Wira berdiri begitu dekat dengan Sully. Meski wajah mereka tidak sedekat kemarin saat ia meresletingkan jaket yang dipakai wanita itu. Tapi ia menangkap sorot berkilap di mata Sully. Ditambah dengan gerakan menelepon yang dibuat Sully, ia paham kalau wanita itu sedang mengancam sekaligus mengolok-oloknya. Sungguh kekanakan. Wira ber-cih dalam hati.“Bapak mau ke rumah Ajeng. Mau lihat kualitas kayu bakar yang diantar tetangganya. Kalau enggak diperhatikan, mereka kadang menyisipkan kayu-kayu bagus yang mereka tebang. Penipu itu selalu ada di mana aja.”Perkataan Pak Gagah sontak membuat tatapan saling mengintimidasi antara Sully dan Wira terputus. Keduanya tersadar karena merasa tersindir. Tatapan keduanya berpindah untuk mengawasi Pak Gagah yang bangkit dari kursi dan meninggalkan dapur.“Bukan cuma soal Mbak Sulis aja atau soal pernikahan ini. Siapa pun yang saya jahati, bisa ngelapor ke Bapak saya. Dari dulu beliau terkenal tidak pandang bulu meski saya adalah anaknya. Saya tetap d
Wira tersentak saat Sully mengucapkan kata ‘perawan’ dengan begitu lugasnya. Terlebih ada Oky di tempat itu. Padahal niatnya menghampiri tadi hanya ingin menahan Sully agar tidak pergi dari rumahnya. Tapi semua hal yang ia katakan malah membuat Sully semakin berang.“Maksud saya bukan seperti itu, Mbak. Bukan dalam soal itu. Tapi....”“Dalam soal apa lagi laki-laki membandingkan perempuan kota dan perempuan desa selain soal itu? Soal pergaulan bebas, kan? Wanita yang tinggal di kota pasti bebas ke sana kemari dan bermalam sama pacarnya di hotel-hotel? Atau yang tinggal di apartemen bareng? Itu, kan?” Sully kembali maju selangkah mendekati Wira. Kini jarak mereka tak lebih dari setengah meter. Sully harus mendongak untuk melihat wajah Wira yang tak menyiratkan emosi apa pun.“Saya enggak ada maksud ke sana. Saya hanya mencari istri yang pasti bisa tinggal bersama bapak saya yang bawel, Mbak. Mbak Sulis lihat sendiri bagaimana rumah saya. Semuanya masih ketinggalan zaman. Dengan sikap k
“Maksud saya ... nanti dilihat Bapak,” kata Wira, memperbaiki kalimatnya. “Aku menantunya,” jawab Sully. “Dilihat tetangga enggak enak.” Wira menoleh sekeliling mereka. “Kalau enggak dilihat tetangga, enak? Gitu?” Sully semakin mengeratkan pelukannya. “Badan Mas ternyata sekeras ini, ya. Mas masih perjaka, ya?” Sully menggaruk-garuk pelan pinggang Wira. Wira berdiri kaku dengan kedua tangan yang tergantung canggung di kedua sisi tubuhnya. “Jangan ngomong yang aneh-aneh,” tegur Wira, menoleh kanan-kirinya gelisah. “Ehem!” Suara deham Pak Gagah yang disengaja, membuat Sully seketika melepaskan tangannya dari Wira. “Bidan pengantin datang bawa perlengkapan buat besok pagi.” “Iya, Pak. Sebentar lagi kami ke kamar,” sahut Wira. Sully mengalihkan perhatian pada jemuran pakaian yang hendak diambilnya tadi. “Masih basah,” gumamnya. Tapi kalau menjemurkan pakaian lagi, itu berarti ia mengurungkan niat pergi dari sana. Sully meraup semua pakaiannya dan menyisakan jaket Wira di jemuran. “
Melihat Wira selesai dengan jemuran dan berjalan ke arah rumah, Sully berbalik dan kembali ke halaman depan. Dekorasi sederhana yang dikatakan Pak Gagah tadi ternyata memiliki arti yang sesungguhnya. Memang benar-benar sederhana. Beda dengan arti kata sederhana yang sering diucapkan para selebriti ibukota. ‘Sederhana’ selalu berarti elegan, tanpa endorse dan menghabiskan banyak uang. “Ini istri Bagus, kan?” Ajeng mendekati Sully. Ia baru kembali tiba ke rumah Pak Gagah berboncengan dengan suaminya. Ajeng membawa rantang berisi lauk-pauk untuk makan hari itu. Sully berdiri dari kursi yang baru didudukinya. Dia juga baru bertemu dengan kakak perempuan Wira yang namanya sudah beberapa kali ia dengar. “Saya Sully, Mbak,” ucap Sully menyodorkan tangan untuk bersalaman. Ternyata sambutan dari kakak Wira berbeda. Ajeng mengabaikan tangan Sully dan langsung memeluknya. Pelukan itu cukup lama. Tangan wanita itu menepuk-nepuk pelan punggung Sully dan mengusapnya seakan sedang menumpahkan keri
Wira menggerakkan kepala, lalu mengangkat tangannya untuk meregangkan tubuh. Dari embusan napas Sully yang perlahan menjauh dari telinganya, itu berarti ia sudah bisa membuka mata. “Ada apa, Mbak?” Wira menyipitkan mata seakan baru terbangun. “Temani aku ambil jemuran, Mas. Oky enggak mau. Katanya udah ngantuk banget. Dari tadi kita bahas kerjaan buat besok.” Sully berdiri rapi dengan dua tangannya mengait di depan. Pekerjaan buat besok? Bukannya besok acara pernikahan? Apa itu termasuk pekerjaan bagi Sully? Wira memaklumi di dalam hati. Mungkin begitulah orang-orang di kota besar menyikapi semua hal. Harus profesional. Semuanya demi profesionalisme pekerjaan. Tanpa menjawab, Wira bangkit dari ranjang dan mendahului keluar kamar. “Maaf kalau aku ganggu tidur Mas Wira,” ucap Sully, menunduk memandangi kakinya yang mengikuti langkah Wira. “Enggak apa-apa,” sahut Wira. Wira berdiri tak jauh dari jemuran. Kedua tangannya masuk ke saku celana training olahraga yang digunakannya untuk
Malam itu Sully dan Wira berbaring saling memunggungi. Keduanya memikirkan hal yang berbeda. Sully memikirkan soal rencana kontennya esok hari. Berapa banyak viewers-nya, seberapa cantik tampilannya dalam makeup busana tradisional, juga bagaimana tanggapan para haters sesama beauty vlogger yang sudah mengendus soal pelariannya. Pikirannya menerawang. Perlahan meninggalkan kesadaran hari itu untuk beristirahat. Sebuah kain sarung ia gunakan sebagai penutup setengah tubuhnya ke kepala. Cahaya lampu kamar itu terlalu terang. Saat itulah Sully merasa tubuhnya yang meringkuk memeluk guling, pelan-pelan ditutupi selimut lembut dan hangat. Matanya tak sanggup lagi membuka. Mungkin itu Wira, pikirnya. Mungkin juga itu hanya mimpi. Wira berbaring membelakangi Sully. Jarang sekali ia tidur miring. Sejak kecil memiliki kamar sendiri, ia terbiasa dengan tidur telentang menghadap lampu yang terang. Semasa kecil, itulah cara ibunya membujuk agar ia mau tidur sendirian. Cahaya lampu harus terang
Setelah menyampirkan selimut ke tubuh Sully, Wira masih jauh dari kata mengantuk. Pukul satu dini hari baru ia bisa jatuh tertidur. Tiga jam kemudian ia sudah kembali bangun. Rasanya sudah tidur terlalu lama. Dari luar ia bisa mendengar suara deham pintu dan obrolan samar-samar dua orang pria.Merasa kalau keramaian di rumah hari itu untuk kepentingan dirinya, Wira bangkit dan merapikan ranjang. Ia berdiri sebantar untuk mengamati kamar yang kurang ia perhatikan. Ternyata ia dan Sully tidur di kamar bertabur bunga plastik. Hanya beberapa kuntum mawar dan roncean melati di kepala tempat tidur yang bisa ia pastikan keasliannya. Ia meringis.Kalau nantinya Sully menikah sungguhan dengan pria yang berasal dari kota, kamarnya pasti lebih indah. Penuh dengan bermacam-macam bunga segar. Bukan bunga palsu seperti di kamar itu. Wira menggeleng samar dan meninggalkan kamar setelah menarik sedikit ujung selimut untuk menutupi telapak kaki Sully.Hal pertama yang harus dilakukannya pagi itu adala
“Kamu berdiri di sebelah kiri, Gus. Pegangi bagian belakang, atasnya. Budhe kancing bagian pinggangnya ini. Pinggangnya kecil, ya Gus. Pas seukuran dua tanganmu aja ini. Makanya kalau enggak dipeniti, bentuk badannya enggak bakal kelihatan. Tapi, susunya gede. Ini, sih, Bagus yang pinter.” Budhe Lina sepertinya tidak peduli dengan sepasang anak manusia yang membisu dan gaduh dengan pikiran masing-masing karena perkataannya. Wira berdiri tak tahu harus membuang pandangannya ke mana. Sebelah kirinya hanya ada dinding yang tak jauh dari jendela. Sebelah kanannya, Budhe Lina sedang menunduk mengancing long torso Sully dimulai dari bawah. Dan di depannya ada cermin tinggi yang bisa membuatnya beradu pandang dengan Sully. “Ini pengantinnya, kok, diam aja? Pak Gagah ngomong kalau Bagus baru dua bulan menikah. Harusnya masih hangat-hangatnya. Pengantin laki-laki lain kalau Budhe minta bantu begini ... pasti senyum-senyum terus. Sepertinya langsung terbayang acara malam.” Budhe Lina terkikik.