Share

Bab 07

Dengan hati yang berdebar-debar, Sarah melangkah dengan mantap menuju tangga yang membawanya ke lantai dua rumah mereka. Cahaya lembut dari lampu gantung yang menghiasi lorong lantai dua memancar, memberikan atmosfer yang tenang dan misterius. Saat ia mencapai pintu kamar Prilly, ia menggenggam gagang pintu dengan tangan gemetar penuh emosi.

Sarah mengetuk pintu dengan kuat, dan setelah beberapa detik, pintu ia buka secara perlahan.

Di balik pintu itu, Sarah langsung bisa melihat Prilly— istri muda suaminya, yang tampaknya sedang sibuk dengan sesuatu.

"Nyonya Sarah ...?" Prilly yang tampak kaget dengan kehadiran Sarah di kamarnya, seketika saja ia langsung melepaskan fokusnya, dan kini berdiri tegap menghadap Sarah. "Ada apa, Nyonya Sarah?"

Sarah masuk ke dalam kamar dengan langkah yang tegas, dan bersamaan dengan itu pintu pun tertutup di belakangnya. Dengan suara yang tegas pula ia pun mulai berbicara, "Bukankah kamu merasa jika saat ini ada sesuatu yang harus kita berdua bicarakan?"

Prilly tampak gemetar ketakutan, tetapi ekspresi penasaran tergambar di matanya. "Membicarakan tentang apa, Nyonya?"

Prilly takut untuk menjawab langsung, walaupun sesungguhnya saat itu ia sudah tahu maksud dari perkataan Sarah kepadanya.

"Semua yang harus kita bahas saat ini tidak lain adalah tentang, Tuan Omar. Apakah kamu pura-pura bodoh, atau memang kamu benar-benar bodoh?"

Prilly menatap Sarah dengan pandangan yang penuh pertanyaan, dan Sarah pun melanjutkan, "Mungkin saat ini kamu berpura-pura bodoh, atau berpura-pura tidak paham. Tapi, aku akan berbicara langsung kepada intinya saja. Aku ingin kamu berpikiran lurus tanpa berpikir untuk memperpanjang waktu hubunganmu dengan Tuan Omar!"

Suasana di dalam kamar itu seketika saja penuh dengan ketegangan. Peringatan keras yang Sarah berikan— tentu saja hal itu langsung membuat Prilly tak bisa berkutik lagi. Ia ketakutan, tangannya tak berhenti gemetar, dan bahkan tanpa sadar, keringat dingin tak berhenti keluar membasahi sisi-sisi wajahnya.

Dalam cahaya yang lembut di kamar Prilly, suasana menjadi semakin tegang saat Sarah memberikan peringatan yang keras. Prilly merasa jantungnya berdegup kencang, dan matanya penuh dengan ketakutan.

Prilly menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang hampir saja mengalir.

Di samping rasa takutnya yang begitu mendalam, Prilly merasa penting untuk menjelaskan sesuatu kepada Sarah. Dengan suara gemetar, dia mulai berbicara, "Nyonya, saya mengerti dengan semua itu. Saya tidak pernah berpikir jika suatu hari nanti saya harus memperpanjang hubungan yang rumit ini dengan Tuan Omar."

Sarah memandang Prilly dengan perhatian penuh, memberinya kesempatan untuk menjelaskan lebih lanjut.

Prilly melanjutkan, "Hubungan ini hanya terjalin karena sebuah perjanjian. Tuan Omar telah menyelamatkan Ibuku dari jeratan maut dan lilitan hutang yang sangat besar. Dan sesuai dengan perjanjian kami berdua, sudah menjadi hal wajib bagiku untuk memberikan keturunan kepadanya. Dia sangat menginginkan seorang anak; jadi karena itulah ...."

Wajah Prilly mencerminkan campuran antara keputusasaan dan ketulusan. Ia tahu bahwa keadaan rumah tangga ini rumit, dan perasaannya tidak bisa diabaikan.

Prilly ingin Sarah bisa memahami bahwa ada alasan kuat di balik segala tindakan yang ia lakukan, meskipun itu adalah situasi yang sulit dan penuh dengan tekanan.

Saat Prilly menyebut tentang anak, Sarah merasa tersinggung. Tatapan tajam dark Sarah langsung memancar, dan ada getaran kemarahan di dalam suaranya ketika dia menjawab, "Prilly, aku bisa mengerti jika ini adalah situasi yang rumit. Tetapi, aku benar-benar berharap kamu tidak akan berpikir untuk merebut Tuan Omar dariku."

Sarah berdiri tegak, matanya dan mata Prilly saling bertemu, dan saat itulah Sarah kembali melanjutkan, "Jangan pernah kamu lupakan fakta yang menjelaskan jika aku ini adalah istri pertamanya. Aku telah mengabdikan diri dengan setia kepada Tuan Omar selama bertahun-tahun lamanya, dan oleh karena itulah, statusku jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan dirimu yang masih baru dalam hubungan ini."

"Meskipun aku belum bisa memberikan keturunan kepada Tuan Omar, tetapi tetap saja ... hal itu tidak menjadi alasan yang tepat bagi kamu untuk bisa menyamai diriku. Toh, saat ini kamu belum bisa memberikan keturunan itu juga kepada Tuan Omar. Jadi, aku ingin kamu tahu diri dan jangan pernah bermimpi untuk merebut Tuan Omar dariku!"

Sarah ingin Prilly memahami bahwa meskipun situasinya rumit, hubungan mereka berdua tidak dapat disamakan.

Sorot mata Sarah yang tajam mencerminkan tekadnya untuk mempertahankan posisinya dalam hati Tuan Omar.

Dalam suasana yang tegang ini, Sarah berusaha menyampaikan pesan yang jelas kepada Prilly bahwa ia tidak akan membiarkan siapapun merusak hubungannya dengan Tuan Omar, meskipun kehadiran Prilly telah menambah kompleksitas dalam pernikahan mereka.

Beberapa saat setelah itu, Sarah pun langsung saja melangkah kakinya untuk keluar dari kamar itu— meninggalkan Prilly di dalamnya seorang diri.

Pintu kamar yang tertutup perlahan menggema dalam keheningan. Prilly duduk di pinggiran tempat tidur dengan perasaan bercampur aduk. Tubuhnya yang gemetar selama pertemuan tadi kini merasa lemas, seperti seluruh energinya telah terkuras.

Air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan lagi. Prilly merasa begitu terluka oleh situasi yang rumit ini. Hatinya remuk karena mendapati dirinya terjebak dalam permainan emosi di antara Tuan Omar dan Sarah.

Perlahan-lahan Prilly meraih selembar tisu dari meja riasnya dan mengelap air matanya yang berlinang. Pikirannya berkecamuk, mencoba mencari jalan keluar dari labirin emosi yang membelitnya. Prilly merasa seperti boneka dalam tangan dua orang yang berbeda, dan ini sangat menyakitkan.

Berpikir tentang kehadirannya di antara keluarga Tuan Omar dan Sarah membuat Prilly merasa begitu terasing. Dia merasa seperti tamu yang tidak diinginkan di dalam rumah tangga mereka yang rumit. Prilly merenung tentang bagaimana hubungan yang rumit ini dapat membawanya ke dalam situasi yang memilukan ini.

Perasaan kebingungan dan ketidakpastian masih menghantuinya, mengingatkannya pada kenyataan bahwa perjalanan ini akan penuh dengan rintangan dan tantangan yang sulit diatasi.

Ketika ia dihadapkan dengan kenyataan yang pahit itu, saat itulah kerinduan akan kehadiran sang Ibu sangat ia rindukan.

"Kenapa disaat-saat seperti ini aku justru tidak bisa bersama dengan Ibu ...."

Isak tangisnya mulai terdengar berusara, dan deraian air matanya pun juga mulai deras mengalir di wajahnya. "Aku benar-benar membutuhkan Ibu disaat-saat seperti ini. Tapi, kenapa Ibu tidak ada di sisiku saat ini? Aku benar-benar merindukan Ibu."

Kerinduan terhadap orang yang sangat ia sayangi pun kini telah menjadi salah satu alasan tangisan kesedihan Prilly.

Dengan berusaha keras untuk meredam suara tangisannya, Prilly terus mengeluarkan semua rasa sakit yang telah ia pendam selama ini. Segala sesuatunya keluar. Dan seakan-akan waktu telah berhenti saat itu, Prilly benar-benar tak ingin memikirkan hal lain selain menangis sampai puas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status