"Gantikan kakakmu di malam pertamanya!" Ide gila dari ibu tiriku dengan menjadikanku istri pengganti malam pertama kakak tiri. Ibu tiriku yang berhutang, tetapi aku yang harus membayar! Pernikahan yang sama sekali tak pernah aku bayangkan sebelumnya terpaksa aku jalani. Harus menjadi madu dari kakak iparku sendiri! Kakak tiriku kabur setelah acara resepsi. Awalnya aku kira jika dia kabur karena tahu wujud asli suaminya. Ternyata ada rahasia besar dibalik kaburnya kakak tiriku.
Lihat lebih banyak"Menikahlah dengan kakak iparmu!" Perintah Ayah padaku.
Seketika aku terkejut. Bukankah aku diminta pulang untuk menyaksikan pernikahan kakakku. Tetapi kenapa aku malah diminta menikah dengan suaminya dan menjadi madu dari kakak iparku.
***
Hari ini, aku yang sudah lama merantau di kota diharuskan pulang oleh keluargaku. Aku pun menyanggupinya karena aku memang sudah merindukan halaman tempat tinggal yang telah lama tak kupijak.
Pagi buta setelah aku selesai beberes rumah. Aku berpamitan pada majikan. Sebenarnya ada rasa tak tega jika harus meninggalkan Andara, anak berumur 7 tahun yang sudah aku asuh sejak berumur 5 tahun.
Tangisnya pecah, begitu juga denganku. Pelukan erat yang kuberikan pada gadis kecil itu tak boleh dilepaskan. Namun, di jauh sana, pamanku sudah menunggu di terminal. Lelaki itu memberi kode agar aku segera melangkah ke bus yang sudah dipanaskan mesinnya sejak aku dan majikanku tiba di terminal.
"Andara, Mbak balik dulu ya. Nanti jika Mbak sudah selesai acaranya pasti kembali kok," ujarku seraya mengusap rambut lembutnya.
"Janji ya, Mbak," balasnya melepaskan pelukan karena ada sedikit tarikan dari sang mama.
"Iya, Sayang, Mbak janji," balasku penuh semangat untuk kembali bekerja pada orang baik itu.
Gadis kecil itu akhirnya mau melepaskan pelukan. Meski dengan berat hati ia lakukan. Begitu juga denganku. Air mata ini menetes tanpa pamit membasahi pipi. Sesekali aku menyekanya agar Andara segera berhenti menangis.
Akhirnya aku benar-benar berpisah dengan anak asuhku itu. Kemudian kaki ini melangkah memasuki bus yang akan melaju beberapa menit lagi. Sedangkan paman sudah duduk di kursi yang ia pesan, sekaligus kursiku.
Selama perjalan pulang, kami ngobrol biasa. Paman bercerita jika dia diminta menjemput karena ayah sedang sibuk mengurusi acara pernikahan.
"Memangnya Mbak Sinta mau menikah dengan kekasihnya?" tanyaku karena aku sendiri tak tahu siapa calon suami kakak tiriku itu.
"Sepertinya bukan, dia menikah karena untuk menebus hutang ibumu pada juragan Amran. Katanya hutangnya sampai ratusan juta dan ayahmu tak sanggup membayar. Makanya kakakmu dijadikan tebusan," jelasnya.
Seketika hati merasa iba pada kakak tiriku itu. Malang sekali nasibnya. Itu semua karena kesalahan ibunya. Memang sih ibu tiriku sukanya foya-foya dan menghabiskan uang ayah, sampai-sampai semua warisan peninggalan kakek dan nenek habis.
Sebab itulah, aku juga harus merantau demi membantu keuangan keluarga. Namun ternyata, ibu tiriku tetap saja masih berhutang sampai mengorbankan anaknya sendiri.
Selama perjalan pulang, paman banyak bercerita tentang keluargaku yang semakin kesusahan akibat ulah ibu tiriku. Katanya, ayah juga sering sakit-sakitan karena sudah semakin tua dan kebutuhan kian banyak, sedangkan tenaganya untuk bekerja sudah tidak seperti dulu lagi.
"Memangnya Mbak Sinta tak bekerja?" tanyaku yang tak percaya jika ayah sampai ikut ngutang juga demi memenuhi kebutuhan hidup.
"Tidak, Sinta setiap hari dia kerjaannya hanya main sama teman-temannya," sahut paman.
Padahal, hampir setiap bulan aku mentransfer uang pada mereka. Bahkan, terkadang uang khusus jajan pemberian majikan juga aku kirimkan. Tetapi, kenapa tetap saja kurang. Seboros apa mereka?
Tak terasa bus telah berhenti di terminal. Kemudian aku dan paman turun, lalu mencari angkot agar bisa sampai di rumah.
Setengah jam berlalu, aku dan paman sudah sampai di jalan masuk kampungku. Di pojok kampung terpasang janur kuning melengkung yang menandakan jika ada pernikahan.
Gegas aku membayar ongkos angkot. Paman membantuku membawa beberapa tas yang isinya adalah oleh-oleh dari majikanku. Mereka memberikanku uang tambahan dan beberapa kantong makanan untuk dibawa pulang. Berharap jika setelah acara pernikahan aku akan segera kembali ke rumah mereka.
Di depan rumah sudah terpasang tenda hajatan. Ketika aku menginjakkan kaki di halaman rumah. Ayah langsung menyambutku dengan penuh kebahagiaan. Senyumnya terus terukir kala menatapku.
Ada yang aneh menurutku. Biasanya tamu akan keluar masuk silih berganti. Tetapi kenapa ini tidak?
Di samping panggung resepsi, pria berkisar umur 45 tahun itu merentangkan tangan. Menyambut kedatanganku dengan pelukan. Tentu aku membalasnya dengan hangat. Segera aku berlari untuk mendekatinya agar bisa segera melepaskan rasa rindu yang menggebu.
"Akhirnya anak ayah pulang juga," ujarnya penuh kebahagiaan.
"Iya, Yah," jawabku melepaskan pelukan dan mencium punggung tangannya sebagai tanda rasa hormat.
"Ayo masuk dan segera istirahat, acara akad akan dilakukan sekitar 2 jam lagi dan acara resepsi nanti pukul 2 siang," ucap ayah mengajakku masuk rumah.
Pantas saja sudah tak banyak tamu berseliweran seperti sebelum acara pernikahan. Awalnya aku tampak kaget. Aku pikir jika tenda ini baru saja dipasang, ternyata malah acara pernikahan hari ini. Ya, sudahlah, itu artinya aku akan segera kembali bekerja lagi jika pernikahan telah selesai.
"Oh iya, kalau sudah istirahat, segera ke rumah bude Murni ya. Kakak kamu sedang dirias di sana," ucap ayah lalu dia meninggalkan aku sendiri agar beristirahat sejenak.
Tubuh yang lelah mampu membuatku terhanyut dalam tidur lelap. Sampai-sampai aku bangun sudah mendengar keributan di ruang tamu. Ketika mata benar-benar sudah terbuka lebar. Aku menatap pada jam dinding.
Seketika aku terkejut, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Sama sekali aku tak melihat akad dan resepsi. Gegas aku bangkit dari ranjang dan melihat apa yang terjadi di ruang tamu.
Ibu tiriku sedang menangis meraung-raung, bahkan dia juga menjejakkan kakinya di atas lantai. Ayah sudah berusaha menenangkan, tetapi tak ada gunanya.
Aku yang semakin penasaran pun akhirnya mendekat dan bertanya. Sebab, ibu seperti orang gila saat ini.
"Ini ada apa?" tanyaku dan malah mendapat bentakan dari ibu.
"Ini semua gara-gara kamu. Seandainya kamu ada di rumah, pasti Sinta tak jadi menikah dengan anak juragan Amran!"
Loh, loh, kenapa jadi aku yang disalahkan. Bukankah dia yang berhutang? Kenapa malah menyalahkan aku, dasar Mak Lampir!
"Jangan menyalahkan Salma dong, Bu. Jelas-jelas anak kamu yang kabur setelah acara resepsi," jawab ayah membelaku.
Apa? Mbak Sinta kabur setelah acara resepsi? Ini bagaimana ceritanya? Kenapa dia bisa kabur? Aneh-aneh saja. Seandainya berniat kabur, kenapa tidak dari kemarin-kemarin sebelum acara akad.
"Pokoknya ibu tidak mau tahu, Pak. Salma harus menjadi pengganti malam pertama bagi anak juragan Amran. Ibu tidak mau masuk penjara karena hutang, Pak, tidak mau," rengek ibu pada ayah.
Apa? Aku akan dijadikan pengganti malam pertama kakak tiriku. Tidak. Aku tidak mau. Itu sama saja aku berbuat zina.
"Tidak, Bu, aku tidak mau." Aku menolak mentah-mentah.
Kemudian ayah malah ikut mengiba. Memohon agar aku mau menggantikan kakak tiriku malam nanti.
"Ayah tega?" tanyaku mulai berurai air mata.
Pria itu ikut menangis. Mungkin ini adalah keputusan yang sulit baginya.
"Menikahlah dengan kakak iparmu!" Perintah ayah kala aku terus menolak permintaannya dengan alasan takut jadi dosa jika menjadi pengganti di malam pertama.
Namun, pada kenyataannya aku malah diminta untuk menjadi madu dari kakak tiriku.
Bagaimana ini? Kenapa malah aku yang bernasib malang? Sebenarnya apa alasan Mbak Sinta kabur?
"Sayang, aku pergi sebentar ya," pamitnya tergesa-gesa."Temui pacar?""Ha?" Arga melongo."Temui wanita lain?" Aku menegaskan."Maksudnya apa sih?" Entah dia berpura-pura polos atau memang bingung dengan arah bicaraku."Menemui wanita lain," jawabku tegas."Wanita lain? Wanita siapa?""Pacar kamu lah," sahutku kian jengkel. Diajak bicara malah tidak jelas. Menyebalkan bukan."Ya Allah, jadi kamu curiga sama aku? Kamu pikir aku selingkuh gitu? Hm." Arga yang tadinya sudah bersiap pergi jadi balik lagi."Iya," ketusku."Ya ampun, Sayang. Aku tidak mungkin selingkuh. Ya Allah. Ini tadi itu ibu Hesti nyuri. Terus dia digrebek warga. Eh ada yang nelpon aku, katanya dia minta ganti rugi walaupun ibu Hesti sudah masuk penjara, dia tetap minta ganti rugi atas uang yang hilang sebelum Bu Hesti tertangkap," jawab Arga panjang lebar.Aku hanya diam. Antara yakin dan tidak dengan apa yang Arga sampaikan."Ya udah, nanti kalau aku sudah sampai sana aku video call biar kamu percaya," ujarnya lal
"Rashad dan Rashid juga bagus, aku suka," balas Arga mengulas senyum."Aku tidak akan memaksa kok, Mas," ujarku."Aku suka dengan nama itu, semoga menjadi pemimpin yang tegas dan selalu menegakkan kebenaran," ucap Arga yang ternyata ikut setuju dengan usulanku."Alhamdulillah," balasku.Kesepakatan diambil jika anak kami adalah Rashad dan Rashid. ***Dua hari sudah aku beristirahat dan dokter sudah memperbolehkan aku menemui kedua buah hati. Ini adalah kali pertama aku bertemu mereka. Hati ini begitu bahagia hingga aku tak bisa berucap apa-apa. Melihat mereka menggeliat membuat air mata jatuh begitu saja tanpa pamit. Ada rasa bahagia yang luar biasa.Perjuangan yang tak sia-sia hingga aku mengalami koma. Terbayar sudah semua rasa sakit yang aku rasakan waktu itu, di mana hanya wanita yang tahu nikmatnya melahirkan. Menahan rasa sakit berjam-jam. Mengorbankan nyawanya sendiri untuk berjihad di jalan Allah.Hari ini adalah kali pertama aku memberikan asi kepada mereka. Rasanya sungguh
Sayup-sayup aku mendengar suara Arga menyebut nama anak kita. Perlahan aku mengerjapkan mata. Meski terasa begitu sulit, aku terus berusaha hingga tampak seseorang sedang menangis berada di hadapanku.Wanita yang baru beberapa bulan bersamaku itu berdiri mengarah padaku. Dengan wajah yang terlihat begitu sembab.Suara yang tak asing bagi telingaku juga terdengar. Pelukan dilayangkan begitu saja padaku. Ia menangis sesenggukan dengan wajah menempel di dadaku, dialah suamiku.Argantara Pramudya, orang yang menemaniku berjuang melahirkan buah hati kami. Pria itu menangis seraya mengucap syukur yang tiada henti."Terima kasih Ya Allah, Engkau telah kembalikan Salma pada kami."Entah sudah berapa kali ia berucap. Aku yang masih dalam keadaan setengah sadar pun hanya mengaminkan doa itu dalam hati saja.Kemudian Arga mengangkat kepalanya, lalu mencium lembut keningku. Air matanya pun terus menetes.Apa yang baru saja terjadi denganku? Yang aku ingat adalah aku diminta dokter untuk melahirka
POV ArgaEntah sudah seperti apa wajahku saat ini. Entah pucat atau mungkin tak beraura sama sekali. Hati gelisah dan tak tahu harus melakukan apa kecuali berdoa. Meminta yang terbaik untuk Salma.Terdengar suara pintu terbuka dan aku segera berdiri. Berjalan cepat menemui dokter yang saat ini sedang menatap ke arahku."Bagaimana istri saya, Dok?""Maaf, Pak. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi ....""Tapi apa, Dok?""Ibu Salma belum sadarkan diri, Pak. Ibu Salma mengalami koma," ujarnya dan seketika aku lemas tak berdaya."Koma,"lirihku menjerit dalam hati.Ibu mendekat dan memelukku dari samping. "Mungkin Salma butuh beristirahat sejenak, Nak," ujarnya memberiku semangat."Bu." Aku berbalik dan memeluknya erat."Doakan saja istrimu. Semoga dia akan segera sadar. Ingat, Nak, kamu masih ada dua jagoan kecil yang kini menunggu dikunjungi. Sekarang, temui mereka dan setelahnya kamu temui Salma. Ibu akan temani," ucap ibu melepaskan pelukan lalu mengusap wajahku lembut.Senyum
POV ArgaDua bulan kemudian ...."Dokter tolong!"Teriakku kala Salma merasakan sakit perut yang luar biasa. Kata Salma, dia merasakan seperti ingin buang air besar. Pagi tadi saat aku baru saja selesai dari kamar mandi. Aku merasakan ada yang aneh pada istriku. Dia seperti menahan sakit, tetapi saat ditanya, tidak apa-apa. Hanya sakit pinggang saja.Tentu aku sebagai suami merasa khawatir dengan keadaannya. Apalagi dia saat ini hamil besar dan sudah masuk masa-masa persalinan meski masih kurang sekitar 6 minggu. Namun, kata dokter, aku harus lebih mawas terhadap istriku. Sebab, sewaktu-waktu bisa saja melahirkan tanpa menunggu HPL."Kamu tidak apa-apa?" tanyaku setelah kami selesai makan. Wajahnya terlihat lebih pucat dari tadi pagi.Salma menjawab dengan menggelengkan kepala. Apa dia tidak ingin aku khawatir, sehingga memilih diam dan menggeleng serta menyembunyikan rasa sakitnya?Sesekali Salma mengusap perutnya. Mengambil napas perlahan lalu mengeluarkan perlahan."Wajahmu pucat
Namun, ketika aku membuka gerbang, bukan Arga yang ada di dalam mobil itu, tetapi Najas.Sejak kapan dia tahu alamat rumah ini? Dan mau apa dia ke sini?Lelaki itu turun dari mobil lalu mendekat padaku. Dengan cepat aku kembali menutup gerbang, tetapi Najas lebih cekatan."Tunggu, Sal!""Lepasin!" Aku berusaha berontak ketika tangan Najas kembali menyentuh tanganku."Aku hanya ingin ngobrol sama kamu sebentar saja.""Maaf, seorang istri akan berdosa jika menerima tamu seorang laki-laki. Jadi tolong, pergi!"Namun, ucapanku tidak digubris sama sekali oleh Najas. "Aku mencintaimu, Sal. Bercerai lah dengan Arga dan menikahlah denganku.'Aku menggeleng. "Jangan berbuat gil4, Najas. Aku dan Arga tidak akan bercerai. Tidak akan pernah bercerai kecuali maut yang memisahkan!" tandasku.Najas memang keras kepala, bahkan dia juga menutup pintu gerbang. Aku mulai khawatir. Bagaimana jika Najas berbuat nekad."Pulanglah, Najas, aku mohon," ibaku padanya.Tubuhku mulai gemetar saat Najas kian men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen