio mengangguk. “Tapi kita tunggu. Aku ingin tahu siapa dalangnya.” Ia menatap layar—tapi pikirannya tetap bercabang. Yelena. Nama itu membangkitkan luka yang belum sembuh. --- Flashback – Dua Tahun Lalu Yelena adalah tunangan Arsenio. Gadis cerdas, penuh tawa, dan satu-satunya orang yang mampu membuat pria itu tersenyum tanpa batas. Namun, Yelena meninggal dunia karena kecelakaan saat menghadiri event amal perusahaan. Mobilnya ditabrak lari. Hingga hari ini, pelakunya tak pernah ditemukan. Sejak saat itu, Arsenio menutup diri dari cinta. Ia tak ingin kehilangan lagi. Namun, kehadiran Aluna perlahan membuka pintu yang telah lama terkunci itu. Dan justru itulah yang membuatnya takut. --- Di Penthouse – Malam Hari Aluna duduk di ruang kerja Arsenio. Penasaran, ia mulai membuka laci-laci meja kerja suaminya. Ia tidak bermaksud melanggar privasi, hanya… mencari jawaban. Hingga akhirnya ia menemukan album foto kecil, disimpan di balik dokumen tebal. Ia membuka halaman pertama. Di sana, foto seorang perempuan berambut panjang, dengan senyum hangat, berdiri di samping Arsenio. Yelena. Hatinya seperti diremas. Halaman demi halaman penuh dengan kebersamaan mereka. Di pantai. Di pesta perusahaan. Di rumah keluarga. Semua foto itu... penuh kebahagiaan. Aluna menutup album dengan tangan gemetar. Ia merasa seperti penyusup. Perempuan pengganti. “Maafkan aku, Yelena…” bisiknya, meski ia sendiri tak tahu kenapa ia merasa bersalah. --- Keesokan Harinya – Kediaman Keluarga Li Madam Liana memanggil Aluna untuk sarapan bersama. Namun pagi itu, topik obrolan tidak sesantai biasanya. “Aluna,” kata Madam pelan. “Aku dengar kamu sudah tahu tentang Yelena.” Aluna terkejut. “Ibu tahu?” “Tentu. Dia tunangan Arsen sebelumnya. Kami semua mengira mereka akan menikah. Keluarga kami… kehilangan banyak saat dia pergi.” Aluna mengangguk, tak bisa berkata-kata. Madam Liana melanjutkan, “Aku tahu ini bukan hal mudah. Tapi kamu harus kuat. Kamu bukan bayang-bayang siapa pun. Kamu adalah dirimu sendiri. Dan kamu membawa kehidupan baru.” Aluna menahan air mata. Kata-kata itu menyentuhnya dalam. Tapi bagian dirinya tetap bertanya—apakah Arsenio mencintainya… atau hanya mencari penebusan? --- Di Kantor Red Lotus – Konspirasi Baru Hendra Wijaya membaca laporan intel Red Lotus tentang reaksi Aluna yang mulai goyah. “Bagus. Terus mainkan isu masa lalu. Perempuan yang ragu, akan mudah dibelah,” katanya dingin. Anak buahnya mengangguk. “Kami akan sebar narasi bahwa Aluna hanya pelampiasan CEO Li. Publik akan menelan cerita itu bulat-bulat.” Hendra tersenyum. “Kalau kita bisa menghancurkan dia secara emosional, maka Arsenio akan runtuh dari dalam.” --- Malam Hari – Kembali di Penthouse Arsenio pulang larut. Kali ini, Aluna menunggunya di ruang tamu. “Kita harus bicara,” katanya tegas. Arsenio terlihat lelah, tapi ia mengangguk dan duduk di hadapan Aluna. “Aku tahu tentang Yelena,” kata Aluna pelan. “Dan aku ngerti kalau kamu belum bisa sepenuhnya lepas darinya. Tapi kamu juga harus ngerti... aku bukan dia.” Arsenio terdiam. “Aku bukan pelarian, Arsen. Aku bukan pengganti. Dan aku nggak akan terus tinggal di sini kalau kamu masih hidup di masa lalu.” “Aku tahu,” bisik Arsenio akhirnya. “Dan aku minta maaf... karena selama ini aku terlalu takut kehilangan, sampai lupa caranya memberi tempat untukmu.” Ia menggenggam tangan Aluna. “Tapi sejak kamu datang… kamu bukan hanya mengisi tempat kosong. Kamu membentuk tempat baru di hatiku.” Aluna menatapnya, dan untuk pertama kalinya… ia percaya. Mungkin cinta tak selalu datang dengan janji manis. Kadang ia hadir lewat luka, lewat keheningan, dan lewat keberanian untuk melepaskan masa lalu.Penthouse Li Tower – Detik Penentu“Goodbye, Mrs. Li.”Suara dingin Black Rose bergema di kamar bayi itu, seiring jarinya menekan pelatuk pistol berperedam. Namun di detik yang sama—> BRAKKK!!!Pintu kamar bayi diterjang brutal oleh Yong Xi dan tiga Shadow Guard bersenjata lengkap. Peluru Black Rose meleset, menancap di bingkai kayu lemari. Ia berbalik cepat, menembak ke arah mereka tanpa ragu.> DOR DOR DORShadow Guard berlindung di balik dinding, membalas tembakan dengan senapan assault mereka. Peluru berdesing menembus tembok drywall, membuat serpihan gypsum beterbangan. Aluna menjerit, menutupi kepala bayinya sambil merapat di sudut ruangan.---Black Rose – Pembunuh Tanpa Rasa TakutDengan gerakan lincah bagai panther, Black Rose menendang lemari ke arah Shadow Guard untuk menghalangi pandangan mereka, lalu melompat keluar jendela kamar bayi menuju balkon. Kakinya mendarat tanpa suara di besi balkon sempit lantai 100 itu.Matanya menyipit menatap helikopter Shadow Guard yang be
Li Tower – Pagi yang BerbedaPagi itu, suasana kantor pusat Li Group dipenuhi aura kemenangan. Para direksi dan karyawan senior menatap Arsenio dengan hormat saat ia berjalan melewati lorong utama menuju ruang rapat eksekutif. Mereka tahu, semalam CEO mereka telah menumbangkan organisasi mafia terbesar di Beijing hanya dalam satu malam.Di ruang kerjanya, Arsenio duduk menatap laporan saham Li Group yang meroket 12% sejak pagi. Kevin masuk membawa secangkir kopi hitam.“Bos, semua media memuji langkah cepat Li Group menumpas Red Lotus. Anda kini dijuluki ‘The Untouchable CEO’ di berbagai headline bisnis Asia Timur.”Arsenio menatap layar laptopnya tanpa ekspresi. “Semakin tinggi kita terbang… semakin kuat angin yang akan menjatuhkan kita.”---Shadow Guard – Laporan Ancaman BaruKomandan Shadow Guard, Yong Xi, masuk dengan raut serius. Ia meletakkan map hitam di meja Arsenio.“Bos, tim IT kami melacak sumber dana utama Red Lotus. Ternyata mereka hanya front kecil dari organisasi yang
Pagi yang Mencekam – Li MansionPagi itu, Aluna menyiapkan sarapan di dapur saat Arsenio turun mengenakan setelan jas abu-abu gelap. Matanya menatap Aluna tanpa ekspresi, tapi tatapannya tajam dan menusuk.“Besok kita pindah ke penthouse Li Tower,” katanya singkat sambil mengambil cangkir kopi yang baru diseduh Aluna.Aluna menoleh cepat. “Kenapa mendadak sekali?”Arsenio menatapnya lama sebelum menjawab pelan, “Karena rumah ini sudah terlalu banyak dihuni mata-mata.”---Red Lotus – Publikasi VideoSementara itu, di markas Red Lotus, Sienna menekan tombol ‘send’ di laptopnya dengan senyum puas. Video rekaman Adrian dan Aluna di taman belakang mansion langsung terkirim ke puluhan media gosip dan influencer ternama di Beijing.“Dalam dua jam, reputasi mereka akan hancur,” ujar Sienna sambil meneguk kopinya.Hendra berdiri menatap layar, matanya menatap dingin nama-nama portal media yang menayangkan berita itu secara real-time.> “Istri CEO Li Group Ketahuan Berselingkuh dengan Mantan K
Li Mansion – Pagi yang PalsuMatahari pagi menembus tirai putih kamar utama Li Mansion. Di meja rias, Aluna menatap pantulan wajahnya yang semakin pucat. Lingkar hitam di bawah matanya semakin tebal karena malam-malam tanpa tidur. Ia menoleh ke ranjang, mendapati Arsenio masih tertidur dengan wajah lelah. Sejak kemarin, Arsenio pulang larut malam setelah rapat darurat dengan tim Shadow Guard dan dewan direksi Li Group.Aluna berdiri, membetulkan gaun santainya, lalu menatap suaminya lama.> “Aku nggak boleh jadi kelemahanmu, Sen…”---Li Group HQ – Strategi BalasanJam 08.00, Kevin menampilkan laporan investigasi Adrian Wijaya di layar proyektor ruang kerja Arsenio.“Dia anak tunggal pemilik Wijaya Group di Singapura. Kekayaannya lumayan, tapi masih jauh dibanding Li Group. Riwayatnya bersih, kecuali satu kasus pelanggaran etika profesional saat magang di Hong Kong dulu, namun berhasil diselesaikan oleh ayahnya sebelum jadi skandal.”Arsenio menatap layar itu dengan mata tajam.“Tidak
Markas Red Lotus – Rapat DaruratPagi itu, Hendra duduk di meja rapat utama markas Red Lotus. Di sampingnya, Sienna duduk dengan kaki diperban, menatap layar proyektor yang menampilkan foto Zhang Wei dengan tulisan besar:> “Zhang Wei Ditemukan Tewas di Sungai – Dugaan Bunuh Diri”Hendra mengetuk meja pelan, suaranya terdengar serak menahan amarah. “Dia benar-benar membunuh Zhang Wei…”Sienna menatap Hendra tajam. “Arsenio semakin berbahaya. Kita tidak bisa lagi hanya menekannya dari sisi politik atau bisnis.”“Kalau begitu, kita tekan dia dari sisi keluarga,” desis Hendra sambil menatap foto Aluna di layar lain.“Dan… kita akan panggil dia.”Sienna menoleh cepat. “Dia…? Kamu yakin?”Hendra tersenyum kecil. “Kita butuh pion yang bisa membuat Aluna goyah. Arsenio mungkin kebal pada ancaman nyawa, tapi tidak pada ancaman hati istrinya.”---Li Mansion – Pagi yang TenangSementara itu, di Li Mansion, Aluna sedang duduk di ruang makan sambil menyuapi bayi mereka dengan bubur. Tatapannya t
Li Mansion – Pagi yang MembekuUdara pagi ini lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menutupi taman lavender di halaman belakang Li Mansion. Dari balkon kamar utama, Arsenio berdiri mematung dengan mata tajam menatap jauh ke arah kota yang mulai sibuk. Matanya kosong, namun di balik tatapan itu berkecamuk badai dendam yang menunggu dilepaskan.Di dalam kamar, Aluna sibuk memandikan bayi mereka. Sesekali ia melirik suaminya yang berdiri membelakangi mereka. Ada aura gelap yang terpancar dari Arsenio hari ini, lebih pekat dibanding hari-hari sebelumnya.“Sen…” panggilnya pelan.Arsenio tidak menoleh. Suaranya terdengar datar dan berat, “Aku harus pergi pagi ini.”Aluna menatapnya cemas. “Kamu mau ke mana?”Arsenio menghela napas panjang sebelum akhirnya menoleh. Tatapannya tajam namun menyimpan kesedihan yang dalam.“Ke tempat masa lalu yang belum pernah selesai.”---Li Group HQ – Persiapan EksekusiJam 08.00, di ruang kerja lantai 59, Kevin menyerahkan berkas laporan keuangan Zhang W