Sesaat yang lalu saat Wira baru tiba di kebun Ajeng bersama Saptono dan Hendro, anggota kelompok tani yang juga masih melajang, sekitaran tempat itu sudah ramai. Wira yang tadi datang ke rumah Saptono berjalan kaki, mendatangi kebun itu dengan berboncengan bersama Saptono.“Apa kubilang … sudah ramai, toh? Mas Wira pemuda pujaan seluruh penjuru desa pulang kampung setelah bertahun-tahun merantau. Apalagi pulangnya bawa istri. Semua wanita yang penasaran, pasti mau ketemu.” Saptono terkekeh-kekeh menonjok pelan lengan Wira.“Mau ketemu bagaimana? Aku sudah resepsi dan semua tetangga datang. Mau lihat apa lagi hari ini? Istriku juga enggak ikut,” kata Wira, membuka bungkusan plastik yang dibawanya dari rumah tadi. Tangannya lalu mengeluarkan golok yang terbungkus sarung kulit dan memiliki tali untuk diikatkan ke tubuhnya sewaktu memanjat nanti.“Aku tadi jumpa Ratna sama temannya boncengan naik Hoonda. Aku klakson malah teriak ‘Salam sama Mas Wira.’” Hendro kemudian tergelak. Sedangkan
Kalimat-kalimat yang diluncurkan Oky ada benarnya. Sully juga baru pertama kali melihat seseorang memanjat pohon kelapa yang sangat tinggi dan lurus menjulang ke langit. Tak sadar tangannya menyatu di pangkuan. Tergenggam erat dan basah oleh keringat karena ngeri melihat Wira memanjat terlalu cepat. Sekejab saja kebanyakan wanita yang berada di sana bertepuk tangan. Wira terlihat sedang mengayunkan goloknya menebas ranting kelapa sampai buahnya jatuh berdebum ke tanah.Kalau kebanyakan wanita memuji Wira, hal berbeda terjadi dengan kumpulan laki-laki. Hanya beberapa pemuda yang mengatakan soal kecakapan Wira itu. Selebihnya melontarkan perkataan dengki yang tertangkap telinga Sully. “Halah, kalau begitu saja aku, sih, bisa.”“Wajar kalau dia sesigap itu. Yang dikerjain juga pohon kelapa mbakyu-nya.” Dan yang paling mencolok di telinga Sully adalah perkataan, “Memang doyannya pamer dari dulu. Karena tahu disukai banyak wanita.” Sully menoleh ke kiri untuk melihat siapa yang mengatak
Wira cepat-cepat menangkap tangan Sully yang berusaha mendahuluinya. “Jangan marah. Nanti dilihatin orang,” kata Wira pelan.Sully menghentikan langkah dan melihat tangan Wira di pergelangan tangannya. “Ya, Mas gitu … Jangan pegang-pegang,” kata Sully, menyentak tangan agar Wira melepaskan. Karena tangan Wira bertahan di pergelangan tangannya, Sully melanjutkan langkah.“Iya…iya. Saya panggil Sulis aja,” kata Wira.Sully kembali menoleh Wira dengan sorot mata tajam menusuk.“Mas panggil Sulis aja,” koreksi Wira.Sully kembali melanjutkan langkahnya menuju parkiran. Ternyata Saptono sudah berada di motornya dengan Hendro di boncengan.“Mmmm … diajak ngomong sama Fariz sebentar aja langsung dipegangi enggak dikasih lepas.” Saptono terkekeh-kekeh memandang Wira yang baru tiba dengan wajah kaku dengan tangan masih menggandeng Sully.“Besok jam sebelas malam aku ke rumahmu,” kata Wira pada Saptono. Mengalihkan fokus Saptono dari genggaman tangannya pada Sully.Saptono memanggil Wira mende
Kecuali hal yang sedang dilakukan Sully padanya saat itu. Wira tak pernah merasa wanita itu merepotkannya. Semua pekerjaan fisik dan kerepotan-kerepotan yang dibutuhkan kaum perempuan, sudah biasa ia lalukan untuk ibunya. Terlebih ketika ibunya jatuh sakit. Ia meluangkan waktu tiga bulan lebih mengurus wanita yang melahirkannya itu sampai mengembuskan napas terakhir dalam pelukannya.Kerepotannya pada Sully cuma satu. Ia terganggu kalau wanita itu mulai menempelinya. Tapi itu bukan jenis terganggu sampai ia membenci Sully. Ia hanya tersiksa. Ia juga laki-laki normal yang bisa khilaf.Wira membelokkan sepeda motor ke bagian depan desa. Mulai meninggalkan jalan yang kanan-kirinya berupa kebun dan mulai memasuki pemukiman yang jarak antar satu rumah dan yang lainnya cukup dekat.“Ini bangunan apa, Mas?” tanya Sully dari boncengan. “Ini Balai Desa Girilayang. Biasa warga desa kumpul-kumpul buat acara, atau pemuda-pemudi buat pertunjukan, rapat atau kegiatan sejenis, tempatnya di sini.” W
“Jangan buka baju di sini. Nanti ke kamar mandi bagaimana? Mau pakai handuk aja? Ada Bapak di belakang,” kata Wira. Masih berdiri dengan selembar handuk melilit di tubuhnya. Tangannya meraba-raba rak lemari mencari kaus yang akan ia kenakan lebih dulu.“Ya, kan, enggak mungkin aku telanjang ke kamar mandi. Ada-ada aja,” kata Sully santai. “Aku mau pakai baju tidur yang dikasih Mbak Ajeng. Melepas jeans ketat begini di kamar mandi repot,” jelas Sully, berjalan menuju bagian samping lemari di mana kopernya berada. “Tadi ngomong soal celana pendek Mas. Jeans kamu itu juga terlalu ketat. Bajunya juga enggak mesti diikat gitu. Pria yang lihat pasti mau ngomong iseng.” Wira menepikan tubuhnya saat Sully melintas. Sully tiba-tiba berbalik menatap Wira. Pria itu tersentak dan seketika terdiam. “Cuma karena omongan pria? Bukan karena cemburu?” tanya Sully, menatap lekat mata Wira.“Cemburu?” Wira balik bertanya. “Cuma enggak mau kamu diisengin orang.” “Oh, karena itu. Ya udah, minggir.” Sul
Tak sampai lima menit, Wira kembali ke kamar dengan sebuah lampu teplok mini yang sudah dinyalakan. “Diletak di sini aja, ya.” Wira meletakkan lampu teplok di atas meja kecil yang bersebelahan dengan kaca tinggi. Tak jauh dari kaki ranjang Sully. “Makasih,” kata Sully. Posisinya belum berubah. Masih berbaring miring menghadap pada posisi Wira. Wira duduk sebentar melihat ponselnya. Sedikit kikuk karena lampu yang terang benderang berubah ke pendar kuning redup, Wira berdeham pelan sambil menepuk bantalnya. Sully mulai tak sabar melihat Wira. Ia memahami kenapa pria itu melambat-lambatkan gerakannya. Saat membangunkan pria itu tadi pun, sebenarnya ia bukan benar-benar merasa pengap dengan kain sarung menutup wajah. Ia memang hanya ingin mengganggu Wira karena memang tak enak terbengong sendirian. Tak ada Oky yang bisa ia bangunkan dan biasa meladeni kerewelannya. “Lis …,” panggil Wira saat membaringkan tubuhnya menghadap Sully. Posisi mereka sekarang sama. Saling berhadapan, namun
Sebelum kepergian Oky, Sully terbangun karena getar ponsel. Oky mengatakan telah menunggunya di teras. Sebelum keluar kamar ia mengecek pesan dan ternyata sudah ada dua pesan Oky yang belum dibacanya. ‘Lis, udah bangun? Setengah jam lagi aku berangkat.’ ‘Lis, sepuluh menit lagi aku berangkat. Kamu enggak mau titip pesan apa-apa buat ibumu?’ Sully melompat dari ranjang dan menoleh ke sebelahnya. Bagian ranjang yang ditiduri pria itu sudah rapi. Walau langit pagi masih gelap, memang tak mungkin Wira belum bangun, pikirnya. Sambil menggulung dan menjepit rambutnya, Sully menyeret langkah ke teras. “Jadi berangkat juga,” ucap Sully saat melihat Oky berdiri dengan pakaian rapi dan tas pakaian di kakinya. “Mata kamu bengkak. Nangis? Berantem sama Rino atau Mas itu?” Oky melihat Wira masuk ke kamar dengan rambut basah. “Kamu enggak abis diapa-apain sama Mas itu, kan?” “Ck, jangan ngaco. Ini masih pagi,” kesal Sully. “Abisnya mata kamu bengkak, Mas Wira keramas.” Oky tertawa kecil, men
Sejenak Wira berdiri mematung di depan pintu belakang. Memandang Sully yang berjalan lurus ke depan dan berbelok ke kamar dan langsung keluar dengan handuk di tangannya. Sully hanya melewatinya begitu saja. Wira lalu berjongkok memperbaiki kayu bakar di tungku. “Sulis mana? Sudah pergi?” Pak Gagah tiba kembali di halaman belakang. “Bapak dari mana?” tanya Wira. “Nganter radio tape buat diperbaiki.” “Bapak minta Sulis masak pakai tungku?” tanya Wira. “Iya, kenapa? Bapak ajarin dia manut, kok. Sekarang Sulis-nya mana?” “Aku suruh mandi. Sudah mau siang. Sulis enggak ada ngomong apa-apa?” tanya Wira. Rasanya memang tak mungkin ia mengatakan kalau Sully baru menangis hanya perihal tungku. “Enggak ada ngomong apa-apa. Bapak malah heran. Dari pagi beresin rumah, cuci piring enggak ada ngomong. Bapak ajarin masak pakai kayu, biar enggak ngelamun aja. Memangnya dia kenapa? Berantem sama kamu?” “Enggak berantem …,” jawab Wira. Pikirannya mengingat Sully yang menangis usai bicara dengann