Bibir Airy terasa kelu. Bukan ia takut berhadapan dengan Ferdinand. Tapi ia mengingat ucapan Gunawan yang mengingatkannya agar menutup rahasia yang menyebabkan pernikahan antara dirinya dengan Ferdinand harus terjadi. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat dan dipaksakan.
Melihat Airy yang membisu, membuat Ferdinand menatap remeh istrinya. "Tidak bisa jawab bukan? Itu artinya, kamu memang berniat untuk menguasai seluruh hartaku." "Satu hal yang perlu kamu tahu Airy! Aku telah berkomitmen terhadap diriku sendiri tidak ingin jatuh cinta terhadap siapapun. Bahkan kepadamu istriku sendiri. Jadi, jangan berharap pernikahan kita akan langgeng seperti kebanyakan yang orang lain jalani. Dan ingat! Kamu hanya membutuhkan waktu 2 tahun menjadi istriku. Berikan anakku, dan setelah itu pergilah!" "Jika pernikahan hanya untuk memberikan anak, lalu aku pergi setelah memberikan anakku kepadamu, aku tidak mau. Kita lihat saja nanti. Bagaimana kamu dapat mempertahankan benteng yang kokoh di hatimu? Dan apakah kamu yakin, tidak akan pernah bisa mencintaiku selama apapun kita berumah tangga?" Airy mencoba menantang Ferdinand. Airy masih melanjutkan bicaranya, "aku tidak mau menandatangani ini." Airy membanting dokumen di atas meja. "Jangan keras kepala! tanda tangan!" tegas Ferdinand. "Aku nggak mau," tolak Airy tak kalah tegas. "Kalau begitu jalankan kewajibanmu sebagai seorang istri kepada suamimu!" perintah Ferdinand. "Aku ingin meminta hakku malam ini," tambahnya. Airy sontak mundur perlahan mendengar Ferdinand ingin meminta haknya. "Sekarang?" Ferdinand mengangguk. "Supaya kamu cepat hamil dan kamu pergi dari hidupku." "Tidak." Airy menggeleng keras. Ferdinand tersenyum menyeringai dan berjalan mendekati Airy. Airy sontak mundur dan menatap Ferdinand ketakutan. Jujur, ia tak siap jika harus memberikan mahkotanya sekarang kepada Ferdinand. Meskipun, Ferdinand adalah suaminya. "Aku akan memberikan kompensasi yang besar, jika kamu menandatangani perjanjian tertulis itu. Bagaimana? Kamu mau?" "Setelah kamu melahirkan, kamu akan aku ceraikan, dan akan aku berikan kompensasi yang besar sebagai jasamu yang telah bersedia mengandung dan melahirkan anakku. Bagaimana? Kamu setuju?" tawar Ferdinand. Airy mengerjapkan matanya berulang kali, mencoba menyerap setiap kata yang dituturkan oleh lelaki itu. Ia mencoba memastikan, bahwa apa yang didengarnya, tidak salah. Beberapa saat kemudian, Airy menampilkan senyuman yang miris. "Aku tidak mengerti bagaimana cara berpikirmu. Apakah memang kamu adalah orang yang tidak memiliki hati nurani ingin memisahkan anak dari ibunya?" Airy menggeleng tak percaya. "Jadi ... mau atau tidak?" ulang Ferdinand. "Tentu saja aku tidak mau. Aku hanya mau kamu menyentuhku, dan menghamiliku ketika kamu memiliki perasaan cinta kepadaku," tegas Airy. Airy menikah dengan Ferdinand, bukan untuk mempermainkan sebuah pernikahan. Apalagi tawaran yang sangat tidak masuk akal bagi Ferdinand untuk Airy. Jika memang pria itu memiliki rasa trauma dan tidak ingin memiliki anak, mengapa malah meminta Airy untuk mengandung anak pria itu, lalu meninggalkannya setelah bercerai? "Perihal anak yang ingin kamu ambil dariku, dan dengan memberikanku uang, apa kamu pikir ... anak adalah barang yang bisa dijual belikan?" tanya Airy lagi. Ferdinand menatap Airy dengan satu alis terangkat. "Bukankah tujuan kamu menikah denganku, hanya karena uang?" "Aku bukan wanita seperti itu," sanggah Airy, "tapi jika kamu menilai aku seperti itu, silahkan saja. Aku tidak berhak melarangmu untuk menilai." Ferdinand tertawa kecil. Pria itu kemudian meraih dokumen yang ditolak oleh Airy untuk menandatanganinya. Ferdinand memasukkan satu tangan di saku celananya menatap Airy secara tajam. "Tapi, apakah kamu tidak mau mengatakan hal sejujurnya?" Airy mengernyit bingung. "Hal jujur tentang apa?" "apa yang membuatmu bersedia menikah denganku? Kamu jelas tahu. Detik-detik sebelum ijab kabul, aku melarang keras terjadinya pernikahan itu. Kenapa kamu menerimanya?" tanya Ferdinand mengikis jarak antara mereka. Airy meneguk salivanya dengan kasar. "Kenapa aku menerimanya, itu bukan urusan kamu. Dan kamu tidak perlu tahu." Airy mencoba bersikap tenang menghadapi Ferdinand. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan pria itu. Airy harus bisa membalas jika pria itu bersiap untuk menindas dirinya. "Bukankah kamu sebenarnya tidak ingin memiliki anak?" tanya Airy. Terlihat raut wajah yang mulai gelap dari wajah Ferdinand. Pria itu seperti tak suka dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Airy. "Siapa yang mengatakan itu? Apa kakek?" Airy menggeleng. "Tidak. Nadine --- temanmu yang mengatakannya. Kamu tidak ingin memiliki anak, tapi kamu mau mengakhiri pernikahan kita kalau aku sudah memiliki anak. Pikiran dari mana itu?" "Bagus. Ternyata wanita itu memang sudah tahu." Ferdinand tertawa kecil mendengar ucapan Airy, yang memberitahukan bahwa Nadine tahu tentang Ferdinand yang tidak ingin memiliki anak. "Lupakan perjanjian tertulis itu. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah mau menandatangani," ujar Airy. "Dan ingat satu lagi! Aku akan berusaha membuat kamu jatuh cinta kepadaku. Jangan samakan aku seperti wanita lain di luar sana yang menginginkan sebuah harta," tambahnya lagi. "Aku mengharapkan keluarga yang bahagia hingga akhir hayat memisahkan. Itu yang aku harapkan," pungkas Airy. Ferdinand tertawa kecil. Airy mengharapkan sebuah keluarga bahagia hingga akhir hayat memisahkan. Sungguh sesuatu yang lucu baginya. "Bermimpi lah! Kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan itu! Apalagi denganku," ujar Ferdinand. Airy melipat tangannya didada dan menatap heran pada Ferdinand. Ia tak menyangka akan menikah dengan pria seperti ini. Tapi mau mundur pun, Airy sudah terlanjur basah. Apakah ia akan tahan bertahan hidup bersama pria itu? Ferdinand mendekatkan wajahnya pada Airy. Airy merasakan gugup. Apalagi saat napas hangat dari suaminya yang bisa ia rasakan. Airy perlahan mundur untuk menjaga jarak dengan Ferdinand. Namun, semakin Airy mundur, semakin Ferdinand memajukan langkah untuk mengikis jarak antara mereka. "Jika kamu mau bertahan denganku menjadi istri ku selamanya, kamu harus bersedia untuk menjalani pernikahan tanpa seorang anak," kata Ferdinand sembari memegang leher belakang Airy. "Kamu pria aneh," desis Airy. Ferdinand mendekatkan wajahnya ke leher Airy. Airy memejamkan matanya dengan tubuh membeku seketika. Ketika sapuan hangat terasa, Airy berusaha sekuat tenaga menyadarkan diri untuk tidak terlena. "Le-lepas!" sentak Airy. Ferdinand tersenyum miring. "Kenapa? Bukankah kita sah melakukan itu karena kita adalah suami istri?" Airy menggeleng keras. "Aku tidak mau." Hampir saja Airy kelepasan jika tidak segera sadar. Ia belum siap jika harus memberikan kehormatannya kepada suaminya. Apalagi, Ferdinand tampak seperti pria patriarki. Airy menghela napas berat. "Kamu tadi meminta aku untuk melahirkan anak untukmu, setelah itu aku diceraikan dan harus meninggalkan anakku. Kamu cari saja wanita yang mau dijadikan seperti itu olehmu. Aku tidak mau." Setelah mengucapkan demikian, Airy beranjak dari hadapan Ferdinand, dan keluar dari ruang kerja pria itu. Ia membanting pintu dengan keras untuk melampiaskan kekesalannya. Sedangkan Ferdinand, menatap kepergian Airy dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kakek bilang dia punya trauma, dan aku harus bisa menyembuhkan trauma Ferdinand. Lagu bagaimana caranya agar dia bisa sembuh?" monolog Airy sambil berjalan. Ketika ia akan kembali ke kamarnya, Dicky---asisten Ferdinand, datang ke rumah itu. Airy tak lupa untuk menyapa. "Dicky!" "Selamat Malam, Nyonya Airy! Apa Pak Ferdinand bisa ditemui?" tanya Dicky dengan ramah. "Ehh ... Sepertinya, dia tidak sibuk. Kamu temui saja. Apa mau mengantarkan sebuah dokumen?" Airy melihat sebuah map merah yang berada di tangan Dicky. Dicky mengangguk. "Iya, Bu." Airy tersenyum. Dicky kemudian mengangguk hormat kepada Airy, dan bersiap untuk melangkahkan kakinya menemui Ferdinand. Namun, baru dua meter melangkah, Dicky berbalik menatap Airy. "Saya harap, ibu bisa bersabar dalam mengahadapi sikap pak Ferdinand. Beliau tak pernah mencintai seorang wanita. Tapi, saya rasa, jika seandainya suami ibu dapat melihat semua ketulusan hati ibu, beliau pasti tidak akan pernah melepaskan ibu dari tangannya," terang Dicky. Airy berdehem singkat. "Apakah sebenarnya yang membuat suamiku trauma, hingga tak percaya dengan pernikahan dan wanita?" "Kapan waktu, akan saya beritahukan kepada anda," ujar Dicky kemudian berlalu dari hadapan Airy.Sudah 3 bulan berlalu semenjak meninggalnya tetua Arlyansyah, Ferdinand kini sudah bisa bangkit dan mengikhlaskan kepergian sang kakek. Sebelumnya, pria itu begitu terpuruk karena kehilangan sosok yang selama ini menjadi pelindung dan pengganti orang tuanya. Walaupun terlihat cuek dan tidak peduli, sejujurnya pria berhati dingin itu merasakan kehilangan yang amat dalam. Tetapi di samping keterpurukannya, ada seorang wanita yang sangat dicintai oleh Ferdinand. Dan wanita itu membuat Ferdinand cepat bangkit dan melupakan semua masalah yang ada. Sesuai dengan permintaannya, Ferdinand tidak mengizinkan Airy untuk pergi dari perusahaan itu. Airy tetap ia biarkan bekerja karena Ferdinand tak mau jauh dari sisi wanitanya.Airy menjadi wakil CEO di bawah kepemimpinan Ferdinand. Tetapi, Airy meminta kepada suaminya untuk mundur jika mereka berdua memiliki anak, karena Airy ingin menghabiskan waktu bersama anak. Dan Ferdinand, selain menuruti kemauan istrinya, ia memberikan 60% saham atas nama
"Seseorang siapa yang kamu minta tolong untuk menyelidiki?" Ferdinand masuk ke kamar dan mendekati Airy."Mas sudah pulang?" Airy terkejut dengan kehadiran sang suami berada di kamarnya, kemudian meletakkan ponselnya. Ia kemudian berhambur ke pelukan pria itu. Ferdinand balas merengkuh tubuh istrinya dan menghujani ciuman di pucuk kepala Airy."Tadi aku marah-marah ke Dicky karena kamu tidak kunjung keluar dari sana. Kamu adalah orang berpengaruh yang disegani. Tidak mungkin polisi berani berbuat buruk kepadamu. Tapi masalahnya kenapa kamu cukup lama berada sana?" Airy mengerutkan bibirnya kesal."Apakah istriku ini sedang merajuk suaminya tak kunjung pulang?" Ferdinand tersenyum miring menggoda Airy.Airy berdecak kesal. "Apa sih? Aku lelah harus berada di situasi yang benar-benar membuatku pusing. Aku dan para dewan direksi dituntut untuk menstabilkan saham perusahaan yang hampir anjlok karena kamu ditahan. Belum lagi aku juga harus mengurus perusahaan yang ada di luar kota. Kamu
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Kakek meninggal?"Airy berhadapan dengan Ramli dan memberondong beberapa pertanyaan kepada pria paruh baya itu. Kabar meninggalnya Gunawan yang merupakan ketua klan Arlyansyah, menyebar dengan cepat ke seluruh pelosok negeri. Airy bahkan terkejut tidak percaya dengan apa yang ia dengar."Bukankah Pak Ramli selalu mengabarkan kondisinya kepadaku dan juga suamiku, kalau kakek keadaannya semakin membaik? Bukannya sadar, kenapa malah ...,"Airy tidak bisa berkata-kata lagi. Meskipun ia jarang menjenguk kakek mertuanya itu, ia selalu memantau kondisinya. Ia selalu mendapat kabar bahwa Gunawan kondisinya semakin baik dan menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Tetapi sekarang, malah Kakek Ferdinand meninggal."Apa Mas Ferdinand sudah tahu?" tanya Airy."Sudah. Setelah mengabari kamu, saya juga mengabari suamimu."Seorang dokter berusia paruh baya, mendekati Ramli dan Airy. "Tuan!" Airy menghadangnya dengan beberapa pertanyaan. "Dokter! Apa yang sebenarnya t
"Apakah saya tidak salah dengar? Kalian meminta agar kami menerima ajakan kerjasama dari kalian?"Airy tak berniat untuk mengambil map yang diberikan oleh asisten Yudha padanya. Ia enggan membaca dokumen proposal kerjasama yang ditawarkan oleh pria itu. Namun menerima ajakan kerjasama dari klan Syamil, bukanlah langkah yang tepat. Walaupun Ferdinand sepenuhnya mempercayakan keadaan perusahaan padanya, ia tak berani mengambil keputusan ini. Jika ia nekat mengambilnya meskipun akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar, Ferdinand pasti akan murka dan menyalahkan dirinya habis-habisan. Hubungannya dengan Ferdinand sudah membaik. Ia tak mau terjadi masalah besar lagi dan memburuk lagi hubungan mereka.Ferdinand jika sudah marah, begitu mengerikan baginya. Aneh saja orang yang terlibat dendam kesumat malah mengajak kerjasama atas dasar keuntungan. Kecuali jika kedua klan memang sudah berdamai dengan tulus tanpa ada dendam satu sama lain, akan lain lagi ceritanya.Airy mencoba menerka-
"Bagaimana mungkin kamu tidak tahu pria itu melakukan tes DNA secara diam-diam?"Yudha marah kepada Nadine. Karena wanita itu dinilainya begitu bodoh. Semua itu disebabkan karena ia mendengar cerita dari Nadine yang tidak mengetahui bahwa Ferdinand melakukan tes DNA secara diam-diam kepada dia dan janinnya."Aku tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Aku ditipu," sahut Nadine."Itu artinya ..., kamu memang bodoh," cela Yudha ."Apa?! Aku bodoh?" Nadine mengulangi apa yang dikatakan oleh Yudha saat mencela.Nadine tertawa terbahak-bahak mendengarkan ucapan Yudha yang mengatakan dirinya bodoh. Pria itu memang suka bicara sembarangan. Seolah sudah menjadi orang yang paling pintar saja. Nadine tidak suka jika ada orang yang menyebut dirinya bodoh meskipun itu sebuah kebenaran."Kamu 'kan juga punya banyak orang yang diminta untuk mengawasi Ferdinand. Kenapa kamu juga tidak tahu kalau dia melakukan tes DNA? Katanya kamu mengawasi gerak-gerik nya? Mana hasilnya?" cerca Nadine dengan mar
"Apa maksudmu menghubungi aku dan memberitahuku bahwa kamu sudah melahirkan?" tanya Airy dengan tatapan sinis.Nadine menatap nyalang Airy. "Di mana Ferdinand? Kenapa kamu malah yang datang? Aku mengharapkan Ayah anakku yang datang. Bukan kamu." Airy menatap datar Nadine yang menampilkan raut wajah marah. Sepertinya Nadine tidak tahu bahwa Ferdinand sedang mengalami masalah. Sehingga meminta seorang untuk menghubungi Ferdinand agar pria itu datang ke sini. Tetapi yang datang malah Airy, dan tentu saja Nadine merasa marah.Tadi setelah seseorang datang ke perusahaan, Airy enggan datang sebenarnya. Memang orang yang diutus oleh Nadine berniat untuk mencari Ferdinand dan membawa suaminya datang ke sini. "Mungkin kamu lupa kalau Ferdinand sedang ditahan atas kesalahan yang belum tentu ia perbuat," celetuk Airy.Nadine terkejut mendengar ucapan dari Airy. Dan Airy dapat melihat ekspresi keterkejutan itu. Berarti memang Nadine benar-benar tak tahu tentang Ferdinand. Airy mengalihkan pand