“Argh, sakit! Ih ... Rezan ... lepasin tanganku, ini menyakitkan tahu, aww!”
Tubuh Ratu dihempas keras ke depan oleh Rezan. Saat ini mereka sedang berada di salah satu ruangan kosong di hotel—tempat pesta Dermawan diadakan.
“Argh, kasar banget sih jadi cowok!” omel Ratu sambil mengelus pergelangan tangannya yang merah karena cengkeraman Rezan.
“Dibayar berapa kamu sama Sesil?” todong Rezan menginterogasi dengan tatapan dingin dan menusuk.
“Aku enggak ngerti maksud ucapan kamu.”
“Enggak usah pura-pura bego, berapa Sesil bayar kamu, hah?”
Ratu mendesah kesal, ia membenarkan rambutnya, menunduk sebenta
“Baik, aku akan menikah dengannya.” *** Mata Ratu mengerjap beberapa kali begitu ia mendapati respons aneh dari keluarga Rezan atas kehadirannya di rumah sultan itu. Ratu tidak tahu tepatnya atas nama siapa rumah ini berdiri, entah Dermawan, Rezan, Sesilia atau siapa pun, entah yang mana. Satu hal yang pasti rumah itu sangat mewah melebihi kediaman indahnya dulu. Ratu yang mengira riwayatnya akan tamat hari ini pun tampaknya sudah bisa bernapas sedikit lega. Dia gagal memulangkan namanya saja karena faktanya sekarang dia masih bisa menghirup udara. Masih bisa menikmati makanan lezat seharga gajinya selama satu bulan di kelab malam. Gadis itu kira, saat ia tiba di sana maka keluarga Rezan akan menghakiminya. Bagaimana pun mereka keluarga terpandang, video tidak pantas yang tersebar di internet pasti akan merusak dan menjadi aib bagi keluarga besar mereka. Tangan Ratu berkeringat, saking basahnya seakan dia bisa terpeleset jika berjalan di atas
“Lantas kenapa kakek mengajukan ide gila semacam itu, kenapa aku harus menikahi perempuan yang bahkan aku sendiri tidak kenal.” “Tidak ada salahnya menikahi gadis itu, Zan. Walau sedikit liar tapi sepertinya dia gadis baik dan lucu, kakek senang melihatnya. Lagi pula kakek rasa ide itu cukup bagus untuk meredakan pemberitaan di luar sana. Jika mereka tahu kamu akan menikah dengan Ratu, berita negatif tentangmu selama ini bisa hilang. Bukankah itu menguntungkan buat kamu?” Tidak, Rezan tidak mengerti dan tak habis pikir dengan jalan pikiran kakeknya. Saat ini, dalam dada pria itu tersimpan gejolak amarah yang membakar setiap sudut hatinya. Skandal menghebohkan yang saat ini viral sedikit banyak mengusik pikiran Rezan yang semula ingin mengabaikan berita itu. Semakin ia abai maka semakin ramai media menggoreng berita tersebu
Nayla merasa suasana kelasnya hari ini teras sedikit lebih ramai dan bergemuruh dibanding biasanya. Ia menaikkan satu alis sambil mengedarkan pandangan ke sekitar. Brenda dan Nicole belum tiba di sana, ia masih duduk sendiri di kursinya sambil memeriksa ulang jadwal dan menyiapkan tugas makalah yang akan dikumpulkan hari ini. Hari ini Nayla kebagian presentasi kelompok dengan Nicole dan Brenda, gadis itu harap kedua temannya sudah menguasai materi dan bisa memaparkan apa yang telah mereka kerjakan selama satu minggu ini dengan baik. Sebagai ketua kelompok, Nayla bisa dikategorikan baik karena tidak egois dan bersedia menerima pendapat juga saran dan masukan yang diberikan anggotanya. Nayla nyaman dengan kelompok mata kuliah kali ini, selain karena Nicole dan Brenda adalah kawan dekatnya, Nayla juga senang karena dua sahabatnya itu sangat kooperatif selama pengerjaan makalah berlangsung. Dari sekian banyak tugas yang diberikan dosen, tugas yang selalu membuat Nayla waswas dan
“Kok bisa?” bukannya dia masih semester akhirnya, belum beres kuliahnya, kenapa sudah bisa ngajar?” tanya Nayla, gadis itu belum pernah bertemu dengan Geva secara langsung. Ia hanya mengetahui segala hal tentang laki-laki itu dari teman-temannya. Gevariel sering menjadi buah bibir para mahasiswi. Selain itu Gevariel ini juga sedikit misterius, walaupun populer dia tidak memiliki akun sosial media seperti halnya para anak populer lain. Mungkin aplikasi yang dimilikinya di ponsel hanya sekadar aplikasi chating untuk kepentingan tertentu. “Ya bisalah, anak genius, ganteng, dan kaya mah bebas, ha ha,” seru Brenda masih berapi-api ketika menceritakan seniornya itu. “Sebenarnya kak Geva memang sudah dibidik dari lama sama pak Martono buat jadi asisten dosen, Nay. Awalnya dia selalu nolak tahu, nah mungkin sekarang nerima karena merasa enggak enak apalagi pak Martono lagi kena musibah. Hitung-hitung berbakti kayaknya sama dospem sendiri,” tam
“Aw, sakit, Kuya!” bentak Ratu sambil memukul tangan sahabatnya itu keras. “Kan elo yang nyuruh gue nyubit tangan lo, gimana, sih?!” “Huhhh, kok jadi gini sih, Ya? Masa gue harus nikah sama si Rezan yang enggak ada akhlak itu. Huaaa ... gue enggak mau!” “Terus lo mau menolak perintah kakek Dermawan? Bisa direlokasi ke Libanon lo kalau nolak. Udah cari jalan aman aja, lagian apa salahnya sih nikah sama dokter Rezan. Ketiban durian runtuh lo, di luar sana banyak yang pengen jadi pacar dia, lah elo, sekali kenal langsung diangkat jadi istri. Mujur banget nasib lo, Tu ... Tu. Kagak perlu takut dikejar-kejar si Bandit lagi kalau kayak gini.” Ucapan Surya memang ada benarnya, mungkin setelah Ratu menikah dengan Rezan maka masalah perekonomiannya bisa terselesaikan. Hanya saja masalahnya kini Ratu mulai mengkhawatirkan nasib jantung dan mentalnya jika hidup satu atap dengan laki-laki seperti Rezan. “Lo enteng banget bilang gitu, enggak mikirin
Satu malam sebelumnya di kediaman kakek Rezan ... Duar ... duar ... duar ... Guntur menggelegar di luar sana, menyertai hujan deras yang turun malam ini. Kilat cahaya saling menyambar bumi dengan cepat, seolah mereka sedang berkompetisi untuk mengenai benda bumi dan penghuninya. Siur angin berembus kencang menerbangkan gorden-gorden raksasa yang melingkupi sebuah ruangan yang minim pencahayaan. Bukan karena ruangan itu tidak memiliki lampu, tentu saja dan banyak lampu kristal menggantung, sayangnya listrik di rumah besar itu tiba-tiba mati karena gangguan teknis. Para petugas khusus sedang berupaya untuk memperbaikinya sekarang. "Tinggal tambah sound effect burung hantu, sarang laba-laba di langit-langit, terus ada nenek-nenek yang jalan sambil bawa gayung di bawah derasnya hujan, fix gue udah kayak manusia yang terperangkap di rumah setan. Ngeri banget, njir." Ratu dan segala imajinasinya sedang melanglang buana, mem
“Gila, seneng banget pas presentasi minggu kemarin dapat pujian dari kak Geva, katanya makalah kita isinya udah oke terus cara penyampaiannya juga udah baik, jelas, lugas, to the point. Parah sih ini mesti selametan, kita makan-makan di tempat biasa yuk!” ajak Brenda heboh. “Presentasinya juga udah lewat kali, Nda, repot bener sih pakai acara selametan segala.” “Ih, kan biar seru, minggu lalu enggak keburu selametannya karena si Nayla keburu ngacir. Orang lain tuh ya, pada betah diem di kelas sampai nungguin kak Geva bener-bener keluar, lah dia malah gerasak-gerusuk pengen cepet-cepet pergi. Kenapa sih Nay?” Yang ditanya hanya berjalan dengan pandangan kosong, Brenda dan Nicole saling pandang. “Nay!” s
Malam hari di rumah kontrakan, kakak beradik itu sedang duduk meja makan. Mereka baru selesai makan malam namun piring bekas dan kawan-kawannya masih ada di tempat yang sama. Nayla dan Ratu belum sempat membereskannya karena saat ini mereka sedang berakting jadi orang linglung. Lima menit lagi mereka tidak membuka percakapan mungkin setan sedang bersiap-siap untuk merasuki tubuh keduanya. “Kamu kenapa Nay?” tanya Ratu tanpa gairah, tangan kanannya menopang dagu. “Kakak sendiri kenapa?” balas Nayla dengan nada lemah. “Galau.” “Sama.” “Kamu galau kenapa?” “Aku bakal ikut kompetisi tapi dosen pembimbin