"Ya Tuhan!"
Hana memekik dan langsung menutup mulut saat melihat pemandangan di depan mata. Untung saja dari yang ada di genggamannya tidak jatuh. Jantungnya berdetak sangat kencang melihat adegan yang menusuk relung hatinya.
Bagaimana tidak? Di depan sana, Kalila tengah berpelukan mesra dengan Aji, suaminya sendiri.
"Kenapa cemberut, hm?"
Suara Aji begitu lembut membuat hati Hana semakin remuk. Manik mata yang biasanya selalu sayu tiba-tiba saja membulat kala Aji mendaratkan ciuman di pipi Adik Hana.
"Aku kesal, Mas. Sampai kapan kita seperti ini? Capek tahu ngurusin Kak Hana. Apa gak sebaiknya kamu tinggalkan dia saja?"
Mata Hana berkaca-kaca. Kekagetan masih menguasai wanita itu. Tak menyangka jika Kalila mengatakan hal buruk.
"Entahlah. Aku akan pikirkan itu. Sementara, bersikaplah seperti biasanya. Oke?"
Hana menggelengkan kepala. Suaminya sudah punya niat untuk meninggalkannya. Ini perselingkuhan.
Kemesraan mereka semakin intim. Hati Hana panas bukan main. Wanita itu hendak menghampiri mereka, tetapi diurungkan.
Jika dia mengamuk pada mereka, pasti keduanya akan mencari alasan. Hana juga tidak bisa melawan dalam keadaan sakit seperti ini. Mungkin bisa-bisa dia dicelakai oleh keduanya.
Hana memejamkan mata dengan air mata berderai. Wanita itu pun terpaksa pergi dari sana, meninggalkan kemesraan dua orang itu.
Dengan lemas Hana berusaha kembali ke kamar. Padahal, awalnya wanita itu ingin menghampiri suaminya di ruang kerja. Dia mau memakaikan dasi pada Aji.
Sudah 3 bulan Hana sakit, divonis TBC. Tubuhnya begitu lemah, hingga dia tidak bisa mengerjakan tugasnya sebagai istri dan Ibu.
Hana menangis sesenggukan di dalam kamar. Dia mengingat betul kedatangan Kalila disambut baik karena ingin merawatnya sebagai seorang Adik. Hana tidak pernah mencurigai apa pun gerak-gerik mereka. Memberikan kepercayaan penuh pada keduanya.
Namun, ternyata ada bangkai busuk yang selama ini disembunyikan sang suami. Hana benar-benar sakit hati.
Dadanya terasa sesak mengingat kejadian tadi. Entah adegan apalagi yang sudah mereka lakukan, pastinya Hana tahu kalau ini sebuah pengkhianatan.
Suara ketukan pintu berhasil menghentikan tangisan Hana. Wanita itu segera menghapus jejak air mata. Jangan sampai Kalila atau Aji melihatnya menangis.
"Masuk."
Saat pintu dibuka, Hana menautkan alis. "Loh, Bi Asih?"
"Nyonya? Saya kira Nyonya tidur?" tanya Bi Asih, bingung.
Bukan hanya pertanyaan itu yang membuat Hana bingung. Tetapi, kehadiran ARTnya yang datang pagi sekali.
"Bi Asih, tumben datang pagi?"
"Iya, Nyonya. Kemarin Mbak Kalila bilang saya harus datang pagi, soalnya Mbak Kalila ada acara kampus dan akan menginap. Tuan Aji juga ada rapat ke luar kota. Jadi, saya ditugaskan menjaga Nyonya dan Non Nara sampai mereka pulang."
Hana tersentak. Lagi-lagi kabar mengejutkan. Dia bahkan tidak tahu kalau Aji dan Kalila ada acara. Ini semakin memperkuat jika dua orang itu pasti sedang pergi ke luar untuk bersenang-senang.
Hana kembali terisak sembari memegangi dadanya yang terasa sesak. Melihat itu, Bi Asih langsung panik.
"Nyonya, kenapa? Apa ada yang sakit?"
Hana menggelengkan kepala, tapi tangisannya semakin menjadi. Bi Asih yang semakin panik. Dia hendak menelepon seseorang, langsung dicegah oleh Hana.
"Bi, Mas Aji dan Kalila selingkuh," cetus Hana dengan suara bergetar.
***
Tangisan Hana begitu menyayat hati. Bi Asih yang mendengar cerita Hana hanya diam dengan tatapan iba. Wanita yang hampir sepuh itu mengusap pundak Hana, berusaha menenangkan majikannya.
"Saya benar-benar tidak menyangka kalau mereka berani main gila di belakang saya. Padahal, saya sedang sakit, tapi mereka tega sekali melakukan itu."
Bi Asih menganggukkan kepala. Wanita itu sebenarnya sudah punya firasat serupa kepada Aji dan Kalila, tetapi tidak berani bilang pada Hana. Takut malah jadi beban pikiran.
Namun, serapat apa pun bangkai disembunyikan, baunya akan tercium juga.
"Saya harus bagaimana, Bi? Saya ingin mengamuk, melampiaskan kemarahan saya pada mereka. Tetapi, keadaan tubuh yang lemah ini, pasti saya akan kalah."
Bi Asih merasa kasihan pada wanita itu. Di saat kesakitan, harusnya Hana dirawat dengan baik, bukan malah dicurangi seperti ini. Bi Asih pun akhirnya angkat suara. Dia harus membuka semua kebusukan Aji dan Kalila.
"Maaf, Nyonya. Sebenarnya saya juga punya firasat, apalagi melihat gelagat mereka di rumah. Cuma, saya takut menjadi beban pikiran untuk Nyonya."
Hana menoleh, kaget. "Maksud Bi Asih, gelagat seperti apa, Bi?"
Wanita yang hampir sepuh itu menceritakan kejadian janggal yang selama ini mengusik hatinya. Dari mulai kepulangan Kalila dan Aji yang selalu satu mobil, perlakukan Aji yang begitu lemah lembut dan kata-kata manis.
Belum lagi keduanya sering sekali keluar dari tempat kerja Aji dengan mimik wajah senang. Lebih parahnya, saat makan bersama, Bi Asih kerap kali melihat kaki Kalila yang sering mengelus kaki Aji di bawah meja makan.
Tangis Hana pecah. Kali ini suaranya melengking, menandakan ada kesakitan yang begitu menyayat di hatinya.
"Ya Tuhan! Mereka benar-benar berengsek! Kenapa ini bisa terjadi?!"
Hana mengamuk. Dia meremas rambutnya sendiri. Bi Asih langsung menenangkan Hana, memeluk tubuh lemah itu.
"Tenang, Nya. Istigfar."
"Kenapa ini terjadi kepadaku, Bi? Apa salahku pada mereka? Aku harus bagaimana, Bi. Aku tidak bisa melawan mereka. Bahkan, aku tidak punya bukti untuk menghukum mereka."
Mendengar kalimat terakhir yang dilontarkan
Hana, Bi Asih jadi teringat sesuatu. Sang wanita mengurai pelukan sembari berbicara serius."Tentang bukti, saya ingat sesuatu, Nyonya."
Tangisan Hana berangsur berhenti. "Benarkah, Bi? Apa itu?"
"Sebentar, Nya. Saya akan kembali."
Bi Asih tiba-tiba saja pergi dari sana. Tak lama kemudian, wanita itu kembali ke kamar Hana dengan tong sampah di tangannya.
Hana sempat menautkan alis, bingung dengan tingkah ART-nya ini.
"Kenapa Bi Asih bawa tempat sampah ke sini?"
Bi Asih tak langsung menjelaskan, tapi mengambil kertas-kertas yang ada di tong sampah itu.
"Nyonya, sejak Non Kalila pindah ke sini, saya sering melihat struk dan resi di tempat sampah dapur."
Hana langsung meraih kertas-kertas itu. Membaca satu-satu dari banyaknya tumpukan struk dan resi.
Dengan jelas, terpampang nama adiknya di resi transfer itu. Bahkan struk belanja dan barang branded pun ada.
"Ya Tuhan. Bi, apakah yang membuat semua ini Kalila?"
Bi Asih menggeleng. "Tidak, Nya. Dua-duanya membuang semua itu di tempat sampah dapur. Saya sempat heran, kenapa Tuan Aji dan Non Kalila tidak buang sampai di tempat sampai kamar saja? Ternyata ...."
"Ternyata untuk menutupi kebusukan mereka."
Hana tiba-tiba saja terdiam memandangi kertas di tangan. Ini sudah terlalu jauh. Hana sakit badan, sekarang sakit hati. Dia benar-benar kecewa dan marah.
Namun, wanita itu tidak bisa hanya diam, menangis dan meratapi ini. Hana harus memberi pelajaran pada mereka.
"Bi, bantu aku untuk membongkar perselingkuhan mereka. Mas Aji dan Kalila harus mendapat hukuman."
Setelah makan malam usai, Aji memilih untuk membersihkan diri. Sementara Hana di kamar sedang berusaha untuk memantau Kalila dari kamera CCTV yang dipasang di kamar adiknya. Tampak Kalila sedang makan dengan tenang, benar-benar sesuai yang diinginkan oleh Hana. Dia sekarang dalam kebingungan. Apa yang harus dilakukan kepada adiknya? Sementara wanita itu masih memerlukan keterangan Kalila, dan juga bukti-bukti yang dipunya oleh adiknya. Saat sedang seperti ini, tiba-tiba Nara masuk. Kebetulan saat makan malam Nara disuapi oleh Bi Asih, ini dikarenakan takut ada pembicaraan orang dewasa yang mungkin akan memancing Nara berbicara jujur tentang apa pun yang seharusnya tidak diucapkan. Namanya juga anak-anak, bisa saja jujur. Jadi dia tidak boleh membuat Aji bertemu dengan Nara, takut gadis kecil itu mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya. "Ibu-ibu, Ibu lagi ngapain? Kok aku nggak lihat Tante Kalila, ya?" tanya anak kecil itu sembari duduk di hadapan Hana. Sang wanita langsung hentik
"Baiklah, aku mengerti kalau masalah itu. Tetapi apakah uangmu memang sangat banyak sampai kamu berani mengatakan hal seperti itu?" Pertanyaan Aji membuat Hana terdiam. Harusnya wanita itu tidak boleh mengatakan hal demikian, yang ada Aji pasti akan mengorek semua informasi tentang keuangannya. Lebih menyakitkan lagi kalau sampai Aji juga mengambil apa yang harusnya menjadi milik Hana. "Ya, palingan aku akan menjual beberapa emas yang kamu beli." "Emas?" Wajah Aji terlihat sekali sinis, di sorot matanya membuat Hana yakin kalau pria itu memang tidak akan pernah ikhlas kalau dirinya bahagia. Entah apa yang sudah dilakukannya di masa lalu sampai mendapatkan jodoh seperti Aji. Dia bahkan tidak melihat sisi buruk dari suaminya selama bertahun-tahun menikah dengan sang pria. Namun, setelah semuanya terbongkar wanita itu sadar sudah menikahi seorang penjahat yang sangat menakutkan dan juga harus diwaspadai. "Kalau itu sama saja dengan bohong, berarti kamu tidak punya uang lain, kan?
"Hai, Han. Aku sudah pulang," ucap Aji sembari menenteng tas kerjanya. Hana tersenyum sebaik mungkin. Dia berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Bukti tentang perbuatan Aji pun sudah ada. Hana tinggal memanggil Kakek yang sudah menyelamatkan Kalila untuk menjadi saksi, tetapi tidak boleh semudah itu membuat suaminya langsung masuk penjara. Dia akan memberikan perhitungan terlebih dahulu kepada Aji, agar pria itu mengaku dan bisa dihukum seberat mungkin. "Iya, Mas. Ayo makan dulu!" ajak Hana.Sebenarnya ini membuat Aji bingung dan juga heran, sebab sebelumnya istrinya itu agak cuek kepadanya. Bahkan tidak seperti biasanya saat mereka masih bersama dan Hana terbaring sakit. Wanita ini malah semakin bugar, tidak terlihat tanda-tanda kesakitannya. Mungkin ada yang salah dengan obat yang diberikan oleh Kalila. Dia yakin, obat itu bisa memperparah keadaan Hana, tetapi malah seperti ini. Dia harus mencari tahu dulu ke mana Kalila dan akan membuat perhitungan kepada wanita it
Saat sore tiba, Hana menghampiri Kalila yang terus saja di kamar. Wanita itu ketakutan dan pikirannya kacau. Dia tidak tahu harus melakukan apa, tetapi kalau tidak di rumah kakaknya Kalila harus pergi ke mana? Tidak ada lagi tempat untuk dirinya berkeluh kesah, apalagi meminta perlindungan. Walaupun keluar, pasti banyak orang yang mengetahui tentang keberadaannya. Namanya saja sudah tercoreng. Bahkan pekerjaan sebagai model pun dicabut serta dibatalkan. Ini benar-benar membuatnya malu. Kalau pergi ke kampus, dia rasa tidak ada seorang pun yang mau membantunya. Apalagi keterangan dan kabar tentang dirinya sudah tersebar luas.Hana memanggil-manggil Kalila, wanita itu baru tersadar setelah tiga kali Hana memanggil nama Kalila. Dengan cepat dia membukakan pintu. Kalila tersenyum, dia merasa senang karena kakaknya mau mengunjunginya di kamar. Ingin keluar dari tempat itu, takut jika bertemu Aji. Ini sangat rawan. Untunglah kamarnya dilengkapi dengan kamar mandi, jadi dia tidak perlu kel
Kalila terdiam. Dia menggigit bibir bawahnya dengan mata berkaca-kaca. Untuk saat ini Hana benar-benar tidak bisa memberikan hati lagi kepada adiknya ini. Dia sudah terlanjur sakit dengan apa yang dilakukan oleh Kalila. Walaupun memang dirinya sudah tahu semua, tetapi ternyata tetap saja ada rasa sakit yang menggerogoti. Meskipun mereka satu darah, tetapi pengkhianatan tidak bisa ditoleransi lagi."Kenapa kamu diam saja? Cepat kemasi barangmu! Kamu sudah terbukti salah, serahkan apa yang kamu punya tentang Mas Aji kepadaku. Maka hukumanmu pasti akan berkurang." Mendengar itu Kalila mendongak sembari menggelengkan kepala. "Kak, aku mohon jangan usir aku dari sini. Berikan aku waktu. Kalau aku keluar, bagaimana kalau Mas Aji mengincar nyawaku? Jika aku mati, apakah Kakak mau?"Seketika Hana diam, tetapi tiba-tiba saja wanita itu menyeringai. "Lebih baik kehilangan kamu daripada aku harus melihatmu dalam kesakitan seumur hidupku. Jika melihatmu pasti akan ada bayangan pengkhianatan ka
Hana tak bertanya atau walaupun menimpali ucapan wanita itu, tetapi lebih meneliti bagaimana wajah Kalila saat ini. Mungkin saja wanita itu sedang berbohong kepadanya. Dia benar-benar harus berhati-hati kepada Kalila. Wajahnya saja yang terlihat lugu, tapi ternyata hatinya busuk dan kelakuannya di luar batas. Bahkan dia tidak menyangka kalau Adik yang selama ini disayangi dan juga dilindungi malah menusuknya dari belakang. "Aku benar-benar serius mengatakan itu. Kalau misalkan Kakak tidak percaya, aku bisa memberikan buktinya. Aku sudah mengumpulkan banyak bukti tentang kejahatan Mas Aji kepada Kakak," ujar Kalila. Dia tidak mau sampai diserang oleh Hana atau malah sendirian menghadapi Aji. "Kamu punya bukti-buktinya? Kenapa kamu melakukan itu? Berarti benar kamu mengakui kalau kamu itu sudah jahat kepadaku?" tanya Hana sembari melipat tangan di depan dada. Dia ingin sekali melakukan ini dari dulu, menginterogasi atau bahkan memaki-maki adiknya sendiri. Tak masalah, karena memang
Melihat situasi yang mulai memanas, sang kakek pun langsung buka suara. "Maaf kalau saya memotong pembicaraan kalian. Saya ingin menjelaskan duduk permasalahannya, agar tidak ada salah paham, ya," ucap Kakek itu yang membuat mereka bertiga menoleh. Kebetulan di sana juga sudah ada Rendi. "Maaf, Kakek ini siapa, ya?" tanya Hana, dia tidak bisa mudah percaya begitu saja. Mengingat kalau Kalila itu mungkin licik dan menyewa Kakek ini untuk pura-pura menjadi saksi. Walaupun memang saat ini keadaan Kalila begitu kacau, tapi entah kenapa rasa percaya terhadap adiknya itu sudah hilang begitu saja. Harus punya bukti yang kuat, baru benar-benar bisa paham dengan situasi yang terjadi. "Saya Tono. Saya orang yang tinggal di sekitaran perkebunan itu." Pria tua itu pun menceritakan kronologis saat ia menemukan Kalila di sebuah lubang. Hana hanya terdiam. Dia melihat tidak ada kebohongan di sorot mata Kakek ini. Tampak benar-benar tulus dan juga jujur. "Seperti itu, Nak. Saya datang ke sini h
Saat ini Hana sedang berada di mobil menuju perjalanan pulan. Dia terus saja memikirkan perkataan Sabrina kepadanya. Wanita itu hampir saja tergoda untuk ikut kerjasama dengan Sabrina perihal Kalila, tetapi Hana sadar kalau yang dihadapinya adalah Rido dan orang kaya yang mungkin saja bisa melakukan segala cara dengan uang atau bisa saja dia dimanfaatkan oleh Sabrina demi kepentingan tertentu. Lalu, ujungnya Hana juga yang menjadi tersangka atau kambing hitam mereka. "Aku tidak mau berurusan dengan orang-orang kaya seperti itu. Mereka terlihat baik, padahal di belakangnya busuk. Untuk masalah Kalila, biarlah aku sendiri akan berpikir sesuai dengan rencanaku sebelumnya," gumam Hana saat masih di dalam mobil.Dia benar-benar tidak mau berurusan lagi dengan Rido atau istrinya, berharap semuanya akan segera berakhir dan bisa memulai hidup baru dengan baik. Suara ponsel berdering, di sana tertera nama Rendi. Wanita itu menautkan kedua alisnya. Biasanya Rendi akan menelepon Hana jika mema
“Aku ingin mengajakmu kerja sama.”Hana masih tampak kebingungan, terlihat dari wajahnya serta alis yang saling bertautan.“Untuk?”Sabrina tersenyum, lalu menghela napas panjang. wanita itu begitu santai. Tetapi, wajahnya kali ini tampak serius.“Aku tahu, suamimu selingkuh dengan adikmu.”Lagi-lagi tubuh Hana menegang. Satu pertanyaan muncul di benak, bagaimana wanita itu bisa tahu?Seolah paham dengan mimik wajah Hana, Sabrina kembali melanjutkan ucapannya yang malah membuat Hana tidak bisa berkata-kata.“Aku mengikuti kegiatan dan gerak-gerik Kalila.”Hana menghela napas berat. Adiknya itu memang sangat memalukan. Dia malah merebut seorang suami yang sudah beristri.Namun, sekarang bukan itu point masalahnya. Kenapa Sabrina harus mengajaknya kerja sama? Dia sama sekali tidak butuh patner untuk memberikan adiknya hukuman.“Kamu bisa memakai uangmu untuk membereskan Kalila. Dia memang adikku, tapi perlakuan dan tindakannya bukan tanggung jawabku.”Sabrina takjub dengan keteguhan dan