Qey berdiri terpaku, tangan menutupi dadanya, napasnya memburu karena kaget, malu, dan marah bercampur menjadi satu. Rafael berdiri di depannya dengan wajah dingin, seolah tidak merasa bersalah setelah merobek gaun yang dikenakannya.
“Kamu gila!” teriak Qey, matanya berkaca-kaca. “Sudah kubilang kalau aku tidak suka pakaian dengan punggung bolong dan … robek bagian depan,” ucap Rafael tenang, lalu berjalan ke lemari. “Pilih gaun yang lain. Atau biar aku pilihkan.” Qey gemetar, bukan karena takut tetapi karena amarah yang menumpuk. Dengan kasar, ia mengambil jubah mandi dan menyampirkannya ke tubuhnya. “Kamu tidak berhak memperlakukan aku seperti ini!” Rafael menatapnya dari depan lemari. “Aku suamimu dan kamu milikku, jadi kamu harus menuruti semua ucapanku!” Malam itu tetap berlanjut. Qey akhirnya terpaksa mengganti pakaiannya, tidak munhkin kalau dia mengenakan pakaian robel, dia mengambil gaun gelap berlengan panjang yang membuat Rafael mengangguk puas. Qey menatap sinis lelaki yang sudah mengenakan pakaiannya dengan rapi. “Pasangkan!” titah lelaki itu saat melihat Qey sudah mengganti pakaiannya. Perempuan itu mendekat dan langsung memasangkan dasi di kerah leher Rafael. Masing merasa kesal, refleks dia menarik simpul sampai mendekik leher lelaki tersebut. “Hei! Kamu mau membunuhku ya?!” sentak Rafael melepaskan tangan Qey dari dasinya. Qey merasa bersalah. “Maaf, aku tidak sengaja.” “Tidak mungkin!” balas Rafael tidak percaya, kemudian merapikan dasinya sendiri. “Ayo berangkat!” Pasangan itu masuk ke dalam mobil yang sudah siap untuk pergi, hingga mereka pun tiba di acara gala malam dengan mobil limosin hitam yang tidak kalah mewah dengan milik tamu yang lain. Semua mata memandang ke arah mereka, pasangan baru yang menjadi topik hangat media dan masyarakat kelas atas. Qey melangkah anggun dengan Rafael yang merangkul pinggangnya erat, memberi sinyal pada siapa pun bahwa Qey adalah miliknya. Acara berlangsung di dalam ballroom mewah dengan lampu kristal dan musik klasik. Orang-orang menyambut mereka dengan senyum manis yang penuh kepalsuan. Di sudut ruangan, Qey bisa melihat Ayahnya dan Dean sedang berbicara dengan seorang politikus tua. “Kamu harus bersikap seperti istri yang bahagia,” bisik Rafael di telinganya. “Senyum, Qey. Dunia sedang menonton.” Qey memaksakan senyum, menahan gejolak amarah dan kesal di dadanya. Dia tahu Rafael tidak bermain-main. Ini bukan hanya tentang kekuasaan atau ego, ini tentang bagaimana Rafael membentuknya menjadi milik yang tak tergantikan. Tiba-tiba, seorang pria muda menghampiri mereka. Pria itu tinggi, mengenakan setelan putih, dengan senyum menyenangkan. “Nyonya De Luca, saya sudah lama ingin bertemu dengan Anda. Saya Leonardo Vallenti.” Qey menjabat tangannya dengan anggun. “Senang bertemu dengan Anda, Tuan Vallenti.” Rafael menatap lelaki itu tajam. “Leo adalah anak dari teman lama ayahku. Dia akan bekerja sama dengan kita dalam proyek agrikultur di selatan.” Leo menatap Qey penuh ketertarikan. “Tuan De Luca sangat beruntung.” Qey tersenyum tipis. “Saya juga sama beruntungnya.” Leo tertawa, tidak menyadari makna di balik kalimat itu. Tetapi Rafael tahu, sehingga lelaki itu mencengkeram pinggang Qey lebih erat. Selama acara, mereka hanya menyapa tamu-tamu yang datang menghampiri. Qey juga mencurahkan rindunya pada ayah dan sang kakak, hingga acara selesai mereka kembali ke mansion dalam diam. Qey duduk di dalam mobil sambil memandangi jalanan kota yang berkilau di bawah cahaya lampu. “Apa semua ini akan terus seperti ini?” tanya Qey pelan. “Seperti apa?” “Kamu ... memilikiku, mengaturku, mengekangku.” Rafael menatapnya sebentar. “Tidak. Akan berubah, saat kamu mulai menerimaku.” “Aku tidak mencintaimu,” balas Qey dengan sangat yakin. Rafael terlihat biasa saja. “Aku tahu, tapi tidak ada yang tahu bagaimana nanti.” Qey tertawa sinis. “Kamu benar-benar menyebalkan! Kamu menculikku, memaksaku menikah, dan sekarang berharap aku jatuh cinta padamu?” “Tidak,” Rafael menjawab dengan suara pelan namun berbahaya. “Aku berharap kamu sadar, bahwa tidak ada yang bisa melindungimu sebaik aku.” Melindungi? Selama ini Qey tidak merasa kalau dilindungi oleh Rafael. Yang ada Qey selalu merasa terkekang. Sesampainya di mansion, Qey masuk kamar lebih dulu. Dia mengunci diri di dalam kamar mandi dan menatap wajahnya di cermin. “Apa yang kamu lakukan, Qey?” bisiknya. “Kenapa kamu masih bertahan?” Jawabannya datang bukan dari pikirannya, tetapi dari perasaannya. Karena satu bagian kecil dalam dirinya menjadi takut. Takut akan dunia luar Rafael, takut pada kehidupan yang lebih buruk jika dia keluar dari jerat itu. Malam itu, dia tidak tidur di ranjang utama. Dia mengambil bantal dan selimut lalu berpindah ke sofa besar di ruang bacaan pribadi Rafael. Namun ketika pagi datang, tubuhnya dibalut oleh selimut hangat yang tidak dia kenakan semalam. Dan di meja kecil di samping sofa, ada secangkir kopi yang masih mengepul. Di bawahnya, secarik kertas dengan tulisan tangan Rafael: "Aku tidak mintamu mencintaiku. Aku hanya mintamu tidak kabur-kaburan lagi” Qey menggenggam kertas itu, lalu memejamkan mata. Dia tidak tahu apakah harus membencinya atau mulai mulai menerima Rafael De Luca. Helaan napas dia keluarkan kemudian keluar dari ruang bacaan. Rumah megah dan mewah itu terlalu besar untuknya yang tidak punya kegiatan apapun. Rasanya dia sudah mulai bosan. Dia masuk ke dalam kamar dan melihat Rafael sedang membelakanginya. “Siapkan dirimu,” ujar Rafael tanpa melihat ke belakang. “Kita akan terbang ke Jepang siang ini.” “Ke Jepang?” Qey memicingkan mata. “Kamu bercanda?” Rafael hanya menoleh dan memberikan kode untuk melihat ke meja nakas. Di sana ada passport baru untuk Qey. “Kamu pikir aku akan menyeretmu ke dalam pernikahan mafia dan tidak memberimu bulan madu yang layak?” Qey mengambil passport itu, kemudian melihat pada Rafael. “Tidak bulan madu pun tidak apa-apa.” “Di sini aku yang memutuskan dan kamu hanya perlu mengikuti keputusanku!” balas Rafael dengan tatapan tidak mau dibantah. “Paham, Qey?!” Anggukan ditunjukkan oleh Qey dengan terpaksa. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menurutin ucapan lelaki itu. Kalau tidak dituruti, bisa saja Rafael akan melakukan yang tidak-tidak padanya. Meskipun selama ini Rafael belum pernah memperlakukannya dengan buruk, palingan cuma membuat Qey darah tinggi saja. ***** Dua belas jam penerbangan, tiga kali transit, dan satu koper yang tertukar kemudian, Qey dan Rafael tiba di Kyoto. Mereka tidak tinggal di hotel biasa, melainkan sebuah ryokan tradisional bergaya kuno di kaki bukit Arashiyama. Bangunan kayu berusia ratusan tahun itu menawarkan keheningan dan privasi yang bahkan tidak bisa dibeli oleh siapa pun kecuali Rafael De Luca. Malam pertama di Kyoto, Qey menyangka mereka akan makan malam diam-diam seperti biasanya. Tetapi saat dia keluar dari kamar mandi dengan yukata yang digantungkan di pintu, Rafael sudah duduk di tatami dengan dua piring sushi segar, sup miso, dan sebotol sake mahal yang dipanaskan. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Qey saat mereka duduk berhadapan. Rafael menatapnya dalam. “Melakukan apa?” “Mempersiapkan bulan madu dan seolah ingin membuatku nyaman,” balas Qey mulai menikmati makanan di depannya. “Kamu tidak suka? Kalau begitu-- .” “Aku suka!” balas Qey dengan cepat, tidak mungkin dia mensia-siakan kebaikan Rafael. “Bagus! Kalau begitu makan dan nikmati semuanya.” Qey menikmati semua makanan yang sudah disediakan. Kalau memang Rafael sedang berbaik hati, Qey akan memanfaatkannya, kalau bisa dia ingin kabur lagi. Qey tidur lebih dulu sambil membelakangi pintu. Dia ingat ucapan Rafael kalau mereka akan melakukan hubungan suami istri yang sebenarnya saat bulan madu. Qey belum siap, tetapi mana bisa dia menolak kalau Rafael sudah memaksanya. “Aku tau kamu belum tidur,” bisik Rafael yang baru masuk ke dalam kamar. “Kamu tidak lupa ‘kan kalau kita-- .” “A-aku sedang menstruasi!” balas Qey berbohong tanpa membalik tubuhnya.”Ups!” Qey yang mau pura-pura tidur keceplosan meyahuti pertanyaan Rafael. Lelaki itu terkekeh pelan lalu membalik tubuh Qey hingga terlentang. Dia pun mengukung tubuh Qey yang menatapnya sambil mengedip-ngedipkan matanya. “Kamu … benar mau … .” “Ya, aku mau hakku sekarang!” Tanpa menunggu jawaban dari Qey, Rafael membungkam bibir Qey dengan bibirnya dengan tangan yang mulai menjelajahi tubuh perempuan di bawahnya. Tidak ada yang dapat Qey lakukan selain menerima sentuhan dari Rafael yang membuatnya menahan desahan. Sampai akhirnya dia mengeluarkan desahan dan jerit kesakitan saat Rafael menyatukan tubuh mereka. Rasanya tubuh Qey terbelah menjadi dua dan desahan kembali dia keluarkan. Malam pertama di negara orang, Qey dan Rafael nikmati untuk saling berbagi sentuhan dan desahan. ***** Paginya, Qey melihat kondisi tubuhnya yang penuh dengan kissmark, Pipinya bersemu merah mengingat kejadian semalam. Dia tidak memberontak, justru menikmati sentuhan yang Rafael lakukan padamya. “Malu,” serunya menutupi wajah dengan kedua tangan. Dia tidak tahu bagaimana cara menghadapi Rafael setelah ini. Pasti lelaki itu merasa menang karena sudah memiliki Qey seutuhnya. Namun pemikiran perempuan itu salah, Rafael justru mengajaknya menghabiskan waktu untuk menjelajahi kota. Qey memakai hanbok pastel saat mereka berjalan di kuil Fushimi Inari, Rafael mengabadikan wajah istrinya dengan kamera film tua yang dipinjam dari pemilik ryokan. Mereka menyusuri gang kecil di Gion, duduk di kafe-kafe kecil dan menikmati wagashi. Rafael, anehnya, menyukai mochi rasa kacang merah. Sore hari mereka berendam bersama di rotenburo pribadi. Air panas alami yang mengalir dari pegunungan memeluk tubuh mereka yang diam dalam hening. Di momen-momen seperti itu, Qey bisa melihat sisi Rafael yang tidak pernah diperlihatkan ke dunia luar. Bukan bos mafia. Bukan penguasa. Hanya lelaki yang letih dan mencari kedamaian. “Duniamu melelelahkan ya?!” tanya Qey memperhatikan wajah Rafael yang ada di sampingnya. Lelaki itu menoleh dan menjawab, “Tidak hanya duniaku, Qey. Aku yakin ada yang lebih lelah dariku.” Qey mengerti maksud Rafael. Di saat lelaki itu terlihat lelah dengan dunianya, di luar sana ada yang lebih merasa lelah. “Oh ya, kenapa kamu tidak pernah menikah sebelum ini?” tanya Qey mulai menghilangkan rasa canggung dan malu karena penyatuan mereka. Rafael menghela napas. “Karena semua wanita yang kucoba dekati, hanya ingin kekuasaanku. Atau takut padaku. Tidak ada yang cukup bodoh atau cukup berani untuk menentangku seperti kamu.” Qey menunduk. “Aku tidak ingin menikah denganmu, Rafael. Tapi aku juga tidak ingin kamu membunuh kakakku.” Rafael tidak menyangkal. Tapi dia menggenggam tangan Qey, dengan lembut. Qey terlalu polos, Dean adalah sahabat baiknya, tidak mungkin kalau Rafael sampai membunuh Dean. Palingan hanya sedikit main-main saja. “Suasananya cukup mendukung,” kata Rafael mendekati Qey bahkan merangkul pingangnya. “Bagaimana kalau kita … menghangatkan tubuh bersama.” Untuk kedua kalinya Qey disentuh oleh Rafael yang sudah menyiapkan tempat agar mereka bisa melakukanya dengan damai dan tenang. Yang ada hanya suara desahan mereka yang saling bersautan. ***** Pada hari keempat bulan madu mereka, Qey mengalami mimpi buruk. Dia berteriak dalam tidurnya, terbangun dengan napas memburu dan keringat dingin membasahi tubuh. Rafael memeluknya tanpa bicara, membiarkan kepala Qey bersandar di dadanya yang hangat. “Dia menyalahkanku,” isak Qey. “Gianna … dia bilang semua ini salahku.” Rafael mengusap rambut Qey. “Gianna sudah membuat pilihannya. Kamu hanya membantunya dan aku sudah memaafkanmu.” “Tapi kamu tetap menghukumku dengan pernikahan ini,” Qey menatap Rafael dengan air mata berlinang. Rafael menaikkan kedua bahunya sekilas. “Aku memberikan hukuman yang menyenangkan untukmu, Qey.” Mata Qey tertuju pada dada bidang Rafael yang tidak mengenakan pakaian. Dia baru ingat kalau mereka sedang tidak mengenakan sehelai kain karena baru saja melakukan hubungan intim. Saat ingin menjauh, Rafael malah tetap memeluknya dengan tubuh polos yang saling menempel. “Setelah ini kita ke Tokyo,” ucap Rafael bicara tepat di depan bibir Qey. “U-untuk apa?” tanya balik Qey yang khawatir kalau Rafael akan menyentuhnya lagi. “Bertemu seseorang yang telah membantuku menemukanmu. Seorang teman lama bernama Kenji Hayama.” Rafael mulai mengecup bibir manis istrinya. “Yakuza?” Rafael mengangguk. “Yakuza, dan sahabat. Dia ingin kita makan malam di rumahnya. Katanya istrinya ingin bertemu denganmu.” Sentuhan mulai intensif mulai diberikan oleh Rafael yang dengan nakal menyentuh bagian sensitive istrinya. “Si-siapa namanya?” tanya Qey disela desahannya. “Elara,” sahut Rafael dengan singkat sambil terus menyentuh Qey. Qey tersenyum samar. “Nama yang cantik.” Rafael membalas dengan anggukan kecil. “Seperti istriku.” Qey menatap mata Rafael yang juga menatapnya. Baru kali ini dia mendengar pujian dari lelaki itu. Tatapan mereka terus beradu, hingga Rafael merebahkan Qey untuk bersama-sama meraih kenikmatan.Ancaman ketiga datang dalam bentuk yang jauh lebih jelas, beberapa menit setelah Qey dan Rafael keluar dari ruangan sebuah peluru tajam menembus jendela ruang kerja itu.Para pengawal panic dan alarm dibunyikan. Seluruh rumah dikunci secara otomatis. Qey yang syok refleks menjerit, lalu langsung dibawa ke ruangan bawah tanah oleh Rafael.“Ini bukan sekadar ancaman. Ini adalah deklarasi perang,” ucap Rafael kepada salah satu pengawalnya.Dia memanggil Kenji lewat sambungan terenkripsi. Elara juga ikut dalam pembicaraan, menyarankan Rafael untuk memindahkan Qey sementara ke tempat lebih aman. Atau mungkin ke rumah mereka di Jepang, namun Rafael menolak.“Jika mereka ingin menyerangnya, mereka harus melewati aku terlebih dahulu.”Dilihatnya Qey yang masih syok, tetapi tidak menangis. Hanya diam sambil menghembuskan napas dengan pelan.“Semua akan baik-baik saja,” ucap Rafael menenangkan Qey.Perempuan itu menoleh dengan wajah datar. “Bohong! Tidak ada yang baik-baik saja dalam duniamu!”
Rafael menatap kosong ke cangkirnya. "Awalnya dendam, tapi sekarang aku ingin menjaganya. Dia satu-satunya yang membuat hidupku lebih berwarna."Bukan hanya setelah menikah, Qey memang membuat hidup Rafael lebih berwarna sejak menengenal Qey kecil yang menggemaskan. Dia yang merupakan anak tunggal selalu dituntut untuk melakukan yang keluarganya inginkan. Hingga akhirnya pindah sekolah dan berteman dengan Dean. Keluarga Dean tidak sekaya keluarganya, namun mereka begitu harmonis dan tidak menuntut banyak hal pada anak-anaknya. Lalu Rafael mengenal Qey yang terus melihat ke arahnya sampai memberikannya sebuah permen sambil tersenyum. Sejak saat itu Rafael selalu datang ke rumah Dean membawa cemilan untuk Qey dan selalu membela anak itu jika bertengkar dengan Dean. Dan seketika semuanya berubah saat Rafael harus pergi.Kenji menyipitkan mata. "Jangan sampai kamu jadikan dia kelemahan. Dunia kita tidak punya tempat untuk kelembutan, De Luca.”"Aku mengerti.”Kenji tertawa singkat. "Kamu
Tokyo menyambut Qey dan Rafael dengan kemegahan yang berbeda dari Kyoto. Di sini, gedung pencakar langit berdiri angkuh, lampu-lampu kota menyala bahkan di siang hari, dan keheningan pegunungan berganti dengan hiruk-pikuk metropolitan. Rafael menggandeng tangan Qey erat ketika mereka keluar dari bandara Haneda.Limusin hitam sudah menanti. Sopir membukakan pintu dan Rafael mengajak Qey masuk tanpa sepatah kata pun. Di dalam mobil, Qey memperhatikan wajah Rafael yang kembali tegang. Dia tahu, pertemuan hari ini bukanlah sekadar silaturahmi biasa."Kenji Hayama dia benar-benar membantu mencariku waktu itu?" tanya Qey pelan.Rafael menoleh. "Tanpa dia, kamu mungkin masih tersembunyi di sudut kota dengan identitas palsu. Dia menemukanmu lebih cepat daripada timku. Dia juga memjagamu dari hal-hal yang mungkin terjadi, dan … .” Tatapannya begitu intens. “Aku membayar mahal untuk semua itu!”“Cih, bukan aku yang menyuruhmu untuk mencariku!” balas Qey dengan nada mencibir. “Memangnya apa yang
Qey berdiri terpaku, tangan menutupi dadanya, napasnya memburu karena kaget, malu, dan marah bercampur menjadi satu. Rafael berdiri di depannya dengan wajah dingin, seolah tidak merasa bersalah setelah merobek gaun yang dikenakannya. “Kamu gila!” teriak Qey, matanya berkaca-kaca. “Sudah kubilang kalau aku tidak suka pakaian dengan punggung bolong dan … robek bagian depan,” ucap Rafael tenang, lalu berjalan ke lemari. “Pilih gaun yang lain. Atau biar aku pilihkan.” Qey gemetar, bukan karena takut tetapi karena amarah yang menumpuk. Dengan kasar, ia mengambil jubah mandi dan menyampirkannya ke tubuhnya. “Kamu tidak berhak memperlakukan aku seperti ini!” Rafael menatapnya dari depan lemari. “Aku suamimu dan kamu milikku, jadi kamu harus menuruti semua ucapanku!” Malam itu tetap berlanjut. Qey akhirnya terpaksa mengganti pakaiannya, tidak munhkin kalau dia mengenakan pakaian robel, dia mengambil gaun gelap berlengan panjang yang membuat Rafael mengangguk puas. Qey menatap sinis l
Hari pernikahan itu akhirnya tiba. Di luar, dunia menyaksikannya sebagai sebuah perayaan mewah dua keluarga terpandang. Tetapi bagi Qey, ini adalah hari pemakaman dari kehidupan lamanya. Dia berdiri di balik tirai sutra putih kamar pengantin, tubuhnya dibalut gaun pernikahan rancangan eksklusif dari Milan, namun hati dan pikirannya terasa terkubur dalam peti yang tak bernafas. Dari luar jendela, dia bisa mendengar suara musik klasik mengalun dan tawa tamu-tamu terhormat. Rafael memang tahu caranya mengatur pertunjukan. Pernikahan itu dijaga ketat, disiarkan diam-diam ke media, dan diperlihatkan sebagai simbol persatuan dua dinasti besar. Tidak ada yang tahu bahwa sang pengantin perempuan berdiri di sana karena terpaksa. Pintu kamar terbuka. seseorang mengetuk pintu lalu Qey mempersilakannya untuk masuk. Dean muncul sambil tersenyum mendekatinya. “Apakah Kakak tidak bisa membantuku untuk kabur?” pinta Qey dengan penuh harapan. Gelengan diberikan oleh Dean sambil mengelus kepala
Sore itu udara Tokyo terasa jauh lebih dingin daripada biasanya. Angin menusuk hingga ke tulang dan salju turun perlahan dari langit kelabu. Namun, dinginnya musim dingin tak sebanding dengan hawa yang membekukan seluruh tubuh Qey saat Rafael De Luca berdiri di ambang pintu studio seni kecil tempat ia bekerja. Tubuh Qey membeku. Ia hanya bisa menatap wajah lelaki itu, wajah yang dulu sering ia lihat di rumahnya, tersenyum tipis kepada ibunya, berbicara dengan ayahnya, mengacak rambut kakaknya, bahkan terkadang mengejeknya saat mereka masih kecil. Tapi pria di hadapannya sekarang adalah Rafael yang berbeda. Lebih dingin dan lebih berbahaya. "Ka-kamu tidak serius ‘kan?" Qey berusaha tersenyum miring, walau wajahnya pucat pasi. "Kamu tau aku tidak bermain-main, Qey!” balas Rafael dengan tegas. Dalam sekejap, Rafael menyentakkan pinggang Qey dan menariknya lebih dekat. Pelan tapi pasti, tangan dinginnya naik ke dagu Qey, memaksanya menatap ke matanya. "Aku memberimu pilihan, buka