Ucapan Bara membuat Indah terdiam dan heran. Ia merasa tidak percaya jika pria yang ada di hadapannya bisa mengatakan hal itu tanpa beban. Apa ia pikir pernikahan itu hanya main-main?
"Kenapa diam aja? Kamu mau enggak?" Bara tampaknya tidak sabar ingin tahu jawaban lndah. Indah mengerjap beberapa kali saat Bara menatapnya penuh harap. Ia merasa bingung harus menjawab apa. "Saya tidak ...."Belum selesai Indah menyelesaikan kalimatnya, Bara sudah lebih dulu menyela dengan menarik tangan Indah. Langkahnya sangat lebar dan cepat. Sehingga Indah hampir terseret andai tidak bisa menyeimbangkan."Ma! Pa!" Bara memanggil kedua orang tuanya begitu masuk ke dalam rumah.Memang jarak antara gerbang dan rumah cukup jauh. Hal itu dikarenakan halaman yang begitu luas. Dona dan Roki yang berada di kamar pun segera keluar ketika mendengar Bara yang memanggil mereka."Ada apa, Bar?" tanya Roki dengan napas yang terengah-engah–khawatir sang putra kembali terkena musibah."Aku mau menikah dengan Indah.""Hah?"Mata kedua orang tua Bara langsung melebar begitu mendengar ucapan anaknya yang tiba-tiba. Mereka tercengang. Roki bahkan langsung memegang dadanya. Sementara Dona, wanita itu menatap anaknya dengan tatapan tidak percaya. "Maksud kamu apa, Bara?" "Aku mau menikah dengan Indah, Mom." Bara menjawab tanpa beban, sedangkan Indah hanya bisa menunduk dalam.Tangan Indah memilin kerudung yang sedikit menjuntai. Dalam hati, ia menyesal karena sudah mengatakan tentang pernikahan kepada Bara. Indah tidak mengira jika penjelasannya malah ditangkap salah paham oleh Bara.Niat hati ingin membuat Tara tahu batasan agar tidak seenaknya memegang tangannya. Namun, berujung petaka. Indah masih tidak habis pikir dengan jalan pikiran Bara."Kenapa tiba-tiba?" tanya Dona. "Biar bebas pegang dan peluk Indah." Indah yang mendengar itu semakin menunduk dalam. Dia mencoba menyembunyikan semburat merah padam yang menghiasi wajahnya. Bara tanpa malu mengatakan hal itu kepada kedua orang tuanya. Sungguh, ia merasa malu dengan setiap ucapan Bara yang tanpa beban. Sementara Dona dan Roki hanya bisa diam, mereka merasa bingung harus mengatakan apa untuk membalas jawaban Bara."Kenapa kalian diam aja?""Emm ... begini, Bar. Menikah itu bukan perkara yang mudah, kamu enggak bisa main-main dengan pernikahan. Bukan soal pegangan tangan atau sekedar pelukan, tapi lebih dari itu." Dona berkata dengan hati-hati."Lebih dari itu? Emang apa lagi yang biasa orang lakukan jika menikah? Sepertinya, aku harus melihatnya di ponsel.""Uhuk!"Tiba-tiba Indah tersendat ludahnya sendiri kala mendengar ucapan Bara. Melihat itu, Bara segera pergi ke dapur. Tidak lama ia kembali dengan air segelas air putih. "Diminum dulu," ujar Bara sambil memberikan air tersebut kepada Indah.Ragu-ragu Indah menerimanya. "Terima kasih, Pak.""Sama-sama."Hening, tidak ada yang bicara setelahnya.Semua tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga akhirnya suara berat dari Bara kembali memecah keheningan."Jadi, gimana? Kapan aku dan Indah bisa menikah?" tanya Bara tidak sabar. "Bara, ayo kita duduk dulu." Roki yang sejak tadi diam pun meminta semua orang untuk duduk di sofa ruang tamu setelah bisa menguasai diri.Tidak membantah, Bara mengajak Indah untuk duduk di sofa ruang tamu."Bara, yang Mama kamu katakan itu benar. Menikah bukan soal berpegangan tangan atau berpelukan, tapi menyatukan dua manusia yang berbeda karakter. Dan kamu, tidak bisa dengan mudahnya mengajak Indah menikah.""Kenapa?" tanya Bara dengan serius. "Karena Indah memiliki orang tua. Kamu harus meminta restu kepada orang tua Indah, dan kamu harus siap dengan segala kemungkinannya." "Kemungkinan?" Bara mulai gusar. Bukankah keinginannya harus terpenuhi?"Ya, kamu pastikan jika Indah masih lajang atau tidak. Dan sebagainya," ujar Roki mencoba membuka jalan pikiran anaknya.Bara terdiam mencerna setiap ucapan Roki tadi. Lama dengan posisi menunduk, akhirnya ia menoleh ke arah Indah. Ia menatap perempuan tersebut dengan serius."Apa kamu mau menikah denganku? Ah ... bukan, tapi apa kamu tidak memiliki suami?" tanya Bara menuntut jawaban pasti.Indah menelan ludahnya kasar, ia merasa takut dengan tatapan Bara yang tajam. Tiba-tiba tenggorokannya tercekat. Sehingga sangat sulit baginya untuk mengatakan apa yang ada dalam pikirannya."Ayo jawab, Indah. Aku enggak tahu perasaan apa ini, tapi aku merasa kamu bisa melindungiku dari orang-orang jahat." Sontak ucapan Bara membuat Dona dan Roki tersentak. "Maksud kamu, Bara? Apa kamu sudah mengingat yang berbuat jahat sama kamu siapa?"Ada harapan dari pertanyaan Dona dan Roki. Andai Bara mengingatnya, itu berarti teka-teki dibalik kecelakaan akan terungkap. "Bara, ayo jawab pertanyaan kami!"Dona dan Roki hanya bisa mendesah lirih ketika Bara mengatakan kalau dirinya tidak ingat dengan siapa yang sudah melakukan kejahatan tersebut. Ya, meski mereka kecewa, tetapi mereka paham kalau Bara tidak mungkin mengingat dengan mudah."Jadi bagaimana? Kamu belum menjawab pertanyaanku." Bara menatap Indah dengan penuh harap.Mendapatkan tatapan seperti itu, Indah ikut mendesah. Pada akhirnya ia pun menjawab dengan jujur meski rasanya berat. "Saya belum menikah, Pak." Terang saja Bara senang mendengar itu. Ia bahkan dengan refleks memeluk Indah. "Aku senang, itu artinya kita bisa menikah." Tubuh Indah menegang. Perlakuan Bara yang tiba-tiba membuat Indah tidak nyaman. Menyadari itu, Dona pun meminta Bara untuk melepaskan pelukannya."Bara, bukankah udah Mama katakan untuk tidak berbuat seenaknya kepada Indah?" Teguran Dona membuat Bara melepaskan pelukannya dengan berat. Ada rasa nyaman saat memeluk Indah. "Aku selalu tidak bisa mengontrol diri saat bersamamu, Penyelamat hidup." "
Tiba di kantor, semua orang yang berada di loby langsung tertuju pada Bara dan Indah. Jelas hal itu karena gosip tentang Indah yang berkirim pesan dengan Bara sudah menyebar luas. Ditambah dengan sekarang, mereka berangkat ke kantor bersama. Jelas perbincangan itu semakin senter terdengar."Kata Papa jangan dengarkan mereka yang sedang membicarakan kita," bisik Bara ketika mereka sedang berdiri di depan lift. Indah hanya mampu menunduk. Tidak mengindahkan ucapan Bara barusan. "Kenapa diam?" Dengan pelan Indah menggeleng. Bara mendesah pelan, lalu tiba-tiba ia menarik dagu Indah agar kepalanya tegak. "Jangan menunduk terus, nanti leher kamu sakit." Jelas tindakan Bara di depan umum membuat kasak-kusuk semakin menjadi. Mereka tidak mengira jika Bara bisa melakukannya secara terang-terangan. Tidak jauh berbeda dengan perasaan Indah sekarang. "P-pak, mohon maaf. Jangan seperti ini," pinta Indah sambil menepis tangan Bara dari dagunya."Kenapa?" Belum sempat menjawab, pintu lift
Indah mengerjap beberapa kali--bahkan sendok yang sedang dipegangnya hampir jatuh saat melihat Bara sudah berdiri di hadapannya. "Kenapa diam?" tanya Bara karena Indah tidak juga berdiri, padahal ia sudah mengulurkan tangan. Tersadar saat kakinya ditendang Rosi dari bawah meja, Indah tersenyum canggung. "Maksud Bapak, apa?" "Ck! Kamu udah janji enggak akan ninggalin aku. Tapi malah makan di sini sama teman kamu." "Ini 'kan jam makan siang, Pak!" "Harusnya kamu makan sama aku!" Tanpa ada yang mengira, Bara malah menarik satu kursi lalu duduk di samping Indah. "Aku makan di sini." Zulfi yang sejak tadi berdiri di belakang Bara mengangguk. "Kalau begitu saya pesankan dulu, Tuan." "Hemm." Karena tidak mau menganggu, Rosi yang sejak tadi diam memilih berdiri. Ia mengambil kotak makan yang masih tersisa banyak. "Aku duluan, Indah." Indah menatap Rosi penuh harap agar Rosi mau tetap tinggal. Namun, tatapan itu Rosi abaikan. Bagaimanapun Rosi masih membutuhakan perkerjaan, ia tid
Indah mengabaikan pertanyaan Bara. Perempuan itu terus melangkah meninggalkan kantin.Tidak tinggal diam, Bara mengejar Indah. "Indah, jangan tinggalin aku!" Terus melangkah, Indah masuk ke dalam lift yang kebetulan tengah terbuka. Segera Bara mengulurkan tangannya ketika pintu lift akan tertutup dengan sempurna. "Indah," lirih Bara dengan napas yang terengah-engah karena mengejar Indah. Bara menatap Indah yang memalingkan wajah. Pria itu mendesah lalu memilih diam. Sepertinya Bara mengerti jika Indah tidak nyaman dengan sikapnya yang berlebihan. Tiba di lantai 12--tempat ruangan Bara berada, Indah melangkah menuju mejanya. Baru saja Indah akan duduk, tiba-tiba lengannya ditarik Bara. "Ikut aku!" Indah yang tidak siap sedikit terhuyung, sehingga tidak bisa melawan ketika Bara terus menarik menuju ruangannya. "Pak! Sakit," lirih Indah ketika pintu ruangan Bara sudah ditutup. Sontak Bara melepaskan cekalannya. Bara melihat pergelangan Indah yang merah akibat cekalannya yang terl
"Indah, ada apa?" Mega yang melihat anaknya merenung pun menghampiri. Indah tersenyum tipis. "Enggak ada apa-apa, Bun."Mega mengusap pundak Indah lalu berkata, "Bunda tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Apa ini ada hubungannya dengan kamu yang tadi berangkat ke rumah Pak Bara?" Terdiam, Indah bimbang antara memberitahu atau tidak tentang permintaan Dona dan Roki. "Indah," tegur Mega karena Indah hanya diam saja. "Kayaknya emang susah kalau nyembuyiin sesuatu sama, Bunda.""Ya, bagaimanapun ibu dan anak memiliki ikatan yang kuat." Indah mengangguk mengerti. "Em ... tapi Indah belum bisa cerita, Bunda enggak apa-apa 'kan?" "Iya, enggak apa-apa. Kalau belum bisa jangan dipaksa, tapi ingat ... Bunda akan selalu ada buat kamu." "Iya, Bun. Makasih." Karena malam yang semakin larut, Indah putuskan untuk masuk ke kamarnya. Perempuan itu merebahkan tubuhnya setelah melepaskan kerudung instan yang tadi dikenakan. "Apa aku harus terima? Tapi bagaimana dengan Mas Dirga?" ***Hari
Indah mengerjap ketika mendengar jika Bara akan menjemputnya setiap hari. "Kenapa diam saja? Ayo kita berangkat," tegur Bara. "Sa-saya pamit dulu sama Bunda." Indah berdiri lalu berniat masuk ke dalam rumah untuk berpamitan. Namun, Bara dengan cepat menahannya. "Ada apa, Pak?" "Aku juga harus pamitan sama mertua." Ucapan Bara jelas membuat Indah terkejut. "Maksud, Bapak?" "Kita akan segera menikah, yang aku tahu orang tua kamu jadi orang tuaku juga." Mata Indah memincing. "Aku liat dari ponsel," ujar Bara menjelaskan. Indah mendesah lirih. Memang dari mana lagi Bara akan mengetahui hal seperti itu jika bukan dari ponsel? "Tapi saya belum memutuskan, Pak." "Tinggal dua hari aku akan dengar kamu terima aku." Tidak bisa berkata-kata, Indah memilih melongos masuk ke rumah. Segera Bara mengikuti dari belakang. "Bun, Indah pergi dulu ya." Indah berpamitan setelah memanggil Mega yang ada di dapur.Mega sontak mengerutkan dahi ketika melihat pria tinggi nan gagah yang berada di b
"Indah, bagaimana? Apa kamu sudah membuat keputusan?" Indah baru saja duduk di mobil bagian belakang, tetapi sudah ditodong pertanyaan oleh Bara yang baru saja masuk. "Indah, kenapa enggak jawab? Ini udah tiga hari dari hari yang kamu janjikan." Bara menegur ketika Indah hanya diam saja. Tidak langsung menjawab, Indah menatap Bara sejenak. Helaan napas panjang terdengar sebelum akhirnya Indah menjawab, "Bismillahirrahmanirrahim, saya terima Bapak."Mata Bara melebar dengan sempurna. Untuk beberapa saat Bara diam--mencerna ucapan Indah. Ketika sudah mencerna, tanpa aba-aba Bara menarik Indah ke dalam pelukannya.Jelas Indah yang sedang menunduk--terperanjat dengan tindakan Bara. "P-pak, mohon lepaskan saya." "Sebentar aja Indah, aku terlalu senang. Akhirnya kamu mau menikah sama aku." Bara masih memeluk Indah. Rasanya nyaman, membuat Bara betah dan tidak ingin melepaskan. Sangat berbeda dengan Indah yang merasa risih dan ingin segera menjauh. Hanya saja, Bara terlalu erat memelukn
"Indah, apa Ayah kamu tidak bisa pulang dulu?" Untuk yang kesekian kalinya Indah mendengar pertanyaan seperti itu dari Bara. Rasanya cukup kesal, tetapi Indah berusaha untuk bersikap biasa saja. "Tidak bisa, Pak." "Aku udah enggak sabar. Kenapa waktu rasanya lama banget?" Bara terus saja mengeluh karena menunggu ayah Indah pulang. Pria itu sudah tidak sabar untuk melamar Indah lalu meminangnya. "Tinggal empat hari lagi, Pak." "Empat hari itu lama, Indah.""Lama kalau Bapaknya enggak sabar. Sabarnya harus ditambah, Pak." "Emang bisa?" Bara antusias. "Bisa kalau lebih sabar."Terdengar dengusan pelan dari hidung mancung Bara. "Kalau itu aku enggak bisa!" Indah menggeleng pelan dan memilih tidak menanggapi. Perempuan itu melihat ke arah jendela. Mereka sedang dalam perjalanan pulang. Bara tidak kehabisan akal--pria itu menggeser tubuhnya agar mepet kepada Indah. Jelas hal itu membuat Indah kurang nyaman. "Pak, jangan mepet-mepet! Masih ada ruang sebelah sana.""Aku maunya deke