Share

5. Masa Lalu dan Masa Kini

Kinan tak berhenti bersin walaupun sudah menggunakan dua sweater ditambah tubuhnya yang bergelung dengan selimut tebal milik Langit.

Langit melirik istrinya dan kembali tak tega melihatnya, ia edarkan pandangannya dan melihat jendela yang tak tertutup rapat. Ada rasa heran karena sore tadi ia menutupnya sendiri tetapi mengapa kini jadi terbuka sedikit.

"Emhhhh...Kinan, ini kata Ibu suruh pake minyak angin. Katanya biar badannya anget," tawar Langit sambil menyodorkan botol kaca berisi minyak berwarna coklat.

Seperti biasanya pria dingin itu bersikap datar dan juga kaku menutupi kegugupannya yang hinggap tiba-tiba.

Kinan bangun dari tidurnya, ia menatap Langit dan minyak yang ada di telapak tangan suaminya itu bergantian.

Tak lama pintu kamar diketuk dan ternyata Ibu Arini.

"Kinan, itu minyaknya dibalurin di punggung sama dada ya. Insya Allah lebih baik. Aa, sok balurin punggung sama dadanya Kinan!" titah Ibu.

Kinan melotot sambil menggeleng tipis agar Ibu tak melihat.

"I-iya, nanti dipakein sama aa. Ibunya keluar dulu kan Kinan malu atuh, Bu," ucap Langit.

Ibu Arini tersenyum kemudian menutup pintu kamar putra pertamanya itu.

"Mau dipake enggak? Kalau mau dipake biar dibalurin sama Ibu atau Salma," tawar Langit.

Mendengar nama Salma rasanya Kinan ingin sekali berontak.

"Abang aja yang pakein di punggung kalau di dada biar gue," sahut Kinan.

Langit terbelalak, ia pikir tawarannya akan ditolak Kinan tetapi ternyata istrinya itu malah menyambutnya.

"Tapi balurin aja, enggak usah keterusan!" Kinan begitu ketus.

Lelaki yang belum pernah menyentuh perempuan lain itu menghela nafas panjang, "Emmhh...iya."

Kinan berbalik kemudian menelungkupkan tubuhnya, ia buka sweater yang membungkus tubuhnya.

Tangan Langit bergetar, memeluk tubuh istrinya saja ia sampai sulit tidur tempo hari apalagi harus menyentuh langsung kulit yang sudah pasti halus itu.

"Ayo, Bang! Dingin ini," ucap Kinan sambil mengambil tisu untuk mengelap cairan dari hidung tersumbatnya.

"Emmhh..iya, maaf ya sebelumnya," tutur Langit nampak kaku, telapak tangannya tak kalah dingin dengan udara di sekitarnya.

Lelaki gagah lagi tampan itu mulai menaruh minyak angin di telapak tangan besarnya kemudian dengan perlahan ia sentuh punggung mulus tanpa noda milik istrinya itu.

'Duhhh...Kinan, mana enggak pake bra lagi. Ya Allah....gimana pun gue cowok normal, liat begini lama-lama benteng jebol.'

"Maaf, Bang. Gue enggak pake bra, sesek."

Dengan entengnya Kinan berucap demikian, ia tak tahu suaminya setengah mati menahan gejolak di dada dan otaknya jangan sampai turun ke pusat dirinya.

"Udah nih, dadanya sendiri aja!" titah Langit yang langsung membalikkan tubuhnya.

Tak ada sedikit pun kekhawatiran Kinan pada Langit, tidak kah ia takut jka suaminya itu kelewat batas?

"Ya iyalah bagian depan sama gue masa iya sama lo, Bang. Enak di lo enggak enak di gue namanya," kata Kinan.

'Balur punggung aja gue kesiksa, Neng. Gimana kalau sama depan,'

Suara hati Langit menggema dan hanya ia yang mendengarnya.

"Saya keluar dulu pengen minum," ucap Langit beralibi padahal ia harus menetralkan jantung dan pikirannya.

Keluar dari kamar Langit menuju dapur untuk diam sejenak kemudian meneguk air putih hingga tandas.

Tak terdengar alergi yang biasanya menyapa Kinan sepanjang malam, minyak angin sang bunda cukup ampuh ternyata.

Perlahan Langit masuk kembali ke dalam kamarnya dan benar saja Kinan sudah meringkuk. Selimut dikuasainya sendiri dan lelaki 33 tahun itu tersenyum melihat tingkah istri kecilnya.

Tak ada sofa bed seperti halnya di rumah Rayadinata jadi mau tidak mau Langit bergabung satu kasur berdua dengan istrinya.

Langit sedemikian pelan menjatuhkan tubuhnya tetapi hal itu tetap mengusik sang istri.

Kinan menatap Langit sejenak, suaminya itu sudah siap dengan protes yang akan dilayangkan. Akan tetapi dugaannya salah, istri cantiknya itu malah mendekat dan mendekap erat dirinya.

Langit yang harusnya menolak tetapi anggota tubuhnya berkhianat. Ia sambut pelukan itu dengan sama hangatnya. Tak ada kata terucap yang ada keduanya saling berpelukan sampai subuh menjelang.

***

"Bang, kok Abang enggak marah gue peluk gini?" tanya Kinan ketika adzan subuh berkumandang.

Langit masih menyesuaikan cahaya yang masuk dari lampu tidurnya, ia melirik perempuan yang masih dalam dekapannya.

"Daripada kamu bersin semaleman mending saya peluk kan?"

"Emang enggak apa-apa?" Kinan bertanya kembali.

Purna praja lulusan terbaik di angkatannya itu terduduk melepaskan tangan Kinan yang sedari malam melingkar pada pinggangnya.

"Maksudnya?"

Dengan ragu Kinan menanggapi, "Naura?"

Langit tak menyangka Kinan akan membahasnya.

"Shalat subuh dulu tapi saya jelasin kalau kamu emang pengen tau."

Kinan menurut dan untuk pertama kalinya keduanya shalat berjamaah. Ada getar di dada Langit ketika ia menjadi imam dari seorang makmum perempuan bernama istri.

Adalah Naura yang menjadi mimipi Langit sebagai makmum setianya tetapi Allah punya rencana lain. Nyatanya lelaki shaleh Ibu Arini itu tetap merasakan kesejukan ketika menjadi imam seorang perempuan sahnya.

Selesai shalat, dengan ragu Kinan merangkak menghampiri Langit dan mencium takzim suaminya itu.

Langit ingin sekali mencium puncak kepala Kinan tetapi rasa malu dan gengsi lebih besar dari keinginannya.

"Naura Azzahra Putri, teman kecil saya. Rumahnya enggak jauh dari sini tapi dia sekarang kuliah di Jakarta. Apoteker, profesi yang dia ambil. Dekat sekali sama Salma dan Ibu, kita enggak pacaran tapi saya punya niat baik tadinya dan dia tau itu. Tapi nyatanya saya adalah looser yang enggak bisa tepatin janji sendiri," Langit berkisah sendu.

Ada irisan di hati Kinan yang tak ia sadari dan berusaha ditepikannya, "Sorry, semua gara-gara gue ya, Bang. Andai aja...."

"Enggak! Semua sudah izinNya, kamu enggak salah dan Papa juga enggak. Jodoh saya udah tercatat sejak saya usia 4 bulan di kandungan Ibu."

"Emmmhhh....Bang, sesuai perjanjian abal-abal yang pernah kita buat. Abang boleh kok lepasin gue. Setaun cukup lah, Bang. Nanti biar gue aja yang cari alasan atau cari gara-gara biar kita bisa pisah dan Abang bisa nikahin Naura."

Langit menatap lekat istrinya itu, ada kebohongan di netra indah berbulu mata lentik alami itu.

"Jangan liatin gue gitu dong, emang ada apaan di mata gue?"

Sungguh Kinan sudah mulai terbiasa dengan pernikahan terpaksanya ini walaupun baru berjalan sebentar.

"Naura masa lalu saya dan enggak pernah kembali. Pantang buat saya merevisi keputusan yang udah saya ambil sampe final," ucap Langit lantang dan tetap datar.

"Tapi lo harus bahagia, Bang. Bahagia dengan cinta dan mimpi lo. Mungkin kita enggak bisa jadi suami istri beneran tapi kita bisa jadi partner, anggap aja gue adek lo, Bang. Dan gue bakal anggap lo kakak gue beneran," kata Kinan memberi ide.

Langit berdiri sambil merapikan sejadahnya, "Ada ya adek tapi sekamar dan sekasur gitu?"

Selalu saja nyinyir, begitu pikir Kinan padahal ia sudah berusaha seramah mungkin. Ia pun segera membuka mukena dan kembali memakai sweater nya.

"Pulang dari sini kita pindah ke rumah saya, jaraknya lebih deket ke kantor dan kampus kamu. Disana ada 3 kamar dan kamu bakal punya kamar sendiri," terang Langit.

Kinan sempat tertegun dan tak ada dalam bayangannya untuk pindah dari rumahnya, tempat ia tumbuh besar dan mengukir banyak kenangan terutama dengan almarhumah ibunya.

"Kalau gue enggak mau gimana? Kalau Papa enggak izinin gimana?

Langit mengerutkan keningnya, "Terserah...tapi satu yang pasti, Papa enggak akan bisa apa-apa. Karena kamu udah tanggung jawab saya dunia akhirat."

Oke, satu hal yang mungkin Kinan lupa. Jika ia sudah sepenuhnya milik Langit dan papanya tak bisa berbuat apapun.

***

Kembali ke Bandung, sepasang pengantin baru ini langsung packing karena sesuai apa yang sudah dibicarakan Langit bahwa keduanya akan pindah dari rumah besar Rayadinata.

"Bang, Naura kayak gimana sih orangnya? Cantik pake banget?" tanya Kinan sambil membereskan isi koper yang akan dibawa pindah ke rumah Langit.

Tak ada jawaban dari lelaki bertubuh jangkung itu, ia fokus membantu Kinan mengepak buku-buku kuliah dan juga aneka partitur lagu yang berserakan.

"Bang, denger enggak?"

Kali ini Langit melirik tajam, "Kalau cantik kenapa kalau enggak kenapa?"

"Elaaahhh...tinggal jawab aja kenapa sih, ribet amat," ucap Kinan.

Terus terang Langit tak nyaman jika terus diteror pertanyaan seputar Naura tapi ia berusaha memaklumi karena yang bertanya adalah istri muda usianya.

"Naura, tingginya enggak lebih dari kamu, berjilbab dan berkacamata. Kalau kamu tanya dia cantik atau enggak? Jawabannya, cantik. Setelah ini enggak usah tanya Naura lagi, bisa?"

Tercubit hati Kinan ketika suaminya menjelaskan sosok Naura yang sepertinya jauh dari dirinya. Perempuan bersuara sopran itu langsung memasang muka tak ramah dan itu disadari Langit.

'Salah lagi gue, gini nih resenya cewek. Giliran dijelasin malah ngambek.'

"Ayok, udah beres kan? Enggak usah dibawa semua juga toh kamu masih akan kesini juga. Pamit dulu sama Bi Inah dan Teh Teti sana!" titah Langit yang dibantu Ucok memasukkan barang-barang Kinan ke bagasi mobil.

Pemandangan haru tersaji di service area rumah Rayadinata, dua ART yang setia sejak Kinan kecil kini harus berpisah dengan majikannya itu.

"Sering-sering kesini ya, Non. Soalnya nanti bibi bakal kangen banget," ucap Bi Inah terbata seraya terus mengusap air matanya yang terus meluruh tanpa komando.

Tak ada suara dari Kinan, ia hanya mengangguk dan memeluk erat sekali lagi para ART nya.

"Den Langit, titip Non Kinan ya. Kalau emang disana butuh asisten bibi atau Teti siap kesana," Bi Inah berkata sekali lagi tetapi kini kepada Langit.

"Biar Kinan belajar mandiri dulu ya, Bi. Nanti juga kalau udah enggak sanggup dia pasti telepon ke Bibi," tukas Langit seraya tersenyum ramah.

Meninggalkan rumah yang sudah ia tempati sejak lahir membuat Kinan sedikit melankolis. Papanya tak ada ketika ia meninggalkan tempat yang menjadi saksi suka duka dunia karena sedang berada di Hanoi.

"Jadi gimana? Mau ikut saya atau mau tetap di rumah sama Bi Inah?" tanya Langit dari balik kemudi.

Istri kecilnya hanya terdiam tak berani bicara karena air matanya terus keluar.

Langit sudah akan putar balik tetapi tangan Kinan mencengkramnya.

"Udah enggak usah, jalan aja ke rumah lo, Bang. Lagian lo mah enggak ngerti, ya wajar dong kalau gue melow. Rumah itu tempat gue tumbuh, banyak cerita disana termasuk sama almarhumah Mama."

Bukannya Langit tak mengerti tapi ia sedang mendidik Kinan menjadi wanita mandiri dan lebih kuat dari sebelumnya. Sayangnya perempuan muda berusia 19 tahun itu tak mengerti maksud Langit.

Selang 30 menit keduanya berhenti di depan rumah berlantai 2, catnya dominan coklat dan hitam. Dindingnya warna natural, tidak besar tetapi tidak kecil juga. 

"Ini rumahnya?" tanya Kinan seraya mengitarkan pandangannya ke sekeliling.

Tetangga kiri kanan nya pun memiliki desain rumah yang serupa hanya berbeda nomor rumah saja.

Langit mengangguk, "Ayo masuk, nanti biar saya yang turunin barang-barangnya."

Membuka pintu utama dengan telapak tangan Langit yang digerakkan membuat Kinan melongo.

"Canggih juga rumah lo, Bang. Norak gue liatnya, kok Papa enggak bikin kayak gini ya di rumah?" tanya Kinan absurd.

Langit hanya melirik sekilas perempuan yang mengekorinya sedari tadi sambil menyalakan sensor lampu ruang tamu dan ruangan lainnya dengan tangan kiri.

"Wooww...Bang, keren banget sumpah. Nanti kalau gue punya rumah pengen kayak gini juga ah. Tar gue bilang sama Papa," kata Kinan dengan binar mata antusias.

"Rumah? Ini rumah kamu, milik kamu. Ngapain minta Papa bikinin rumah kayak gini, kamu sekarang nyonya rumahnya kok," sahut Langit seraya menaiki tangga menuju kamarnya.

Kinan tertegun memikirkan perkataan suaminya. Apa katanya tadi? Ini rumah gue? Apa iya?

"Bang, kamar gue dimana?" teriaknya.

Tak ada jawaban dari suami dinginnya itu, entah sedang apa diatas dan Kinan pun tak berani menyusulnya hingga ia tertidur di sofa bed hitam tepat berada di depan televisi yang masih menyala.

Langit lupa ada istri yang ia biarkan di lantai bawah tanpa tahu dimana kamarnya karena ia langsung zoom meeting dengan gubernur 90 menit lamanya.

Gegas ia turun teringat istrinya yang sedari tadi tanpa suara.

'Ya Allah, Neng. Maafin, gue bener-bener lupa kalau sekarang ada lo disini.'

Menatap lekat perempuan yang kini akan menemani hari-harinya itu, Langit tersenyum simpul. Surai rambut yang menutupi sebagian wajah cantik Kinan dienyahkannya perlahan.

Ada bimbang sejenak apa Kinan dibangunkan saja atau digendong Langit menuju kamar yang ia sediakan untuk istrinya itu.

Setelah dipikir berulang kali Langit tak ingin mengganggu nyenyak tidur KInan. Dengan sekali hentak, ia pangku perempuan berkulit putih bersih itu ala bridal style menuju kamar.

Langit sudah persiapkan penghangat ruangan di kamar baru Kinan, ia nyalakan setelah direbahkannya sang istri di kasur empuk yang juga sengaja ia beli sehari sebelum menikah.

Menutup perlahan pintu kamar Kinan, Langit kembali ke kamarnya di lantai atas. Ia teruskan pekerjaan yang sudah menumpuk karena ditinggal cuti menikah.

Waktu menunjukkan pukul 11 malam ketika Kinan tersadar ada di ruangan yang asing untuknya.

'Gue dimana ini? Sepi banget, Bang Langit kemana ya?'

Baru ia tersadar jika saat ini sedang berada di rumah Langit. Perutnya keroncongan karena terakhir Kinan makan ketika siang tadi.

Memutuskan untuk keluar kamar tetapi ia teringat bahwa di rumah ini semuanya serba smart. Ia mencoba membuka pintu dan ternyata masih bisa dibuka. 

Kinan menuju dapur mencari sesuatu yang bisa ia makan, dibukanya kulkas side by side yang ia tahu harganya pun tak murah.

'Dia ASN tapi rumah bisa smart gini belum lagi kulkas kayak gini kan mahal. Emang gaji ASN itu gede ya? Kok bisa punya barang-barang mewah gini.'

Di kulkas yang dapat menampung banyak bahan makanan itu hanya terdapat susu full cream putih, 3 buah apel, dan semangkuk anggur hijau.

Sempat meragu tetapi akhirnya Kinan memberanikan diri ke lantai 2 tempat dimana suaminya berada. Melirik ke kanan dan kiri mencari kamar lelaki yang seminggu ini menjadi teman hidupnya, mata Kinan tertuju pada akrilik kuning terang yang menempel pada pintu hitam berluliskan Langit Zone.

Mengetuk pintu kamar suaminya itu berkali-kali tetapi tak ada jawaban. Kinan nekad mendorong handle pintu.

Seketika Kinan menjerit seraya menutup wajah dengan kedua tangannya, "Bang Langiiiittttt...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status