Sore itu seorang pria berkaos hitam lusuh nampak duduk di depan Jiwa dan Wangi di sebuah restoran mewah. Pria yang merupakan ayah tiri gadis bernama Arra itu bernama Bowo. Pria yang sudah menjual anak tirinya sendiri demi uang itu gemetaran, saat Wangi berkata bahwa putri tirinya berani memukul kepala Jiwa menggunakan vas bunga sampai terluka.
Wangi ingat, awal perkenalan mereka sekitar tiga bulan yang lalu, di mana saat itu dirinya dibantu sang manager mencari gadis yang bisa dijadikan alat untuk mengandung dan melahirkan anaknya dan Jiwa, tapi ternyata rencana yang sudah Wangi susun tidak berjalan mulus. Banyaknya prosedur yang dilalui, hingga dokter yang enggan melakukan tindakan medis melawan hukum karena mereka ingin memakai ibu pengganti. Alhasil, Wangi harus memaksa Jiwa menyetubuhi Arra. Dan jika ada satu wanita gila di dunia ini yang rela membiarkan perbuatan itu terjadi, dia adalah Wangi – si ambisius.
“Kamu tahu, setelah membuat suamiku terluka anakmu kabur dari villa. Orang-orang kami bilang ada serombongan pria datang dan menghajar mereka habis-habisan, jadi di mana anak tirimu sekarang?” tanya Wangi dengan raut muka kesal. Ia sudah meminta Bowo datang bersama Arra tapi hanya pria itu saja yang menemuinya.
“Ar-ar-Arra tidak pulang ke rumah,” ucap Bowo terbata, dia takut jika dimintai pertanggungjawaban karena uang dari Jiwa dan Wangi sudah habis dipakai untuk berjudi.
“Lalu ke mana dia?” bentak Wangi. Ia takut Arra melapor ke polisi, jika hal itu sampai terjadi tamat sudah riwayatnya. “Aku akan membunuhmu jika sampai mulut anakmu itu berkoar-koar ke publik, kamu tahu ‘kan siapa aku!”
“Ta-ta-tahu Nyonya.” Bowo terus menunduk meski di dalam hati dia menggerutu dan kesal ke Wangi.
“Kalau kamu tahu siapa aku, maka urus putrimu itu. Dia harus mematuhi isi perjanjian yang sudah ditandatanganinya, Arra harus mengandung anak kami.” Wangi lagi-lagi berbicara lantang, pembawaannya meledak-ledak berbeda dengan Jiwa yang hanya diam sejak tadi.
Jiwa sejatinya dilema, dia benar-benar tak percaya Wangi melakukan semua ini hanya demi memberi papanya cucu tanpa ingin melepaskan karir keartisannya. Bodohnya, dia sangat mencintai wangi hingga melakukan apapun yang diinginkan wanita itu. Jiwa masih memilih untuk bungkam, hingga tiba-tiba saja mamanya menelepon. Wanita itu berbicara dengan nada panik dan meminta Jiwa untuk segera pulang ke rumah.
“Ada masalah mendesak, kita harus pulang,” ucap Jiwa ke istrinya.
Wangi menoleh dengan wajah kebingungan, pagi tadi dia sudah mendapat sindirian dari mertuanya karena luka di kepala Jiwa. Ia dianggap tidak bisa mengurus suami dengan benar dan hanya mementingkan popularitasnya. “Masalah apa?” tanyanya heran.
“Mama tidak mau bilang,” jawab Jiwa dengan enteng sebelum menatap tajam Bowo yang sudah berani menegakkan kepala.
“Jika sampai anakmu melapor polisi dan namaku juga Wangi terseret, kamu tahu dengan jelas siapa yang akan berakhir membusuk di penjara.” Jiwa memulas senyum sinis, dia lantas berdiri disusul oleh Wangi yang bertanya lagi, apa yang terjadi sampai mertuanya meminta sang suami pulang ke rumah.
_
_
Linda berdiri memandang ke arah ruang tamu. Ia memilih tidak kembali ke ruangan itu setelah masuk ke dalam untuk menelepon putra sulungnya tadi. Linda benar-benar dibuat terkejut dengan kedatangan orang asing ke rumahnya.
“Eh … mau kemana?” tanya Linda melihat pembantunya membawa nampan berisi minuman untuk sang tamu.
“Mau disuguhkan ke tamu Nyonya,” jawab si pembantu.
Linda menggeleng, dia meminta pembantunya kembali ke belakang dan melarangnya keluar jika dia belum memanggil atau membutuhkan. Pasalnya, Linda bingung dengan ucapan tamu yang datang ke rumahnya itu – siapa lagi kalau bukan Ayuda. Gadis itu sengaja ke sana dan mengaku sebagai kekasih Jiwa. Pandainya, saat ditanya oleh pembantu yang membukakan pintu, Ayuda berkata bahwa dia teman Wangi. Linda sempat memindai penampilan Ayuda, semua yang melekat di tubuh gadis itu merupakan barang branded, higga dia pun berpikir mungkinkah Ayuda adalah selingkuhan Jiwa. Linda pun menelepon sang putra, dia tidak tahu bahwa Jiwa sedang bersama Wangi saat itu.
Ayuda nampak duduk tenang, sesekali memindai ruang tamu rumah itu. Bibirnya memulas smirk melihat foto keluarga Ramahadi, dia tahu musuh bebuyutan papanya itu memiliki dua orang anak laki-laki.
“Dia pasti putra kedua Ramahadi yang bernama Raga,” gumam Ayuda dalam hati.
Gadis itu santai dan terlihat tenang, dia sengaja datang lebih awal untuk melihat keadaan. Tak disangka Linda memintanya duduk untuk menunggu alih-alih mengusirnya. Hingga beberapa saat kemudian, Ayuda mendengar langkah kaki, dia yang memalingkan muka pun langsung menoleh ke arah pintu. Ia berdiri dan tersenyum lebar mendapati Jiwa datang, Ayuda semakin senang karena pria itu ternyata bersama Wangi.
Mata pasangan suami istri itu membelalak lebar mendapati gadis yang masih mereka pikir Arra itu berani datang ke rumah.
“Ka-ka-kamu.” Wangi terbata-bata, dia heran dengan penampilan Arra yang jauh berbeda.
Namun, bukannya merespon Wangi, Ayuda malah berjalan mendekat ke arah Jiwa dan berdiri tepat di depan pria itu.
“Apa kabar Tu-an Ji-wa?” ucap Ayuda dengan nada suara mencibir. Ia bahkan berani membetulkan dasi Jiwa yang sedikit miring.
_
_
Hai this is Adinasya
Jangan lupa tinggalkan komen dan bagi Gem-nya ya
Terima kasih
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw