Share

bab 5

Penulis: Author Rina
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-04 08:49:04

“Oalah jare orang kaya, hartanya banyak. La kok beli panci aja kredit, itu beneran kaya atau borongan,” ucapku meledak yang membuat wanita bernama Saminah itu seketika wajahnya berubah merah padam.

“Kamu itu Yo Men, nagih itu mbok ada sopan-sopannya. Tahu kondisi, bikin malu saja!” Geram wanita setengah tua itu pada lelaki yang tadi menagih hutang panci.

“La Mbok De ya susah kok, capek aku nagihnya,” balas tukang panci tadi yang membuat wanita bernama Saminah itu makin geram.

“Halah Mbok De Saminah gak usah malu-malu. Kalau memang punya hutang ya ngaku aja punya hutang, gak papa kok,” balasku.

“Dasar, awas Yo kamu. Mantune Darti.”

Wanita itupun pergi meninggalkan kami. Sementara aku segera mengajak adik ipar dan mertuaku pergi.

“Naik grab bisa gak ya?”tanyaku.

“Gak bisa mbak. Wong desa ini terpencil kok,” jawab Nur.

“Walah terus piye, kudu jalan ya,” ujarku. Ngilu juga membayangkan jalan melalui jalan berliku seperti ini. Mana banyak kotoran sapi sama kambing lagi.

“La iya mbak,” jawab Nur.

‘Aduh nasib. Harusnya ini ada Elias yang bantu aku, ini malah entah kemana tu laki. Setelah mengantar aku pulang kampung malah pergi begitu saja meninggalkan aku. Gak sopan banget kan.

Aku terus berjalan dengan hati-hati karena takut kena ranjau kotoran kerbau dan kambing. Nasib punya suami orang kampung.

“Wah Lek Darti mau kemana?”sapa seorang warga yang naik motor jadul dengan membawa rumput di belakangnya.

“Ini mau ke toko besar, Le,” jawab ibu.

“Mau ke mall lek, mall yang gede itu di kota,” sahut Nur.

“Halah mau ngapain to sampean ke sana. Mau maling? La wong di sana Loh apa-apa mahal, jenenengan tumbas baju di pasar saja gak sanggup gitu kok,” ejek lelaki itu.

Weh kukira dia beda dengan yang lain ternyata sama saja, mulut lemes suka menghina.

“Iya to Le. Aku gak ngerti je. Ini istrinya Elias yang ngajak ke mall,” jawab Ibu.

Pemuda dengan wajah gelap segelap hatinya itu menoleh ke arahku.

“Mbak istrinya Elias to?”

Aku mengangguk, malas sekali aku membuka mulut sama pemuda gak punya sopan santun seperti dia.

“La kok mau to sampean sama Elias mbak. Sampean Lo cantik, mending sampean sama aku mbak, jadi istri kedua ku. Sawahku loh banyak loh mbak, sapi ya banyak,” ucap pemuda enteng yang sanggup membuat emosi ku meledak. Ada manusia macam ini, menghina terang-terangan begini.

“Sampean nek jadi istriku enak mbak, tinggal di rumah momong anak, aku yang kerja. Enak to, beda kalau jadi istri nya Elias, makan rendang saja harus makan rendang sisa!” Ejeknya.

“Ya Allah, Di. Kamu kok Yo tega to ngomong begitu. Kamu Lo keponakan ku. Kalau dia mau sama Elias ya emang sudah jadi jodohnya Elias,” jawab ibu mertua..

“Heleh paling juga Elias ngakunya banyak harta makanya dia mau sama Elias.”

Ibu tampak kesal, wajah merah padam

“Wes mbak, gak usah di ladenin orang sinting itu. Ayo pergi!” Perintah Nur dan kami pun mengangguk setuju.

Kami bertiga segera melangkah pergi meninggalkan lelaki yang tidak memiliki adab itu. Aku sendiri heran kenapa di kampung ini isinya adalah orang-orang berhati dengki dan memiliki mental menghina orang lain.

Para tetangga itu kok gak ada empatinya ya. Justru mereka seolah menghina itu hal wajar.

Kami bertiga segera melangkah pergi meninggalkan lelaki yang tidak memiliki adab itu. Aku sendiri heran kenapa di kampung ini isinya adalah orang-orang berhati dengki dan memiliki mental menghina orang lain.

“Mbak, kalau mau sama tawaranku nanti tak tunggu di perempatan ya. Wes to beres pokoke, sampean mau jadi istri pertama Yo aku mau!”

Aku yang geram menghentikan langkah, sepertinya aku sudah tak bisa menahan emosi lagi. Aku harus membalas hinaanya. Namun, saat aku menoleh

“Hoi lihat di belakang kamu!” Teriakku pada pemuda itu ketika segerombolan kambing memakan dan menarik rumputnya.

“Loh hus, kambinge sopo to iki.” Pria itu berusaha mengusir kambing yang memakan rumputnya. Namun, bukannya pergi samping kami itu justru semakin brutal menarik-narik rumput yang dia bawa, hingga akhirnya dia hilang keseimbangan dan jatuh terperosok ke dalam sawah yang penuh lumpur dan kotoran sapi.

“Dasar kambing edan!” Teriaknya sementara aku dan Nur tertawa melihat lelaki itu jatuh ke dalam lumpur.

“Rasakno!” Teriak Nur sambil tertawa dan Ibu pun ikut tertawa.

Kami pergi setelah itu dan ya ampun benar-benar ujian karena ternyata kami berjalan cukup jauh. Aku yang tak pernah jalan kaki sejauh ini, tentu saja merasa lutut terasa lemas. Syukurlah setelah itu kami cukup mudah memesan grab dan akhirnya membawa kami ke mall. Setelah beberapa saat diperjalanan Akhirnya kamipun sampai di mall.

“Ndok Iki ke mana to, katanya mau beli baju kok malah ke tempat begini. Mana gelap, ini tempat apa?”tanya Ibu karena kami memang lewat area parkir yang memang kurang cahaya.

“Ibu Iki piye to. Kan tadi mbak Miranda sudah bilang kalau kita mau ke mall.”

Ibu bingung sebentar. Namun, segera aku jelaskan bahwa inilah mall.

“Oalah, la Ibu setua ini baru tau kalau mall ini begini. Ibu taunya ya Cuma toko,” ucap Ibu mertua.

“Ini juga toko, Bu. Cuma memang skalanya lebih besar. Hampir mirip pasar Cuma lebih tertata,” jawabku menjelaskan. Walaupun gak tau apakah penjelasan aku ini benar atau tidak.

Akhirnya kami segera masuk dan drama kembali di mulai saat kami akan pergi ke lantai atas. Nur maupun Ibu tampak diam dengan wajah pucat.

“Loh kenapa, ayo naik. Soalnya baju-baju dewasa ada di atas,” ujarku sok tau karena memang ini adalah pertama kalinya aku ke sini.

“Ah takut ibu ndok. Takut kalau kali ibu kejepit,” jawab Ibu.

“Iya mbak. Aku ya takut e. Kita cari tangga aja yok.”

Aku garuk kepalaku pelan.

“Mana ada tangga Nur. Bisa pingsan naik tangga setinggi itu,” jawabku.

“La terus piye iki, mbak?”

‘Aduh nasib, payah juga kalau wong deso masuk ke mall.’

Aku diam sejenak hingga akhirnya bertanya sama satpam untuk mencari lif untuk naik ke atas. Walaupun lif di mall memang agak ribet.

_

“Sekarang ibu sama Nur pilih-pilih saja baju yang ibu suka. Itu ada banyak gamis sama jilbab.”

Aku memang sengaja membawa ke tempat di mana banyak gamisnya.

“Wah bagus-bagus ya, mbak,” ucap Nur.

“Iya. Makanya aku bawa kalian ke sini, soalnya pas baru sampai dulu aku sempat mampir ke sini,” ujarku.

“Tapi kayake mahal-mahal mbak,” ucap Nur lagi.

“Wes gak papa, pokoknya kalian pilih saja!”

Akhirnya Ibu dan Nur segera memilih pakaian yang aku inginkan. Sementara mataku segera tertuju pada gamis warna coklat muda yang terga

ntung di lemari kaca.

“Kelihatannya bagus ini,” gumamku.

“Astaghfirullah!”

Loh Ibu ada apa itu, kenapa teriak begitu?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Kontrakku Ternyata CEO Kaya   bab 11

    "Ya salah to. Kamu loh ngupasnya itu tebal-tebal, bisa rugi dong kami kalau kamu ngupasnya tebal begini. Aturan kentang sekilo bisa buat 40 orang ini cuma dapat 30 orang. Gimana sih kamu."Aku menarik napas," yaelah ketimbang begitu doang. Kurang ya beli lagi lah, katanya kaya. Anaknya tentara, satunya punya toko gede, masa iya kentang saja gak mampu beli. Jangan pelit-pelit mbak, jadi orang nanti mati kuburnya sempit," ujarku.Kesal sekali aku sama dia, ketimbang ngupas kentang aja, ribet."Eh dibilangin malah berani, nanti kalau kurang mamanya Kamu mau tanggung!""Halah ketimbang kentang doang nanti aku belikan satu truk!" Kesalku. Wanita itu pergi dengan wajah yang terlihat kesal sementara aku membantu ibu mengupas kentang. Beruntung Nur datang."Kamu dari mana sih Nur. Ibu dari tadi kerja sendirian kamu kok malah hilang?"tanyaku pada Nur yang langsung duduk di hadapanku. "Gila itu Mbok De Saminah. Masa aku disuruh ngadahi snak 200 kotak. Mana nggak ada yang bantu lagi," kesal Nu

  • Istri Kontrakku Ternyata CEO Kaya   bab 10

    "Kalian bantu-bantu di depan saja sama yang lain, jangan di sini. Kotor," ucap Ibu pada aku dan Nur.Memang ini adalah dapur kayu, asap mengepul di mana-mana. Belum lagi suasananya yang panas. Tapi, aku gak tega dengan ibu mertua. "Darti! Kok malah bengong to. Ini cepat di sayur!" Mbok De Saminah kembali memerintah selayaknya majikan. "Wes Ibu tak kerja dulu." Ibu dengan tubuh kurusnya berjalan menuju tumpukan sayur yang belum dikupas dan juga daging. Heran kenapa ibu sendiri yang mengerjakan."Sini Bu aku bantu."Aku meraih sayur dan membantu mengupas kentang. Tak terasa aku hatiku pilu, apa karena orang miskin ibu mertuaku diperlakukan begini. Di sini ada banyak orang, tapi mereka hanya ngerumpi tanpa mau membantu. "Eh itu, menantune Darti yang katanya kaya. Aku Kok ragu orang kaya kok mau rewang," ucap salah seorang warga. "Halah paling yo pekerja pabrik, gayanya aja selangit. Lagian loh Elias itu kan cuma sopir, mana ada orang kaya yang mau sama dia," cemooh warga yang lainn

  • Istri Kontrakku Ternyata CEO Kaya   bab 9

    "Eh iya Nak Miranda, ibu yang rumahe depan mbah Saminah," jawab orang itu."Terus tadi sampean suruh ibu saya apa? Pinjamin sampean uang. Maaf ya, daripada uang saya pinjamkan pada manusia gak punya hati seperti anda. Lebih baik aku masukkan kotak amal lebih berguna," ucapku yang membuat wanita itu wajahnya merah seketika."Wow dasar sombong, paling kamu di kota ya cuma buruh pabrik, pasti gak lebih kaya dari anakku. Anakku loh polisi!""Yowes ngapain utang kalau anak sampean kaya, mintalah sama anak sampean!" Sengitku kemudian pergi.Ya Ampun, mau ibadah aja ada aja halangannya.Acara Yasinan di kampung berlangsung seru. Karena ternyata bukan hanya ajang ibadah tapi juga ajang gosib ibu-ibu. "Eh Lek Darti kok tumben ke pengajian," celetuk orang yang duduk di belakang kursiku. "Iya, biasanya kan gak di undang," jawab warga lain. "Ouh itu mungkin, karena gamisnya baru.""Kok kamu tahu kalau gamis Lek Darti baru?""Ya baunya aja masih baru gitu kok. Tumben Lek Drti bisa beli gamis ba

  • Istri Kontrakku Ternyata CEO Kaya   bab8

    ku segera mengambil benda apa saja, ibu mengambil sapu sementara Nur mengambil arit yang biasa dipakai Ibu kalau untuk pergi ke sawah. Walaupun takut, tapi kami berusaha kuat. Dengan hati-hati kami mendekati bayangan yang tak jelas wajahnya karena lampu temaram itu. Satu, dua, tigaAku memberi aba-aba untuk bertindak dan kami semua mengacungkan senjata. "Apa-apaan sih kalian, ini aku!" Aku melotot "Elias," ucapku."Iyalah, kamu pikir apa. Maling!" Sinis lelaki itu," makanya punya mata itu dipakai, jangan asal ngeklaim orang maling. Coba kalau terjadi apa-apa, kan susah!" Lanjutnya sengit. "Lah mana aku tahu, orang gak kelihatan kok," ucapku. Entah kenapa sopirku ini sangat menyebalkan setelah menjadi suami kontrakku. "Matamu saja yang rabun," gumamnya," mana kunci, Bu."Ibu mengeluarkan kunci dan membuka pintu. Aku yang kesal langsung menuju kamar dan menguncinya rapat-rapat. Dasar Kanebo kering, sekalinya ngomong cuma nyakitin. "Elias, kamu kok gitu sih sama istri. Gak baik ta

  • Istri Kontrakku Ternyata CEO Kaya   bab 7

    Loh bukannya kalau acara Yasinan itu semua boleh datang ya?” tanyaku,” keknya sih,” lanjutku bergumam. Karena aku juga gak pernah datang ke acara seperti ini.“Ya harusnya begitu, mbak. Tapi nyatanya tidak dengan kami.” Nur menunduk sedih. “Memangnya gimana Nur?”tanyaku penasaran.“Ya karena kami miskin mbak, makanya kami gak..”“Nur, sudah. Gak baik bicara seperti itu. Sudah nasib kita jadi orang gak punya,” tegur Ibu yang membuat Nur tak melanjutkan ucapannya.“Ya udah. Kapan acara Yasinan? Nanti kita datang, nanti mbak ikut. Kalau ada yang macam-macam biar mbak yang jawab,” ucapku. “Beneran, mbak. Ya Allah mbak seperti malaikat bagi kami.”Nur memelukku sementara aku tiba-tiba saja air mata menetes tanpa aku komando._Waktu menunjukkan pukul 10 malam saat aku masuk ke dalam kamar. Perhatianku tertuju pada hp yang belum aku sentuh dari pagi tadi. Ada beberapa pesan dari teman-temanku. [Hoi monyet gunung, lo kemana sih?] tanya teman akrabku yang bernama Virda. Aku tak ingin memba

  • Istri Kontrakku Ternyata CEO Kaya   bab 6

    “Ono opo to Bu?”tanya Nur yang kaget mendengar teriakkan Ibunya. “Iki Lo, la kok mahal banget. Masa harganya 500 ribu,” jawab ibu dengan wajah kaget. “Oalah, Bu. Mbok Ojo deso to. Namanya juga di mall,” ucap Nur. Sementara aku hanya tersenyum melihat tingkah mertuaku.Tiba-tiba seorang wanita berpakaian khas pegawai mall mendekat. “Maaf, Bu kalau mau minta-minta jangan di sini ya. Ini mall bukan pasar!” What? Aku segera mendekat, ini tak bisa dibiarkan.“Loh kami ini mau beli je mbak, bukan mau minta-minta,” ucap Nur.“Aduh, mending kalian ke pasar saja deh. Di sana mahal-mahal!” Kutatap wajah SPG itu, ada tenaga penjual seperti itu.“Ada apa mbak?”tanyaku pada pelayan tadi. “Ini loh mbak, la wong dari pakainya aja deso. Kotor dan bau, la kok bisa-bisanya masuk mall sini. Kan gak ngenakin penununjung,” jawab SPG itu menghina.“Ibu sama Nur mau baju yang mana?”tanyaku to the poin tanpa melihat wajah SPG tadi “Ndak usah nak Miranda, mahal,” jawab Ibu sungkan.“Gak papa, ibu pil

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status