Suasana ruang keluarga masih menegang. Kai berdiri terpaku di samping Queen, wajahnya tertunduk, bekas merah tamparan Gala masih jelas di pipinya. Vanda menatap keduanya dengan mata basah, tangannya berulang kali menyentuh lengan putranya seakan ingin melindungi.Queen ingin berkata sesuatu lagi, tapi sebelum sempat, suara Sultan memotong hening itu.“Cukup.” Suaranya tenang, tapi dalam, membuat semua kepala refleks menoleh ke arahnya.Sultan melangkah maju, berdiri di tengah ruangan. Tatapannya menyapu Gala, Vanda, lalu berhenti di Kai. “Untuk malam ini, semua sudah selesai. Kai tetap di sini bersama Papi dan Mami.”Kai mendongak, matanya bergetar. “Tapi, Bang…”Sultan menggeleng pelan. “Tidak ada ‘tapi’. Besok kita pikirkan langkah berikutnya.”Queen menoleh cepat ke arah Sultan. “Aku bisa tinggal di sini dulu. Setidaknya menemani Kai.”Sultan menatapnya singkat, lalu menggeleng. “Tidak. Kau ikut denganku.”Nada suaranya tidak meninggi, tapi jelas sebuah keputusan, bukan tawaran.Qu
Rivando menatap Sultan lurus, sorot matanya keras. “Kau selalu begitu. Berlindung di balik wibawa, seolah semua orang harus tunduk. Tapi kali ini berbeda. Yang terlibat adalah keluargaku.”Sultan mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Dan yang kau hadapi adalah aku.”Queen menahan napas, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia ingin bicara, tapi atmosfer di antara keduanya begitu pekat, seakan satu kata saja bisa memantik api.Rivando mendekat setengah langkah, suaranya turun tapi lebih tajam. “Aku akan pastikan kakekku tidak jadi korban permainanmu.”Sultan balas menatap tanpa bergeming. “Dan aku akan pastikan adikku tidak jadi tumbal untuk kebencian lamamu.”Ketegangan itu terhenti sejenak ketika pintu ruang pemeriksaan terbuka. Patra keluar, membawa map di tangannya. Wajahnya tetap tenang, tapi jelas situasi panas di depan matanya tidak luput dari perhatian.“Maaf mengganggu,” ucap Patra, nadanya sopan tapi cukup kuat untuk memotong. Ia menoleh pada Sultan. “Tuan, pemeriksaan
Petugas mengetik cepat di laptop, suara ketukan tuts terdengar jelas di ruangan yang tiba-tiba terasa terlalu sempit. Kai duduk kembali, masih pucat, tangannya gelisah meremas ujung celana.Patra berdiri di sampingnya, tubuh tegapnya memberi kesan tenang. “Baca dulu setiap kalimat sebelum tanda tangan. Jangan terburu-buru,” ucapnya pelan pada Kai.Kai mengangguk cepat. “Iya, Pak.”Sultan berdiri sejenak memperhatikan, lalu menoleh ke Queen. “Kita keluar.”Queen sempat ragu, matanya menatap Kai. Tapi Sultan menyentuh lengannya sebentar, bukan menarik, hanya isyarat. Queen akhirnya bangkit, dan mereka keluar dari ruang pemeriksaan.Di koridor, lampu neon putih terasa menusuk mata. Kursi tunggu berjejer, sebagian kosong. Queen duduk pelan, tasnya dipangku erat. Sultan tetap berdiri, kedua tangannya masuk ke saku celana, pandangan lurus ke dinding seakan sedang membaca sesuatu yang tak tertulis di sana.Beberapa menit hening. Queen akhirnya bicara, suaranya rendah. “Kenapa sepertinya semu
Suasana di ruang kerja itu hening. Sultan duduk di samping Queen, matanya menyapu cepat lembar-lembar yang terbuka di meja. Queen menunjuk beberapa catatan kecil yang ia buat dengan pensil, menjelaskan singkat.“Kalau mereka terus ngotot dengan valuasi segitu, aku yakin opsi partnership transisi bisa jadi jalan tengah,” ucapnya.Sultan mengangguk tipis, sorot matanya masih fokus. “kamu cepat belajar.”Queen hendak menanggapi, tapi suara ketukan pintu keras tiba-tiba memecah keheningan. Tanpa menunggu izin, Nala masuk kembali. Wajahnya tampak lebih tegang dari sebelumnya, nafasnya sedikit terburu.“Tuan, Nyonya,” ucap Nala cepat, “barusan ada telepon masuk. Dari kantor polisi.”Queen langsung menegakkan tubuh. “Polisi? Ada apa?”Nala menatap Queen sejenak sebelum menjawab, “Tuan Kai, adik Nyonya. Beliau sekarang sedang ditahan untuk dimintai keterangan.”Queen berdiri mendadak, kursinya bergeser keras ke belakang. “Apa? Kenapa Kai bisa di sana?”“Pihak kepolisian bilang masih terkait k
Queen mendorong pintu ruang kerjanya pelan. Begitu masuk, aroma kopi segar langsung tercium. Nala sudah berdiri di sisi meja, sedang merapikan berkas yang sejak pagi tertumpuk.“Siang, Nyonya,” sapanya lembut.Queen menutup pintu di belakangnya dan menaruh map di atas meja dengan sedikit keras. “Siang.” Nada suaranya terdengar berat, masih terbawa sisa ketegangan di koridor tadi.Nala menoleh, alisnya terangkat tipis. “Rapatnya lancar?”Queen melepas napas panjang, lalu menjatuhkan diri ke kursi. “Kalau bisa disebut lancar.” Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menatap langit-langit sebentar. “Aku tidak tahu apakah aku baru saja dipuji atau sedang dijadikan alat.”Nala diam sesaat, lalu mendekat. Ia menuangkan kopi ke cangkir yang sudah disiapkan. “Mungkin keduanya, Nyonya. Tuan Sultan bukan orang yang memberi peran tanpa alasan. Kalau Nyonya diminta ikut dalam proyek itu, berarti ada sesuatu yang ia lihat.”Queen menerima cangkir dari tangan Nala, menatap uap yang naik dari perm
Suara jam dinding berdetak keras di ruang itu, padahal sebenarnya biasa saja. Queen menunduk, menarik napas dalam untuk menenangkan dirinya. Ia baru saja beradu kata dengan Sultan, sesuatu yang belum tentu pintar untuk dilakukan, tapi kata-kata sudah terucap.Sultan memutar kursinya sedikit, menatap ke arah jendela tinggi di belakang meja. Cahaya sore menyusup, membuat bayangan tubuhnya jatuh panjang ke lantai. Sesaat ia diam, lalu suaranya terdengar, rendah tapi jelas.“Menurutmu,” katanya, masih menatap keluar, “keluarga Kalatama ini seperti apa?”Queen tertegun, tidak menyangka pertanyaan itu muncul. “Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan itu?”Sultan berbalik kembali, pandangannya menusuk. “Jawab saja.”Queen menarik kursi di depannya dan duduk. “Keluargamu penuh aturan. Tegas, terstruktur. Tapi juga terasa seperti tidak ada ruang untuk kesalahan. Semua orang harus sempurna, atau setidaknya tampak sempurna.”Alis Sultan bergerak tipis. “Dan kamu pikir itu buruk?”Queen menatapnya balik