Share

Part 05. || Pertemuan Itu

Tidak pernah dekat atau pun didekati oleh lawan jenis dan seringkali seorang gadis seperti Keisya Shakira Jasmine putra tunggal dari keluarga Geisya Arthur Jasmine dan William Angkasa dikabarkan akan dijodohkan dengan seorang anak teman lama dari kedua orang tuanya. Tiba-tiba dan tanpa memberitahu sebelumnya. Satu alasan yang mereka katakan ialah, 'Kami hampir bangkrut, Nak! Ada teman papimu yang ingin membantu kami, tapi syarat yang dia minta kamu harus menikah dengan anaknya.' 

Sepulang kuliah dan baru pertama kalinya Keisya merasakan dunia perkuliahan setelah tiga tahun lamanya menduduki bangku Sekolah Menengah Atas di daerah Jakarta Selatan. Tidak ada angin maupun hujan, ia mendengar sebuah percakapan yang di dalam percakapan tersebut mereka menyebut nama dirinya. 

"Jadi serius, Mas Samuel mau bantu kami?" tanya Geisya antusias kala itu, " Hm, untuk masalah Keisya mau menikah dengan anak kamu atau tidak itu akan aku urus sendiri, sih, Maa. Tapi btw, makasih banyak sebelumnya. Ya, mungkin tanpa Mas Sam sekarang kami dan juga anak kami nggak tahu mau kayak gimina." 

Pria tua dengan kumis dan janggut tipis itu mengulas senyum, "Santai sajalah, Gei! Aku dengan suamimu sudah berteman sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Aku senang bisa bantu dia, bantu kalian. Kalau perjodohan ini, sih sebenarnya tidak memaksa. Hanya saja aku berharap anak-anak kita bisa bersatu di pelaminan dan kita jadi besan."

Raut wajah gadis berhijab satu ini seketika memerah, ia terus menahan sesuatu yang kian memanas, menyesak dan serasa semakin kuat ingin meledak di sudut kelopak mata. Kedua tangan mengepal. Tanpa berlama-lama lagi Keisya melangkah memasuki rumahnya dan maksud hati menghentikan perjodohan ini, tetapi tanggapan yang diinginkan tak sesuai kenyataan.

"Keisya nggak mau, Mi, Pi!" Keisya masuk sembari menutup pintu dengan membantingnya. Ia melangkah mendekat ke arah orang tuanya di sofa ruang tamu, "Jangan pernah meminta Keisya menikah, Mam, Pi. Walaupun kenyataan Om Sam baik ke kita, Keisya nggak mau. Nggak ada kata paksaan, ingat!"

"Tunggu, Keisya! Mami mau kamu tetap menikah sama anaknya Om Samuel, Kei." 

Keisya sangat tidak suka dengan maminya. Bagi Keisya ini sungguh tidak baik, memaksa anaknya menikah di tengah kondisi dia ingin mengejar impiannya. Bersekolah di tempat favorit dan sukses terlebih dahulu. Bukan ia menolak sebenarnya, hanya saja Keisya takut pada keadaan setelahnya. 

Bayangan-bayangan buruk selalu terlintas dalam benak Keisya, terlebih ia memiliki seorang teman di mana temannya itu dipaksa menikah oleh kedua orang tua dengan laki-laki yang tidak dikenali. Ujungnya teman dekat Keisya tidak pernah hidup bahagia. Pengalaman-pengalaman menikah muda itu pun diceritakannya kepada Keisya. Alhasil, sampai detik ini rasa takut itu terus menghantuinya.

"Keisya, Sayang! Tunggu, Nak. Dengerin Mami baik-baik, ya." Geisya menarik tangan putri kesayangannya ini, putri manja yang selalu apa-apa mengandalkan mami dan papinya. "Ada sesuatu hal yang harus kamu tahu, Nak. Usaha Papi kamu mengalami kebangkrutan, bahkan pihak bank akan menyita semua fasilitas kantor termasuk rumah ini. Jika tanpa bantuan Om Sam, kami mau tinggal di mana, Nak?" 

"Terus kenapa harus pakai acara jodoh-jodohan segala? Kalau Om Samuel mau bantu kita, ya udah bantuin aja seikhlasnya. Ngapain mesti suruh aku buat nikah sama anaknya, Mi? Mami harus tahu kah aku nggak suka dan nggak kenal sama anaknya. Gimana kalau dia jelek?" 

Geisya menunduk, ia menghela napas panjang sembari memikirkan bagaimana caranya supaya sang putri kesayangan bisa setuju dan mau mengikuti kemauannya. "Sayang! Kalau seandainya kita bangkrut, terus kita miskin, nih. Kita hidup di lingkungan kumuh, terus nanti teman-teman kamu tahu kamu bukan orang kaya lagi. Yang ada mereka menjauh?" 

"Lebih baik hidup miskin, tapi memiliki iman dan jiwa yang tenang dibanding hidup kaya. Banyak orang yang memanfaatkan kita, Keisya nggak mau. Pokoknya tetep Keisya menolak!" protes gadis itu. "Baru aja mau kuliah, ini malah suruh nikah? Hilih, nikah muda gimana nanti, ya, pasti nggak bakal bisa bebas. Dikit-dikit suruh ini, dikit-dikit itu. Nggak enak banget," gumamnya, kemudian pergi. 

"Gimana caranya bikin Keisya setuju, ya?" Geisya kewalahan menangani Keisya.

Hingga seiring waktu berjalan tidak ada cara lain selain Keisya mengurung diri di kamar. Seminggu ia tidak pernah pergi ke mana-mana dan hanya di kamar saja, membuat Geisya sebagai maminya sedikit khawatir dan ia bahkan menimbang-nimbang lagi keputusannya untuk menikahkan putrinya dengan anak teman lama suaminya.

Seminggu selanjutnya, Keisya memutuskan untuk pergi ke luar sekedar berjalan-jalan di hari minggu. Pengap dan juga bosan rasanya harus terus berada di dalam kamar tanpa pergi atau melakukan aktivitas lainnya. 

"Mami sama Papi pasti lagi keluar, deh. Nggap apa lah Keisya keluar nggak izin sama mereka, kan Keisya cuma jogging aja di taman. Hum," ucapnya seorang diri. 

Keisya yang sudah siap dengan seragam olahraga dilengkapi jaket pinky kesukaannya membuka pintu, berjalan sembari mengulas senyum di wajahnya. Memejamkan mata, menghirup udara segar di pagi hari setelah sekian lama mengurung diri supaya ia mendapat alasan agar orang tuanya membatalkan perjodohan tersebut. Meski nyatanya, usaha Keisya sia-sia. 

"Yuhuuu … olahraga. Selamat pagi dunia!! Selamat pagi udara segar, hm … Keisya nggak nyangka ternyata masih bisa jalan santai, masih tinggal di rumah besar ini dan nggak ada nikah-nika … aaarghh, aduh sakit. Ssssstttt."

Keisya merintih kesakitan tatkala baru saja ia berlari meninggalkan pekarangan rumahnya. Saking terlalu fokus dan berlari sembari menunduk, ia tidak melihat siapa di depan entah ada mobil lewat atau pun motor sekalipun. Beruntung bukan mobil atau motor yang ditabrak maupun menabraknya. 

Yang dirasakan sebelum Keisya terjatuh ialah kepalanya membentur dada bidang seseorang, kemudian kakinya terkilir hingga ia terjatuh lantaran tak mampu menahan nyeri. 

"Sori-sori, gue nggak sengaja. Nggak lihat kalau tadi ada—" 

"Aaarghhh! Bisa-bisanya bilang nggak lihat, ya? Awas aja Keisya bilangin ke Papi sama Mami biar mereka marahin kamu." Keisya memotong kalimat seseorang tersebut, sambil berusaha berdiri tanpa melihat siapa lawan bicaranya.

"Aaarghhh, Mami. Kaki Keisya nyeri." 

Pemuda tampan mengulurkan tangannya. "Ayo gue bantu? Daripada maksa buat bangun, tapi ujungnya lo jatuh lagi, kan?" 

Uluran tangan tersebut tidak ia gapai, ia menyadari tidak baik saling bersentuhan antara lawan jenis. Terkecuali mereka saudara atau suami-suami mereka. Namun, ada hal yang unik saat Keisya menolak uluran tangan dari pemuda itu. Seseorang di depannya menutup lengan dengan handuk kecil, sehingga nantinya antara lengan Keisya dan lengannya tidak saling bersentuhan.

'Cowok itu, siapa sebenarnya dia? Walau Kei coba tolak, dia punya cara agar kami gak sampai sentuhan.' 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status