Share

Bab 4, Biaya Operasi bi Nirma

Langkah kaki Tasya terhenti di ambang pintu UGD, dengan tetes air mata yang terus mengalir ketika ia mendapatkan kabar bahwa ibunya kritis. Sesekali Tasya berdiri dan berjalan seperti setrika yang sedang melicinkan pakaian, wajahnya sangat panik, ia seorang diri di sana, tanpa ada satu orang pun yang menemani.

'Ya Tuhan, aku mohon tolong selamatkan ibuku, di dunia ini, hanya dia lah salah satu alasanku bertahan hidup, ku mohon,' batin Tasya terus berdoa, berharap bahwa doanya akan terkabul.

Setelah beberapa saat kemudian, dokter keluar. Erland, dokter muda yang menangani ibu Nirma selaku ibu kandung Tasya, Tasya berdiri di hadapan dokter Erland setelah menyeka air matanya asal-asalan.

"Dok, bagaimana keadaan ibu saya?" tanya Tasya dengan nafas tertahan.

"keadaan Ibu Nirma masih kritis, Tasya. Beliau harus segera di operasi, tapi tentu, biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit," ucap dokter Erland, dokter itu tahu bahwa sebenarnya pasien yang sedang ia rawat bukan lah kalangan orang berada.

"B-berapa biaya nya Dok?" lirih Tasya bertanya.

"Untuk lebih lengkapnya kamu sebaiknya ke bagian administrasi nya saja, ya." jawabnya melempar senyum getir.

Tasya dengan berat menganggukkan kepalanya pelan, lalu langkahnya mulai mendekati bagian administrasi seperti yang disarankan oleh dokter Erland. Dan setelah mengetahui biaya yang sempat membuatnya syok, akhirnya Tasya memutuskan untuk pergi ke ruangan ibunya.

Tasya menggenggam erat salah satu pergelangan tangan bu Nirma, dengan menatap penuh wajah bidadari nya yang sedang terpasang selang itu.

"Ibu, yang kuat ya, aku sangat sayang padamu, jangan menyerah karena penyakit ini, aku akan melakukan segala cara agar Ibu bisa segera dioperasi."

Tasya menyeka air matanya cepat, ia tidak mau membuang waktu nya lagi, dengan meminta izin pada ibunya, Tasya pun pergi melangkahkan kaki ke rumah ibu mertuanya.

Saat itu hujan sangat deras, namun tak menggoyahkan langkah kaki Tasya yang terus menuju rumah bak istana tersebut, setelah tiba di depan gerbang, salah satu bodyguard yang menyadari ada seorang wanita yang berdiri meminta di bukakan pintu segera menghampiri pintu tersebut.

"Nona, kenapa kau ke sini dalam keadaan seperti ini?" tanya salah satu bodyguard itu.

"Aku ingin sekali bertemu dengan mama Riri, tolong izinkan aku," pinta Tasya tak memberikan jawaban apa-apa.

"Baik lah Nona, mari silahkan masuk." jawabnya langsung membuka pintu.

Riri terkejut ketika melihat menantunya sudah berdiri di ambang pintu, dalam keadaan basah kuyup dan linangan air mata yang jatuh bersamaan dengan air hujan yang mengguyur beberapa saat yang lalu.

"Astaga, Tasya... Kenapa kamu hujan-hujanan seperti ini! Di mana Dika? Apa dia yang telah melakukan ini padamu?" tanya Riri, kedua tangannya menangkap kedua pipi Tasya yang terasa sangat dingin.

Tasya menggelengkan kepalanya, sebagai jawaban bahwa bukan Dika yang telah membuatnya seperti ini.

"Ma, Ibuku kritis di rumah sakit... Dokter meminta ku untuk membayar semua biaya pengobatan nya, aku tidak punya uang sebanyak itu, Ma, hiks hiks hiks," air mata Tasya tumpah lagi ketika mengingat angka 50 juta yang harus ia bayarkan.

"Tasya, menantuku.. Bukan kah aku berjanji padamu, bahwa aku lah yang akan membantu membayar semua pengobatan ibumu, sekarang juga, kita bereskan urusan ini, tapi kamu harus mengganti baju mu dulu, ya." Riri ikut tersayat ketika melihat air mata Tasya yang tumpah berlinang.

Di sana, juga ada tuan Arkana Mahendra yang tak sengaja mendengar pembicaraan tersebut, ia juga merasa kasihan pada Tasya yang datang meminta bantuan dalam keadaan seperti itu.

Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di rumah sakit. Tak lupa juga dengan Dika yang mendapatkan kabar dari tuan Arkana, ia datang seorang diri menuju rumah sakit. Saat itu Riri dan Tasya sedang mengurus pembayaran, Dika menghampiri tuan Arkana yang terlihat sedang duduk menunggu.

"Pa, di mana Mama?" tanya Dika menyapa ayahnya.

"Mama sedang menemani Tasya ke bagian administrasi, ibu mertuamu harus segera di operasi, Dika," tuan Arkana membalas tatapan Dika kala itu.

Dika berjalan menuju ruang rawat yang masih tertutup, di sana ia melihat ada seorang wanita paruh baya yang masih dalam keadaan tidak sadarkan diri, terpasang selang dan infus di salah satu tangannya.

'Jadi itu ibunya Tasya? Sakit apa beliau?' batin Dika bergeming.

Saat sedang mengamati bu Nirma, Dika dikejutkan dengan suara mama Riri yang menatapnya dengan penuh kemarahan.

"Dika, kenapa kamu membiarkan Tasya ke rumah Mama dan Papa dalam keadaan hujan-hujanan seperti tadi! Apa kamu tidak ada perasaan belas kasihan pada seorang wanita, ha?!" marah mama Riri yang kesal pada putranya.

"Tapi Ma, aku tidak tahu kalau Tasya ke rumah Mama," ucap Dika menatap bingung, ke arah Tasya juga tentunya.

"Astaga, kalian ini tinggal di hotel yang sama, sekamar pula, alasan kamu itu tidak bisa Mama terima," celetuk mama Riri masih marah.

"Maaf Ma, tapi mas Dika tidak bersalah, aku pergi ke rumah sakit saat mas Dika sedang mandi. Aku ingin meminta izin, tapi aku sudah terlanjur panik." Tasya bersuara, ia tidak mau jika ibu mertuanya itu salah paham.

Setelah mendengar penjelasan dari Tasya, kemarahan mama Riri pun mulai meredam, namun tidak dengan Dika yang tidak menerima alasan dari Tasya. Tatapannya tajam seperti panah yang siap menghunus.

Setelah melakukan pembayaran, bu Nirma segera di keluarkan dari ruang rawat menuju ruang operasi, Tasya ikut mengantar ibunya sampai tiba di ruang yang sangat menakutkan itu.

Mama Riri tidak membiarkan Tasya sendiri, ia selalu berada di sampingnya, ia tahu bahwa Tasya pasti sangat membutuhkan sosok teman di saat seperti ini.

Karena operasi yang dilakukan terhadap pasien berada di jam 11 malam, Tasya akhirnya meminta Riri dan Arkana pulang, ia tidak mau jika kesehatan kedua mertuanya itu terganggu karena menemani nya.

"Ma, Pa, sudah tengah malam, lebih baik Mama dan Papa pulang saja, biar aku di sini," ucap Tasya lirih.

"Baik lah, besok pagi Mama akan kembali ke sini, kamu tidak sendiri Tasya, Dika akan menemani kamu, ya kan Dika?!" mama Riri mengalihkan pandangannya pada putranya.

"Eem." singkat Dika menjawab.

Riri dan Arkana pun akhirnya memutuskan untuk pulang, kini yang tersisa hanyalah Dika dan Tasya. Mereka duduk sedikit berjarak, di ruang tunggu, Tasya menatap Dika yang masih fokus dengan ponselnya, membuat Tasya justru merasa canggung, namun ia harus memberanikan diri.

"Mas, aku mau minta maaf, soal ta__" belum sempat menyelesaikan ucapannya, Dika mengacungkan jari telunjuk sebagai isyarat bahwa ia sedang tidak ingin diganggu.

Tasya akhirnya terdiam, ia tidak memaksa atau menyalahkan suaminya itu, jika ia bersikap demikian. Namun, Tasya memang harus benar-benar tebal-tebal hati, untuk menerima sifatnya.

Hacim... Hacim...

Dika tersentak, ketika Tasya bersin beberapa kali di kursi yang berjarak dengannya, saat itu Tasya sedang mendekap tubuhnya, baju yang ia kenakan cukup tipis, sementara cuaca malam ini sangat dingin lantaran baru saja di guyur hujan, apalagi di tambah Tasya sempat hujan-hujanan malam itu.

"Pakai ini,"

Dika menyodorkan jaket tebal yang ia kenakan, tanpa diketahui oleh Tasya kapan ia melepaskannya.

"Buat Mas aja, cuaca lagi dingin, Mas," tolak Tasya.

Dika menatap Tasya langsung, ketika ia menolak pemberian darinya, pria berjamban itu seperti tidak terima dengan penolakan Tasya.

"Tubuhku cukup fit untuk menahan cuaca ini, sementara kamu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status