“Kamu! Kenapa tidak memberitahu papa dan mama kalau Kala masuk rumah sakit?”
Paginya Bianca dan Skala datang menjenguk Kala. Meski tidak diberitahu kabar masuknya sang cucu ke rumah sakit, tapi banyak rekan dan saudara mereka yang bertanya tentang kabar itu, hingga akhirnya Bianca menghubungi Cloud untuk menanyakan.
“Dia sudah ba-"
Belum juga selesai menjawab, Bianca sudah memeluk Kala. Wanita itu sangat memanjakan satu-satunya cucu laki-laki di keluarga. Cloud memang memiliki seorang kakak laki-laki yang juga sudah menikah, tapi dari pernikahan itu Rain — kakaknya dikaruniai dua anak perempuan.
“Mabibi, lihat aku disuntik!” Kala langsung mengadu ke Bianca, dia memberi neneknya panggilan kesayangan, sedangkan untuk kakeknya Kala hanya menyebut opa.
“Aduh! Cucu kesayangan Mabibi sakit ya!” Bianca mengusap punggung Kala secara konstan, sampai sang cucu mengurai pelukan mendapati Skala mengeluarkan mainan.
Cloud hanya bisa menatap dengan senyuman yang tak pernah bisa lepas, ada beban yang mengganjal di hati, dia takut jika Nic benar-benar menjadikan Kala alat untuk menuntaskan balas dendamnya ke Skala. Sejauh ini Cloud belum bisa membaca hal buruk apa yang Nic rencanakan untuk menghancurkan papanya.
Cloud masih berdiri mematung melihat kehangatan yang terjalin di antara Kala dan orangtuanya, hingga pintu kamar itu diketuk, Cloud yang kaget pun menoleh, dia menebak mungkin saja itu Nina, karena Nic tidak mungkin secepat ini kembali dari kantor.
“Arkan!”
Bianca, Skala, dan Kala langsung menoleh saat Cloud menyapa pria yang merupakan sepupu Nic itu. Mata Kala bahkan seketika berbinar dan wajahnya terlihat senang.
“Om Arkan!” teriaknya.
Arkan melewati Cloud begitu saja, dia mendekat lalu menunjukkan telapak tangan kanannya ke Kala. Bocah itu menyambutnya bahkan sengaja membenturkan telapak tangan mungilnya dengan kencang.
“Aduh! Apa Kala benar-benar sakit? Kenapa keras sekali tosnya,” kelakar Arkan.
Berbeda dengan Nic yang dingin dan tak banyak senyum, Arkan lebih ramah dan murah senyum. Pria itu juga rekan kerja Cloud, dia seorang pengusaha yang memiliki hobi fotografi. Bahkan dari hasil jepretan kameranya lah Kala bisa menjadi seterkenal saat ini.
“Cloud, kamu sudah sarapan belum?” Tanya Bianca, dia baru sadar tak membawa apa-apa ke sana karena terlalu mencemaskan kondisi Kala. Sementara mainan yang diberikan ke Kala tadi sudah disiapkan jauh-jauh hari.
“Belum, Ma. Nanti saja.”
Mendengar jawaban Cloud, Arkan seketika menawarkan untuk pergi makan bersama. Ia berkata kebetulan juga belum memasukkan apa pun ke dalam perutnya sejak pagi.
“Ya sudah sana kalian makan, kami akan temani Kala di sini.”
Awalnya Cloud merasa sungkan dan enggan, tapi karena paksaan dari Bianca dan juga ajakan dari Arkan, dia pun akhirnya mau keluar dari kamar. Di depan rumah sakit itu ada sebuah warung makan kecil. Baik Cloud dan Arkan sama-sama memiliki sifat sederhana, keduanya tidak sungkan untuk makan di tempat semacam itu.
Mereka tampak berdiri di pinggir jalan hendak menyebrang sambil berbincang, hingga tak sadar seorang pria sedang menatap tajam dari dalam sedan mewah yang sedang dikendarai. Nic terus mengawasi ke mana Arkan dan Cloud pergi, mukanya berubah kesal seperti pria yang tengah cemburu karena kekasihnya dekat dengan lelaki lain.
“Kenapa pesananmu sepertinya lebih enak?” Cloud baru saja menerima piringnya lalu protes. Ia diam memandang piring milik Arkan sampai pria itu mengambil dan menukar piring mereka.
“Soto memang enak, tapi nasi berkat seperti ini lebih enak,” ucap Arkan.
Cloud hanya tersenyum, bisa saja dia memesan satu porsi nasi lagi, tapi bingung siapa yang akan menghabiskannya nanti. Tak ada perbincangan yang mereka lakukan di sela makan, keduanya fokus sarapan lalu bergegas kembali ke rumah sakit. Meskipun Cloud tahu kalau sudah bersama nenek dan kakeknya Kala anteng, tapi tetap saja dia cemas.
“Kala, kami sudah selesai!”
Suara renyah Arkan membuat Kala menjulurkan kepala. Baik Arkan dan Cloud dibuat kaget karena Nic ternyata sudah berada di sana. Bianca dan Skala juga masih ada dan sedang duduk di sofa, mereka sibuk dengan ponsel masing-masing.
“Om Arkan sudah kenyang?” Tanya Kala.
“Kamu datang?” Nic menyapa meski terdengar sedikit tidak ramah. Ia bersikap dingin, bahkan membuat Arkan merasa seolah kehadirannya tidak diinginkan di sana.
“Om mau main nggak?” Kala dengan polosnya bertanya, karena kursi yang ada di samping ranjangnya sudah dipakai oleh sang papa, Kala pun meminta Arkan untuk duduk di atas ranjang bersamanya.
“Eh … tidak boleh Kala, itu ‘kan ranjang pasien,” tolak Arkan dengan lembut.
“Tidak apa-apa, Om. Boleh ‘kan, Pa?” tanya Kala meminta persetujuan Nic.
Cloud sendiri hanya melirik sekilas mendengar pertanyaan Kala, dia sudah duduk di depan orangtuanya, lalu menyibukkan diri membuka bingkisan buah yang ada di atas meja, meski begitu Cloud tetap memasang telinga menunggu respon dari sang suami.
Namun, bukannya menjawab boleh atau tidak. Nic malah berdiri lalu duduk di atas ranjang, dia menatap Arkan lalu kursi, tanpa bicara mempersilakan sepupunya itu duduk di sana.
“Kala, katanya Kala mau main film, ya?”
Pertanyaan Arkan sebenarnya hanya basa-basi, dia tak sadar sudah membuat Nic kaget dan langsung menatap tajam ke arah Cloud. Nic sudah meminta semua urusan pekerjaan Kala harus dibicarakan lebih dulu dengannya, jadi jika apa yang dikatakan Arkan benar, jelas Cloud sengaja.
“Iya, tapi tidak tahu kapan,” jawab Kala dengan polos. Bocah itu kemudian memandang Nic dan Arkan bergantian. Keningnya berkerut-kerut seolah sedang memikirkan hal yang berat.
“Mama!” Panggilnya ke Cloud.
“Iya sayang,” jawab Cloud lantas menoleh.
“Mama, apa aku boleh punya dua papa?”
‘Kala, coba tanya papa apa boleh?’ “Hah … apa dia sedang bermain-main denganku?” Nic bergumam sendiri di dalam mobil setelah memastikan kondisi putranya di rumah sakit. Pertanyaan Kala soal bagaimana jika memiliki dua orang papa ternyata mengganggu pikiran Nic. Pria berwajah dingin dengan tatapan yang selalu bisa membuat orang lain takut itu menjawab dengan tegas, bahwa tidak boleh seorang anak memiliki dua orang papa di satu waktu. “Dia pasti sengaja.” Nic berpikiran buruk lagi ke Cloud. Karena menjawab pertanyaan itu, dia juga harus memberi pengertian ke Kala kalau pasangan suami istri harus bercerai dulu sebelum menjalin hubungan dengan yang lain. “Arkan, Ha? Tidak akan aku biarkan kamu dekat-dekat dengannya, jangan sampai dia menjadi tempatmu meminta bantuan!” Nic memulas seringai jahat di wajah. Namun, tak lama wajah bengis itu berubah saat ponsel miliknya berbunyi. Melihat nama sang istri terpampang di sana, Nic yakin pasti bukan Cloud yang ingin menghubunginya melainkan Ka
“Apa selingkuhanmu sedang tidak bisa melayani?” Sinis Cloud. Ucapannya itu bagai tamparan sampai Nic menurunkan tangan yang masih membelai pipi. Namun, bukan Niklas Danuarta namanya jika tidak bisa membalas ucapan orang yang mengusiknya. Pria itu meraih pinggang dan menarik tubuh Cloud hingga menubruk dadanya yang bidang. “Apa kamu mulai cemburu? Katakan saja kalau kamu mencintaiku!” “Jangan mimpi!” Cloud mengelak, tatapan matanya dan Nic saling mengunci. Ia sadar mata adalah cerminan hati, dirinya tidak bisa berlama-lama ditatap seperti ini oleh pria yang sangat membencinya. Cloud sadar hanya akan berakhir menjadi bulan-bulanan jika sampai Nic tahu perasaannya. “Mari bercerai, aku akan memberikanmu saham atau apapun yang kamu minta, tapi akhiri semua ini denganku,” ucap Cloud yang masih beradu pandang dengan Nic. “Apa kamu bisa membunuh papamu?” Nic melepaskan Cloud dari pelukan dengan kasar. Ia menarik salah satu sudut bibir dan mengulangi pertanyaannya barusan. “Yang aku in
“Aku tidak bisa, Kala baru saja keluar dari rumah sakit, aku masih harus memantau kondisinya.” Cloud menelinga perbincangan sang suami di telepon. Ia terlihat tidak mencurahkan semua perhatian ke Kala yang sedang menggosok gigi di depan cermin kamar mandi. Wanita itu mengalihkan pandangan saat Nic masuk dan meletakkan kembali ponsel di nakas. Suaminya itu mengambil remote AC untuk menyesuaikan suhu, lalu menata bantal dan guling di kasur. “Siapa yang telepon, Pa?” Tanya Kala. Selain memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata anak sebayanya, Kala memang sangat peduli dengan apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Nic dan Cloud menyadari ini, hingga mereka selalu bertindak hati-hati. Keduanya sama-sama tidak ingin sang putra merasakan konflik yang terjadi. Ancaman Nic soal memanfaatkan Kala sebagai alat untuk membalas Skala pun sepertinya tak akan terealisasi. Ia sangat mencintai Kala, dan cara lain diam-diam sudah dia susun untuk menghancurkan keluarga istrinya, meski sangat curang d
Cloud masih tak percaya bahwa wanita selingkuhan suaminya berani datang ke rumah orangtuanya. Apalagi mendekati dan bicara ke sang putra dengan sangat lembut seperti itu. Cloud berpikir, apakah benar kata orang kalau wanita perebut laki orang itu tak butuh cantik yang penting tak tahu malu? Tapi apa jadinya kalau pelakor itu berwujud seperti Amara? Cantik, wanita karir sukses dengan segudang prestasi, juga salah satu reporter berita ternama di negara ini.Cloud yang dipandang orang lain penuh percaya diri pun bisa sedikit rendah diri melihat Amara.Setelah bicara ke Kala, Wanita berumur tiga puluh dua tahun itu menyapa ramah Skala dan Bianca. Tentu saja wajahnya tak asing bagi mereka. Bianca bahkan mempersilahkan Amara masuk dengan senyuman lebar.Amara tersenyum ke Cloud dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Cloud bergumam di dalam hati, jika sampai Amara membongkar perselingkuhannya dan Nic, maka dia juga tak segan untuk meluapkan segala emosi yang sudah dia pendam beberapa tahun
Nic bangkit dari atas tubuh Cloud. Ia meraih pakaiannya yang tercecer di lantai lalu masuk ke dalam kamar mandi tanpa mengucapkan satu kata pun. Sedangkan Cloud masih terbaring di ranjang, buliran kristal bening tak terasa menetes dari sudut mata dan buru-buru dia hapus.Dengan tubuh limbung Cloud memungut pakaian dalam miliknya, kemudian berjalan menuju kamar Kala. Ia mendekat ke ranjang dan berbaring di samping sang putra. Air mata Cloud menetes lebih deras, hingga dia harus membungkam mulut dengan kedua tangan agar tidak mengganggu tidur Kala.Hati Cloud sakit, dan dengan memandang wajah Kala dia bisa menjadi kuat lagi. Cloud benar-benar merasa sangat buruk, dia bahkan belum memberi tahu Nic soal laporan guru Kala tentang kondisi psikologis anaknya. Cloud malas berdebat, dia yakin Nic pasti akan mengira dirinya mengada-ada dan berujung menyalahkan.“Saat diminta menggambar keluarga, Kala menggambar empat orang, dia bilang papa dan Kala, lalu Kala dan mama. Saya tidak akan membahas
Nic sengaja tak memberitahu Cloud tentang perbincangannya dan Kala pagi tadi. Namun, entah kenapa dia menjadi tak fokus bekerja sampai beberapa kali salah membubuhkan tanda tangan di berkas yang cukup penting.Nic berdiri dari kursi empuknya. Ia berjalan ke arah jendela kaca lebar di belakang meja kerja, lalu mematung memandang ke luar dengan satu tangan dia jejalkan ke saku celana. Nic sedang berpikir, apa benar dia begitu hebat sampai lima tahun ini Skala tidak mencium gelagat buruknya. Ia sudah berhasil mengacaukan beberapa perusahaan sang mertua, salah satunya membuat produk dari PG Factory milik Skala tak bisa diekspor ke luar negeri.Kelicikan Nic itu hanya salah satu dari beberapa hal yang sudah dia lakukan untuk membuat Skala dan Rain — kakak iparnya panik. Menjatuhkan nilai saham PG group adalah tujuan Nic. Dia berencana membeli banyak saham hingga menjadi pemegang saham terbesar. Jika hal itu sampai terjadi, maka menghancurkan Skala Prawira akan jauh lebih mudah.Nic tersada
"Jangan macam-macam Cloud! Apa kamu tidak takut dengan apa yang akan terjadi kali ini?""Hidupku berubah menjadi mimpi buruk setelah bertemu denganmu, jadi tidak ada lagi ketakutan yang tersisa dariku," jawab Cloud dengan tatapan nyalang."Lalu bagaimana kalau Kala lagi yang akan menjadi korban?" Nic menarik lengan Cloud hingga wanita itu mendekat ke dirinya. "Apa itu juga salahku? Tidakkah kamu berkaca? Kalau kamu berpikir akan ada seorang anak tak berdosa menjadi korban, kenapa kamu memperkosaku malam itu?" Cloud berbicara lantang dan histeris. Ia memukuli dada Nic bertubi dengan sebelah tangan lalu merosot karena sang suami melepaskan cekalan. Cloud terduduk di lantai. Ia tak peduli seberapa menyedihkan dirinya saat ini, karena Nic juga sudah melihatnya berkali-kali."Kala bukan anak hasil perkosaan, aku menikahimu secara sah sebelum melakukannya," balas Nic. Ia menurunkan pandangan melihat Cloud yang sedang menunduk."Tidak cukupkah lima tahun ini untuk melampiaskan dendammu? A
Nic menggulung lengan kemejanya mendengar ucapan Kala. Bocah itu berhasil menyulut rasa kesal yang dia sangkal sebagai rasa cemburu. "Kala, kapan Om Arkan bilang gitu?" Tanya Cloud.Meski seharusnya Cloud senang karena Kala seolah menunjukkan ada pria lain yang peduli padanya di depan Nic, tapi tetap saja dia merasa tak enak hati. Cloud juga tidak tahu kenapa bisa begini, ada rasa sungkan di hatinya ke Nic. Apalagi pria itu langsung memasang muka masam. "Tidak usah panggil om Arkan, Papa akan merawat mama," jawab Nic. Kala dan Cloud sama-sama terbengong. Terlebih Cloud, dia dibuat heran karena Nic membuka lemari bajunya lalu mengambil handuk kecil dari laci di samping baju dalam. Cloud tak percaya Nic bisa tahu di mana dia menyimpan kain kecil itu.Cloud dan Kala memandangi Nic yang berjalan masuk ke kamar mandi. Pria itu menghidupkan kran air, karena mereka bisa mendengar suara gemericik.Tak lama Nic keluar kembali dengan handuk kecil basah di tangan. Ia tanpa bicara duduk di samp