"Apa yang sebenarnya yang kamu janjikan kepada kakekku, sehingga kakekku memaksaku untuk menikahi kamu?"
Airy terkejut dengan pertanyaan yang keluar dari mulut suaminya. Jujur, ia merasa terhina karena Ferdinand menganggapnya serendah itu. Bukan hanya pria itu yang merasa tertekan dengan pernikahan paksa ini. Tapi Airy juga.
Airy menatap netra Ferdinand dengan gugup, namun ia mencoba bersikap tenang. Mengabaikan rasa sakitnya, ia berdehem sejenak sebelum menjawab.
"Tidak ada."
Ferdinand tersenyum menyeringai. Airy sedikit takut melihat seringai yang ditunjukkan oleh Ferdinand. Ia tahu bahwa, pria itu tidak akan mungkin percaya dengan apa yang ia ucapkan.
Peristiwa sebelum terjadinya akad nikah, Airy mendengar dan melihat sikap Ferdinand saat akan menikah dengan wanita asing, yaitu dirinya. Ferdinand dengan lantang mengatakan kepada sang kakek, tidak ingin menikah dengan wanita manapun. Tidak ingin menikah sampai kapanpun. Airy penasaran, apa yang membuat pria itu membenci sebuah ikatan pernikahan?
Acara pernikahan berjalan dengan lancar. Tidak ada hambatan dan halangan apapun. Halangannya, hanyalah drama yang terjadi sebelum acara pernikahan dimulai.
"Sudah selesai kan?" tanya Ferdinand ketika mengetahui sesi acara telah selesai, "aku mau pulang. Mau istirahat."
Ferdinand turun dari pelaminan sendiri tanpa menghiraukan istrinya. Ia ingin segera pulang, dan melupakan penat yang menyelubungi kepalanya. Hari ini, adalah hari terburuk bagi Ferdinand. Ferdinand bahkan tidak ingin berpamitan kepada kakeknya.
Airy yang melihat sang suami akan pergi, segera memanggilnya. "Mas!" cegah Airy, "Tunggu!"
Ferdinand yang telah berada di ambang pintu keluar berbalik menatap istrinya. Pria itu menghela napas dan menatap tajam Airy.
"Aku tidak neminta kamu untuk datang ke rumahku." Ferdinand kemudian berlalu pergi.
"Airy!" seru Gunawan, "kamu tentunya tahu di mana kamu harus pulang."
Airy mengangguk. Tentu saja ia tahu bahwa seorang istri harus pulang ke rumah suaminya. Sebab setelah menikah, ia sepenuhnya tanggung jawab sang suami.
"Iya, Pak," jawab Airy.
"Jangan panggil 'Pak' lagi. Kamu cucu menantuku sekarang," sahut Gunawan.
"Iya ... Ka-kakek." Airy sedikit kaku memanggil pria itu sekarang. Airy diminta untuk memanggil dengan panggilan yang berbeda dari sebelumnya.
Airy mengangkat ujung gaunnya untuk memudahkan ia berjalan. Ia mendekati Gunawan, dan bermaksud pamit kepada pria paruh baya yang telah menjadi keluarganya itu. Setelah Airy berpamitan, Airy dengan cepat berlari keluar menuju tempat parkir mobil. Ia tak ingin tertinggal dengan sang suami.
"Mas!" panggil Airy ketika melihat mobil Ferdinand mulai berjalan.
Ferdinand menghentikan mobilnya dan mendengus kesal. "Ayo cepat!" teriaknya.
Tanpa berlama-lama, Airy masuk ke dalam mobil bersama Ferdinand. Ferdinand membawa sang istri untuk pulang ke rumahnya. Dalam waktu tempuh kurang lebih tiga puluh menit, Ferdinand sampai di tempat kediamannya. Ferdinand keluar dari mobil tanpa membantu sang istri untuk keluar dari mobil.
Airy menghela napas melihat sikap dingin suaminya. Baik Airy, maupun Ferdinand, sebenarnya sama-sama terpaksa harus menjalani pernikahan yang telah terjadi. Airy mengekor di belakang Ferdinand masuk ke rumah yang bagaimana istana itu. Ketika melihat sang suami masuk ke dalam kamar, Airy menghentikannya.
"Mas! Kamarku dimana?"
Ferdinand menghela napas, dan berbalik. "Kamu tidur sekamar dengan saya. Tapi, saya tidak mau tidur satu ranjang denganmu."
Ferdinand menutup pintu kamar dengan keras hingga membuat Airy berjingkat kaget. Airy menghela napas. Ia harus sabar menghadapi sikap dan temperamen Ferdinand yang belum ia pahami.
Pagi harinya, ketika Airy baru saja selesai mandi dan memasak, Ferdinand telah bangun, berada di kamar mandi membersihkan diri dan bersiap untuk berangkat bekerja. Airy memasuki kamar yang ia tempati bersama sang suami. Airy memperhatikan kondisi ranjang yang ditiduri oleh Ferdinand dalam keadaan berantakan.
Setelah selesai merapikan tempat tidur, Airy menyiapkan baju kerja untuk sang suami. Ferdinand setelah selesai dengan aktivitas mandinya, dan memperhatikan Airy yang menyiapkan kebutuhannya. Ferdinand menatap tak suka pada Airy yang menyiapkan pakaian miliknya.
"Mas! Sudah aku siapkan baju untuk kerjanya," kata Airy kepada Ferdinand yang baru saja selesai mandi.
"Siapa yang memintamu untuk melakukan ini?" tanya Ferdinand dengan tatapan mata yang tajam menusuk.
Airy menggeleng. "Tidak ada. Bukannya ini kewajibanku sebagai istri?"
"Kewajibanmu sebagai istri?" Ferdinand tersenyum sinis. "Kamu tidak perlu melakukan ini."
"Satu lagi jangan lancang mengambil dan menyentuh barang-barang milikku," tambah Ferdinand.
Perkataan dari Ferdinand sedikit menyinggung Airy. Tapi Airy mencoba bersikap biasa saja. Menurutnya, karena Ferdinand belum terbiasa diperlakukan olehnya seperti itu.
Ketika Ferdinand akan berganti pakaian, Airy memilih untuk melangkah ke dapur menyiapkan sarapan sebelum Ferdinand berangkat bekerja. Ferdinand melangkah menuruni tangga, bertepatan dengan Airy yang telah selesai menyiapkan sarapan. Ferdinand melirik Airy sekilas, kemudian berlalu tanpa menghiraukan istrinya.
"Mas! Aku siapkan sarapan!" kata Airy.
Airy lalu melangkah cepat menghampiri Ferdinand. "Sebelum berangkat kerja, baiknya Mas sarapan dulu," peringat Airy.
"Aku tidak berselera," sahut Ferdinand dingin.
"Tapi, Mas ---"
"Kamu sarapan saja sendiri," potong Ferdinand.
"Bu!" panggil Ina, ART dirumah Ferdinand.
Airy membalikkan badannya menoleh kepada Ina. "Mbak Ina!" gumam Airy.
"Maaf saya lupa memberitahu ibu. Bapak memang jarang makan di rumah," beritahunya, "saya pikir, dengan beliau telah memiliki istri, beliau mau makan di rumah."
Airy tersenyum. "Tidak apa-apa. Kalau dia tidak mau sarapan di rumah, biar nanti untuk makan siang, saya bawakan untuknya."
Airy melangkah kembali ke meja makan dan duduk di sana. Tadinya ia berpikir akan sarapan bersama dengan Ferdinand. Namun karena Ferdinand tidak mau sarapan, akhirnya ia melakukan sarapan sendirian.
"Ayo sarapan bareng saya, Mbak Ina!" ajak Airy
"Tidak usah, Bu. Saya sarapan nanti saja setelah ibu," tolak Ina dengan sopan.
"Mbak Ina nggak usah sungkan. Saya minta ditemani. Karena status anda di rumah ini anda merasa rendah diri. Derajat kita sama dimata Tuhan," kata Airy tersenyum tulus.
"Tapi, Bu ---"
"Please, Mbak!" mohon Airy.
Tak tega melihat majikannya menatapnya dengan tatapan memohon, akhirnya terpaksa Ina menuruti permintaan Airy walau hatinya berat. "Baik, Bu."
***
Saat siang hari tiba, Airy memutuskan untuk pergi ke kantor Ferdinand, sambil membawakan makan siang untuk suaminya. Sebelum berangkat, Airy terlebih dahulu menelpon Dicky, asisten Ferdinand. Airy menanyakan tentang keberadaan Ferdinand. Dicky menjawab bahwa Ferdinand tidak sedang pergi ke mana-mana selain menyelesaikan banyak pekerjaan di kantor.
"Selamat siang. Ruangannya Pak Ferdinand, sebelah mana ya, Mbak?" tanya Airy kepada resepsionis.
"Oh lewat sini, Bu. Di lantai 3," jawabnya dengan ramah.
"Baik. Terima kasih." Airy tersenyum mengangguk, dan kemudian berlalu menuju ruang kerja suaminya.
Airy memasuki lift untuk menuju ke lantai 3. Setelah menunggu beberapa menit, Airy keluar ketika pintu lift terbuka. Dan Airy berhenti tepat di depan ruangan bertuliskan 'Ruangan CEO'. Airy tersenyum sejenak, dan kemudian mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum ia masuk.
"Mas Ferdinand! Aku ---" ucapan Airy terhenti kala membuka pintu, dan melihat pemandangan yang ada di matanya.
Seorang wanita, tengah berdiri di belakang Ferdinand, dengan salah satu lengannya diletakkan ke bahu Ferdinand. Ferdinand yang sedang asyik berkutat dengan laptopnya, tidak menolak tangan wanita itu berada di pundaknya. Dan wanita itu tersenyum ceria mengajak Ferdinand yang sedang bekerja sambil berbicara.
"Siapa dia, Mas?"
Sudah 3 bulan berlalu semenjak meninggalnya tetua Arlyansyah, Ferdinand kini sudah bisa bangkit dan mengikhlaskan kepergian sang kakek. Sebelumnya, pria itu begitu terpuruk karena kehilangan sosok yang selama ini menjadi pelindung dan pengganti orang tuanya. Walaupun terlihat cuek dan tidak peduli, sejujurnya pria berhati dingin itu merasakan kehilangan yang amat dalam. Tetapi di samping keterpurukannya, ada seorang wanita yang sangat dicintai oleh Ferdinand. Dan wanita itu membuat Ferdinand cepat bangkit dan melupakan semua masalah yang ada. Sesuai dengan permintaannya, Ferdinand tidak mengizinkan Airy untuk pergi dari perusahaan itu. Airy tetap ia biarkan bekerja karena Ferdinand tak mau jauh dari sisi wanitanya.Airy menjadi wakil CEO di bawah kepemimpinan Ferdinand. Tetapi, Airy meminta kepada suaminya untuk mundur jika mereka berdua memiliki anak, karena Airy ingin menghabiskan waktu bersama anak. Dan Ferdinand, selain menuruti kemauan istrinya, ia memberikan 60% saham atas nama
"Seseorang siapa yang kamu minta tolong untuk menyelidiki?" Ferdinand masuk ke kamar dan mendekati Airy."Mas sudah pulang?" Airy terkejut dengan kehadiran sang suami berada di kamarnya, kemudian meletakkan ponselnya. Ia kemudian berhambur ke pelukan pria itu. Ferdinand balas merengkuh tubuh istrinya dan menghujani ciuman di pucuk kepala Airy."Tadi aku marah-marah ke Dicky karena kamu tidak kunjung keluar dari sana. Kamu adalah orang berpengaruh yang disegani. Tidak mungkin polisi berani berbuat buruk kepadamu. Tapi masalahnya kenapa kamu cukup lama berada sana?" Airy mengerutkan bibirnya kesal."Apakah istriku ini sedang merajuk suaminya tak kunjung pulang?" Ferdinand tersenyum miring menggoda Airy.Airy berdecak kesal. "Apa sih? Aku lelah harus berada di situasi yang benar-benar membuatku pusing. Aku dan para dewan direksi dituntut untuk menstabilkan saham perusahaan yang hampir anjlok karena kamu ditahan. Belum lagi aku juga harus mengurus perusahaan yang ada di luar kota. Kamu
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Kakek meninggal?"Airy berhadapan dengan Ramli dan memberondong beberapa pertanyaan kepada pria paruh baya itu. Kabar meninggalnya Gunawan yang merupakan ketua klan Arlyansyah, menyebar dengan cepat ke seluruh pelosok negeri. Airy bahkan terkejut tidak percaya dengan apa yang ia dengar."Bukankah Pak Ramli selalu mengabarkan kondisinya kepadaku dan juga suamiku, kalau kakek keadaannya semakin membaik? Bukannya sadar, kenapa malah ...,"Airy tidak bisa berkata-kata lagi. Meskipun ia jarang menjenguk kakek mertuanya itu, ia selalu memantau kondisinya. Ia selalu mendapat kabar bahwa Gunawan kondisinya semakin baik dan menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Tetapi sekarang, malah Kakek Ferdinand meninggal."Apa Mas Ferdinand sudah tahu?" tanya Airy."Sudah. Setelah mengabari kamu, saya juga mengabari suamimu."Seorang dokter berusia paruh baya, mendekati Ramli dan Airy. "Tuan!" Airy menghadangnya dengan beberapa pertanyaan. "Dokter! Apa yang sebenarnya t
"Apakah saya tidak salah dengar? Kalian meminta agar kami menerima ajakan kerjasama dari kalian?"Airy tak berniat untuk mengambil map yang diberikan oleh asisten Yudha padanya. Ia enggan membaca dokumen proposal kerjasama yang ditawarkan oleh pria itu. Namun menerima ajakan kerjasama dari klan Syamil, bukanlah langkah yang tepat. Walaupun Ferdinand sepenuhnya mempercayakan keadaan perusahaan padanya, ia tak berani mengambil keputusan ini. Jika ia nekat mengambilnya meskipun akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar, Ferdinand pasti akan murka dan menyalahkan dirinya habis-habisan. Hubungannya dengan Ferdinand sudah membaik. Ia tak mau terjadi masalah besar lagi dan memburuk lagi hubungan mereka.Ferdinand jika sudah marah, begitu mengerikan baginya. Aneh saja orang yang terlibat dendam kesumat malah mengajak kerjasama atas dasar keuntungan. Kecuali jika kedua klan memang sudah berdamai dengan tulus tanpa ada dendam satu sama lain, akan lain lagi ceritanya.Airy mencoba menerka-
"Bagaimana mungkin kamu tidak tahu pria itu melakukan tes DNA secara diam-diam?"Yudha marah kepada Nadine. Karena wanita itu dinilainya begitu bodoh. Semua itu disebabkan karena ia mendengar cerita dari Nadine yang tidak mengetahui bahwa Ferdinand melakukan tes DNA secara diam-diam kepada dia dan janinnya."Aku tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Aku ditipu," sahut Nadine."Itu artinya ..., kamu memang bodoh," cela Yudha ."Apa?! Aku bodoh?" Nadine mengulangi apa yang dikatakan oleh Yudha saat mencela.Nadine tertawa terbahak-bahak mendengarkan ucapan Yudha yang mengatakan dirinya bodoh. Pria itu memang suka bicara sembarangan. Seolah sudah menjadi orang yang paling pintar saja. Nadine tidak suka jika ada orang yang menyebut dirinya bodoh meskipun itu sebuah kebenaran."Kamu 'kan juga punya banyak orang yang diminta untuk mengawasi Ferdinand. Kenapa kamu juga tidak tahu kalau dia melakukan tes DNA? Katanya kamu mengawasi gerak-gerik nya? Mana hasilnya?" cerca Nadine dengan mar
"Apa maksudmu menghubungi aku dan memberitahuku bahwa kamu sudah melahirkan?" tanya Airy dengan tatapan sinis.Nadine menatap nyalang Airy. "Di mana Ferdinand? Kenapa kamu malah yang datang? Aku mengharapkan Ayah anakku yang datang. Bukan kamu." Airy menatap datar Nadine yang menampilkan raut wajah marah. Sepertinya Nadine tidak tahu bahwa Ferdinand sedang mengalami masalah. Sehingga meminta seorang untuk menghubungi Ferdinand agar pria itu datang ke sini. Tetapi yang datang malah Airy, dan tentu saja Nadine merasa marah.Tadi setelah seseorang datang ke perusahaan, Airy enggan datang sebenarnya. Memang orang yang diutus oleh Nadine berniat untuk mencari Ferdinand dan membawa suaminya datang ke sini. "Mungkin kamu lupa kalau Ferdinand sedang ditahan atas kesalahan yang belum tentu ia perbuat," celetuk Airy.Nadine terkejut mendengar ucapan dari Airy. Dan Airy dapat melihat ekspresi keterkejutan itu. Berarti memang Nadine benar-benar tak tahu tentang Ferdinand. Airy mengalihkan pand