"Bagaimana caranya, Nya?"
Bi Asih bingung bagaimana membantu majikannya. Sementara dia hanyalah orang biasa dan hampir sepuh yang tak punya kekuatan atau kekuasaan.
Hana diam sejenak. Di saat sedang sakit seperti ini, berpikir keras pasti akan membuat kesehatannya menurun. Namun demikian, jika diam saja maka dirinya yang akan hancur.
"Begini, Bi. Saya tidak bisa bebas bergerak sebab kondisi saya. Jadi, saya akan pasang CCTV dan minta bantuan orang untuk mengintai."
"Hah? Maksud Nyonya, intel?"
Hana menyergah. Wanita itu sempat tersenyum mendengar jawaban Bi Asih.
"Bukan, Bi. Orang biasa yang bisa dijadikan mata-mata. Nanti, saya kasih bayaran yang setimpal. Apa Bi Asih punya kenalan atau saudara yang bisa bantu saya?"
Wanita yang rambutnya sebagian memutih itu terlihat berpikir, mengingat-ingat siapa yang mungkin bisa membantu Hana. Sampai satu nama terlintas.
"Ada, Nya! Keponakan saya. Usianya 20 tahunan, seusia Non Kalila. Namanya Rendi."
Mata sayu Hana berbinar. "Benarkah? Apa dia bisa dipercaya?"
"Bisa, Nya. Dia itu anak pintar, cuma ayahnya meninggal. Jadi, terpaksa dia yang bekerja. Dia pernah jadi sopir di pasar, kirim sayuran."
"Bagus, Bi! Sekalian saja dia kerja di sini sebagai sopir Kalila juga mata-mata untuk saya. Gajinya dua kali lipat, bagaimana?"
Bi Asih terlihat senang. Mengingat kalau Rendi itu hanya kerja serabutan. Pernah jadi sopir beberapa bulan, tapi berhenti karena majikannya pindah ke kota lain. Ini juga akan lebih mudah sebab Rendi tidak mungkin berkhianat pada Hana yang juga majikan Bi Asih.
"Bisa-bisa, Nya."
"Bagus, Bi. Hari ini saya akan pesan CCTV sama toko langganan saya, biar langsung pasang hari ini juga. Bi Asih panggil Rendi ke sini, ya?"
Wanita itu langsung patuh, segera pergi untuk memanggil Rendi. Sementara Hana menghubungi toko langganannya untuk pasang CCTV.
Kebetulan, saat Hana masih kerja di perusahaan, dia bagian GA atau general affair. Dia juga suka memesan CCTV untuk keperluan kantor. Jadi, mudah baginya mendapatkan benda itu.
***
"Nama saya Hana," ucap Hana sembari menyalami tangan Rendi.
Pemuda berperawakan tegap itu membungkukkan badan dan menyebutkan namanya. Kulitnya kecokelatan, khas orang pekerja keras yang ada di lapangan.
Ditelisik, Rendi itu tampan. Hanya saja karena sering bekerja kasar dan terus berada di bawah matahari langsung, wajahnya terlihat kelelahan. Cekungan matanya begitu jelas.
Hana tersenyum kecil. Tampaknya, dia bisa menggunakan Rendi untuk menghancurkan Kalila.
"Apakah Bi Asih sudah menjelaskan kenapa kamu saya panggil ke sini?"
Rendi mengangguk dengan patuh. "Sudah, Nyonya."
"Bagus. Saya akan menjelaskan ulang. Dengarkan baik-baik."
Hana menjelaskan apa saja tugas Rendi di sini. Wanita itu akan memberikan gaji besar dan menyekolahkan adik-adik Rendi.
Tentu saja pemuda itu senang. Bi Asih pun sangat berterima kasih kepada Hana.
"Ingat, Rendi. Kalau kamu setia, aku akan memberikan apa pun kebutuhan keluargamu dan menjaminya. Tapi, kalau kamu berkhianat, jangan harap bisa lepas dariku."
Hana mengatakan itu dengan serius dan mata membara. Rendi dan Bi Asih kaget mendengarnya.
Padahal, setahu Bi Asih, Hana adalah wanita penyabar dan lemah lembut. Tetapi, sekalinya disakiti sisi buruknya keluar dengan jelas.
Hana akan pastikan semua bukti terkumpul. Dengan begitu, dia bisa menyingkirkan Kalila dan Aji. Memberikan hukuman berat pada keduanya.
***
Dua hari kemudian, Kalila dan Aji pun pulang. Mereka keluar dari mobil yang sama sembari bergandengan tangan. Hana yang melihat dari jendela ruang tamu pun geram bukan main.
Bahkan, tampak sekali keduanya mesra. Hati Hana semakin membara. Sayangnya, untuk saat ini dia tidak bisa membongkar kebusukan keduanya.
Sang wanita harus benar-benar bisa mengumpulkan bukti. Untunglah, kemarin lusa Hana sudah memasang CCTV di ruang kerja Aji, kamar Kalila dan taman belakang rumah. Karena, tempat-tempat itulah yang diduga dijadikan tempat mereka bermesraan.
Hana terus melihat gerak-gerik keduanya, sampai akhirnya di depan pintu, Kalila melepaskan rangkulan tangan. Tampak seperti bersiap untuk berubah ekspresi.
Aji membukakan pintu dan Hana pun mundur dari jendela. Pria itu tampak kaget saat melihat istrinya ada di sana.
"Ya Tuhan! Hana, sedang apa kamu di sini?"
Kalila juga ikut kaget melihat kakaknya sudah ada di ruang tamu. Biasanya di jam sekarang, Hana sedang tiduran di kamar atau duduk di taman belakang.
"Loh, kenapa Kakak ada di sini?"
Kekagetan keduanya membuat Hana muak. Ingin sekali memaki keduanya. Sayangnya, Hana harus menahannya sekuat hati.
"Aku hanya sedang duduk di sini saja. Bosan kalau terus di kamar," timpal Hana, berusaha bersikap seperti biasanya.
Walaupun saat ini hatinya membara. Tetapi, untuk menguak kejahatan mereka, Hana harus sabar dan seolah dirinya tidak tahu apa-apa.
Kalila tampak menghela napas lega. Dia menyenggol lengan Aji pelan, seolah memberi isyarat. Hana juga melihat itu, tapi dia pura-pura tidak tahu.
"Em, Hana. Tadi, apa kamu melihat ke luar?"
Hana diam sejenak. Dalam hati dia mengutuk pria itu. Tetapi, dengan cepat Hana tersenyum sebaik mungkin.
"Enggak, Mas. Ngapain aku lihat ke luar, kaya ada pemandangan yang bagus aja," cetus Hana.
Lagi-lagi Kalila menghela napas lega. Aji pun tersenyum, pria itu mendorong kursi roda Hana untuk kembali ke kamar.
Hana mengeratkan genggaman pada pakaiannya. Ternyata, menahan diri agar emosi tidak meledak itu, tidak mudah.
Baru juga beberapa langkah, seseorang datang. "Nyonya, mesin mobil sudah saya cek. Masih bagus dan siap dipakai."
Kalila dan Aji kembali dikagetkan dengan kedatangan seorang pria. Dia adalah Rendi.
"Han, siapa pria ini?"
"Oh, dia Rendi. Saudaranya Bi Asih. Katanya, butuh pekerjaan. Ya, aku suruh jadi sopir aja, Mas. Lagian, mobilku nganggur."
"So-sopir buat siapa, Kak?"
"Buat kamu," jawab Hana, dengan senyuman khasnya.
"Hah?! Aku gak pakai mobil, Kak."
"Loh, kenapa? Aku kasihan sama kamu. Sudah ngurusi aku, anak dan suami. Jadi, ini bentuk terima kasihku padamu."
Aji dan Kalila saling pandang. Mereka kaget dengan semua ini. Tetapi, gelagat Hana sama sekali tidak mencurigakan.
"Kamu tenang saja. Rendi ini bisa nyetir dan punya SIM. Jadi, kamu pasti aman. Iya kan, Ren?"
"Iya, Nyonya." Rendi menjawab itu sembari menatap Aji dan Kalila yang masih mematung, mencerna keputusan Hana.
"Ya sudah, Mas. Aku ke kamar dulu. Sudah waktunya istirahat," cetus Hana sembari mendorong kursi rodanya sendiri.
Rendi pun memilih mengikuti Hana, tidak mau sampai terjerat masalah di hari pertamanya bekerja.
"Mas, kenapa tiba-tiba pakai sopir? Nanti, aku gak bisa semobil dengan kamu lagi, dong!" seru Kalila kesal, setelah tidak ada Hana dan Rendi.
"Ya, aku juga kaget dengernya. Hana belum pernah cerita apa pun tentang pria itu."
"Jadi, gimana dong?" Wajah Kalila tampak khawatir.
"Kok, kamu ngomong seperti itu sama suami sendiri? Kamu mencurigaiku?" tanya Aji, tiba-tiba saja malah benar-benar berbeda jauh dari sebelumnya. Saat Hana mengatakan tentang gaji dan keuangan, ini membuat Hana takut kalau Aji itu sebenarnya psikopat yang sedang menyamar jadi suaminya. Namun, sudah bertahun-tahun lamanya sampai Nara cukup besar, Aji baru memperlihatkan semua itu. "Em, mungkin perasaanku saja. Kamu akhir-akhir ini tidak seperti biasanyam kamu jauh berbeda dengan Mas Aji yang dulu, saat aku sakit. Apakah ini karena aku sembuh, jadi kamu berubah sikap?" tanya Hana dengan berani lagi. Dia tidak peduli apa yang akan terjadi hari ini, yang pasti wanita itu harus tahu sifat asli Aji seperti apa jika dirinya terus menekan emosi sang pria."Tidak seperti itu, Hana. Aku hanya kaget saja karena kamu tiba-tiba bilang kalau kamu tidak membutuhkanku. Bukankah itu adalah hal yang sangat sensitif jika didengar oleh seorang suami? Suami itu kan tugasnya mencari nafkah. Kamu seolah
Setelah menelepon Kalila, wanita itu pun bergegas untuk ke kamar. Dia tidak boleh membuat Aji curiga karena keberadaannya yang tiba-tiba saja menghilang di sekitaran rumah. Saat sampai sana, ternyata Aji sudah memakai piyama tidur."Kamu ke mana aja, Hana?dari tadi aku cariin," ucap Aji yang membuat Hana terdiam sebentar. Dalam hati merutuk dan ingun sekali membuat pria itu tak berdaya, tetapi bukan saatnya. Besok dia akan ungkap semuanya. "Iya, tadi aku lagi ke kamar Nara tapi ternyata anak itu nggak ada. Jadi aku cari di tempat Bi Asih. Dia ada di sana.""Oh, kukira kamu ke mana. Oh ya, besok aku akan berangkat pagi-pagi sekali untuk mencari pekerjaan. Kamu doakan aku agar bisa dapat pekerjaan baru dan kamu bisa melanjutkan pengobatan," ujar Aji sembari duduk di kasur. Hana masih berdiri di ambang pintu, lalu menutup pintu itu secara perlahan. Entah bagaimana membuat pria ini sadar kalau dirinya itu sudah tidak berarti lagi di rumah ini. Entah itu materi atau sosok suami dan Aya
"Pokoknya aku tidak mau tahu, cepat lakukan itu sebelum waktunya habis. Bisa-bisa aku sial sendiri, karena Kalila lebih dulu melaporkan semuanya pada Hana. Aku yakin, wanita itu menyimpan bukti-bukti tentangku. Pokoknya itu semua harus segera diatasi. Ini bukan hal yang bisa dimainkan lagi."Hana tidak bisa diam saja. Dia akan langsung bergerak cepat untuk menghubungi Kalila dan memindahkan adiknya ke tempat aman. Kalau satu rumah di sini takutnya akan terjadi sesuatu yang buruk kepada adiknya. Setidaknya sampai Aji benar-benar dihukum dia harus memastikan Kalila selamat tanpa ada luka sedikit pun.Terdengar suara langkah Aji yang mendekat, membuat Hana harus segera kembali meninggalkan tempat persembunyiannya. Dia memutar tubuhnya dan bersembunyi di balik patung yang ada di sana. Tentulah Aji tidak melihat keberadaannya. Wanita itu sampai menahan napas kala Aji berjalan melewatinya. Setelah sang suami benar-benar hilang di balik pandangan, wanita itu pun bisa menghela napas lega. D
Hana berusaha sebaik mungkin untuk tidak mengeluarkan suara. Dia tidak mau suaminya tahu keberadaan dirinya yang dari tadi sedang menguping. Pekatnya malam di taman belakang dan hanya diterangi oleh lampu-lampu kecil membuat Hana tidak bisa melihat dengan jelas di mana keberadaan suaminya. Wanita itu hanya melihat siluet Aji yang benar-benar di depan patung, saat ini dijadikan tempat sembunyi Hana. Dia akan berusaha mendengar sebaik mungkin apa yang sedang dilakukan Aji di telepon.Bagaimanapun wanita itu tidak mungkin membiarkan Aji menghilangkan nyawa Kalila. Meskipun wanita itu adalah orang yang sudah merusak rumah tangganya, tetapi Kalila tetaplah adiknya. Dia cukup memberikan hukuman yang setimpal untuk Kalila, tidak untuk dihilangkan lawannya. "Pokoknya aku tidak mau tahu, cari di mana Kalila berada. Jangan sampai dia memberikan bukti-bukti kepada Hana. Aku tidak mau kehilangan harta berhargaku." Hana masih terdiam dan Aji juga diam beberapa saat. Sepertinya tengah mendengark
Setelah makan malam usai, Aji memilih untuk membersihkan diri. Sementara Hana di kamar sedang berusaha untuk memantau Kalila dari kamera CCTV yang dipasang di kamar adiknya. Tampak Kalila sedang makan dengan tenang, benar-benar sesuai yang diinginkan oleh Hana. Dia sekarang dalam kebingungan. Apa yang harus dilakukan kepada adiknya? Sementara wanita itu masih memerlukan keterangan Kalila, dan juga bukti-bukti yang dipunya oleh adiknya. Saat sedang seperti ini, tiba-tiba Nara masuk. Kebetulan saat makan malam Nara disuapi oleh Bi Asih, ini dikarenakan takut ada pembicaraan orang dewasa yang mungkin akan memancing Nara berbicara jujur tentang apa pun yang seharusnya tidak diucapkan. Namanya juga anak-anak, bisa saja jujur. Jadi dia tidak boleh membuat Aji bertemu dengan Nara, takut gadis kecil itu mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya. "Ibu-ibu, Ibu lagi ngapain? Kok aku nggak lihat Tante Kalila, ya?" tanya anak kecil itu sembari duduk di hadapan Hana. Sang wanita langsung hentik
"Baiklah, aku mengerti kalau masalah itu. Tetapi apakah uangmu memang sangat banyak sampai kamu berani mengatakan hal seperti itu?" Pertanyaan Aji membuat Hana terdiam. Harusnya wanita itu tidak boleh mengatakan hal demikian, yang ada Aji pasti akan mengorek semua informasi tentang keuangannya. Lebih menyakitkan lagi kalau sampai Aji juga mengambil apa yang harusnya menjadi milik Hana. "Ya, palingan aku akan menjual beberapa emas yang kamu beli." "Emas?" Wajah Aji terlihat sekali sinis, di sorot matanya membuat Hana yakin kalau pria itu memang tidak akan pernah ikhlas kalau dirinya bahagia. Entah apa yang sudah dilakukannya di masa lalu sampai mendapatkan jodoh seperti Aji. Dia bahkan tidak melihat sisi buruk dari suaminya selama bertahun-tahun menikah dengan sang pria. Namun, setelah semuanya terbongkar wanita itu sadar sudah menikahi seorang penjahat yang sangat menakutkan dan juga harus diwaspadai. "Kalau itu sama saja dengan bohong, berarti kamu tidak punya uang lain, kan?