"Ibu masih hidup, Agraf kembali, Logan bertindak seakan tak terima, Chassy mulai curiga dan Mesya masih berpikir aku bodoh. Ayah, bahkan tak tahu jika ibu masih ada. Keluarga macam apa yang aku inginkan? Rumah seperti apa yang aku tinggali saat ini?" ujar Chana lemah. Air matanya menetes untuk kesekian kalinya. Dia menekan dirinya sendiri akan semua hal yang telah terjadi."Ada banyak kesalahan yang terlihat jelas sekarang. Masa depan suram yang terlihat, aku tak menginginkannya. Logan, aku berniat membuangnya. Ibuku, aku berniat menemukannya. Keluarga yang aku inginkan, adalah Ayah dan ibu yang bersatu. Kakek yang membaik, dan semua saham serta warisan yang akan aku terima, aku tak berniat untuk menggadaikannya demi kebahagian semu. Warisan itu, harusnya tak kuterima karena aku akan membuat kakek tetap hidup dan ibu kembali. Ya, itu adalah langkah yang harus kuambil."Chana bangkit, menghapus air mata di pipinya lalu tersenyum lemah. Dia menatap pintu ruang rawat kakeknya yang masih
Chana menarik Axel keluar ruangan dengan kesal. Axel mengikuti patuh, tak mengeluarkan protes dan hanya menatap putih yang menyelimuti tangannya. Terasa hangat dan itu terlihat bagus di matanya. Hal ini membuatnya tersenyum puas. Wanitanya sedang menggenggam tangannya. Untuk pertama kalinya meski membutuhkan alasan untuk lebih dulu menyentuhnya. Dan pikiran licik mulai muncul secara acak. Dia ingin membuat wanita ini bergantung padanya. Hanya padanya. "Dengar, berhenti menggangguku dan jangan muncul di hidup-" Chana berbalik, tak melanjutkan kata-katanya saat melihat senyum di wajah Axel yang terlihat aneh di matanya. Mengamati lebih jauh, dia mengikuti arah pandang Axel yang jatuh pada tangan mereka berdua. Tidak, dia saat ini jelas menggenggam tangan Axel."Ah," ujar Chana sangat pelan. "A-ku tak sengaja." Dengan sigap, dia melepaskan tangan Axel begitu saja. Tatapan Axel muram, rasa hangat yang menyelimuti tangannya tak terasa. Dia mendongak, menatap Chana kecewa. "Dia melepaska
"Nana, kau membiarkan tamu sebesar itu pergi begitu saja?"Chana mendongak, dia menatap senyum Kakeknya lemah. "Tamu besar apa yang Kakek bicarakan?""Nona baru saja membiarkan Tuan Muda Axel pergi begitu saja. Melihat asistennya yang bergegas, sepertinya itu bukan pertanda baik." Oscar melirik Chana sesaat, kemudian kembali bersuara. "Nona, keluarga Axion bukanlah keluarga yang bisa dianggap enteng.""Aku akan lebih berhati-hati."Tetua Oswald menatap Oscar atas jawaban Chana yang seadanya. Dia tak akan ikut campur dunia kaum muda, dia hanya sedikit khawatir karena tiba-tiba cucunya mengenal orang penting yang tak biasa. "Bagaimana kau bisa mengenalnya?""Itu," jawab Chana menggantung. Dia menggaruk tengkuknya, menatap kakeknya bingung. "Yah, tiba-tiba saja. Ya-yah, tiba-tiba kami saling mengenal."Oscar dan Tetua Oswald lebih curiga lagi atas jawaban Chana."Kalian terlihat dekat. Apakah kakek bisa mengartikan-""Kakek," potong Chana cepat. "Ini semua tidak seperti yang kakek bayang
"Apakah Nona yang bernama Chana? Nona, perkenalkan, saya Raizel Flinkers, pengacara dari tuan muda Axel di bawah naungan Axion Company. Saya di tugaskan untuk mengurus semua yang terjadi terkait surat penuntutan dari Tuan Axel yang baru saja diajukan."Chana baru saja menikmati makan siang dengan nyaman sebelum seorang pria datang mengenalkan dirinya tepat setelah Oscar pergi. Pria itu bahkan langsung menyerahkan sebuah surat tepat ke hadapannya lalu duduk di depannya tanpa menunggu persetujuannya. Chana yang awalnya merasa sangat tenang kemudian menjadi frustasi setelah membaca selembar surat yang masih tergeletak di atas meja. Cokelat panas yang Oscar pesankan masih mengepul di samping tangannya, berdampingan dengan surat yang baru saja dia baca."Surat penuntutan," Chana ingin tak percaya, tapi dia tak menyangka bahwa Axel benar-benar mengirimkan pengacara terbaiknya."Nona, apakah ada yang ingin Nona sampaikan?"Chana menatap lurus ke depan, pada pria tinggi dengan setelan jas Tai
"Ibu,""Nona, hati-hati. Jangan berlari," peringat Oscar saat baru saja menepikan mobilnya namun sosok cantik di sampingnya sudah melesat dengan rasa gugup yang tak biasa. Dia tersenyum lemah, mengikuti langkah Chana dalam ritme yang stabil.Chana bergerak cepat saat melihat sosok kurus yang tengah berdiri menikmati lautan lepas. Di sebuah desa terpencil, sunyi dan asri. Dia berlari hingga terjatuh, membuat kedua lututnya tergores. Air matanya jatuh, rasa rindu, khawatir dan seluruh perasaan yang tak bisa dia ungkapkan teraduk menjadi satu. Saat ini ibunya belum mati. Di masa depan, ibunya tiada, bahkan dia sama sekali tak tahu penderitaan seperti apa yang ibunya rasakan."Ibu, ibu!" Chana berteriak di antara tangisannya. Membuat sosok kurus itu membalikan badannya."Ibu."Sebuah pelukan yang mungkin sangat Chana rindukan. Dia melemparkan tubuhnya saat melihat wanita cantik itu melebarkan kedua tangannya. Ibunya benar-benar masih hidup. Ibunya benar-benar berada di desa kecil ini. Kak
"Apa yang kalian lakukan!"Pertanyaan itu terdengar untuk kedua kalinya. Chana menatap tak percaya pada pria tinggi yang berdiri di tengah pintu. Panik, merasa bersalah seolah tertangkap tengah melakukan hal buruk. Rasanya sangat tidak nyaman. Lalu kemudian dia mengingat ingatan masa depan yang akan terjadi. Saat dia memergoki perselingkuhan Logan dengan Chassy.Apakah seperti ini rasanya? Apakah Logan merasakan rasa tak nyaman dan ketakutan seperti ini? Anehnya Chana sama sekali tak mendorong tubuh Matteo yang masih menempel layaknya lem.Matteo melihat ekspresi Chana, satu sudut bibirnya tertarik pelan. Sebagai aktor, dia jelas tahu ekspresi apa yang Chana tunjukkan. "Kakak ipar, hal apa yang ingin kau tunjukkan?" bisiknya lembut. Tangannya masih dengan posisi yang sama. Memeluk tubuh Chana erat."Entahlah, dia bahkan tak kuharapkan," jawab Chana dingin. Rasa di hatinya benar-benar mati."Chana!" Kali ini bentakan keras diiringi gerakan cepat yang menarik tubuh Matteo menjauh dengan
Dia adalah priaku. Kata-kata Chana benar-benar seperti guntur yang membawa petaka. Siapa yang menyangka, Alice, tunangan bisnis dari dua keluarga yang telah setuju, mengikuti Matteo sejak awal, telah mendengarkan semuanya. Gadis ini berdiri di balik pintu, tak bergerak, menutup bibirnya tak percaya dalam gemetar kemarahan. Rasa cintanya, rasa sukanya dan rasa ingin menaklukkan Matteo kini terasa jauh dan kian jauh. Hal ini dia tak akan membiarkannya. Gadis yang merebut tunangannya, dia tak bisa membiarkannya. "Liam, bagaimana kau bisa seperti ini. Sudah kukatakan, bahwa kau tak bisa memiliki wanita lain. Keluargamu dan keluargaku telah membangun mimpi bersama untuk bersatu. Harusnya kau patuh. Harusnya kau menurut dan mengikutiku. Harusnya kau tetap diam dan menjadi aktor yang baik. Aku sudah bersabar dengan banyaknya skandalmu selama ini. Tapi sekarang sepertinya kau benar-benar menganggap wanita itu istimewa. Dan aku tak bisa membiarkan rumput liar menghalangi jalanku." Alice men
Chana mulai membuka kedua matanya yang masih berat saat hari sudah mulai sore. Lengan berat di atas perutnya, membuatnya mengernyit curiga. Dia mencoba memahami dalam diam sebelum melirik ke atas pelan, pada wajah tampan yang masih terpejam. Mereka dalam satu selimut yang sama. Dalam kamar yang sama, dan saling berpelukan seolah itu bukanlah hal yang aneh. Tapi kesadarannya yang baru kembali telah membuat kedua matanya terbelalak lebar.Pria tampan ini kenapa bisa ada disini? Tidak, yang lebih parah kenapa mereka berdua terbaring tanpa busana di bawah selimut yang sama? Tak berani bergerak, Chana mencoba mengingat semuanya. Tapi wajah tampan di dekatnya membuat seluruh fokusnya hilang tak terarah. Dia justru menikmati wajah tampan yang terpejam seolah kesempatan itu adalah hal yang langka.Menelusuri setiap inci ketampanan wajah di depannya sangat menyenangkan. Dia menyadari bahwa mungkin Tuhan terlalu menyayangi pria ini hingga menciptakan ketampanan yang sedemikian rupa. Seperti p