(Empat tahun sebelumnya … )
Namanya Rania Manalli. Gadis berusia 19 tahun yang sangat periang, hingga seluruh penduduk desa itu menjulukinya gadis matahari.Berparas cantik, periang, pintar dan berbadan proporsional, harusnya tak menjadi penghalang bagi Rania untuk mendapatkan pekerjaan apapun yang dia inginkan. Tapi nyatanya kini dia hanyalah tinggal di desa kecil ini.Rania hidup berdua dengan sang ayah, yang bekerja sebagai buruh tani miskin. Setiap musim panen, ayahnya akan mendapatkan imbalan dari si pemilik sawah atas kerja kerasnya menanam padi.Rania memilih untuk bekerja sebagai guru les anak-anak SD di sekitar rumahnya, dengan bayaran yang lumayan untuk membeli sayur dan lauk pauk harian. Rania selalu mensyukuri apapun, bahkan dalam hal paling kecil dan tak berarti.Brak!!Keributan besar tiba-tiba terjadi di halaman rumah Rania. Orang-orang bergerombol, namun tidak ada satu orang pun yang maju untuk mengecek keadaan.Maka Rania yang baru saja pulang dari mengajar, berlari tergopoh-gopoh mendekati rumahnya. Dia sisir setiap orang yang berkerumun demi bisa menerobos masuk ke dalam.Dia melihat sang ayah babak belur dengan wajah penuh darah, dan dua orang pria besar sedang melayangkan bogem mereka. Rania tanpa pikir panjang berlari, maju ke depan melindungi sang ayah.“Hentikan, brengsek!!” umpat Rania. “Beraninya kalian memukuli ayahku!”Dua orang pria itu meski sama-sama berbadan besar, namun memiliki ciri yang sangat berbeda. Satu berusia cukup muda, dan satu lagi tampak berusia empat puluh tahunan dengan luka codet di pipi.Pria yang paling tua maju, mencengkeram kedua pipi Rania hingga memerah.“Jaga ucapanmu, bocah,” gumamnya.Kemudian dia mulai mengedarkan pandangannya menelusuri seluruh tubuh Rania, dari atas sampai bawah. Lalu menyeringai penuh maksud.“Kau bisa menggunakan tubuhmu sebagai pelunas hutang ayahmu yang tidak berguna ini,” ucapnya.Mata Rania seketika melebar, dengan bibir gemetar.“H-hutang?!” serunya.“Wah, sepertinya kamu tidak tahu kalau ayahmu berhutang pada Tuan Hadi, ya?” Si pria muda menyahut.Gerombolan tetangga Rania yang semula berkerumun ingin tahu, perlahan mulai mundur saat nama Tuan Hadi disebut. Satu demi satu pergi, ada yang lari kocar-kacir, seakan baru saja melihat setan.“Ayahmu ini berhutang cukup banyak pada Tuan Hadi. Dan dia tidak mau membayarnya,” jelas si pria muda, sambil mengitari tubuh Rania yang masih dalam cengkeraman si pria tua.“Aku akan membayarnya! Beri aku kesempatan!” seru ayah Rania, berusaha bangkit meski wajahnya berlumuran darah.“Persetan!” Si pria muda menendang wajah ayah Rania.“Ayah!!!” pekik Rania, berontak minta dilepaskan meski tenaganya tentu tidak bisa menyeimbangi si pria tua.Rania terus menjerit, berontak kesetanan tak kuasa melihat tubuh ayahnya yang remuk. Dan tingkahnya itu berhasil mengalihkan perhatian si pria muda. Pria itu menyeringai sambil mendekati Rania.“Siapa namamu?” tanyanya.“Apa pedulimu, monster!” jerit Rania, hampir saja meludahi pria muda itu.Akibat mendapatkan respon tak menyenangkan dari Rania, pria muda itu dengan cepat mencengkeram baju Rania.“Akan kupastikan, kamulah yang harus membayar hutang-hutang ayahmu,” ancamnya.Dengan isyarat mata, si pria muda menyuruh si pria tua untuk melepaskan Rania. Dan tanpa pikir panjang Rania segera berlari menolong tubuh sang ayah yang terkulai lemas di tanah.Air mata Rania bercucuran, tangan gemetar berusaha menyentuh luka-luka di wajah sang ayah.“Kalian … benar-benar manusia biadab,” isak Rania, menatap tajam kedua preman itu.Si pria tua tersulut emosi mendengar ucapan Rania, dan hendak memukul gadis itu. Namun si pria muda menghadang tindakannya.Dia mengisyaratkan si pria tua untuk pergi dari rumah Rania, meski ada raut kekecewaan dari wajah si pria tua yang seakan masih belum puas memberi efek jera untuk Rania dan ayahnya. Namun dari gelagat saja, sudah tampak jika si pria tua tunduk kepada si pria muda. Jadi mau tak mau dia harus pergi.***Kehidupan Rania setelah kedatangan dua preman itu menjadi sangat berubah. Sang ayah kehilangan pekerjaannya karena si pemilik sawah takut akan Tuan Hadi, begitu pula Rania. Bahkan para ibu-ibu memilih untuk tak membiarkan anak-anak mereka les bersama Rania, dengan alasan yang tidak masuk akal.Rania mau tak mau memutar otak, demi bisa mencukupi kebutuhan hidupnya bersama sang ayah, sekaligus menyicil hutang kepada Tuan Hadi.“Ayah?” panggil Rania, ketika dia mendapati rumah kosong dan gelap, padahal hari menjelang maghrib.Rania masih mencoba berpikir positif, dengan menghidupkan saklar lampu ruang tamu. Namun tidak tampak sosok sang ayah, begitu pula panggilannya juga tidak disahut.“Ayah?” panggil Rania sekali lagi, sambil menoleh ke segala sudut ruangan dengan langkah penuh hati-hati.Jantungnya mulai berdegup kencang, gugup luar biasa. Dia tidak pernah merasa setegang ini di dalam rumahnya sendiri. Namun melihat rumahnya yang sepi padahal fajar belum juga pergi, pikirannya mulai cemas.Deg! Rania tak bisa lagi menopang daya tubuhnya, saat melihat tubuh ayahnya bergoyang di atas tiang kayu rumahnya, dengan leher terlilit tali tambang. Rania terkulai lemas, kehilangan keseimbangan namun kesadarannya tetap terjaga.Rania berharap dia pingsan saja, tapi tidak bisa. Bahkan saat dia ingin berteriak meminta pertolongan, lidahnya sudah kelu. Wajah sang ayah membiru, tak bergerak dan kaku. Persendian Rania bagai lumpuh ketika dia mencoba untuk bangkit demi menurunkan tubuh sang ayah.“Ayah, kumohon … jangan tinggalkan aku … “ jerit Rania dalam hati.Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng