"Siapa dia, Mas?" tanya Airy dengan tatapan menelisik.
"Dia ---" Ferdinand ingin menjawab, namun wanita itu melemparkan pertanyaan kepada Airy.
"Kamu siapa? Kamu membawakan makanan untuk Ferdinand?" tanya wanita itu dengan tatapan sinis.
Airy tersenyum. "Memang apa salahnya, kalau aku membawakan makan siang untuk suamiku?"
Wanita itu melebarkan matanya mendengar penuturan Airy. "Su-suami?!"
Ferdinand meraup kasar wajahnya. Setelahnya, terdengar hembusan napas kasar terdengar dari sela-sela bibirnya. Ia kemudian melirik secara bergantian ke arah Airy dan wanita yang berada satu ruangan dengannya.
"Oh. Jadi kamu istrinya?" tanya wanita itu kemudian menampilkan sebuah senyuman.
Airy mengangguk. "Iya benar. Saya istrinya Mas Ferdinand."
Wanita itu kemudian menjauh dari Ferdinand, dan berjalan mendekati Airy. Ia mengulurkan tangannya kepada Airy. Airy pun menyambut uluran tangan wanita itu.
"Perkenalkan! Saya Nadine. Sahabat Ferdinand sedari kami masih anak-anak," terang Nadine.
Airy menaikkan kedua alisnya. "Oh. Jadi kamu sahabat suamiku?"
"Benar, ehm ... Airy. Namamu Airy 'kan?"
"Iya."
"Ternyata wajah yang alami tidak tertutup make up seperti ini. Cantik sekali," puji Nadine.
Airy mengerutkan kening. "Apa kamu datang waktu pernikahan kami?"
"Iya. Mungkin kamu lupa karena saking banyaknya tamu undangan yang hadir. Akhirnya kita bisa ketemu lagi," tutur Nadine.
Airy memperhatikan raut wajah Nadine secara seksama. Nadine menatap wajah dan penampilan Airy dengan memindai dari atas ke bawah. Tampaknya ada sebuah kecemburuan di hati Nadine.
Walaupun Nadine menunjukkan sikap ramah kepada Airy, namun Airy tahu bahwa apa yang ditunjukkan oleh Nadine hanya pura-pura. Karena Airy dapat melihat dengan jelas sorot mata iri yang terpancar dari Nadine. Entah apa yang membuat Nadine iri kepada Airy.
Airy berdehem sejenak. "Mohon maaf, bukan menyinggung. Kamu ada keperluan apa dengan suamiku?"
Nadine menggeleng. "Tidak ada. Aku hanya ingin mampir. Tidak apa-apa 'kan?"
"Tidak apa-apa." Airy tersenyum tipis.
"Kamu membawakan makan siang untuk suamimu?" Nadine memperhatikan tote bag yang ada di tangan Airy. "Kamu beli, atau pembantu yang memasak?"
"Aku masak sendiri," jawaban Airy.
"Masak sendiri?" Nadine menampilkan raut wajah tidak suka.
"Airy! Keluarkan semua makanan itu di meja!" perintah Ferdinand.
Airy menoleh ke arah Ferdinand dan mengangguk. "Baik, Mas."
Airy kemudian mengeluarkan semua isi Tote bag yang ia bawa. Makan siang yang khusus untuk Ferdinand, Airy sajikan diatas meja kerja. Sedangkan Nadine yang berdiri di belakang Airy, melirik sinis kepada Airy.
"Aku hanya meminta untuk mengeluarkan semuanya. Setelah itu Aku ingin makan sendiri," ujar Ferdinand.
"Lalu?!" Airy menatap bingung wajah suaminya.
"Aku minta kalian berdua keluar dari ruanganku. Sebentar lagi setelah makan siang, dan aku akan melakukan pertemuan. Jadi, silakan kalian pergi!"
"Padahal istrimu baru saja datang. Kalau aku yang diusir sih, nggak apa-apa. Aku sudah dari dua jam yang lalu di sini. Ups!"
Airy melirik sekilas Nadine yang menutup mulut dengan tangannya berlagak keceplosan berbicara. Airy hanya tersenyum tawar mendengar ucapan Nadine. Entah hubungan antara Ferdinand dan Nadine hanya sekedar sahabat atau lebih, tapi Airy tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres di antara kedua manusia itu.
Ferdinand menatap tajam kepada Nadine. "Aku tidak ingin mengulangi lagi perkataanku tadi. Apa perlu kalian aku panggilkan security untuk mengusir?"
"Baik, Mas," sahut Airy, "jangan marah. Aku akan pulang."
Nadine memutar bola matanya. "Ya sudah. Aku juga mau pulang. Aku pamit. Permisi."
"Ayo, Airy!" Nadine menggandeng lengan Airy dan keluar bersamaan.
Airy tidak menolak atau protes lengannya digandeng oleh Nadine. Meskipun Airy tahu bahwa Nadine hanya berpura-pura bersikap baik kepadanya, tapi tetap ia biarkan. Airy ingin tahu sampai batas mana, Nadine mampu menunjukkan jati diri yang sebenarnya.
"Sudah berapa lama kamu berkenalan dengan Ferdinand?" tanya Nadine penasaran.
"Belum terlalu lama," jawab Airy.
"Kok aku nggak tahu, kalau Ferdinand kenal sama kamu?"
Airy tertawa dalam hati. Ia membatin, "memangnya semua orang yang dikenal oleh Ferdinand, kamu juga harus kenal? Siapa sih sebenarnya kamu?"
"Apakah memang biasanya kamu tahu? Kenal dengan siapa saja?" tanya Airy bersikap santai.
Sedari tadi mereka berjalan berdampingan, dengan lengan Airy dipegang oleh Nadine. Nadine melepaskan tangannya dari lengan Airy. Lalu wanita itu melipat tangan di dada.
"Sejujurnya, siapa saja wanita yang ingin dekat dan menjadi istri Ferdinand, aku mengenal dan aku tahu. Tapi ini dengan kamu, apakah pernikahan kalian diatur oleh kakeknya Ferdinand?"
Airy berdehem. "Maaf. Tapi itu urusan pribadi kami."
"Menikah dengan Ferdinand, adalah suatu keberuntungan bagi siapapun wanita yang menjadi istrinya. Termasuk juga kamu," celetuk Nadine.
Airy mengerutkan keningnya. Beruntung dalam hal apa yang dimaksud oleh Nadine, Airy perlu menanyakan. "Maksudnya beruntung?"
"Kamu tahu kan, kalau Ferdinand itu kaya raya?"
Airy menatap sorot mata Nadine. Tatapan Nadine kepada Airy, seolah ingin meremehkan. Airy mengangguk dan tersenyum miris karena Nadine menganggap dirinya matre.
"Iya aku tahu. Tapi maksud dan tujuan kami menikah bukan karena aku wanita materialistis seperti kebanyakan wanita yang mungkin selalu dekat dengan Ferdinand," sahut Airy.
"Aku bukan bermaksud untuk menuduh kamu menikah Ferdinand karena uang," kilah Nadine.
"Ya ... syukur kalau kamu tidak menuduhku seperti itu." Airy mencoba bersikap tenang dihadapan Nadine.
"Setidaknya ada yang perlu kamu mengerti mengenai Ferdinand. Mungkin kamu akan bahagia bersama Ferdinand. Tapi aku rasa, kamu keberatan dengan satu hal yang diprinsipkan oleh pria itu. Yaitu child free," ujar Nadine.
Airy termangu. "Ferdinand tidak mau punya anak?"
"Loh memangnya kamu nggak tahu? Apa kalian sebelum menikah tidak membahas soal itu? Ferdinand nggak bilang kalau nggak mau punya anak?"
***
"Mas sudah pulang?" Airy menyambut kepulangan Ferdinand dengan penuh kehangatan.
Ferdinand terlihat letih ketika pulang ke rumah. Ia melonggarkan dasi di lehernya yang terasa mencekik. Dengan hati enggan, ia menyambut uluran tangan Airy yang ingin mencium tangannya.
"Ada yang ingin aku bicarakan," kata Ferdinand.
"Mau bicara soal apa, Mas?" tanya Airy.
"Ayo ikut aku!" ajak Ferdinand.
Ferdinand berlalu dari hadapan Airy, dan menuju ke ruang kerjanya. Disusul oleh Airy yang mengekor di belakang. Airy penasaran dengan apa yang ingin disampaikan oleh Ferdinand.
Sementara itu, Ferdinand menarik laci meja kerjanya, dan mengambil sebuah amplop coklat dari sana. Ferdinand membuka amplop itu, dan mengambil dokumen yang berada di dalamnya.
"Baca ini!" perintahnya menyerahkan dokumen itu kepada Airy.
Tanpa bertanya, Airy menerima kertas yang di sodorkan oleh Ferdinand. Barisan tinta hitam yang tercetak di sana, Airy baca dengan teliti. Dada Airy bergemuruh setelah mengetahui isi dokumen yang harus ia tandatangani.
"Apa ini, Mas?" Airy menatap tajam kepada Ferdinand. "Aku harus memberikanmu anak, dan kita bercerai?"
"Karena aku tidak ingin hidup berumah tangga. Jika bukan karena paksaan dari kakekku, aku juga tidak mau menikahi kamu," tukas Ferdinand dengan santai.
"Apa Mas tidak bisa menerima takdir dengan lapang hati saja?"
Ferdinand berdecih. "Itu maunya kamu. Sedangkan aku, tidak."
"Mas!" Airy menunduk lesu. "Jika seandainya Mas ingin tahu, aku juga terpaksa menikah denganmu."
"Benarkah? Kamu terpaksa?" Ferdinand tersenyum miring.
"Kalau memang benar kamu terpaksa, bisa kamu jelaskan apa yang menyebabkan kamu mau menikah denganku?" tanya Ferdinand menatap tajam Airy.
"Sepertinya ... ada seseorang yang sudah mendapatkan tambatan hati baru. Padahal dia belum juga resmi bercerai dari suaminya.""Kakak?!" Airy terkejut melihat kehadiran Wina--- Kakak tirinya. Entah apa maksudnya wanita itu datang kesini. Jika tidak ingin mencari masalah dan memakinya, sudah pasti wanita itu ingin menekannya melakukan sesuatu hal.Wina tersenyum miring menatap adiknya tersebut. Ia melihat ke arah jalan yang sudah sepi. Terutama jalan yang ditempati oleh mobil milik Yudha beberapa saat lalu. Dan Wina, melangkah perlahan mendekati Airy. "Siapa itu? Selingkuhan kamu?" tanya Wina menatap sinis Airy.Airy memejamkan matanya erat. Kakaknya itu tidak tahu apa-apa. Tapi main asal menuduh saja. Harusnya Wina cukup menanyakan siapa pria itu. Tidak perlu sampai menuduh sesuatu hal yang tidak benar. "Jadi alasanmu ingin bercerai dari Ferdinand, karena pria itu?" tanya Wina lagi.Airy terkejut dengan asumsi yang dialami oleh Wina. Padahal, alasannya bukan itu. Tapi ia tak mung
"Terima kasih atas ajakan makan malamnya," ucap Airy pada Yudha.Yudha mengangguk seraya tersenyum. "Sama-sama. Saya merasa beruntung. ajakan makan malam saya diterima oleh Anda. Airy memutuskan untuk menerima ajakan makan malam dari Yudha. Setelah pria itu menawarkannya di saat melakukan pemesanan papan bunga, Airy hanya menjawab akan memikirkannya. Setelah Airy mengirimkan papan bunga pesanan polisi muda itu, ia menelpon Yudha bahwa bersedia untuk makan malam bersama. Yudha pun sudah menyisihkan waktu setelah selesai melakukan tugas piketnya dan mengajak wanita yang sebentar lagi akan bercerai itu makan malam di sebuah restoran.Restoran yang didatangi oleh Airy dan Yudha, bernuansa retro. Airy tersenyum tipis memandang lampu gantung antik dan kursi kayu dengan ukiran khas, serta setiap sudut ruangan dilengkapi dengan ornamen indah. Ia merasa nyaman berada di sana. Yudha menatap wajah cantik Airy yang tersenyum memindai ruangan dalam restoran tersebut. Ada sebuah tatapan kagum yan
"Aku akan memberikan surat permohonan cerai ini pada suamiku. Semoga perpisahan antara kami berjalan lancar tanpa ada halangan," harap Airy sambil tersenyum tipis. Airy datang ke kantor suaminya, dan ingin memberikan surat permohonan cerai agar ditandatangani oleh pria itu. Awalnya ia ingin memberikan surat tersebut ke perusahaan Arlyansyah langsung. Tetapi Ramli memberitahukan padanya bahwa Ferdinand tidak lagi menempati posisi CEO di sana dan diberhentikan oleh Gunawan. Dan Airy mengingat bahwa suaminya memiliki perusahaan yang dibangun mandiri oleh pria itu. Sampai akhirnya Airy memutuskan pergi ke sana sendiri. Surat gugatan cerai itu sudah dibubuhkan tanda tangan miliknya. Tinggal Ferdinand yang akan menandatanganinya.Sidang mediasi rencananya akan dilaksanakan minggu depan. Ia berharap perceraiannya bisa diurus dengan lancar tanpa ada kendala sedikit. Airy tidak ingin ada drama yang akan melelahkan hati dan pikirannya.Airy memikirkan untuk berpisah secara baik-baik tanpa ada
"Jadi ... dikirim hari Minggu ya, karangan bunganya?" tanya Airy pada seorang polisi yang memesan karangan bunga ucapan selamat."Iya. Benar hari Minggu," jawabnya.Airy mencatat pemesanan papan bunga yang akan ditujukan ke alamat tertentu beserta hari yang diminta. "Terima kasih, Pak Yuda. Karena selalu percaya dengan toko kami."Polisi yang bernama Yuda itu tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama."Polisi gagah yang memiliki pangkat Bintara itu memperhatikan wajah Airy dengan kagum. Semua orang mengenal bahwa Airy adalah istri dari pengusaha kaya raya Ferdinand Arlyansyah. Tak sedikit dari mereka kalangan pria mengagumi sosoknya. "Kemarin saya memperhatikan cincin di tangan Anda. Kenapa sekarang tidak ada?" tanya Yuda sambil memperhatikan jari manis milik Airy.Airy yang sedang meletakkan buku beralih menatap Yuda. Ia kemudian memperhatikan jari tangannya. "Oh ... maksudnya cincin nikah? Sudah saya lepas. Karena saya sedang proses bercerai dengan suami saya," beritahu Airy.Yuda namp
Ferdinand saat ini sedang mengamuk kepada Dicky. Setelah ia diberhentikan dari jabatan CEO oleh kakeknya di perusahaan keluarga Arlyansyah, ia memilih fokus untuk mengembangkan perusahaan yang ia bangun secara mandiri tanpa campur tangan Gunawan. Ia bertekad mengembangkan perusahaan itu tanpa bayang-bayang keluarga Arlyansyah. Namun baru saja dirinya memenangkan tender, data-data dari perusahaan yang dimilikinya bocor karena keteledoran."Apa-apaan ini? Bagaimana bisa bocor data-data kita?" amuk Ferdinand pada Dicky.Ferdinand membanting lukisan yang ada di ruangan itu hingga hancur berkeping-keping. Ia melampiaskan emosinya disana. Dicky ketakutan melihat bosnya mengamuk seperti itu. Suasana di ruangan tersebut begitu mencekam."Kenapa kamu diam, Dicky? Apa alasannya?" teriak Ferdinand. "Maaf, Pak. Tapi ... saya tidak bisa mengendalikannya." Dicky menunduk dalam. Ia merasa takut dengan Ferdinand yang tak bisa mengendalikan emosi. "Lalu, apa gunanya saya mau bayar kamu? Hah?"Para k
Mobil hitam yang dikendarai oleh Airy berhenti di depan rumah sederhana milik sang ibu. Tepat di belakang, terdapat mobil dinas sosial yang ikut serta dengannya. Airy dan para petugas dinas sosial yang ikut serta, keluar bersama-sama dari mobil masing-masing.Airy melangkah mendekat ke arah mereka. "Sebentar saya panggilkan!"Wanita anggun itu dengan langkah tegas menaiki teras rumah. Sudah lama ia tak pulang ke rumah ini setelah menikah dengan Ferdinand. Ratih bahkan tidak memperbolehkan Airy untuk pulang ke rumah itu lagi. Bahkan setelah Airy memutuskan untuk bercerai dari Ferdinand, Ratih tak mengizinkan nya untuk tinggal di rumah itu lagi.Menghela napas, Airy mengangkat tangan dan mengetuk pintu. Tak membutuhkan waktu lama, pintu bercat putih itu dibuka oleh Ratih. Wanita paruh baya itu heran dengan kedatangan sang anak. "Kok kamu datang nggak bilang-bilang dulu?" tanya Ratih heran.Airy mengangkat bahunya cuek. "Bukankah ini masih rumahku?"Ratih melihat ada mobil lain yang dat