Share

5. Berhenti Menjadi Orang Bodoh.

"Pelangi bangun, Pelangi!!"

Langit mencoba membangunkan tubuh Pelangi yang tergeletak di atas tempat tidur dengan tubuh lemah.

"Ya, tuhan. Semoga dia tidak apa-apa." Gumam Langit panik.

"Ma– mas, aku tidak apa-apa. Ini hanya–" ucapan Pelangi terhenti seiring dengan tubuhnya yang semakin lemah dan pandangannya yang mengabur.

"Ya, Tuhan apa yang aku lakukan. Bagaimana kalau dia mati? Bisa gawat aku!" Langit mengangkat tubuh tidak berdaya Pelangi dengan tergesa-gesa langit meninggalkan apartemen menuju rumah sakit terdekat.

"Dok, bagaimana dengan kondisinya?" tanya Langit ketika seorang dokter keluar dari UGD.

"Tubuhnya sangat lemah, sepertinya dia tidak makan sejak kemarin. Dan ada masalah dengan lambungnya jadi untuk berapa hari akan tetap dalam pantauan kami. Sebentar lagi pasien akan di pindahkan ke ruang perawatan, beruntung bapak segara membawanya ke sini jika tidak mungkin kondisinya jauh lebih parah dan lebih fatal lagi tidak tertolong."

Langit mengangguk tanpa bisa menjawab perkataan wanita yang berpakaian putih. Dokter Wati berlalu dari hadapan Langit yang merutuki kebodohannya membiarkan Pelangi di apartemen tanpa ada makanan selain air putih.

Seorang suster mendorong brankar menuju ruang perawatan.

"Saya permisi jika ada hal penting, silahkan tekan tombol di sebelah sana." Ucap suster sebelum meninggalkan ruang perawatan.

"Baik sus, terima kasih."

Setelah kepergian suster Langit memandang wajah pucat Pelangi yang terlihat cantik walau tanpa polesan.

"Wajahmu begitu cantik, secantik hatimu. Tapi maaf, aku kecewa dengan semua kebohongan yang kalian ciptakan demi keuntungan kalian." Lirih Langit.

Lelah menunggu Pelangi yang tertidur Langit merebahkan tubuhnya di kursi, tempat yang begitu nyaman untuknya saat ini. Namun, indahnya mimpi harus hilang saat terdengar suara langkah.

"Kamu mau ke mana?" Langit mendekati Pelangi yang menyeret tiang di mana berisikan cairan infus yang mengalir ke tubuhnya.

"Maaf, membangunkan. Saya mau ke kamar mandi."

Pelangi melanjutkan lagi langkahnya, dengan cepat Langit mengambil alih memegang tangan Pelangi masuk ke dalam kamar mandi.

"Sudah?" tanya Langit saat Pelangi keluar.

"Lain kali jangan bersikap seperti ini. Aku tidak suka, atau kamu ingin memperlihatkan pada orang tua kita, iya? Supaya aku terlihat buruk di mata mereka?!" sentak Langit setelah Pelangi merebahkan tubuhnya.

"Bu– bukan itu mas, aku hanya tidak ingin," Pelangi menundukkan wajahnya tatapan Langit berhasil membuat tubuhnya bergetar.

"Lalu apa, hah?"

"Aku tidak mungkin keluar dari apartemen sebelum meminta ijin pada mas, maaf sudah membuat mas repot."

"Kamu tahu kalau begini bikin repot, kenapa tidak hubungi aku sih! Kalau mau ngomong itu di pikir dulu. Jangan asal ngomong!"

"Ta– tapi, mas, aku–"

"Apa lagi, hah? Mau cari alasan lagi gitu!"

"Maaf mas, aku enggak bermaksud tapi, aku nggak tahu nomer ponsel mas Langit. Bagaimana aku bisa menghubungi mas,"

Dengan keberanian yang tersisa Pelangi berusaha untuk menjelaskan pada langit bahwa semuanya terjadi bukan karena keinginannya tetapi dia tidak ingin pergi dari apartemen tanpa seizin dari suami dan lagi pula Ia pun tidak tahu nomor ponsel Langit sehingga Pelangi memilih untuk diam.

"Ya sudah. Lain kali kalau ada apa-apa kamu keluar saja. Tidak perlu meminta ijin padaku,"

***

Setelah di rawat dua hari di rumah sakit hari ini Pelangi di ijinkan untuk pulang dengan catatan untuk tidak terlambat makan. Sebab Pelangi memiliki masalah dengan lambungnya.

"Turun!" sentak Langit.

"Kita di mana, mas?" tanya Pelangi. Menyadari mereka berhenti di salah satu super market.

"Tempat tidur! Ini supermarket, gunanya untuk belanja. Cepat turun dan beli semua kebutuhan untuk satu bulan ke depan."

Pelangi mengikuti langkah panjang Langit mengambil troli dengan cekatan Pelangi mengambil semua barang kebutuhan selama satu bulan tidak lupa untuk pribadinya. Dan itu semua sesuai perintah Langit.

"Tunggu! Em, kamu ambil berapa makanan ringan untukku. Kamu juga, untuk satu bulan." Ucap Langit mengingat kejadian berapa hari yang lalu membuat Langit lebih hati-hati.

"Baik mas,"

Pelangi kembali mendorong troli memilih berapa makanan ringan untuknya dan juga untuk Langit. Di rasa sudah cukup Pelangi menunggu antrian di depan kasir.

***

Hari pertama setelah kepulangannya dari rumah sakit Pelangi di sibukkan dengan pekerjaan rumah, mengerjakan semua tugasnya sebagai seorang istri. Bukan, anggapan sebagai seorang istri Langit sebagaimana mestinya. Namun Pelangi hanya merasakan tapi tidak dengan Langit.

Pelangi yang telah menyelesaikan tugasnya berusaha untuk membersihkan semua ruangan tanpa terkecuali kamar utama yang di tempati oleh Langit.

"Assalamualaikum mas, silahkan sarapan a–" Pelangi mundur saat tatapan dingin Langit mampu membuat tubuhnya bergetar.

"Apa tadi kamu, bilang? Makan? Sarapan? Kamu punya otak apa enggak, sih? Berapa kali aku bilang jangan membuat apa pun untukku. Aku tidak akan menyentuh apapun yang sudah kamu sentuh, paham? Kalau tidak paham maka akan aku buat tulisan kamu tempelkan di otak kamu yang bodoh itu. Supaya kamu bisa mengingat setiap, hari!!" Sentak Langit membuat tubuh Pelangi bergetar.

"Ma– maaf, mas aku janji tidak akan bertanya lagi. Atau menawarkan makanan apa pun pada mas Langit." Sahutnya lirih.

Langit tidak peduli seberapa sakit hati Pelangi baginya, apa yang dia lakukan adalah hal yang wajar. Sebagai bentuk rasa sakit hatinya, kebencian dan kemarahannya atas apa yang di lakukan oleh Pelangi dan keluarganya telah menorehkan rasa yang sulit untuk ia terima.

"Kau sudah paham, sekarang?"

"I– iya, mas," lirih Pelangi.

Langit meninggalkan Pelangi yang tertunduk lantai yang basah dan air yang sedikit tergenang akibat ulah langit yang dengan sengaja menumpahkan walau tidak terlalu banyak namun, berhasil lantai semakin licin. Husna tidak lagi menghiraukan kata yang di lontarkan oleh Langit meski bagaikan hantaman yang begitu menyakitkan.

Menyadari Langit telah pergi tubuh Pelangi luruh ke lantai namun dering ponsel di kantong gamisnya menyadarkan dirinya dari lamunan.

Belum sempat Pelangi mengambil ponselnya tiba-tiba suara Langit kembali terdengar.

"Hei!! Kamu tidak tahu atau pura-pura tidak tahu? Lihat air begitu banyak yang tumpah, kenapa kamu tidak bersihkan? Cepat bersihkan!!!" Langit kembali ke kamar ponselnya yang tertinggal sehingga membuatnya kembali. Saat melewati tanpa sengaja ia melihat wajah Pelangi yang sendu.

Langkahnya terhenti tanpa sengaja mendengar suara Pelangi yang tengah berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon.

"Assalamualaikum, Umi, Abah, apa kabar?"

"Wa'alaikumsalam, kabar abah dan Umi Alhamdulillah sehat. Bagaimana dengan kabar kamu di sana? Umi dan Abah harap kamu dalam keadaan sehat. Sayang, Kenapa suara kamu parau ? Apa kamu sedang menangis? Apa nak Langit memperlakukan kamu dengan baik?" Umi yang merasa jika putri bungsunya tengah menyembunyikan sesuatu berusaha untuk bertanya walau ia tahu bahwa putri bungsunya tidak akan menjawab ataupun menceritakan masalahnya.

"Alhamdulillah, kabarku sangat baik begitu juga dengan mas Langit kami dalam keadaan sehat walafiat. Umi, aku tidak menangis hanya saja bawang bawang ini membuat air mataku mengalir. Umi tahu bukan kalau aku tidak bisa mengupas bawang? Sepertinya aku harus belajar banyak untuk mengupasnya lebih banyak lagi Umi," Pelangi menghapus jejak air mata yang tidak hentinya mengalir walau beberapa kali ia mengusapnya. Tetap saja cairan bening itu terus mengalir.

"Kamu sedang memasak nak? Apa Umi sudah mengganggu kamu? Kalau begitu lanjutkan saja masaknya jangan biarkan suamimu terlalu lama menunggu kita bisa bicara lagi nanti, salam untuk nak Langit, Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam, akan aku sampaikan salam Umi untuk mas Langit." Pelangi menyimpan kembali ponselnya ke dalam kantong gamisnya.

Melanjutkan membersihkan air yang menggenang di lantai.

"Minggir!!" Langit menyingkirkan ember dengan kakinya hal yang membuat Pelangi terkejut. Sebab air dalam ember kembali membasahi lantai.

"Kenapa? Kamu ingin protes dengan sikapku, hah? Itu tidak akan bisa. Itu sudah menjadi sejarah untukmu!!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status