Tokyo menyambut Qey dan Rafael dengan kemegahan yang berbeda dari Kyoto. Di sini, gedung pencakar langit berdiri angkuh, lampu-lampu kota menyala bahkan di siang hari, dan keheningan pegunungan berganti dengan hiruk-pikuk metropolitan. Rafael menggandeng tangan Qey erat ketika mereka keluar dari bandara Haneda.
Limusin hitam sudah menanti. Sopir membukakan pintu dan Rafael mengajak Qey masuk tanpa sepatah kata pun. Di dalam mobil, Qey memperhatikan wajah Rafael yang kembali tegang. Dia tahu, pertemuan hari ini bukanlah sekadar silaturahmi biasa. "Kenji Hayama dia benar-benar membantu mencariku waktu itu?" tanya Qey pelan. Rafael menoleh. "Tanpa dia, kamu mungkin masih tersembunyi di sudut kota dengan identitas palsu. Dia menemukanmu lebih cepat daripada timku. Dia juga memjagamu dari hal-hal yang mungkin terjadi, dan … .” Tatapannya begitu intens. “Aku membayar mahal untuk semua itu!” “Cih, bukan aku yang menyuruhmu untuk mencariku!” balas Qey dengan nada mencibir. “Memangnya apa yang dia inginkan? Kekuasaan?” Rafael menggeleng. “Dia bisa mendapatkan kekuasaan dengan mudah.” “Lalu?” “Sebuah lahan dan bantuan untuk menyenangkan istrinya.” Qey memiringkan kepalanya tidak begitu mengerti. “Lahan? Dia ‘kan bisa mendapatkannya dengan mudah? Pasti dia sangat mencintai istrinya.” “Lahan itu ada di New York dan menjadi salah satu lahan yang dilindungi oleh negara,” jelas Rafael sambil melipat kedua tangannya. “Tidak mudah mendapatkannya, sehingga kaki tangan Kenji mendatangiku untuk mendapatkan lahan itu dengan bayaran akan mencoba mencari keberadaaanmu. Hanya dalam sekejab mereka bisa menemukanmu.” Qey mengangguk mengerti, memang tidak ada yang gratis di dunia ini. Bukan cuma dalam dunia mafia, bahkan dalam dunia yang biasa saja orang akan membantu kalau ada keuntungannya. Hanya orang tertentu saja yang mau membantu dengan tulus. “Lalu soal bantuan yang diinginkan oleh Kenji untuk istrinya?” tanya Qey masih penasaran dengan Kenji dan Elara. “Bantuan mengembangkan kartel milik istrinya.” “Hah? Istrinya … juga seorang mafia?” “Secara tidak langsung begitu.” Tak terasa mereka sampai di rumah Kenji Hayama yang terlihat bukan seperti rumah biasa, terletak di distrik Minato yang elit, rumah itu lebih menyerupai kuil modern bercampur benteng militer. Pagar elektronik, pengamanan ketat, dan penjaga yang bahkan tidak berkedip. Tidak ada satu pun rumah di sana, benar-benar sepi dan mencekam. Qey menggenggam tangan Rafael lebih erat saat gerbang terbuka. Mereka disambut oleh pengawal dan pelayan yang berwajah dingin dan datar. Saat memasuki aula utama, suara langkah kaki yang tenang menyambut dari ujung ruangan. Kenji Hayama muncul. Pria itu tinggi, ramping, mengenakan setelan hitam khas Yakuza tanpa dasi. Wajahnya dingin seperti patung batu, dan matanya hitam kelam tanpa emosi. "De Luca," sapa Kenji, suaranya dalam dan nyaris tanpa intonasi. "Hayama." Rafael menyambutnya dengan anggukan. Lalu Kenji menatap Qey. Sekilas, pandangan itu cukup membuat bulu kuduk Qey berdiri. "Jadi ini wanita yang membuatmu kelimpungan?" Rafael mengangguk. "Ya, dan sekarang dia adalah istriku." "Hmm, keberanian atau kebodohan, aku belum memutuskan. Tapi dia tampak menarik,” seru Kenji tersenyum miring. "Kenji," sebuah suara lembut memotong. Dari belakang pilar, muncullah seorang wanita muda dengan rambut panjang kecokelatan dan mata cokelat lembut. Wanita itu tersenyum pada Qey. "Maafkan suamiku, dia belum belajar sopan santun. Aku Elara, senang bertemu denganmu, Qey." Qey yang sempat menegang langsung merasakan hawa hangat dari wanita itu. Mereka berjabat tangan. "Senang bertemu denganmu, Nyonya Hayama. Terima kasih sudah mengundang kami,” balas Qey tersenyum manis. “Elara saja,” timpal Elara yang lebih suka dipanggil nama daripada dipanggil dengan nama belakang suaminya. "Kamu cantik dan yukatamu bagus sekali.” "Terima kasih. Aku masih menyesuaikan diri, Elara,” sahut Qey sudah bisa bersikap santai. "Ayo kita bicara di taman belakang. Para pria itu ... lebih suka berdiskusi sambil diam dan saling mengintimidasi. Kita pasti akan bosan jika terus bersama mereka,” ajak Elara yang langsung dekat dan merasa nyaman dengan Qey. Begitupun Qey yang merasa Elara orang yang tulus mau menerimanua. Mereka tertawa pelan sambil berjalan ke taman, meninggalkan Rafael dan Kenji dalam ruang makan yang mulai diisi dengan sake dan ketegangan mafioso. ***** Taman di belakang rumah Kenji adalah surga kecil yang tersembunyi dari dunia. Dikelilingi pohon sakura yang mulai mekar dan kolam koi yang luas. Elara membimbing Qey duduk di tepi gazebo kayu. "Apa kamu bahagia dengan pernikahamu?" tanya Elara tiba-tiba. Qey terkejut lalu bersikap biasa. "Aku ... tidak tau. Sejujurnya, ini semua terlalu cepat. Pernikahan, bulan madu, dan dia." "Rafael?" "Ya, aku tidak tahu apakah dia benar-benar mencintaiku atau hanya ingin balas dendam atas kesalahan yang sudah aku perbuat,” balas Qey dengan tatapan bingung. Elara menatap kolam. "Kenji juga seperti itu. Dingin, penuh luka, menuntut ketaatan, dan menyebalkan. Tapi perlahan berubah dengan caranya sendiri." "Apakah kamu mencintainya?" tanya Qey penasaran. "Aku belajar mencintainya." Elara tersenyum tipis. "Dan aku belajar bertahan, hanya dia yang aku punya di dunia ini. Meskipun dunia mereka tidak memberi banyak pilihan, tapi kamu bisa membuat pilihan di dalamnya." Qey termenung. Kata-kata Elara menembus hatinya. Selama ini dia berpikir menjadi istri Rafael berarti kehilangan segalanya, tetapi mungkinkah dia bisa membentuk sesuatu dari reruntuhan itu? Sementara itu di dalam, Rafael dan Kenji duduk di seberang meja kayu, masing-masing dengan segelas sake di tangan. "Dia masih mencoba melarikan diri?" tanya Kenji sambil menyesap minumannya. "Tidak lagi,” balas Rafael tersenyum miring. “Tapi aku tau dia belum menyerah." "Kau menikahinya karena cinta atau dendam, De Luca?" tanya Kenji penasaran..Suasana di ruang makan itu langsung memanas. Suara sendok yang beradu dengan piring pun terdengar begitu nyaring di tengah keheningan yang menekan. Qey menunduk, dadanya bergemuruh. Kata-kata "hanya pengganti" itu seperti belati yang menusuk langsung ke ulu hatinya. Dia sudah tahu keluarga Rafael tidak sepenuhnya menerimanya, tetpi mendengar sindiran seterang itu di hadapan semua orang membuat wajahnya terasa panas, nyaris terbakar malu dan kesal sekaligu. Rafael yang duduk di samping Qey langsung mengangkat kepala, rahangnya mengeras. Tangannya yang tadi menggenggam lembut tangan Qey kini berubah menjadi cengkeraman protektif. Matanya yang tajam menatap lurus pada pamannya, penuh amarah yang ditahan dengan susah payah.“Ucapkan itu sekali lagi,” suara Rafael serak, dalam, namun jelas terdengar ancamannya.Pamannya tertawa kecil, nada meremehkan yang membuat suasana makin menegang. “Aku hanya bicara kenyataan, Rafael. Semua orang di sini tahu siapa yang seharusnya duduk di kursi itu
Udara di dalam mobil terasa pekat, seolah semua oksigen tertarik ke satu titik di antara Qey dan Rafael. Lampu jalan melintas seperti sapuan kuas yang mencoret-coret malam. Qey menghela napas, mencoba merangkai kembali kepingan-kepingan peristiwa yang baru saja memecah hidupnya menjadi serpihan tajam. Bisa dia rasakan tangan Rafael yang besar ada di punggungnya, menekan lembut, seolah ingin menenangkannya. “Aku tidak mau menghancurkan mereka,” Qey berbisik, suaranya parau. Matanya menatap kaca jendela, memantulkan siluet wajahnya sendiri yang kini tidak lagi utuh. "Tidak heran mereka berpikiran seperti itu, orang lain pun pasti akan berpikir kalau aku sengaja bantu Gianna pergi dan menggantikan posisinya." Rafael berdecak lalu bibirnya mengerut. Tangan kirinya meremas setir, jari-jari tersembunyi di balik kulitnya yang tebal. Ada sesuatu di mata pria itu yang membuat Qey menoleh, bukan hanya kemarahan, melainkan sesuatu yang sulit Qey terka. “Nyatanya kamu gak pernah berniat se
Suara tamparan itu menggema di aula besar rumah keluarga Lissandro. Qey terhuyung ke samping, pipinya memerah seketika. Udara seakan membeku. Semua yang ada di rumah itu membelalak tidak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan istri dari Tuan Lissandro, ibu Gianna, kepada tamunya sendiri yaitu kepada Nyonya De Luca. Rafael sontak meraih bahu istrinya, menahan tubuh Qey agar tidak jatuh. Mata dinginnya menatap tajam ke arah wanita paruh baya yang berdiri dengan dada berdegup penuh emosi. Aura keangkuhan dan kebencian terpancar jelas. “Berani-beraninya kamu masuk ke rumah ini setelah merebut segalanya dari putriku!” suara ibu Gianna bergetar, antara marah, benci, sekaligus getir. Qey menatapnya dengan mata membelalak, terkejut, juga sakit hati. “Aunty, a-aku tidak merebut apa pun,” suaranya pelan, nyaris tercekat. Tangannya refleks menyentuh pipi yang terasa panas akibat tamparan itu. “Kamu pikir aku buta?” teriak ibu Gianna, menunjuk Qey dengan telunjuk gemetar. “Kamu sengaja m
Ancaman berikutnya datang dalam bentuk yang jauh lebih jelas, beberapa menit setelah Qey dan Rafael keluar dari ruangan sebuah peluru tajam menembus jendela ruang kerja itu. Para pengawal panic dan alarm dibunyikan. Seluruh rumah dikunci secara otomatis. Qey yang syok refleks menjerit, lalu langsung dibawa ke ruangan bawah tanah oleh Rafael. “Ini bukan sekadar ancaman. Ini adalah deklarasi perang,” ucap Rafael kepada salah satu pengawalnya. Dia memanggil Kenji lewat sambungan terenkripsi. Elara juga ikut dalam pembicaraan, menyarankan Rafael untuk memindahkan Qey sementara ke tempat lebih aman. Atau mungkin ke rumah mereka di Jepang, namun Rafael menolak. “Jika mereka ingin menyerangnya, mereka harus melewati aku terlebih dahulu.” Dilihatnya Qey yang masih syok, tetapi tidak menangis. Hanya diam sambil menghembuskan napas dengan pelan. “Semua akan baik-baik saja,” ucap Rafael menenangkan Qey. Perempuan itu menoleh dengan wajah datar. “Bohong! Tidak ada yang baik-baik saja
Rafael menatap kosong ke cangkirnya. "Awalnya dendam, tapi sekarang aku ingin menjaganya. Dia satu-satunya yang membuat hidupku lebih berwarna."Bukan hanya setelah menikah, Qey memang membuat hidup Rafael lebih berwarna sejak menengenal Qey kecil yang menggemaskan. Dia yang merupakan anak tunggal selalu dituntut untuk melakukan yang keluarganya inginkan. Hingga akhirnya pindah sekolah dan berteman dengan Dean. Keluarga Dean tidak sekaya keluarganya, namun mereka begitu harmonis dan tidak menuntut banyak hal pada anak-anaknya. Lalu Rafael mengenal Qey yang terus melihat ke arahnya sampai memberikannya sebuah permen sambil tersenyum. Sejak saat itu Rafael selalu datang ke rumah Dean membawa cemilan untuk Qey dan selalu membela anak itu jika bertengkar dengan Dean. Dan seketika semuanya berubah saat Rafael harus pergi.Kenji menyipitkan mata. "Jangan sampai kamu jadikan dia kelemahan. Dunia kita tidak punya tempat untuk kelembutan, De Luca.”"Aku mengerti.”Kenji tertawa singkat. "Kamu
Tokyo menyambut Qey dan Rafael dengan kemegahan yang berbeda dari Kyoto. Di sini, gedung pencakar langit berdiri angkuh, lampu-lampu kota menyala bahkan di siang hari, dan keheningan pegunungan berganti dengan hiruk-pikuk metropolitan. Rafael menggandeng tangan Qey erat ketika mereka keluar dari bandara Haneda.Limusin hitam sudah menanti. Sopir membukakan pintu dan Rafael mengajak Qey masuk tanpa sepatah kata pun. Di dalam mobil, Qey memperhatikan wajah Rafael yang kembali tegang. Dia tahu, pertemuan hari ini bukanlah sekadar silaturahmi biasa."Kenji Hayama dia benar-benar membantu mencariku waktu itu?" tanya Qey pelan.Rafael menoleh. "Tanpa dia, kamu mungkin masih tersembunyi di sudut kota dengan identitas palsu. Dia menemukanmu lebih cepat daripada timku. Dia juga memjagamu dari hal-hal yang mungkin terjadi, dan … .” Tatapannya begitu intens. “Aku membayar mahal untuk semua itu!”“Cih, bukan aku yang menyuruhmu untuk mencariku!” balas Qey dengan nada mencibir. “Memangnya apa yang