Nayla melamun seorang diri di perpustakaan, sejak kuliah jam pertama dimulai gadis itu memang kehilangan sebagian konsentrasinya. Kepalanya dipenuhi berbagai hal tentang hutang keluarganya. Jika kemarin Nayla masih dibuat bertanya-tanya tentang nominal hutang yang tak kunjung dibeberkan Ratu, pagi ini akhirnya semua pertanyaan itu terjawab tuntas. Tiga milyar, selama ini Ratu menanggung beban hutang tiga milyar seorang diri. Mencicil sedikit demi sedikit namun hutang itu tak kunjung menipis karena setiap bulan bunganya juga bertambah.
Nayla terpaksa mencari tahu masalah ini karena ia benar-benar tidak tega melihat sang kakak banting tulang siang malam. Belum lagi kemarin, Ratu pulang dalam keadaan terluka dan yang membuat hati Nayla semakin pilu adalah alasan dibalik hadirnya luka itu. Ratu nyaris dilecehkan pria yang tidak bertanggung jawab. Tidak bisa Nayla bayangkan apa jadinya sang kakak jika Ratu gagal melawan. Mungkin ... ah, Nayla tidak ingin membayangkannya.
"Nay, ke kantin kuy!" ajak Brenda, teman sekelas Nayla.
"Enggak dulu, Nda, aku lagi malas."
"Kenapa, ada masalah lagi di rumah?"
"Enggak kok, cuma lagi enggak mood ke mana-mana aja."
"Yahh, masa aku ke kantin sendiri, sih."
"Maaf ya, Nda."
"Hm, ya udah enggak apa-apa, tapi nanti malam pokoknya kamu wajib ikut ke pestanya Nicole. Sudah janji, loh."
"Iya, kalau nanti malam aku bakal ikut tapi sebentar aja ya, takut kakakku khawatir."
"Sip, jam sembilan udah pulang kok. Aku jemput nanti, dahhh."
Nayla melambai pada temannya itu. Setelah Brenda menghilang, gadis itu kembali termenung. Ia mengeluarkan dompetnya dan menatap miris pada isi di dompet itu yang tak seberapa. Selain kuliah, tiga bulan terakhir Nayla memang sudah memutuskan untuk kerja sampingan jadi pelayan di salah satu kafe. Tapi upahnya tidak seberapa untuk membantu bayar hutang keluarganya. Sekarang Nayla sedang memutar otak agar mendapat pekerjaan yang menghasilkan lebih banyak uang.
***
"Lo kayak habis perang sama kompeni, Tu," cibir Surya yang sengaja datang ke kontrakan Ratu untuk menjenguk gadis itu.
"Gue emang habis perang, kampret banget emang tuh si Bandot. Gue udah bilang bakal ngasih duitnya dua hari lagi tapi dia malah ngirim anak buahnya buat ngejar gue di rumah sakit. Malu-maluin!"
"Terus sekarang apa rencana lo?"
"Enggak tahu, pusing gue. Tas yang waktu itu gue beli udah dijual buat bayar tagihan kartu kredit. Itu pun baru sebagian, masih ada 50 juta lagi yang belum gue bayar. Uang dari Mami udah gue kasihin ke si Bandot. Setidaknya untuk bulan ini gue masih bisa napas walau masih bingung nih nyari buat bayar kontrakan."
"Berapa uang kontrakan lo?"
"Gue bayar pertahun, lima belas juta setahun. Dua hari lagi yang punya rumah pasti nagih dan gue belum pegang duit sepeser pun."
"Gue harus lebih rewel lagi sama lo ini, sih. Hutang lo di mana-mana tapi gaya hidup masih aja hedon. Contoh adek lo tuh, prihatin sama kondisi sekarang jadi dia bisa menyesuaikan diri. Emang lo yang enggak tahu diri."
"Lah, emang, bodo ah enggak usah mikirin itu. Mending sekarang lo cari proyekan biar gue dapat uang banyak. Udah ada belum?"
"Belum, Tu, belum ada yang booking lo buat nemenin mereka. Kemarin sempat ada yang nanya sih tapi ragu-ragu gitu, kata mereka lo matok harganya ketinggian. Masa cuma nemenin minum doang sampai 20 juta."
"Ya iyalah, gue itu cewek mahal cuy! Gue masih mau nemenin mereka juga untung. Malah gue ada target naikin harganya."
"Aje gile, lo tahu, satu-satunya cewek di bisnis ini yang enggak nerima layanan plus-plus tuh cuma lo. Kalau yang lain nemenin minum lanjut ngamar, lah elu hhh."
"Ya kan lo tahu selera gue tinggi, Ya. Jangankan tidur, itu klien mau nyosor pipi aja langsung gue kasih tinju."
"Nah, iya, akhlak lo itu yang bikin gue kena omel klien terus. Nanti deh, gue coba cari yang lain, siapa tahu ada yang sesuai kualifikasi lo."
"Huum, makasih, Ya. Kalau enggak ada banget kayaknya gue terpaksa jual diri, deh."
Surya langsung menoyor kepala kawannya itu gemas.
"Jangan sembarangan kalau ngomong, lo bukan cewek kayak gitu."
"Astaga ... ada ya mucikari macem lo. Orang lain dibimbing buat jadi wanita malam, lah gue malah dilarang."
Selain berprofesi sebagai manajer di kelab malam, profesi sampingan Surya adalah mucikari alias gremo yang menyalurkan para wanita malam pada klien-klien. Sebenarnya, penghasilannya sebagai mucikari lebih besar dibanding gaji seorang manajer. Tapi Surya tetap melakoni keduanya sebagai kamuflase agar dia tidak terdeteksi melakoni bisnis prostitusi online.
"Pokoknya jangan macem-macem tanpa sepengetahuan gue. Nih!" kata Surya sambil memberikan amplop cokelat yang cukup tebal pada Ratu.
"Apa, nih?"
Ratu tahu amplop itu berisi uang, yang ia tanyakan adalah kenapa Surya memberinya uang sebanyak itu.
"Itu ada duit 20 juta, lo pakai aja dulu."
"Dih, enggak usah, duit lo kan ini?"
"Iya enggak apa-apa pake aja dulu buat bayar kontrakan. Lo bisa balikin kapan-kapan."
"Tapi Ya ...."
"Enggak usah sok nolak dan merasa enggak enak gitu. Nanti begitu kita dapat proyek lagi, gue potong persenan lo dua kali lipat."
Ratu tersenyum lebar kemudian memeluk Surya erat sampai laki-laki itu sesak napas.
SesiliaAku sedang di apartemenmu. Ikuti permintaanku jika kamu ingin aku pulang. Rezan mendesah berat membaca pesan itu. Ia melepas jas putihnya, melirik arloji di tangan kiri, kemudian menyampirkan jas navy di tangan. Baru saja keluar dari ruangan kerjanya, pesan baru kembali hinggap di ponselnya. SesiliaThe Rosemary Restaurant, table number 15. Dont be late, Honey😘 Rezan melesakkan kembali ponselnya ke saku jasnya. Ia melenggang penuh wibawa menelusuri koridor. Tiba di depan lift, ketika lemari bergerak itu terbuka, beberapa orang yang ada di dalam sana tampak menyapa penuh hormat. Hanya sapaan tanpa kata yang orang-orang itu berikan, Rezan meresponsnya dengan anggukan pelan. Harum tubuh Rezan menguar di dalam lift itu, wanita-wanita yang ada di sana silih senggol tangan dan menggunjing Rezan dengan isyarat tertentu seperti lirikan dan senyum penuh arti. Pesona dokter 34 tahun itu sungguh
"Rezan!!!" teriak Sesilia saat wanita satu anak itu tiba di apartemen adiknya. Sesil mau meminta pertanggung jawaban Rezan atas tindakan tidak sopan pria itu pada sepupu kenalannya. "Geo, bantu Mami cari om Rezan, cari di kolong meja, di bawah karpet, atau di gorong-gorong kalau perlu!" "Kita mau cari om Rezan atau kecoak, Mi?" tanya Geovandi, usia 7 tahun, satu-satunya keponakan Rezan—setidaknya untuk saat ini. "Om kamu emang udah kayak kecoak, resek, bikin ilfil, nyebelin. Arggh, malu-maluin." "Huhh, tahu begitu tadi aku ikut Papi saja ke gym," gumam Geo yang sudah tidak terdengar maminya karena Sesilia sudah sibuk mencari keberadaan adiknya.
“Ratu Anayasa!!!” teriak Surya setelah menemukan keberadaan Ratu. Gadis itu baru keluar dari ruang ganti untuk memulai pekerjaannya malam ini. Penampilan Ratu terlihat menawan seperti biasanya. Rambut yang hitam lurus nan panjang itu diikat kuda, menggunakan topi berwarna senada dengan seragam yang dikenakannya. Untuk ukuran pakaian kerja di kelab, seragam Ratu lumayan tertutup. Memang pada dasarnya Ratu ini memiliki kelebihan pada fisiknya, sehingga apa pun pakaian yang dia kenakan terlihat cocok dan sempurna. Tingginya 165 cm, kulit kuning langsat, bulu mata lentik, bibir tipis, hidung mancung. Wajar apabila banyak pria yang mendambakannya. “Apa, sih, teriak-teriak udah kayak di hutan aja.” “Gue punya kerjaan bagus buat lo.”
"Sebentar, sebentar Mbak, otak aku lagi ngelag ini," kata Ratu meminta izin untuk ia menyesap minuman segarnya dulu. Apa yang ditawarkan perempuan di hadapannya ini sungguh membuat kepala Ratu pening. Lima miliar? Serius ada orang yang berani membayarnya semahal itu untuk sebuah misi yang menurut Ratu sangat cetek. Rasanya gadis itu masih sulit mempercayainya, apa jangan-jangan Surya sedang berusaha menjualnya? "Kenapa, kurang ya?" tanya wanita itu karena melihat lawan bicaranya temenung cukup lama. "Ah, enggak, enggak, itu udah gede banget Mbak. Aku cuma lagi heran aja, masa Mbak rela bayar aku semahal itu cuma buat menggoda pria." Wanita anggun berwajah tegas di hadapannya ini adalah klien yang diceritakan Su
Kaki Nayla terus bergetar begitu ia sudah memasuki kamar di salah satu hotel yang menjadi tempat janjiannya dengan klien pertama dari situs mateforyou.com. Gadis itu menangkup kedua lututnya lalu ditekan agar ia berhenti bergetar. Ini bukan pilihan yang mudah tapi Nayla benar-benar sudah kehabisan langkah dalam mencari jalan lain. Dia sepakat untuk melayani seorang pria yang dari data dirinya berstatus duda dan sudah cukup berumur. Nayla akan dibayar 200 juta untuk malam pertama ini, sungguh penawaran yang menggiurkan untuk amatir sepertinya. Nominal itu tidak seberapa jika dibanding dengan hutang kedua orang tuanya tapi setidaknya itu lebih besar daripada upah kerja paruh waktu yang selama ini gadis itu terima. Dengan uang itu Nayla bisa membayar tagihan 15 juta/bulan yang ditentukan pak Bandot. Jangan kira hanya karena N
Ratu tetaplah Ratu, seseorang yang akan menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Sosok yang sangat lemah jika sudah dihadapkan pada uang, dan perempuan paling berani untuk menggadaikan harga dirinya demi materi yang menyilaukan. Memang benar, harga diri itu segalanya tapi untuk saat ini uang lebih penting dari harga diri. Terserah orang mau bilang apa, toh mereka hanya bisa berkomentar tanpa mau membantu. Kalau saja ada yang berani melarang sambil memberikan solusi dan kompensasi tentu Ratu akan dengan senang hati mundur dari pekerjaan ini. Sayangnya, zaman sekarang segala sesuatu itu tidak gratis. Tidak ada juga yang akan rela buang-buang uang demi menyangga ketimpangan perekonomian orang lain. Maka inilah yang Ratu lakukan sekarang—bertekad menjalankan misi dari Sesilia sebaik mungkin setelah sebelumnya sempat berkeinginan mengundurkan diri. Ratu berjal
Clek! Pintu terbuka, Rezan berdiri di hadapan Ratu di saat posisi gadis itu masih setengah jongkok dan sedikit menungging. Kontan kejadian mendadak dan tak terbaca itu langsung membuat Ratu tersentak, ia memejam miris--merutuki dirinya sendiri yang selalu ceroboh dalam melakukan apa pun. "Ada yang bisa dibantu?" tanya Rezan, kalimatnya memang menunjukkan hal yang lumrah ditanyakan dokter pada umumnya namun ekspresi dan nada suara pria itu seperti ancaman pembunuhan, seram sekali. Ratu segera menegapkan badannya, dia meneguk ludah sebagai penghilang gugup. Gadis itu harus lebih berani menghadapi Rezan kalau mau mendapatkan uang 5 miliar. "Jadilah berani, Tu, lupain kejadian minggu lalu. Pasti dokternya juga udah lupa." "Oh, gini Dok, saya kira ini ruangan teman saya jadi tadi saya agak ngintip-ngintip dikit buat memastikan," dusta Ratu sambil membenarkan posisi kacamatanya. Tangan Rezan menunjuk tanda nama di depan pintu yang j
Mata Nayla terbuka saat sinar mentari menyapa wajahnya. Gadis itu menggeliat, mengedarkan pandangan ke sekitar dan langsung mendapati ruangan asing yang tak ia kenali. Sedetik kemudian gadis itu akhirnya sadar di mana dia berada sekarang. Ya, Nayla mengingat semua kejadian yang terjadi padanya tadi malam. Gadis itu telah menyerahkan mahkota berharganya untuk dinikmati pria asing yang bahkan sampai detik ini belum Nayla ketahui namanya. Tes! Air mata Nayla menetes sebagai tanda penyesalan teramat dalam atas tindakannya semalam. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Nayla tidak bisa menghapus apa yang sudah terjadi pada dirinya. Mau tidak mau Nayla harus menerima bahwa kini dirinya sudah tidak suci lagi. "Sudah bangun," kata sebuah suara yang semalaman memuji serta mengeluark