Meski memikirkan bahwa pengirim pesan tersebut adalah Bara, tetapi tangan Indah segera bergerak untuk melihat foto profil dari nomor tersebut. Dia ingin memastikannya lagi. Namun, betapa kagetnya, ia saat gambar Bara terpampang jelas di sana.
"Ja-jadi, ini nomor Pak Bara?" gumam Indah lirih.Meski pelan, ternyata Rosi yang memang mejanya berdekatan dengan Indah, dapat mendengar gumaman Indah barusan.
"Kamu SMS-an sama Pak Bara, Indah?" pekik Rosi dengan keras.Sontak semua orang yang sejak tadi memperhatikan Indah pun menatapnya menjadi penuh selidik. Bagaimana tidak? Kejadian Bara yang tanpa sengaja menabrak Indah sudah menyebar luas di kalangan para pegawai.Bahkan, selentingan gosip yang tidak benar sudah sampai di telinga semua orang. Lalu, sekarang mereka mengetahui jika Indah berkirim pesan dengan Bara. Bukankah itu terlalu mencurigakan?
"Ini ... aku—""--Indah dipindahkan tugaskan jadi sekretaris pribadi Pak Bara," potong Kepala Administrasi sebelum Indah selesai berbicara. Ucapannya sukses membuat telinga Indah semakin gatal karena selentingan tidak sedap semakin kencang. Indah bahkan harus semakin menebalkan telinga agar tidak sakit hati."Enggak nyangka ya, kukira cupu ternyata suhu!""Iya, bilangnya lagi nunggu cowoknya yang kuliah di luar negeri. Kok malah goda Pak Bara sih?""Mungkin cowoknya bohong kali, makanya pindah haluan."Meski perempuan itu sudah terbiasa digosipkan dan sudah kebal dengan hal seperti itu, tetap saja ada perasaan tak nyaman. Namun, Indah mengendalikan ekspresinya seperti biasa, sehingga karyawan lain semakin berani bertanya."Indah, benaran kamu jadi sekretaris Pak Bara?"Baru saja Indah akan menjawab pertanyaan terakhir, tiba-tiba ponselnya berdering. Saat dilihat, ternyata itu dari Bara. Indah ingin sekali mengabaikan, tetapi dering ponselnya tidak kunjung berhenti. Akhirnya dengan ragu ia mengangkat panggilan telepon tersebut."Halo, assalam ....""Kenapa enggak dibalas pesan aku?" sela Bara di seberang sana membuat Indah tampak panik dan menjadi tontonan para pegawai lain.*******"Kok buru-buru gitu, Dah?" tanya Mega, ibu dari Indah ketika melihat anaknya yang sudah bersiap-siap berangkat kerja. Padahal, hari masih sangat pagi.Akhir-akhir ini, anaknya tampak aneh. Namun, hari inilah yang terparah. Indah bahkan pergi ke kantor tanpa sarapan sama sekali!"Iya, Bun. Indah harus ke rumah Pak Bara dulu." Indah menjawab sambil menyematkan peniti pada kerudung.Mendengar jawaban anaknya, sontak membuat Mega menautkan kedua alisnya. "Loh, kok tumben? Pak Bara itu yang kamu tolong waktu malam-malam itu 'kan?""Iya, Bun.""Terus, ngapain dia minta kamu ke rumahnya?""Aku juga enggak tahu, Bun."Terpampang jelas raut khawatir di wajah Mega. "Aduh, hati-hati, Nak! Kok perasaan bunda jadi enggak enak, ya? Bunda enggak mau terjadi apa-apa sama kamu, Indah."
"Kamu kan dari divisi administrasi? Kok, harus ke rumahnya?" tambah Mega lagi.
Indah tersenyum tipis melihat Mega yang terlihat sangat khawatir. Bahkan, Ibunya itu tak henti bertanya pada Indah.Ia pun menghampiri Mega lalu memeluk wanita paruh baya yang sudah melahirkannya itu dengan hangat. Mencoba menenangkan Mega meski dirinya sendiri merasakan hal yang sama.
"Bunda enggak usah khawatir. Indah bakal baik-baik aja. Lagi pula, di rumahnya Pak Bara, ada banyak orang, kok." Indah kemudian tersenyum. "Oh, iya! Indah lupa kasih tahu kalau Indah sekarang jadi sekretaris Pak Bara, Bu." "Sekretaris?" Ekspresi bingung tampak jelas di wajah Mega. Namun, dia sadar Indah belum mau membahas ini lebih lanjut. Jadi, Mega pun menghela nafas sebelum kembali berkata, "Ya udah, bunda percaya sama kamu. Kamu pasti bisa jaga diri baik-baik,"Indah ikut tersenyum, tetapi dalam hati dia begitu khawatir dengan masa depannya.
*****
Dengan bermodalkan alamat yang dikirimkan Bara melalui pesan singkat, kini Indah tengah mengendarai motor maticnya dengan kecepatan sedang. Karena berangkat pagi, dia masih memiliki waktu sehingga tidak perlu terburu-buru. "Benar enggak ya, ini alamatnya?" gumam Indah begitu menghentikan motor di rumah megah dengan gerbang yang cukup tinggi. Perempuan itu melihat layar ponselnya, memastikan jika alamatnya sudah benar dengan yang tertulis di sana.Seorang satpam yang menjaga gerbang rumah besar itu bertanya kepada Indah yang tengah dirundung ragu, "Apa ada, Neng?" "Ini, Pak. Saya mau ke rumah Pak Bara, apa Bapak tahu rumahnya di mana?""Ngapain masih di situ? Ayo masuk!" Suara bariton yang familiar mengagetkan keduanya.Sontak, Indah dan pak satpam bernama Udin itu segera memberi hormat kepada pria jangkung dengan postur tubuh yang sempurna. "Selamat pagi, Tuan," sapa Pak Udin. "Pagi juga," sahut Bara tanpa mengalihkan pandangan dari sosok perempuan bertubuh mungil yang ada di hadapannya. "Penyelamat hidup, ayo masuk!"Udin yang tengah menunduk hormat pun langsung menegakkan kepalanya. Kemudian, menatap Bara dengan wajah bingung saat ia mendengar majikannya memanggil Indah dengan sebutan aneh. Tak jauh berbeda, Indah pun merasa risi sendiri. "Ayo!" ajak Bara lagi sambil menarik tangan Indah. Segera Indah menepis tangan besar Bara, tetapi tenaganya kalah dengan tenaga yang dimiliki pria itu. "Pak Bara, jangan pegang-pegang seperti ini." Kali ini Indah lebih berani mengutarakan keberatannya. Ia tidak mau jika Bara melakukan hal seenaknya kepada dirinya.Ucapan Indah langsung membuat Bara menghentikan langkahnya. "Kenapa?"Jelas Indah yang berjalan sedikit terseret limbung karena tubuhnya tiba-tiba menabrak tubuh tegap Bara. Beruntung Indah bisa menyeimbangkan diri. Sehingga tubuhnya tidak jatuh. "Saya merasa risih, Pak." "Risih kenapa? Aku melihat orang-orang di ponsel banyak yang pegangan tangan seperti ini, malah ada yang berpelukan." Bara berkata dengan polosnya."Mungkin mereka sudah menikah, Pak. Jadi bisa pelukan," ujar Indah sambil menunduk. "Kalau begitu, ayo kita menikah!"Mendengar ajakan Bara seperti mengajaknya bermain membuat Indah dengan refleks mengangkat kepalanya. Ia menatap Bara dengan tidak percaya. "Ma-maksudnya?""Aku ingin menikah denganmu!"“Mohon maaf, Pak, tapi keinginan Anda tidak bisa saya lakukan,” ujar Dokter Kristi yang membuat Bara murka.“Kenapa tidak bisa? Bukankah teknologi semakin maju!” “Itu karena akan membahayakan janin dan ibunya, Pak. Terlebih dengan kondisi Nona Indah yang kurang baik.” Dokter Kristi mencoba memberi pengertian agar Bara tidak memaksakan kehendak.“Aku tidak peduli! Lakukan atau karirmu hancur,” cetus Bara membuat Dokter Kristi ketakutan.Bagaimanapun bagi Bara akan mudah menghancurkan karirnya. “Pak, tolong pertimbangkan kembali,” ujarnya mulai goyah. “Tidak, keputusanku sudah bulat!”Mendengar perdebatan suaminya dengan Dokter Kristi membuat Indah kecewa. Perempuan yang sejak tadi hanya diam itu bangkit membuat Bara dan Dokter Kristi langsung menoleh ke arahnya. “Mau ke mana kamu?” tanya Bara.“Sudah cukup, Mas. Kalau memang kamu tidak mempercayai aku hamil anakmu tidak apa-apa. Anggap saja aku memang melakukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mas.” Terang saja ucapan Indah memancing
Berita tentang Mawar dan Zulfi yang dibawa oleh polisi sudah menyebar di kalangan karyawan dan kolega bisnis Bara, termasuk kedua orang tuanya. Karena itulah kini Bara dimintai Roki untuk datang ke rumahnya.“Apa yang sebenarnya terjadi? Coba jelaskan,” pinta Riko dan Diana.Tidak langsung menjawab, Bara lantas mengembuskan napas dengan kasar terlebih dahulu. “Sebenarnya ingatanku sudah kembali,” ujar Bara membuat kedua orang tuanya kaget bukan main.“Jadi kamu sudah mengingat semuanya, Bara?”“Iya, Mam.” “Lalu kenapa tidak menceritakannya kepada kami?” Roki menuntut penjelasan lebih.“Karena aku ingin mengungkap lebih dulu pelaku dibalik kecelakaan yang kualami.”“Artinya kamu kembali bersama Mawar itu juga bagian dari rencana?” “Iya, Pap.” Bara mengangguk membenarkan membuat Roki mengusap wajahnya kasar. “Kamu keterlaluan, Bara!”Bentakan dari Roki membuat Bara terkejut. Ia pikir pria paruh baya itu akan senang karena ingatannya sudah kembali.“Keterlaluan bagaimana?” “Kamu sud
Bara pulang dalam keadaan mabuk parah, membuat Indah yang sedang terlelap tersentak ketika tiba-tiba Bara menjatuhkan diri di sampingnya. “Mas, Bara,” ucap Indah lantas bangkit.Bau menyengat yang menguar dari tubuh Bara membuat Indah mual. Meski begitu, Indah tetap membantu Bara melepaskan sepatu juga jas yang masih melekat di tubuh tegap suaminya. “Kenapa senang sekali minum minuman terlarang?” gumam Indah.*** Mata setajam elang itu mengerjap beberapa kali hingga akhirnya dibuka dengan sempurna. Bara mengedarkan pandangannya dan mendapati jika dirinya sudah berada di kamar. Ia bangkit sambil memegang kepalanya yang terasa pening. “Mas, Bara,” ucap Indah yang baru saja masuk kamar.Bara lantas menoleh sebentar lalu membuang muka ketika ingatannya kembali pada saat kemarin ia mendapati Indah di mushola bersama Dirga. “Kau, dari mana kemarin?” tanyanya.Pria itu sudah tidak tahan lagi dengan praduganya selama ini. Pria itu menatap Indah nyalang. Membuat Indah menelan ludahnya kasar
Bara mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, menyalip kendaraan lain yang sekiranya menghalangi jalan bagi dirinya. Pria itu bahkan mengabaikan protes yang dilakukan oleh pengguna jalan lain. Tidak peduli klaksonan atau pun umpatan yang terdengar. Dalam pikirannya ia hanya ingin melampiaskan kekesalannya karena Indah dengan tega melakukan hal tercela di kantor dengan pria lain. Sungguh, pria itu tidak menyangka jika Indah sampai hati melakukan hal tersebut. Padahal ia pernah berpikir jika perempuan yang menjadi penyelamat hidupnya merupakan perempuan baik-baik. “Haha … hahaha ….” Pria itu tertawa seperti kesetanan. Ia merasa bodoh karena berhasil dibodohi oleh wajah polos Indah. Ternyata di balik wajah lugu Indah tersimpan sebuah kenyataan yang membuat Bara tidak habis pikir. Bagaimana bisa? Hanya itu yang ada dalam benak Bara sekarang. Pertanyaan mengenai Indah yang bisa-bisanya malah melakukan hal seperti itu terus berputar di pikiran Bara. Sampai pria itu tidak sadar ji
Bara yang berjalan tergesa tentu menjadi pusat perhatian semua orang. Meski begitu tidak ada yang berani bertanya atau sekedar menyapa. Semuanya memilih menyingkir–memberikan jalan untuk pria tersebut. Sampai akhirnya Bara tiba di ruangannya. Dengan keras ia membuka pintu kemudian menutupnya kembali. Sehingga Mawar yang berniat masuk untuk menyusul pun mengurungkan niat kala ia akan masuk, tetapi pintu dengan keras tertutup. Wanita itu hanya mampu berdiri mematung sambil memegang dadanya dengan kedua tangan. Sementara matanya melebar dengan napas yang terengah akibat berlari menyusul Bara. Dengan kasar ia mendengus kemudian berbalik–berniat ke meja kerjanya. Namun, Mawar malah dikagetkan dengan kehadiran Zulfi yang sudah ada di belakangnya entah sejak kapan. “Sepertinya ada hal penting yang sedang dilakukan Pak Bara,” ujar Zulfi yang dibalas delikan oleh Mawar. “Hemm, aku tau! Tapi entah apa itu. Bisakah kamu menyeledikinya?” Permintaan itu ditanggapi Zulfi dengan mengangkat satu
Tiba di rumah Indah lantas turun dari mobil setelah membayar ongkosnya. Perempuan itu berjalan dengan langkah gontai menuju gerbang yang menjulang tinggi. Tidak perlu banyak bicara, penjaga rumah pun sudah mengetahui jika Indah adalah nyonya di rumah tersebut. Sehingga dengan sedikit keheranan karena tidak biasanya Indah pulang sangat cepat pun membukakan gerbang. “Siang, Nyonya,” sapa Pak satpam yang berjaga. Dengan seulas senyum yang sangat tipis Indah membalas sapaan satpam tersebut. Bukan karena ia tidak ramah, tetapi ia yang lelah membuat Indah ingin segera tiba di kamar. Setelahnya Indah masuk rumah kemudian menaiki anak tangga untuk tiba di kamar.Begitu tiba, Indah membuka kerudung yang sejak tadi menutupi kepalanya. Lantas setelahnya ia merebahkan diri di atas ranjang. Meringkuk sambil menutup tubuhnya dengan selimut. Sementara di tempat lain, Bara sedang melakukan pertemuan dengan lawan bisnisnya di salah satu restoran. Mereka melakukannya di sana sekalian untuk makan sia