Tanpa sadar Syera melangkah mundur, seakan sedang memberi ruang untuk Tama dan seorang wanita asing yang bersama lelaki itu masuk. Ia berusaha menerka siapa gerangan wanita cantik berpakaian modis itu. Namun, wajah itu terasa cukup familiar baginya. Rasanya Syera sudah seperti seorang istri yang memergoki suaminya sendiri bermesraan dengan wanita lain. Meskipun kenyataannya memang seperti itu, tetapi banyak perbedaan di dalamnya. Ia tidak merasa sakit hati atau dikhianati. Mungkin hanya sedikit kecewa, karena dirinya sudah menunggu lelaki itu berjam-jam dan ternyata yang ditunggu olehnya malah asyik bersama wanita lain. Sesaat, Syera menatap keduanya secara bergantian tanpa membuka suara. Karena tak ingin dianggap pengganggu, wanita itu nyaris membalikkan tubuhnya dan beranjak pergi. Akan tetapi, suara wanita yang datang bersama Tama itu menginterupsi langkahnya. “Jadi, kamu yang menabrak Kirana?” Wanita bernama Viandra itu sembari bergerak memutari Syera dan melipat kedua tangannya
Helaan napas berat berulang kali lolos dari bibir Syera. Wanita itu menatap ke arah jendela di sampingnya dengan pikiran berkelana ke mana-mana. Ia tidak tahu mengapa dirinya malah nekat melakukan ini. Padahal jelas-jelas lebih baik jika ia berpura-pura tidak tahu saja. Pesan terakhir dari pengirim misterius itu cukup mengganggu pikiran Syera. Membuat dirinya yang seharusnya sudah bergelung di bawah selimut saat ini malah berada di sini. Menunggu sampai mobil yang dikendarai oleh salah satu supir Tama ini tiba di alamat yang dirinya tunjukkan sebelumnya. Tama pernah memberikan ultimatum jika dirinya tidak diperbolehkan keluar rumah dan seharusnya ia cukup menurut saja. Sayangnya, entah kenapa hatinya malah tergerak untuk mendatangi alamat tersebut tanpa memedulikan segala risikonya. “Nona, kita sudah sampai di alamat yang Anda berikan tadi,” ucap sang supir yang berhasil membuyarkan lamunan Syera. Syera mengedarkan pandangan, menatap gedung bertingkat di hadapannya dengan soro
Syera bertingkat kaget mendengar pintu yang tertutup dengan suara nyaring. Setelah memastikan jika Tama telah pergi, ia baru berani mengubah posisinya. Pelan-pelan wanita itu bangkit dengan bibir meringis karena tubuhnya terasa remuk redam. Alih-alih langsung beranjak dari ranjang, Syera malah sengaja mengeratkan selimut yang membalut tubuhnya. Manik matanya kembali berkaca-kaca karena tak sengaja melirik bercak darahnya yang mengotori seprei. Netranya bergulir menatap pakaiannya yang berceceran di mana-mana dengan kondisi terkoyak. Syera memejamkan matanya sembari menghela napas berat. Setetes cairan bening kembali lolos dari matanya yang membengkak. Ia membiarkan air matanya kembali mengalir dan membasahi wajahnya. Hidupnya yang telah lama hancur semakin hancur karena peristiwa semalam. “Sampai kapan kamu akan menangis di sini? Berharap ada orang yang ada dan mengasihani dirimu?” sindir Tama yang kembali datang dengan sebuah paper bag di tangannya. “Cepat pakai itu dan buang b
Syera tak sempat menarik tangannya ketika Viandra sengaja melukai lengannya sendiri menggunakan pecahan cangkir itu. Darah segar sudah mengalir dari tangan wanita itu yang tersayat cukup dalam saat orang-orang mulai berdatangan. Viandra sengaja menjatuhkan lututnya di lantai sembari menjerit kesakitan. Syera menatap Viandra dengan sorot tak percaya, tidak menyangka wanita itu akan memfitnah dirinya dengan drama menjijikkan. Wajahnya berubah merah padam, menahan amarah yang perlahan mulai menyelimuti dadanya. “Aku tidak melakukan apa pun! Aku tidak melukaimu!” pekik Syera dengan napas memburu. “Kamu sendiri yang memecahkan cangkir itu! Jangan memfitnahku! Jelas-jelas kamu yang melukai tanganmu sendiri!”“Kamu pikir orang gila mana yang akan mempercayaimu, hah?! Aku tidak mungkin melukai diriku sendiri! Setelah membunuh sepupuku, apa sekarang kamu juga ingin menghabisiku?” balas Viandra setengah membentak dengan air mata yang sudah bercucuran. Berbagai tatapan tertuju pada Syera.
Syera hanya bisa pasrah di posisinya dan membiarkan Tama melakukan apa pun yang lelaki itu inginkan sesuka hati. Tama tidak memperlakukan dirinya dengan kasar seperti tempo hari, namun tetap saja Syera tak kuasa untuk sekadar memberontak. Tama berhasil membuat Syera berdiri pasrah dengan posisi yang kurang menguntungkan untuk memberontak. Tiba-tiba wanita itu merasakan sesuatu yang asing dan membuatnya tersentak sebelum kembali lunglai. Syera sontak membuka mata ketika tak merasakan sentuhan lelaki itu lagi. Wajahnya semakin merona melihat Tama yang sudah kembali berdiri di hadapannya dan kini sedang menatapnya. Wanita itu spontan mengalihkan pandangan dan berdeham pelan. Buru-buru ia meraih handuknya yang teronggok di lantai dan segera mengenakan benda itu dengan benar. Sebelah sudut bibir Tama terangkat. Lelaki itu maju selangkah, sengaja mempertipis jarak di antara dirinya dan Syera. “Ini adalah hukuman karena kamu berani berpenampilan seperti ini di depanku. Diam di sini, j
Penolakan Tama membuat atmosfer yang melingkupi kamar Elvina langsung memanas. Syera yang tidak ingin ikut campur memilih berpura-pura tidak mendengar dan menggendong Elvina yang menangis. Tampaknya bayi itu juga tak ingin pergi ke mana-mana. “Apa? Tidak boleh? Kamu pikir kamu bisa melarang Mama membawa cucu Mama sendiri? Kamu tidak boleh egois, Tama! Mama juga berhak mengasuh Elvina. Apalagi kalau kamu terus mempertahankan pembunuh itu di sini, lebih baik Elvina tinggal bersama Mama!” tegas Bianca yang mulai tersulut emosi. Tama memijat pelipisnya yang berdenyut. “Ma, aku tidak melarang. Tapi, sebelum aku menemukan kejelasan tentang kecelakaan Kirana, aku tidak mau Elvina lepas dari pengawasanku. Mama bisa mengasuhnya di sini.”Syera yang diam-diam mencuri-curi pandang sontak memalingkan wajah ketika Tama melirik ke arahnya. Berpura-pura kembali mengajak Elvina mengobrol, padahal tengah menajamkan telinga dan mendengarkan pembicaraan orang-orang di dekatnya. Syera cukup terkej
Syera duduk bersebrangan dengan Tama nyaris menyemburkan air minumnya saat mendengar jawaban enteng lelaki itu. Bukan hanya petugas kapal di hadapan mereka yang terkejut, tetapi juga beberapa rekannya yang berada di dekat sana. Tidak banyak orang yang mengetahui pernikahan mereka. Terlebih, di tempat ini ada lebih banyak karyawan keluarga Tama yang bekerja di kantor ataupun tempat lainnya. Sudah jelas mereka tidak mungkin mengetahui pernikahan Tama dan Syera. Syera berdeham keras, sengaja menginterupsi Tama agar segera meralat kalimat yang terlontar dari mulut lelaki itu sebelumnya. Namun, sang empunya malah bersikap santai, seolah tidak melakukan kesalahan apa pun, dan hanya meliriknya sekilas. “Aku tidak masalah satu kamar dengan karyawan lain kalau pemilik kamarnya juga tidak keberatan.” Karena Tama tidak bisa diajak berkompromi, Syera memutuskan membuka suara. “Bisa tolong tunjukkan di mana kamarnya? Aku harus menyimpan barang-barangku.” Sedari tadi Syera sudah menahan malu ka
Syera yang sudah tersulut emosi, tanpa sadar langsung mendorong wanita berseragam pelayan di hadapannya itu. Ia mengedarkan pandangan, menatap tajam orang-orang yang sedari tadi begitu asyik menggunjingkan dirinya. “Kalau kalian tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, lebih baik diam dan jangan asal menuduh!” tegas Syera dengan wajah mengeras. Syera tak ingin melakukan ini kalau saja mereka tidak menguji kesabarannya hingga ke ambang batas. Sedari tadi ia sudah mencoba bersabar dan menulikan pendengarannya. Akan tetapi, mereka terus saja berkicau seolah-olah dirinya tidak berada di sini. Syera sengaja ingin menyibukkan diri di sini karena tak bisa tidur lagi. Namun, sepertinya ia salah memilih tempat. Suasana hatinya yang memang sedang tidak terlalu bagus malah semakin kacau. Bahkan, orang-orang yang ada di sini lebih berani mengatai dirinya dibanding para pelayan di kediaman Tama. “Justru karena kami tahu, makanya kami berbicara seperti itu,” jawab wanita yang berdiri di samp