Share

Chapter 4

Pagi-pagi sekali, bahkan tak biasanya Nessa bangun kesiangan seperti ini. Mungkin ini adalah pengalaman pertama tidur di rumah mewah milik pria bernama Ree. Sekali lagi matanya dikucek, memastikan bahwa Nessa tidak sedang bermimpi. 

Rasanya seperti Cinderella yang tiba-tiba saja bertemu pangeran tampan. Harus diakui, Ree memiliki kriteria yang diidam-idamkan semua wanita termasuk dirinya. Ah tapi, pria itu terlalu misterius. 

Baginya, malam itu, malam di mana ia menyerahkan kehormatannya pada Ree memang bukan salah pria itu seutuhnya. Mereka sama-sama mabuk dan bahkan, Nessa tak ingat jelas bagaimana dia bisa berakhir seranjang dengan Ree. 

"Non, boleh bibi masuk?"

Nessa terburu-buru merapikan penampilannya lalu membuka pintu. "Masuk saja, Bi, nggak dikunci kok."

Kebetulan Ree memang sudah bepergian dan jarang pulang, hanya beberapa kali saja dalam seminggu. 

"Sarapannya sudah siap, tapi tadi tuan Ree menitipkan pesan."

"Oh ya? Apa, bi?"

"Itu.. Katanya maaf tidak bisa menemani nona sarapan."

Nessa tersipu malu, cepat-cepat menyembunyikan pipi meronanya. Stop, Nessa! Dia hanya pria asing yang kebetulan masuk kategori pangeran impianmu. 

Ia buru-buru turun ke lantai bawah, mengajak sekalian bibi untuk bergabung di meja makan. Terlalu luas, bahkan macam-macam makanan sudah tersaji lengkap. Orang kaya memang begitu, hanya memakan saat perutnya kenyang dan sudah tidak peduli lagi dengan makanan yang belum tersentuh. Mubadzir! 

Baru saja menguyah suapan ketiga, sosok pria asing menyapanya. Ia terpaksa tersenyum, Nessa bukan tipe orang yang judes, hanya saja Gerald terlalu fuckboy diajak berkenalan. 

"Seperti yang dibilang Ree, gue teman baiknya. Lu Nessa ya? Cantik juga," puji Gerald sengaja. 

Tapi Nessa hanya datar. Tidak terkecoh sama sekali dengan tabiat buruk pria model Gerald begini, pasti cuma umbar janji sana-sini tanpa ditepati. 

"Hubunganmu dengan Ree apa? Kerabat? Mustahil, gue hafal semua kerabat sampai leluhurnya. Pacar? Setahu gue, Ree terakhir jatuh cinta itu tiga tahun yang lalu, gak tahu sekarang apa masih punya sel cinta di otaknya."

"Anda berisik sekali."

Gerald tertawa, tidak merasa mengganggu Nessa yang masih ingin menikmati makanannya. Tapi demi sopan santun karena pria di hadapannya adalah teman Ree, Nessa tidak sampai mencibirnya. 

"Haha, tapi meskipun berisik gue bisa tenang kok di situasi tertentu."

Lagi-lagi ekspresi nakal Gerald membuat Nessa tidak nyaman. Meskipun ia sendiri tidak yakin apakah Ree pria yang baik, tapi setidaknya Ree masih bisa dianggap pria cool. Tidak cerewet dan menyebalkan seperti Gerald. 

"Ree ke mana? Apakah dia selalu pergi tanpa sarapan, Bi?"

"Dia memang seperti itu. Di otaknya hanya tercipta sel-sel untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Anywhere, anytime. So, kayaknya kamu bakalan jarang bertemu dengannya."

Yang ditanya siapa yang nyambar duluan siapa. Tapi tak masalah, itu tandanya Ree memang sedekat itu dengan Gerald. Dari tampang Ree, Nessa yakin bahwa pria itu tak sembarang bisa percaya dengan seseorang. 

Usai makan, Nessa memilih kembali ke kamar. Ia terperanjat kaget saat Gerald ikut masuk, meskipun hanya berdiri di dekat pintu tapi tetap saja tidak nyaman bukan? 

"Apa maumu?"

"Tidak ada. Hanya melihatmu saja, jujur, gue penasaran. Kenapa Ree bisa membawa wanita pulang ke rumahnya, padahal setiap dia bersenang-senang dengan para jalangnya, dia tak pernah mengingatnya. Lalu kamu?"

"Jalang?"

Nessa berpikir buruk, apakah dirinya termasuk jalang di hidup Ree? Kenapa menyesakkan sekali memikirkannya? Ah, Tuhan! Takdir yang pelik dan memilukan. 

Gerald sudah berpindah ke sofa, duduk dan sesekali melihat buku-buku yang sudah tertata rapi di dekat rak dinding yang terpasang. 

Nessa juga menyukai cara pria itu mengkombinasi tempat tidur dengan ruang santai, bisa sambil baca buku, hanya saja bacaan Ree sama sekali tak bisa masuk di akal Nessa, ketinggian. Mana paham Nessa akan dunia bisnis dan seisinya? 

"Asal kamu tahu ya, gue sama Ree bukan pria yang suci. Ya meskipun lebih buruk gue ke mana-mana sih, gue buaya dan gue mengakuinya."

"Dan kamu membanggakannya." cerca Nessa dengan gaya kesalnya. 

Gerald tertawa untuk yang ketiga kalinya. Baginya, Nessa adalah wanita pemberani yang bisa menjadi lawan bicara yang menarik. Bahkan Gerald bisa menyangka kalau Nessa juga punya kemampuan jago di ranjang. 

Tapi sayang, pria itu tak pernah terjebak cinta segitiga dengan wanita yang hadir di hidup Ree. Soal setia kawan, Gerald ahlinya. Meskipun dia sendiri tak yakin apakah Ree menyukai Nessa sebagai wanita atau hanya teman penghibur saja. 

"Intinya, satu hal yang harus kamu inget, Ness. Seandainya kamu jatuh cinta dengannya, kamu gak akan menyesal. Hanya saja, mungkin akan banyak kendala."

Gerald pergi, tak memberikan penjelasan lebih rinci dan Nessa hanya sibuk dengan pikirannya sendiri. 

***

Hanya karena ada wanita asing di rumahnya, Ree menjadi pria yang bahkan melupakan rapat juga janji makan siangnya dengan beberapa klien proyek besar. 

Bisnisnya memang maju dan terdepan. Banyak petinggi perusahaan yang tertarik dengan visi dan misi yang dijunjung tinggi Ree soal dunia bisnis. 

"Tunda saja sampai besok siang. Saya sendiri yang akan menghampiri hotel pak Yuda, Grac. Tugasmu sudah cukup sampai di sini."

Sebagai sekretaris sekaligus notulen yang siap siaga, Grace hanya mengangguk. Memilih kembali ke ruangannya. Heran, baru kali ini bosnya membatalkan janji, dan memilih pulang. Apakah pria maha sempurna itu sedang tidak enak badan? 

Grace sendiri memang mengakui kehebatan Ree setiap bekerja, rapat, juga mengemukakan pendapat. Tak pernah salah target, selalu tepat sasaran dan tepat waktu. 

Segala proyek yang digarap atau dikembangkan oleh Ree selalu mendapat pujian dari orang-orang yang juga paham tentang dunia bisnis. Meksipun begitu, Grace adalah wanita yang profesional. Bukan sekretaris yang hanya bisa berpakaian super seksi sekaligus memamerkan pesona sampai menaklukkan hati bosnya. 

Grace tidak tertarik melakukan pekerjaan sampingan seperti itu, Ree terlalu sempurna baginya. Dan Grace bersyukur karena Ree menggajinya lebih karena pekerjaannya bukan sikap murahannya. 

Kembali dengan Ree yang buru-buru mengendarai mobil untuk pulang, kecepatan menyetirnya tidak diragukan. Bahkan hanya memakan waktu 15 menit saja. 

"Den, sudah pulang? Tadi mas Gerald ke sini cari Aden."

"Iya, Bi. Dia sudah bangun?"

"Mas Geraldnya?"

Ree tertawa, "bukan, Bi. Wanita itu, ini sudah siang apakah dia sudah keluar kamar?"

Bibi mengangguk, menawari makan siang untuk tuannya tapi Ree memilih nanti. Ada urusan yang lebih penting dari sekedar urusan cacing-cacing di perutnya. 

Begitu masuk kamar, di lihatnya Nessa yang sedang duduk di halaman balkon. Balkon itu pun berdekatan dengan kamar Ree, hanya tersekat sebuah ruangan yang sampai sekarang tidak tahu fungsinya apa. 

"Kenapa melamun?"

Mendengar suara pria itu, Nessa menoleh, tersenyum manis seperti malam itu. Malam di mana Ree mengagumi kecantikan Nessa. 

"Hanya sedang berpikir."

"Tentang ibumu?"

Nessa mengangguk pasrah. "Meksipun dia sudah jahat padaku, setidaknya aku punya banyak kenangan dengannya."

"Ah, begitu."

Bagaimanapun juga, Ree belum tahu kehidupan Nessa juga ibunya. Mungkin sebentar lagi informasi tentang wanita yang dia ajak ke rumah akan terkuak. 

"Jangan cemas, ibumu baik-baik saja. Kalau ada apa-apa kamu bilang saja padaku."

"Kenapa?"

"Maksudnya?"

"Kenapa kamu baik padaku? Gerald bilang kamu sering berganti.."

Nessa tidak sampai hati mengatakannya, baginya Ree adalah Ree. Baik dan buruk pasti semua orang juga memilikinya. 

Paham apa yang dikatakan Nessa, Ree tidak menampiknya. "Yeah, aku bukan pria yang baik. Tapi, meskipun begitu, sekarang kamu tidak punya siapa-siapa. Kamu gak akan aman bersama ibu kamu, Nessa. Percayalah."

"Satu-satunya orang yang akan membuatmu tahu betapa indahnya dunia hanya aku." sambungnya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status