Bibir Airy terasa kelu. Bukan ia takut berhadapan dengan Ferdinand. Tapi ia mengingat ucapan Gunawan yang mengingatkannya agar menutup rahasia yang menyebabkan pernikahan antara dirinya dengan Ferdinand harus terjadi. Bahkan dalam waktu yang sangat singkat dan dipaksakan.
Melihat Airy yang membisu, membuat Ferdinand menatap remeh istrinya. "Tidak bisa jawab bukan? Itu artinya, kamu memang berniat untuk menguasai seluruh hartaku." "Satu hal yang perlu kamu tahu Airy! Aku telah berkomitmen terhadap diriku sendiri tidak ingin jatuh cinta terhadap siapapun. Bahkan kepadamu istriku sendiri. Jadi, jangan berharap pernikahan kita akan langgeng seperti kebanyakan yang orang lain jalani. Dan ingat! Kamu hanya membutuhkan waktu 2 tahun menjadi istriku. Berikan anakku, dan setelah itu pergilah!" "Jika pernikahan hanya untuk memberikan anak, lalu aku pergi setelah memberikan anakku kepadamu, aku tidak mau. Kita lihat saja nanti. Bagaimana kamu dapat mempertahankan benteng yang kokoh di hatimu? Dan apakah kamu yakin, tidak akan pernah bisa mencintaiku selama apapun kita berumah tangga?" Airy mencoba menantang Ferdinand. Airy masih melanjutkan bicaranya, "aku tidak mau menandatangani ini." Airy membanting dokumen di atas meja. "Jangan keras kepala! tanda tangan!" tegas Ferdinand. "Aku nggak mau," tolak Airy tak kalah tegas. "Kalau begitu jalankan kewajibanmu sebagai seorang istri kepada suamimu!" perintah Ferdinand. "Aku ingin meminta hakku malam ini," tambahnya. Airy sontak mundur perlahan mendengar Ferdinand ingin meminta haknya. "Sekarang?" Ferdinand mengangguk. "Supaya kamu cepat hamil dan kamu pergi dari hidupku." "Tidak." Airy menggeleng keras. Ferdinand tersenyum menyeringai dan berjalan mendekati Airy. Airy sontak mundur dan menatap Ferdinand ketakutan. Jujur, ia tak siap jika harus memberikan mahkotanya sekarang kepada Ferdinand. Meskipun, Ferdinand adalah suaminya. "Aku akan memberikan kompensasi yang besar, jika kamu menandatangani perjanjian tertulis itu. Bagaimana? Kamu mau?" "Setelah kamu melahirkan, kamu akan aku ceraikan, dan akan aku berikan kompensasi yang besar sebagai jasamu yang telah bersedia mengandung dan melahirkan anakku. Bagaimana? Kamu setuju?" tawar Ferdinand. Airy mengerjapkan matanya berulang kali, mencoba menyerap setiap kata yang dituturkan oleh lelaki itu. Ia mencoba memastikan, bahwa apa yang didengarnya, tidak salah. Beberapa saat kemudian, Airy menampilkan senyuman yang miris. "Aku tidak mengerti bagaimana cara berpikirmu. Apakah memang kamu adalah orang yang tidak memiliki hati nurani ingin memisahkan anak dari ibunya?" Airy menggeleng tak percaya. "Jadi ... mau atau tidak?" ulang Ferdinand. "Tentu saja aku tidak mau. Aku hanya mau kamu menyentuhku, dan menghamiliku ketika kamu memiliki perasaan cinta kepadaku," tegas Airy. Airy menikah dengan Ferdinand, bukan untuk mempermainkan sebuah pernikahan. Apalagi tawaran yang sangat tidak masuk akal bagi Ferdinand untuk Airy. Jika memang pria itu memiliki rasa trauma dan tidak ingin memiliki anak, mengapa malah meminta Airy untuk mengandung anak pria itu, lalu meninggalkannya setelah bercerai? "Perihal anak yang ingin kamu ambil dariku, dan dengan memberikanku uang, apa kamu pikir ... anak adalah barang yang bisa dijual belikan?" tanya Airy lagi. Ferdinand menatap Airy dengan satu alis terangkat. "Bukankah tujuan kamu menikah denganku, hanya karena uang?" "Aku bukan wanita seperti itu," sanggah Airy, "tapi jika kamu menilai aku seperti itu, silahkan saja. Aku tidak berhak melarangmu untuk menilai." Ferdinand tertawa kecil. Pria itu kemudian meraih dokumen yang ditolak oleh Airy untuk menandatanganinya. Ferdinand memasukkan satu tangan di saku celananya menatap Airy secara tajam. "Tapi, apakah kamu tidak mau mengatakan hal sejujurnya?" Airy mengernyit bingung. "Hal jujur tentang apa?" "apa yang membuatmu bersedia menikah denganku? Kamu jelas tahu. Detik-detik sebelum ijab kabul, aku melarang keras terjadinya pernikahan itu. Kenapa kamu menerimanya?" tanya Ferdinand mengikis jarak antara mereka. Airy meneguk salivanya dengan kasar. "Kenapa aku menerimanya, itu bukan urusan kamu. Dan kamu tidak perlu tahu." Airy mencoba bersikap tenang menghadapi Ferdinand. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan pria itu. Airy harus bisa membalas jika pria itu bersiap untuk menindas dirinya. "Bukankah kamu sebenarnya tidak ingin memiliki anak?" tanya Airy. Terlihat raut wajah yang mulai gelap dari wajah Ferdinand. Pria itu seperti tak suka dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Airy. "Siapa yang mengatakan itu? Apa kakek?" Airy menggeleng. "Tidak. Nadine --- temanmu yang mengatakannya. Kamu tidak ingin memiliki anak, tapi kamu mau mengakhiri pernikahan kita kalau aku sudah memiliki anak. Pikiran dari mana itu?" "Bagus. Ternyata wanita itu memang sudah tahu." Ferdinand tertawa kecil mendengar ucapan Airy, yang memberitahukan bahwa Nadine tahu tentang Ferdinand yang tidak ingin memiliki anak. "Lupakan perjanjian tertulis itu. Sampai kapanpun, aku tidak akan pernah mau menandatangani," ujar Airy. "Dan ingat satu lagi! Aku akan berusaha membuat kamu jatuh cinta kepadaku. Jangan samakan aku seperti wanita lain di luar sana yang menginginkan sebuah harta," tambahnya lagi. "Aku mengharapkan keluarga yang bahagia hingga akhir hayat memisahkan. Itu yang aku harapkan," pungkas Airy. Ferdinand tertawa kecil. Airy mengharapkan sebuah keluarga bahagia hingga akhir hayat memisahkan. Sungguh sesuatu yang lucu baginya. "Bermimpi lah! Kamu tidak akan pernah bisa mendapatkan itu! Apalagi denganku," ujar Ferdinand. Airy melipat tangannya didada dan menatap heran pada Ferdinand. Ia tak menyangka akan menikah dengan pria seperti ini. Tapi mau mundur pun, Airy sudah terlanjur basah. Apakah ia akan tahan bertahan hidup bersama pria itu? Ferdinand mendekatkan wajahnya pada Airy. Airy merasakan gugup. Apalagi saat napas hangat dari suaminya yang bisa ia rasakan. Airy perlahan mundur untuk menjaga jarak dengan Ferdinand. Namun, semakin Airy mundur, semakin Ferdinand memajukan langkah untuk mengikis jarak antara mereka. "Jika kamu mau bertahan denganku menjadi istri ku selamanya, kamu harus bersedia untuk menjalani pernikahan tanpa seorang anak," kata Ferdinand sembari memegang leher belakang Airy. "Kamu pria aneh," desis Airy. Ferdinand mendekatkan wajahnya ke leher Airy. Airy memejamkan matanya dengan tubuh membeku seketika. Ketika sapuan hangat terasa, Airy berusaha sekuat tenaga menyadarkan diri untuk tidak terlena. "Le-lepas!" sentak Airy. Ferdinand tersenyum miring. "Kenapa? Bukankah kita sah melakukan itu karena kita adalah suami istri?" Airy menggeleng keras. "Aku tidak mau." Hampir saja Airy kelepasan jika tidak segera sadar. Ia belum siap jika harus memberikan kehormatannya kepada suaminya. Apalagi, Ferdinand tampak seperti pria patriarki. Airy menghela napas berat. "Kamu tadi meminta aku untuk melahirkan anak untukmu, setelah itu aku diceraikan dan harus meninggalkan anakku. Kamu cari saja wanita yang mau dijadikan seperti itu olehmu. Aku tidak mau." Setelah mengucapkan demikian, Airy beranjak dari hadapan Ferdinand, dan keluar dari ruang kerja pria itu. Ia membanting pintu dengan keras untuk melampiaskan kekesalannya. Sedangkan Ferdinand, menatap kepergian Airy dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kakek bilang dia punya trauma, dan aku harus bisa menyembuhkan trauma Ferdinand. Lagu bagaimana caranya agar dia bisa sembuh?" monolog Airy sambil berjalan. Ketika ia akan kembali ke kamarnya, Dicky---asisten Ferdinand, datang ke rumah itu. Airy tak lupa untuk menyapa. "Dicky!" "Selamat Malam, Nyonya Airy! Apa Pak Ferdinand bisa ditemui?" tanya Dicky dengan ramah. "Ehh ... Sepertinya, dia tidak sibuk. Kamu temui saja. Apa mau mengantarkan sebuah dokumen?" Airy melihat sebuah map merah yang berada di tangan Dicky. Dicky mengangguk. "Iya, Bu." Airy tersenyum. Dicky kemudian mengangguk hormat kepada Airy, dan bersiap untuk melangkahkan kakinya menemui Ferdinand. Namun, baru dua meter melangkah, Dicky berbalik menatap Airy. "Saya harap, ibu bisa bersabar dalam mengahadapi sikap pak Ferdinand. Beliau tak pernah mencintai seorang wanita. Tapi, saya rasa, jika seandainya suami ibu dapat melihat semua ketulusan hati ibu, beliau pasti tidak akan pernah melepaskan ibu dari tangannya," terang Dicky. Airy berdehem singkat. "Apakah sebenarnya yang membuat suamiku trauma, hingga tak percaya dengan pernikahan dan wanita?" "Kapan waktu, akan saya beritahukan kepada anda," ujar Dicky kemudian berlalu dari hadapan Airy."Aku dengar, kamu sudah menikah?" tanya Wina pada Airy. Airy mengangguk. "Iya. Aku menikah saat Kakak operasi. Maaf karena kalian tidak aku undang di pesta pernikahanku." Setelah satu Minggu Airy menikah, ia kemudian memberitahu kepada Ratih bahwa dirinya telah menikah. Ratih terkejut bukan main, dan mengomel tak karuan karena Airy tak memberitahu mereka sebagai keluarga. Dan kini, atas permintaan dari Ratih, Airy datang melihat keadaan sang kakaknya yang sedang dalam pemulihan pasca operasi. "Nggak apa-apa. Aku senang. Selamat atas pernikahanmu," sahut Wina. "Terima kasih, Kak." Airy tersenyum. Airy membuka Tote bag berisi makanan yang ia bawa dari rumah. Wanita itu menyiapkan meja makan portabel agar memudahkan kakaknya makan. Wina segera memegang sendok dan bersiap untuk menyantap makanan yang dibawakan oleh Airy. "Kamu menikah dengan pria yang kaya raya. Kamu pasti bahagia sekarang," ujar Wina dengan nada datar. Airy tersenyum kecut mendengar ucapan sang kakak. Meskipun bib
"Aku rasanya nggak rela melihat Airy sekarang hidup makmur. Harusnya kan, aku yang berada di posisi itu," keluh Wina mengadu kepada ibunya. Ratih mendesah. "Ya ... mau bagaimana lagi? Coba kalau kamu ada di posisi itu. Ya pasti kamu tidak akan cemburu seperti ini." Wina menatap foto pernikahan Ferdinand dan Airy yang tersebar di media. Dari berita yang tercantum, Wina mengetahui bahwa suami adiknya, adalah pengusaha kaya raya, dan pewaris satu-satunya keluarga Arlyansyah. Ada rasa cemburu yang begitu besar mendera hati Wina. Ia sangat tak suka melihat adiknya menjadi istri pria itu. "Sebenarnya sejak kapan mereka ketemu? Dan akhirnya menikah?" Wina melirik ibunya. Ratih mengangkat kedua bahunya. "Ibu juga kurang tahu. "Tapi Airy bilang, kalau kakek nya Ferdinand yang menjodohkan keduanya. Pak Gunawan suka sama Airy, dan Pak Gunawan itu, adalah bosnya Airy," beritahu Ratih. Wina tersenyum sinis. "Jadi begitu. Seandainya saj
"Kamu sudah memiliki istri sekarang. Jangan pernah kamu biarkan, ada kesempatan untuk orang ketiga masuk ke dalam rumah tangga kalian," ucap Gunawan memperingatkan Ferdinand. Ferdinand berdecak. "Lagi pula, aku juga tidak tertarik dengan wanita. Apalagi selingkuhan. Nadine itu sahabat ku. Tidak mungkin kamu melakukan hal lebih dari sahabat." "Ck! Kamu ini kalau diberitahu, ya," gerutu Gunawan. Gunawan mengajak cucunya untuk masuk ke ruang kerjanya, setelah kedatangan Nadine yang tiba-tiba. Gunawan beralasan sudah kenyang dengan makan malam yang disantap mereka. Lalu, Gunawan menyuruh Airy untuk berbincang sejenak dengan Nadine. Jujur saja, kedatangan Nadine ditengah makan malam bersama dengan kedua cucunya, membuat Gunawan tak nyaman. Pria yang telah berkepala enam namun masih gagah itu, tak pernah suka dengan sosok Nadine. Apalagi menurutnya, Nadine terlihat ingin mencari muka di hadapannya . "Kakek tadi bilang ingin membahas hal pe
"Kamu bawa dia ke gudang belakang!" perintah Ferdinand kepada Dicky."Baik, Pak Ferdinand." Dicky lalu menarik pria peneror yang datang melepaskan tembakan ke rumah Gunawan. Pria itu ditangkap oleh Ferdinand beberapa menit yang lalu. Setelah baku tembak yang terjadi selama beberapa saat, Ferdinand berhasil melumpuhkan pria yang belum diketahui identitasnya itu."Ferdinand!" Nadine datang dan berlari dari arah belakang, dan menghambur ke pelukan Ferdinand."Tolong aku! Aku takut ..." Nadine gemetar ketakutan setelah berada di pelukan Ferdinand."Kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?" tanya Ferdinand khawatir."Salah satu dari mereka menyekap ku, dan menodongkan pistol ke kepalaku. Aku takut," lirih Nadine.Tangan Ferdinand, perlahan terangkat memeluk Nadine. Pria itu mencoba memberikan ketenangan pada hati sahabatnya. Ketika Nadine tak sengaja melihat airy keluar dari rumah, dengan menuntun Gunawan karena luka di kakinya mengurungkan niatnya melepaskan pelukan Ferdinand."Apakah ada
"Apakah kamu sudah menemukan siapa dalang penyerangan terhadap kita, Ferdinand?" tanya Gunawan kepada cucunya."Aku belum menemukan siapa dalangnya, Kakek. Orang yang berhasil kutangkap, belum mau membuka mulutnya," jawab Ferdinand dengan geram."Temukan dengan segera, dan berikan pelajaran berharga untuknya!" perintah Gunawan.Ferdinand tersenyum menyeringai. "Pasti. Siapapun orang yang berani mengusik keluarga kita, akan membayar setimpal atas perbuatannya."Keluarga Arlyansyah bukan hanya sekali dua kali mengalami penyerangan. Dan itu adalah ulah dari beberapa orang yang merasa iri dengan Gunawan. Gunawan sebenarnya tidak memiliki masalah dengan siapapun. Baik saat ini, maupun dulu di masa muda. Tetapi ia memiliki anak, yaitu Nazwa---ibunya Ferdinand. Nazwa, saat Ferdinand berumur 7 tahun, menjadi korban pembunuhan dari orang yang membencinya.Bukan hanya itu. Setelah selang satu tahun, Ayah Ferdinand pun juga ikut terbunuh. Dan itu, menyebabkan Ferdinand menjadi orang yang dingi
"Kalian berdua sedang apa?" tanya Airy dengan wajah yang tidak bersahabat. Ia melihat Nadine, sedang memeluk suaminya dan berniat untuk mencium Ferdinand. Nadine dan Ferdinand yang terpergok oleh Airy, seketika menampilkan wajah yang gugup. Nadine berdehem singkat sebelum akhirnya menjawab ... "A-aku ... Aku sedang membetulkan letak dasi suamimu. Tadi posisinya miring," dusta Nadine. Airy tersenyum miring. Padahal jelas-jelas ia melihat bahwa wanita itu memeluk Ferdinand dengan erat, dan hampir saja bibir Nadine mencium bibir Ferdinand. Tak sampai disitu, Ferdinand bahkan membalas pelukan Nadine. "Aku baru tahu kalau ada orang membenarkan dasi, sambil memeluk leher," sahut Airy menyindir. "Kamu salah paham Airy," jawab Nadine dengan cepat, "aku tidak melakukan itu." Airy memilih untuk tidak mempedulikan alasan wanita itu. Ia melangkah dengan cepat menuju meja kerja Ferdinand. "Ini sudah waktunya jam makan siang. Tunda dulu pekerjaannya, lalu makan siang, dan lanjutkan lagi!" Pe
"Menyebalkan katamu?" desis Airy.Airy merasa lucu dengan permintaan dari Nadine, yang mengatakan dirinya untuk tidak bersikap menyebalkan di hadapan Ferdinand. Apa maksud wanita itu? Ia sendiri bahkan tidak paham."Sebagai sahabatnya, aku ingin memberitahu kamu apa yang tidak disukai oleh Ferdinan," celetuk Nadine."Pria itu sama sekali tidak suka diajak berdebat. Kalau kamu ingin tetap menjadi Nyonya Arlyansyah, kamu harusnya paham apa yang perlu kamu kerjakan. Menurutku, kamu bersikap kekanakan dengan mengajak berdebat Ferdinand seperti itu," tambahnya.Airy tersenyum sinis menatap Nadine. Memang wanita itu pikir, siapa dirinya bisa mendikte Airy seperti itu? Ia jadi ingat perkataan Gunawan beberapa hari lalu. "Nadine memang sahabat Ferdinand. Tapi itu tidak menunjukkan sikap sahabat yang sesungguhnya. Ada sesuatu misterius yang dimiliki wanita itu. Kamu adalah nyonya keluarga Arlyansyah. Jangan sampai ada seorangpun yang berani merebut posisimu." Itu yang dikatakan oleh Gunawan.
"Tujuan ibu datang ke sini, sebenarnya ingin meminta uang kepada kamu," aku Ratih pada Airy. Airy menghentikan aktivitas makannya, dan bertanya, "Ibu butuh uang berapa?" "50 juta," jawab Ratih sambil menyuap potongan daging ke mulutnya. Airy menghela naoas pelan. Ia bahkan tidak memegang uang sebanyak itu. Ferdinand juga belum memberikannya uang. Tapi bukan berarti Airy tidak memegang uang sama sekali. Gunawan memberikan kartu limit yang jumlahnya kemungkinan cukup besar bisa untuk memenuhi kebutuhannya. Tapi Airy belum berani menggunakan uang tersebut. "Sebentar aku ambilkan. Tapi aku nggak janji mau kasih uang segitu banyak." Airy beringsut dari duduknya. Ratih mencebikkan bibirnya sekilas. Ia menatap punggung anaknya yang melangkah menaiki tangga menuju kamar. Di dalam hati Ratih, tidak mungkin sang anak tidak memegang banyak uang. Apalagi putrinya sekarang menjadi istri orang kaya. Tak membutuhkan waktu lama Airy telah kembali dan mendekati Ratih. Airy menyodorkan l
"Siapa yang membayar wartawan untuk mengunggah berita itu?" tanya Ferdinand pada Airy.Airy mengerutkan keningnya. "Kenapa kamu tanya aku? Yang bertemu selalu bertemu dengan itu kan kamu. Aku tidak punya koneksi dengan jurnalis."Pagi ini, layar televisi dan media sosial dihebohkan dengan beredarnya berita tentang hubungan antara Ferdinand dan Nadine. Di artikel yang tertulis, tertera bahwa Ferdinand dan Nadine adalah sahabat yang saling mencintai. Namun di tentang oleh Gunawan karena pekerjaannya sebagai DJ."Kalau kamu tidak meminta wartawan untuk mengungkap berita itu, lalu ini apa?" Ferdinand menyodorkan ponsel miliknya.Airy mengerutkan kening melihat foto yang ditunjukkan oleh suaminya. Di dalam sana, terdapat foto yang menggambarkan ia dekat dengan seorang reporter di lobby hotel saat ia akan pulang diantar oleh Dicky. Airi ingat bahwa ia meminta tolong kepada Dicky untuk mengambilkan air minum. Dan kebetulan reporter wanita itu menanyakan kepadanya mencari keberadaan temannya
["Kenapa kamu tidak melarangnya, Airy?"] tanya Gunawan dengan nada marah.Airy memejamkan matanya. "Kenapa aku tidak melarangnya? Apakah aku dianggap, jika aku melarangnya? Kakek sebagai pengganti orang tuanya saja, tidak dianggap ketika berbicara apapun."["Tapi kamu tidak berpikir, bahwa esok hari pasti media akan memberitakan bahwa Ferdinand dan Nadine, memiliki hubungan?"]Airy menghela napas dengan dalam. Ia lupa bahwa ada beberapa media dan wartawan yang meliput di pesta walikota tersebut. Bahkan, ada salah seorang reporter yang membawa kamera berada di sekitar tempat parkir saat Ferdinand dan Airy berdebat. Esok hari, pasti berita itu sudah tersebar ke media sosial dan televisi."Iya maaf. Aku salah," ujar Airy mengalah.["Aku sudah mengatakan padamu, untuk berusaha memisahkan antara Ferdinand dan Nadine. Aku tidak mau cucu ku dipengaruhi negatif oleh wanita itu. Apakah kamu tidak mengerti dengan peringatan ku? Bahkan, setelah 4 bulan menikah saja kamu belum bisa meluluhkan hat
Pesta pernikahan putri walikota berlangsung cukup meriah. Para tamu undangan cukup senang menikmati pesta yang diselenggarakan oleh walikota. Ferdinand dan Airy pun ikut unjuk gigi di lantai dansa.Nadine dan Wina yang menatap interaksi keduanya, menatap dengan sinis. Nadine terlihat seperti memiliki rencana licik untuk mengganggu Ferdinand dan Airy. Namun ia akan melakukan itu setelah selesai nanti. Ketika pesta hampir usai, dan waktu hampir larut, Airy mengajak suaminya untuk pulang. "Ayo, Mas!" Airy menggamit lengan Ferdinand. Ferdinand tidak menolak digandeng istrinya.Tiba-tiba, dari arah belakang, Nadine berlari dan mendekati Ferdinand, serta menggenggam erat tangan pria itu. Nadine memegangi perutnya dan merintih kesakitan."Ferdinand! perutku sakit," keluhnya.Airy mengerutkan keningnya melihat ekspresi Nadine. Sedangkan Ferdinand, melepaskan genggaman tangan istrinya. Ia berkata ..."Maaf, Airy! Aku harus mengantarkan Nadine ke rumah sakit," kata Ferdinand."Bisa diantarkan
Airy berjalan anggun keluar dari mobil, dengan dituntun oleh Ferdinand. Setelah tadi siang sang suami mengabarkan dirinya untuk bersiap-siap dan tidak pulang malam, Airy menepati janji. Airy pulang dengan cepat, dan berdandan dengan rapi.Airy menggamit lengan Ferdinand, dan berjalan masuk menuju aula pesta. Malam ini digelar sebuah pesta pernikahan putri walikota, yang juga merupakan kolega bisnis keluarga Arlyansyah."Pesta ini adalah kumpulan para pejabat dan pengusaha. Tolong jaga diri, dan jangan bersikap memalukan," ucap Ferdinand memperingatkan istrinya.Airy tersenyum. "Jangan khawatir. Aku tidak akan membuat suamiku, dan keluarga Arlyansyah malu."Setelah beberapa bulan menikah dengan Ferdinand, Airy banyak belajar mengenai tata cara dalam bersikap sebagai istri seorang pemimpin perusahaan. Dengan nama keluarga Arlyansyah yang kini ia sandang, Airy harus bersikap hati-hati dalam bersikap, maupun berbicara. Apalagi jika dia harus ikut menemani sang suami ke dalam sebuah pertem
Hari ini, Nadine datang kembali ke kantor Ferdinand seperti biasanya. Ia berpikir, sebelum waktunya makan siang tiba, ia harus datang terlebih dahulu menemui Ferdinand. Karena jika menunggu waktu makan siang tiba, pasti akan bertemu kembali dengan Airy dan wanita itu akan memandangnya negatif karena kerap menemui suaminya.Sebelum ia masuk ke ruangan Ferdinand, terlebih dahulu ia bertanya kepada Dicky yang kebetulan keluar dari lift. Nadine mengkonfirmasi apakah Ferdinand ada di dalam ruangannya. Keberuntungan berpihak padanya. Nadine dapat menemui Ferdinand dengan bebas. Namun sebelum itu, ia terpaku dengan sosok wanita yang begitu asing."Kamu siapa? Karyawan baru?" tanya Nadine menyapa.Wanita yang disapa, tersenyum dan menjawab, "Perkenalkan! Saya Wina Natalia. Sekretaris baru Pak Ferdinand.""Saya Nadine. Ferdinand ada di dalam, 'kan?"Wina mengangguk. "Beliau ada di dalam.""Tolong laporkan kepadanya bahwa saya ingin bertemu," pinta Nadine."Baik." Wina berjalan menuju ruanga
"Cepat kau bayar hutang piutang ibu kau itu!" bentak pria berkepala plontos kepada Airy. "Atau, mau kami penjarakan?"Airy mencoba menormalkan degup jantungnya yang berdetak kencang. Pria itu membentak dirinya dengan suara yang menggelegar. Membuat ia takut di barengi dengan tubuh yang bergetar.Menghela napas, Airy bertanya, "memangnya, berapa hutang-hutang ibu saya? kalian punya buktinya?"Airy sudah berkali-kali membantu sang ibu melunasi hutang yang menunggak. Karena seringnya Ratih berhutang, bahkan sampai ada yang mengaku-ngaku pernah meminjamkan uang kepada Ratih, dan menagih lewat Airy tanpa memberikan bukti kwitansi. Airy tidak mau ditipu."Tentu saja saya punya buktinya. Kalau tidak, untuk apa sayang mendatangi kau." Pria itu kemudian menyerahkan bukti kwitansi kepada Airy. Airy menerima kwitansi tersebut, dan melihat ada coretan tanda tangan milik Ratih. Dengan ini, artinya memang benar bahwa ibunya memiliki hutang."Baik. Akan saya bayar." Airy mengambil ponselnya didalam
"Jadi, Kakak sekarang kerja di perusahaan milik suamiku?" tanya Airy ketika Wina berkunjung ke toko bunga miliknya.Wina mengangguk."Iya benar."Airy menatap tag name milik kakaknya dengan senyuman mengembang. Setelah sekian lama Wina tidak bisa bekerja karena sakit yang diderita, cukup parah akhirnya Wina bisa kembali kerja. Wina pun turut senang karena sudah tidak merepotkan sang adik lagi."Jujur, aku senang sekali," kata Wina, "aku bisa bekerja sekarang. Setelah sebelumnya, bertahun-tahun aku menderita sakit, dan aku malah merepotkan kamu."Airy tersenyum."Aku juga turut senang. Selamat ya, Kak." Wina mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih. Aku akan bekerja sekeras mungkin supaya perusahaan suamimu tetap mempertahankan aku. Karena aku akan berada di dekat suamimu setiap bekerja."Airy mengerutkan keningnya. "Kakak mendapatkan posisi apa di sana?""Sekretaris," jawab Wina dengan bangga, "sekretaris suamimu yang sebelumnya, resign kan karena hamil? Jadi aku penggantinya." Setelah
"Tujuan ibu datang ke sini, sebenarnya ingin meminta uang kepada kamu," aku Ratih pada Airy. Airy menghentikan aktivitas makannya, dan bertanya, "Ibu butuh uang berapa?" "50 juta," jawab Ratih sambil menyuap potongan daging ke mulutnya. Airy menghela naoas pelan. Ia bahkan tidak memegang uang sebanyak itu. Ferdinand juga belum memberikannya uang. Tapi bukan berarti Airy tidak memegang uang sama sekali. Gunawan memberikan kartu limit yang jumlahnya kemungkinan cukup besar bisa untuk memenuhi kebutuhannya. Tapi Airy belum berani menggunakan uang tersebut. "Sebentar aku ambilkan. Tapi aku nggak janji mau kasih uang segitu banyak." Airy beringsut dari duduknya. Ratih mencebikkan bibirnya sekilas. Ia menatap punggung anaknya yang melangkah menaiki tangga menuju kamar. Di dalam hati Ratih, tidak mungkin sang anak tidak memegang banyak uang. Apalagi putrinya sekarang menjadi istri orang kaya. Tak membutuhkan waktu lama Airy telah kembali dan mendekati Ratih. Airy menyodorkan l
"Menyebalkan katamu?" desis Airy.Airy merasa lucu dengan permintaan dari Nadine, yang mengatakan dirinya untuk tidak bersikap menyebalkan di hadapan Ferdinand. Apa maksud wanita itu? Ia sendiri bahkan tidak paham."Sebagai sahabatnya, aku ingin memberitahu kamu apa yang tidak disukai oleh Ferdinan," celetuk Nadine."Pria itu sama sekali tidak suka diajak berdebat. Kalau kamu ingin tetap menjadi Nyonya Arlyansyah, kamu harusnya paham apa yang perlu kamu kerjakan. Menurutku, kamu bersikap kekanakan dengan mengajak berdebat Ferdinand seperti itu," tambahnya.Airy tersenyum sinis menatap Nadine. Memang wanita itu pikir, siapa dirinya bisa mendikte Airy seperti itu? Ia jadi ingat perkataan Gunawan beberapa hari lalu. "Nadine memang sahabat Ferdinand. Tapi itu tidak menunjukkan sikap sahabat yang sesungguhnya. Ada sesuatu misterius yang dimiliki wanita itu. Kamu adalah nyonya keluarga Arlyansyah. Jangan sampai ada seorangpun yang berani merebut posisimu." Itu yang dikatakan oleh Gunawan.