Ancaman ketiga datang dalam bentuk yang jauh lebih jelas, beberapa menit setelah Qey dan Rafael keluar dari ruangan sebuah peluru tajam menembus jendela ruang kerja itu.
Para pengawal panic dan alarm dibunyikan. Seluruh rumah dikunci secara otomatis. Qey yang syok refleks menjerit, lalu langsung dibawa ke ruangan bawah tanah oleh Rafael. “Ini bukan sekadar ancaman. Ini adalah deklarasi perang,” ucap Rafael kepada salah satu pengawalnya. Dia memanggil Kenji lewat sambungan terenkripsi. Elara juga ikut dalam pembicaraan, menyarankan Rafael untuk memindahkan Qey sementara ke tempat lebih aman. Atau mungkin ke rumah mereka di Jepang, namun Rafael menolak. “Jika mereka ingin menyerangnya, mereka harus melewati aku terlebih dahulu.” Dilihatnya Qey yang masih syok, tetapi tidak menangis. Hanya diam sambil menghembuskan napas dengan pelan. “Semua akan baik-baik saja,” ucap Rafael menenangkan Qey. Perempuan itu menoleh dengan wajah datar. “Bohong! Tidak ada yang baik-baik saja dalam duniamu!” “Dan sekarang kamu menjadi dari bagian dari duniaku!” timpal Rafael dengan senyum miringnya. “Kamu tidak perlu mengkhawatirkan apapun, aku pastikan kamu akan baik-baik saja.” “Kalau gagal?” Rafael mendekatkan wajah mereka. “Tidak ada kata gagal dalam kamusku!” Qey nenunjukkan ekspresi mencibir. Padahal dengan adanya ancaman dan penyerangan di ruang kerja sudah menunjukkan kalau Rafael gagal membuat rumahnya menjadi aman. “Aku hanya terkecolongan, bukan gagal!” “Eh?!” Qey melihat pada Rafael yang seolah bisa membaca pikirannya. “Nanti setelah memastikan semuanya aman, kita akan kembali ke rumah.” Rafael menepuk pelan pucuk kepala Qey. Hal kecil seperti itu membuat Qey ingat tentang Rafael di masalalu. Rafael yang lebih dia sayang daripada kakaknya sendiri, Rafael yang selalu melindungi dan memanjakannya setiap datang ke rumah. Kedatangan lelaki itu selalu Qey tunggu sampai akhirnya Qey menyerah. Bahkan dia sempat melupakan kenangan tentang lelaki itu. “Kenapa?” tanya Qey tiba-tiba. Rafael menoleh. “Apanya?” “Kenapa kamu kembali ke sini setelah sekian tahun pergi? Apa karena perjodohan dengan Gianna?” tanya Qey menatap manik yang balas menatapnya. “Kamu masih marah padaku?” “Jangan jawab pertayaan dengan pertanyaan juga!” sahut ketus Qey. Rafael terkekeh lalu mencubit pipi Qey yang sedari dulu membuatnya gemas. “Kamu tidak banyak berubah, Qey.” “Kamu pikir aku power ranger!” balas Qey dengan bibir mengerucut. “Tapi kamu benar, aku memang masih menggemaskan, berbeda dengan kamu kamu banyak berubah!” Qey menyadari sejak pertama kali bertemu dengan Rafael lagi, banyak hal sudah berubah. Rafael yang dia kenal dulu sudah tidak ada. Lelaki dengan wajah Rafael dewasa terlihat dingin, kejam, dan lebih menyebalkan. “Banyak hal yang terjadi, tapi aku masih Rafael yang sama, Qey,” kata lelaki itu sambil tersenyum. Baru kali ini Qey benar-benar memperhatikan senyum Rafael yang tulus dan harus dia akui sama dengan Rafael yang dia kenal dulu. Tanpa kedua sadari, wajah mereka semakin dekat hingga bibir mereka akan menyatu. “Tuan.” Qey mendorong bahu Rafael menjauh darinya sambil memegang kedua pipinya yang terasa panas. Yang datang adalah anak buah Rafael yang menyampaikan bahwa keadaan sudah cukup aman. Mereka pun keluar dari ruang bawah tanah dengan Rafael yang memegang tangan Qey. ***** Sejak kejadian itu Qey mulai memeriksa siapa yang selama ini ada di sekitarnya. Dia mulai memperhatikan detail kecil pelayan yang tiba-tiba menghindari tatapannya, sopir yang ganti jam jaga, bahkan asisten rumah tangga yang terlalu banyak bicara. Hingga suatu sore, dia menangkap percakapan pelan antara dua pelayan di dapur. Mereka membicarakan ‘seseorang yang kecewa karena Rafael menikahi perempuan yang salah’. Sayangnya, mereka terlalu cepat berpencar saat menyadari kehadiran Qey. “Siapa orang yang mereka maksud?” gumam Qey pada dirinya sendiri. “Enak saja bilang aku wanita yang salah, yang salah itu Rafael.” Dia kesal, menikah dengan Rafael membuat hidupnya bukan berwarna-warni tetapi berwarna hitam semua. Qey tidak bisa hidup tenang dan menikmati hidup dengan santai. Semua yang dia lakukan diawasi dan dijaga dengan ketat. “Aku akan bilang pada Rafael.” Saat itu, Qey menceritakan yang dia dengar dari pelayan pada Rafael. Sehingga lelaki itu mengurung dua pelayan yang dimaksud oleh Qey di ruang interogasi, tetapi keduanya tidak mengaku. Apalagi tidak ada bukti langsung. Rafael pun terpaksa mengambil keputusan drastis. Semua staf lama diganti, hanya segelintir yang dipercaya tetap tinggal. Pengamanan dilipatgandakan. Pintu kamar Qey dijaga 24 jam termasuk gerak-geriknya yang akan selalu dipantau oleh Rafael secara langsung. Mendengar deklarasi itu Qey jadi lemas. Dia sudah tidak lagi memiliki hidupnya sendiri, semua yang ada padanya sudah diatur oleh Rafael. “Tuan, saya mendapat informasi terbaru.” Asisten pribari Rafal datang membawa sebuah berkas. Rafael membaca berkas itu, sebuah nama tertulis di berkas hasil dari investigasi asisten pribadi Rafael, keluarga Mancini. Mereka adalah rival lama keluarga De Luca yang telah lama tenggelam, tetapi kabarnya salah satu keturunannya kembali dari luar negeri dan berambisi membangkitkan kejayaan lamanya. Dan yang lebih mengkhawatirkan, lelaki itu pernah mencintai Gianna. “Keluarga Mancini? Aku seperti pernah dengar nama itu,” kata Qey yang ikut membaca berkas di tangan Rafael. Lelaki itu menoleh pada Qey yang ada di sampingnya. “Kamu kenal?” “Tidak secara langsung,” balas Qey tidak begitu yakin. “Aku mengenal Gianna sejak SHS dan sepertinya Gianna yang pernah cerita padaku tentang keluarga itu.” “Artinya masih ada hubungannya dengan Keluarga Gianna?” Qey mengangguk tanpa sadar. “Mungkin. Eh, kamu … .” Belum sempat Qey melanjutkan kalimatnya, Rafael berdiri dan berkata, “Bersiaplah, kita akan ke rumah Keluarga Lissandro. “Kenapa kita harus ke sana?” tanya Qey pada Rafael yang perlahan pergi. “Rafael tunggu.” Rafael akan mengambil banyak tindakan. Ancaman yang datang baru permulaan dan dia harus bersiap, bukan hanya untuk melindungi Qey, tetapi juga menjaga agar perempuan itu tidak membenci dirinya atas keputusan-keputusan brutal yang mungkin harus dia ambil demi mempertahankan keluarga mereka. Ya, meski menikah dengan dasar menghukum Qey, tetapi Rafael ingin mempertahan pernikahannya. ***** Qey mengenakan gaun senada dengan pakaian Rafael. Sebenarnya Qey tidak setuju untuk datang ke rumah itu, apalagi dia masih merasa bersalah sudah membantu Gianna kabur di hari pernikahannya. “Tidak perlu takut, kamu adalah Nyonya De Luca. Angkat dagumu dan jangan biarkan mereka membuatmu terintimidasi,” ucap Rafael mengerti kegelisahan istrinya. Mereka disambut oleh kepala pelayan yang mendampingi mereka bertemu dengan Tuan rumah yang sudah mengetahui kedatangan mereka. “Selamat datang Tuan dan Nyonya De Luca,” sambut Tuan Lissandro mempersilakan mereka duduk. “Kalau boleh tau, ada apa anda datang menemui saya?” “Keluarga Mancini! Anda mengenalnya ‘kan?!” tanya Rafael to the point. Pria paruh baya yang merupakan ayah dari Gianna melipat dahinya. “Ya, tapi keluarga mereka sudah hilang tanpa sisa dan jejak.” “Anda yakin?” tanya Rafael lagi tidak mudah percaya begitu saja. “Sangat yakin!” balas pria paruh baya itu tanpa ragu. “Kenapa kamu menanyakannya, Rafael? Apa terjadi sesuatu?” “Tidak ada!” Kekehan dikeluarkan oleh Tuan Lissandro. “Kalau saja istrimu tidak membantu Gianna kabur, pasti saat ini kamu sudah menjadi menantuku dan aku akan sedia datang dan membantumu.” Qey yang mendengarnya merasa tersindir. Ayahnya memang hanya pengusaha biasa, tetapi bukan berarti tidak punya power untuk membantu Rafael. Enak saja Ayah Gianna secara tidak langsung merendahkan keluarganya. “Tanpa istriku bantu pun pasti anakmu akan tetap kabur dan kalaupun kamu jadi menikah … dia belum tentu akan tetap hidup!” balas Rafael dengan senyum miringnya. “Tidak ada lagi yang mau aku bicarakan, kami pergi.” Rafael memegang tangan Qey yang masih kesal pada ayah temannya itu. Sebelum keluar dari rumah itu, Qey bertemu dengan ibu Gianna yang memperhatikannya, lalu … PLAAKK!!Ancaman ketiga datang dalam bentuk yang jauh lebih jelas, beberapa menit setelah Qey dan Rafael keluar dari ruangan sebuah peluru tajam menembus jendela ruang kerja itu.Para pengawal panic dan alarm dibunyikan. Seluruh rumah dikunci secara otomatis. Qey yang syok refleks menjerit, lalu langsung dibawa ke ruangan bawah tanah oleh Rafael.“Ini bukan sekadar ancaman. Ini adalah deklarasi perang,” ucap Rafael kepada salah satu pengawalnya.Dia memanggil Kenji lewat sambungan terenkripsi. Elara juga ikut dalam pembicaraan, menyarankan Rafael untuk memindahkan Qey sementara ke tempat lebih aman. Atau mungkin ke rumah mereka di Jepang, namun Rafael menolak.“Jika mereka ingin menyerangnya, mereka harus melewati aku terlebih dahulu.”Dilihatnya Qey yang masih syok, tetapi tidak menangis. Hanya diam sambil menghembuskan napas dengan pelan.“Semua akan baik-baik saja,” ucap Rafael menenangkan Qey.Perempuan itu menoleh dengan wajah datar. “Bohong! Tidak ada yang baik-baik saja dalam duniamu!”
Rafael menatap kosong ke cangkirnya. "Awalnya dendam, tapi sekarang aku ingin menjaganya. Dia satu-satunya yang membuat hidupku lebih berwarna."Bukan hanya setelah menikah, Qey memang membuat hidup Rafael lebih berwarna sejak menengenal Qey kecil yang menggemaskan. Dia yang merupakan anak tunggal selalu dituntut untuk melakukan yang keluarganya inginkan. Hingga akhirnya pindah sekolah dan berteman dengan Dean. Keluarga Dean tidak sekaya keluarganya, namun mereka begitu harmonis dan tidak menuntut banyak hal pada anak-anaknya. Lalu Rafael mengenal Qey yang terus melihat ke arahnya sampai memberikannya sebuah permen sambil tersenyum. Sejak saat itu Rafael selalu datang ke rumah Dean membawa cemilan untuk Qey dan selalu membela anak itu jika bertengkar dengan Dean. Dan seketika semuanya berubah saat Rafael harus pergi.Kenji menyipitkan mata. "Jangan sampai kamu jadikan dia kelemahan. Dunia kita tidak punya tempat untuk kelembutan, De Luca.”"Aku mengerti.”Kenji tertawa singkat. "Kamu
Tokyo menyambut Qey dan Rafael dengan kemegahan yang berbeda dari Kyoto. Di sini, gedung pencakar langit berdiri angkuh, lampu-lampu kota menyala bahkan di siang hari, dan keheningan pegunungan berganti dengan hiruk-pikuk metropolitan. Rafael menggandeng tangan Qey erat ketika mereka keluar dari bandara Haneda.Limusin hitam sudah menanti. Sopir membukakan pintu dan Rafael mengajak Qey masuk tanpa sepatah kata pun. Di dalam mobil, Qey memperhatikan wajah Rafael yang kembali tegang. Dia tahu, pertemuan hari ini bukanlah sekadar silaturahmi biasa."Kenji Hayama dia benar-benar membantu mencariku waktu itu?" tanya Qey pelan.Rafael menoleh. "Tanpa dia, kamu mungkin masih tersembunyi di sudut kota dengan identitas palsu. Dia menemukanmu lebih cepat daripada timku. Dia juga memjagamu dari hal-hal yang mungkin terjadi, dan … .” Tatapannya begitu intens. “Aku membayar mahal untuk semua itu!”“Cih, bukan aku yang menyuruhmu untuk mencariku!” balas Qey dengan nada mencibir. “Memangnya apa yang
Qey berdiri terpaku, tangan menutupi dadanya, napasnya memburu karena kaget, malu, dan marah bercampur menjadi satu. Rafael berdiri di depannya dengan wajah dingin, seolah tidak merasa bersalah setelah merobek gaun yang dikenakannya. “Kamu gila!” teriak Qey, matanya berkaca-kaca. “Sudah kubilang kalau aku tidak suka pakaian dengan punggung bolong dan … robek bagian depan,” ucap Rafael tenang, lalu berjalan ke lemari. “Pilih gaun yang lain. Atau biar aku pilihkan.” Qey gemetar, bukan karena takut tetapi karena amarah yang menumpuk. Dengan kasar, ia mengambil jubah mandi dan menyampirkannya ke tubuhnya. “Kamu tidak berhak memperlakukan aku seperti ini!” Rafael menatapnya dari depan lemari. “Aku suamimu dan kamu milikku, jadi kamu harus menuruti semua ucapanku!” Malam itu tetap berlanjut. Qey akhirnya terpaksa mengganti pakaiannya, tidak munhkin kalau dia mengenakan pakaian robel, dia mengambil gaun gelap berlengan panjang yang membuat Rafael mengangguk puas. Qey menatap sinis l
Hari pernikahan itu akhirnya tiba. Di luar, dunia menyaksikannya sebagai sebuah perayaan mewah dua keluarga terpandang. Tetapi bagi Qey, ini adalah hari pemakaman dari kehidupan lamanya. Dia berdiri di balik tirai sutra putih kamar pengantin, tubuhnya dibalut gaun pernikahan rancangan eksklusif dari Milan, namun hati dan pikirannya terasa terkubur dalam peti yang tak bernafas. Dari luar jendela, dia bisa mendengar suara musik klasik mengalun dan tawa tamu-tamu terhormat. Rafael memang tahu caranya mengatur pertunjukan. Pernikahan itu dijaga ketat, disiarkan diam-diam ke media, dan diperlihatkan sebagai simbol persatuan dua dinasti besar. Tidak ada yang tahu bahwa sang pengantin perempuan berdiri di sana karena terpaksa. Pintu kamar terbuka. seseorang mengetuk pintu lalu Qey mempersilakannya untuk masuk. Dean muncul sambil tersenyum mendekatinya. “Apakah Kakak tidak bisa membantuku untuk kabur?” pinta Qey dengan penuh harapan. Gelengan diberikan oleh Dean sambil mengelus kepala
Sore itu udara Tokyo terasa jauh lebih dingin daripada biasanya. Angin menusuk hingga ke tulang dan salju turun perlahan dari langit kelabu. Namun, dinginnya musim dingin tak sebanding dengan hawa yang membekukan seluruh tubuh Qey saat Rafael De Luca berdiri di ambang pintu studio seni kecil tempat ia bekerja. Tubuh Qey membeku. Ia hanya bisa menatap wajah lelaki itu, wajah yang dulu sering ia lihat di rumahnya, tersenyum tipis kepada ibunya, berbicara dengan ayahnya, mengacak rambut kakaknya, bahkan terkadang mengejeknya saat mereka masih kecil. Tapi pria di hadapannya sekarang adalah Rafael yang berbeda. Lebih dingin dan lebih berbahaya. "Ka-kamu tidak serius ‘kan?" Qey berusaha tersenyum miring, walau wajahnya pucat pasi. "Kamu tau aku tidak bermain-main, Qey!” balas Rafael dengan tegas. Dalam sekejap, Rafael menyentakkan pinggang Qey dan menariknya lebih dekat. Pelan tapi pasti, tangan dinginnya naik ke dagu Qey, memaksanya menatap ke matanya. "Aku memberimu pilihan, buka