Azlan terus mengikuti Dimas dengan pandangan matanya. Bodyguard itu menepi jauh untuk menerima sebuah panggilan dan membiarkan Amira masih duduk di tempat bersamnya. Bodyguard apaan, jika dirinya bukan lelaki benar bagaimana? Bisa saja sekarang Amira dia bawa diam-diam. Azlan terheran dengan cara kerja pengawal kiriman orang tua dari gadis di depannya yang terlihat santai dan sembrono. Namun, anehnya, nama bodyguard itu adalah penerima pembayaran dari pesanan perhiasan. Bermakna dia bukan lelaki kaleng-kaleng. Sedang yang dia tahu, seperti juga yang Amira bilang saat itu, pemilik perusahaan berlian itu adalah Erick, lelaki yang dia pun kenal, juga ipar dari Zayn sendiri. Siapa Dimas? Bodyguard atau penjual perhiasan? Apa hubungan dengan Erick, hingga CEO DaOsa begitu percaya dengan si bodyguard itu? Hemmm… pantas, orang DaOsa Galeri yang janji membawa katalog tidak muncul batang hidungnya. Hanya ada barang yang dititipkan. Rupanya, dia menyamar sebagai bodyguard jadi-jadian.
Amira berjalan cepat dan ringan dengan Dimas setia di belakang. Menuju rumah makan bintang lima di luar area hotel. Menghampiri sebuah meja di sudut teras resto yang hembusan anginnya semilir membelai di kerudung Amira. Seorang lelaki telah duduk tegak mengawasi kedatangan mereka berdua dengan tatapan lekat tanpa putus. Berwajah tampan dan berkulit cerah dengan penampilan lebih mencolok di antara pengunjung lelaki lainnya. Tampak berwibawa sebagai pria matang. Dialah Azlan Anthony, kawan baik Zayn sebab hubungan yang bermula dari orang tua. Selain seorang pengusaha juga seorang cendekiawan yang acapkali diundang dalam pengisian materi penting, baik dalam lingkup Indonesia atau undangan dari luar negara. “Maafkan Amira, sedikit lambat, Bang Zayn!” Amira menyapa dan kemudian duduk di depannya. “Tak masalah, Amira. Apa kabarmu? Apa dia memang memberikan manfaat untukmu?” tanya Azlan sambil melirik Dimas, bermaksud menyindir. “Maaf, Bang Azlan. Bermanfaat atau tidak, dia adalah
Hotel Holiday Inn Kuala Lumpur Adzan mengalun bersahutan di seluruh penjuru kota ketika hampir pukul enam pagi itu. Dimas masih mandi dan Amira duduk tegak menonton televisi di sofa. Terkejutnya bukan buatan! Sedang terpampang besar dilayar televisi yang lebar, Zayn bersama orang-orang dan ternyata keluarga besarnya. Sebagai warga darah biru, lelaki itu diwawancara seputar pernikahannya yang belum memiliki keturunan. Zayn juga ditanya, apakah berniat menambahkan lagi seorang istri? Lelaki itu menyahut tegas, iya! Dengan terus terang mengatakan jika rahim istrinya dinyatakan bermasalah oleh tim dokter. Penyebab dirinya ingin menambah seorang istri lagi. Melihat ekspresi istri yang bungkam, Amira iba. Terlihat tegar, tetapi hati wanita pasti menangis. Istri mana yang tidak merana jika diduakan. Kecuali wanita-wanita yang mungkin dianggap memiliki prinsip dan akidah istimewa dalam pernikahan beragama. Ah, Amira merasa tidak mampu dalam level seperti itu! Tidak bisa! Tidak bisa
Dimas memicing mata menatap Amira tajam. Seperti mencari kesungguhan di mata bulat yang bening itu. Mungkin hanya memberi kejutan pagi ini, tetapi sepertinya tidak main-main ucapannya. Gadis itu ingin mengikutinya ke penginapan! “Kamu benar-benar ingin ikuti denganku?” tanya Dimas memastikan. Amira mengangguk yakin. "Jika calon suami kamu tahu, dia akan membuangmu. Kamu tidak takut?" tanya Dimas asal. Hanya ingin tahu respon Amira. “Dia jadi abu-abu di mataku. Gara-gara informasimu yang meresahkan. Aku betul-betul ingin ikut kamu ke mana saja sementara. Hanya kamu yang benar-benar sedang aku percaya. Aku tuh dalam bahaya kan, kena kamu jaga terus menerus, kamu tak boleh lengah. Jangan takut, nanti aku bayar!” ucap Amira menantang dengan sangat serius. Dimas terkejut. Juga kesal tetapi sekaligus ingin tertawa. Ada-ada saja isi kepala gadis itu. “Aku bukan lelaki bayaran, Amira. Aku ikhlas peduli padamu. Jika kamu menilai dengan uang, lebih baik jangan lagi mengikutiku!” Dim
Memang benar dugaan Amira jika lelaki itu tengah lapar. Dimas habis empat set roti bersama sekotak susu segar instan dari almari es. Sedang dirinya dua saja sudah tidak sanggup dan tanpa ditambah susu juga. Sama-sama lapar, tetapi daya telan dan kapasitas perut jauh beda. “Itu kamar Mas Dimas jika ingin istirahat.” Amira sudah berdiri dan ingin ke kamarnya. Setelah aktivitas di dapur barusan, rasanya agak gerah dan Ingin bertukar baju. Dimas yang sedang mengunyah gigitan terakhir pada rotinya mengangguk. Sedang sebelah tangan bermain game ringan di ponsel. Sepertinya lelaki itu sedang merasa santai dan nyaman. Seperti bukan bodyguard saja gaya santainya. Eh… memang bukan laah… dia bukanlah bodyguard. Amira susah payah menyimpan tawa akan pikiran konyolnya sendiri. Gadis itu segera memundurkan kursinya, pergi dari meja makan dan meluncur ke dalam kamarnya. Ternyata berseberangan dengan kamar yang tadi dia tunjuk untuk Dimas. Dipisah oleh ruang televisi dan sofa keluarga.
Permintaan agar dirinya tidak pergi dan menjadi bodyguard meskipun palsu, sepertinya tidak mampu diabaikan oleh Dimas. Cengkeraman erat oleh telapak tangan yang halus dan lembut di lengannya semakin meruntuhkan tegasnya sebagai seorang laki-laki. “Jika mereka benar-benar jahat seperti yang kamu bilang, aku sungguh takut.” Suara Amira gemetar. Bukan sepenuhnya sebab rasa takut. Tetapi perasaannya berdebar telah berani menahan Dimas untuk tidak pergi dari rumahnya. Sebab diam-diam pun, antara percaya dan tidak jika Azlan memang berniat tidak baik padanya. “Ada sekuriti di rumah kamu, Amira.” Dimas memandang pos sekuriti dekat pagar yang terlihat aktif dan ada orangnya. Bahkan sekuriti di sana baru saja menyembul dan memperhatikan mereka. “Memang selalu ada. Tapi aku takut, di dalam aku sendirian. Pengamanan cuma di sana, kalo di dalam, aku bisa apa?” Amira mendesak dan semakin menggoda dengan kedipan di mata beningnya. Sepasang mata bola di wajah cantik Melayu itu adalah mag