Bu Dewi mengetuk pintu sebagai pertanda. Melihat Andini yang terlihat murung dan Lia yang sangat emosi, Bu Dewi langsung paham.
"Lia! Kau keluar 'lah!" titahnya. Lia pun menuruti perintah Bu Dewi."Nyonya! Ini teh kesukaan, Nyonya! Minumlah siapa tau membuat perasaan Nyonya sedikit membaik. Tak baik bekerja dalam keadaan pikiran kalut," ucap Bu Dewi. Ia menuangkan teh di dalam teko kaca ke gelas kaca kecil yang senada.Andini mengangguk dan menerima teh yang disodorkan Bu Dewi.Namun, teh itu tak juga membuat perasaan Andini membaik. Ia tetap terlihat murung."Apa Nyonya masih memikirkan kejadian semalam?" tanya Bu Dewi dengan hati-hati.Melihat wajah murung Andini, Bu Dewi langsung paham."Tenanglah Nyonya! Mau secantik dan semenarik apapun wanita itu di mata Tuan, dan mau berapa banyak pun simpanan Tuan. Mereka tetap tidak bisa menjadi menantu sah di keluarga ini." Bu Dewi mencoba menenangkan majikannya itu."Bukankah kata Nyonya, kalau Tuan memiliki simpanan itu adalah hal yang lumrah? Apalagi Tuan adalah CEO perusahaan besar, Nyonya Besar juga pasti akan mempertimbangkan mana yang pantas menjadi menantu sah di keluarga ini," tambahnya."Yang dikatakan Bu Dewi benar. Bagaimana pun cantiknya wanita itu dan secinta apapun Mas Devan kepadanya, tetap tak bisa menggantikan posisiku sebagai menantu sah di rumah ini. Kalaupun nanti Mas Devan menikahinya hanya bisa secara siri, dan tidak akan mungkin Mas Devan memperlihatkan di depan umum," batinnya."Mungkin benar, ini hanya perasaan terkejut dan sedih sebab Mas Devan tak pernah membawa wanita lain sebelumnya. Perasaan sedihku tak boleh berlebihan," Andini bergelut dengan perasaannya.Aku ya aku, Mas Devan ya Mas Devan dan wanita itu ya wanita itu. Pernikahan kami hanya dilandasi oleh bisnis. Asalkan kami tak bertemu satu sama lain itu tidak masalah," ucapnya dalam hati."Iya, Bu Dewi benar!" ucapnya.******Sore hari saat Andini tengah bersantai sambil membaca buku di taman belakang, ia mendengar para pelayan yang tengah bergosip."Semakin hari, Tuan semakin sering mengunjungi wanita itu," ucap salah satu pelayan."Iya! Bahkan, Tuan sering meminta pelayan bagian dapur untuk memasakkan masakan istimewa untuk wanita itu," balas yang lainnya."Apa tidak berlebihan memperlakukan seorang wanita yang katanya tak sengaja ditabrak seperti itu? Atau jangan-jangan wanita itu benar simpanan Tuan?""Ya ampun! Kalau benar itu terjadi, apakah Tuan tak memikirkan perasaan Nyonya?""Laki-laki memang begitu, ya? Kalau dikelilingi harta yang banyak, mereka tidak akan cukup dengan satu wanita. Padahal Nyonya itu cantik, baik, kaya, berpendidikan, pintar pula. Bahkan, kepada kita yang hanya pelayan biasa ini, yang dianggap sebagian orang-orang berduit rakyat jelata, beliau tak pernah memandang rendah bahkan dan tak pernah bersikap arogan.""Aahh.. Ternyata mereka membicarakan wanita itu? Tak usah diperdulikan Andini! Pura-pura tak tahu dan pura-pura tak dengar saja!" batinnya."Anggap saja aku tidak pernah mendengar gosip mereka tadi," gumamnya.Andini memang bukan sosok Nyonya rumah yang arogan. Karena itulah semua pelayan di rumah itu menyukainya. Kabar bahwa Tuan mereka membawa wanita lain ke rumah kedua, membuat mereka prihatin dengan Andini.Saat Andini pergi meninggalkan tempat itu, sudah hampir mendekati rumah utama, tiba-tiba ia mendengar suara wanita yang terdengar begitu asing di telinganya."Itu orangnya?" Andini memandang ke samping dengan ekor matanya."Sssttt..., jangan, Nona Silvi!"Suara yang terdengar begitu jelas membuat Andini memalingkan wajahnya."Ahh...., hai!" Seorang wanita berambut panjang sepinggang menyapa Andini.Mata wanita itu berbinar-binar ketika memandang Andini.Andini memandang dengan seksama wanita itu. Mengingat suaminya bertindak kasar padanya akibat wanita ini, membuat Andini sedikit kesal sehingga ia tak menjawab sapaan wanita itu."Ahh... a-anu!" Andini menyerngit ketika melihat gelagat wanita itu ingin mendekatinya."Jangan, Nona Silvi!" tegur seorang pelayan."Iya, lebih baik kita pergi saja!" balas yang satunya.Wanita itu ingin berdiri, ia dibantu oleh dua pelayan."Apa, Mas Devan meminta pelayan itu husus menemani wanita itu?" batinnya.Wanita yang bernama Silvi itu berjalan mendekati Andini, kini mereka sudah saling berhadapan. Andini memandang wanita itu."Ah, halo! Nama saya Silvi!" sapanya memperkenalkan diri."Iya, Silvi?" Andini membalas sapaan wanita itu. Mata wanita itu terlihat berbinar saat memandang Andini."Apa dia sengaja menyapaku?" batin Andini."Lalu, apa yang kamu inginkan?" batinnya lagi. "Aku tidak mungkin bertemu wanita ini lagi, kan?" Andini memijit pelipisnya.Andini memalingkan wajahnya pergi meninggalkan wanita itu. Tapi, baru saja beberapa langkah, wanita bernama Silvi itu mengejarnya sampai-sampai menarik baju Andini.Sreekk....Dress panjang Andini robek akibat tarikan wanita itu. Andini membelalakkan matanya terkejut, sama halnya dengan wanita itu."Haa..." Wanita itu terkejut sambil menutup mulutnya.Andini melihatnya setengah kesal."Nyonya...!" seru Lia pelayan pribadi Andini.Bu Dewi menyentak tangan wanita itu. "Dasar tidak tau malu! Tolong tunjukkan sedikit rasa sopan santun anda, Nona!""Ah... maaf, a-anu! Saya pikir karena sudah diperbolehkan tinggal di sini, saya harus menyapa. Tapi, saya tak tau harus memanggil apa?" Wajah polos wanita itu terlihat sedih. Air matanya seperti ingin keluar.Andini menyerngit heran mendengarnya. "Apa maksudnya itu?" batinnya.Lia geram melihat wanita yang menurutnya sok polos itu. "Apa maksudmu? Beliau ini adalah Nyonya di rumah ini. Jadi jaga kelakuanmu!" ucapnya berusaha melindungi majikannya. Andini yang berada di belakang Lia, hanya memperhatikan."Ahh.. Bu-bukan begitu maksud saya!" Dengan sedikit terbata wanita itu menjawab, "Saya tau beliau Nyonya di rumah ini.""Apa? Dia sudah tau aku adalah Nyonya di rumah ini. Seorang istri dari suami yang memberikan perhatian lebih kepadanya, tapi dia masih berani menyapa?" Andini hanya bisa mengatakan itu di dalam hatinya."Haaa..." Andini menghela nafas. "Kau sudah tau aku, lalu apa yang kau inginkan?" tanya Andini dengan ekspresi datar."Saya Silvi! Atas belas kasihan suami anda, kini saya tinggal di rumah kedua." Rumah kedua, wanita? Jadi benar, wanita ini orangnya?" batinnya."Oh, kau wanita yang dibawa oleh suamiku itu? Pelayan baru itu?" Dengan wajah yang dingin, Andini bertanya. Ia sengaja memancing seperti itu."Sa-saya....!" Tubuh Silvi gemetar melihat tatapan tajam Andini."Nyonya, tolong maafkan kelakuannya yang tidak sopan. Tetapi, Nona Silvi bukanlah pelayan," ucap salah seorang pelayan yang sejak tadi bersamanya.Andini terdiam sejenak."Baiklah..! Aku mengerti sekarang!""Syukurlah! Sebenarnya saya ingin memperkenalkan diri saya secara resmi, tapi belum menemukan waktu yang tepat," ucap Silvi."Memperkenalkan diri?""Iya! Kita 'kan akan sering bertemu. Jadi, saya harus memperkenalkan diri, dong?""Akan terus bertemu? Denganku? Untuk apa?" tanya Andini dalam hati."Jadi, saya harus memanggil Nyonya apa?" tanya Silvi polos atau hanya pura-pura polos?"Bahkan ia bertanya padaku dipanggil apa?" Lagi-lagi Andini hanya bisa bergumam di dalam hati."Panggil aku, Nyonya!" tegas Andini. Jujur hatinya sakit ketika melihat wanita itu."Apa....?" Wanita itu terkejut dengan jawaban dingin Andini."Oh.., tunggu!" Sekali lagi, Silvi ingin menarik tangan Andini. Lia yang geram sedari tadi langsung reflek melakukan sesuatu.Plaakkkk...Kali ini Lia yang menyentak tangan wanita itu. Silvi terkejut. "Kurang aj*r! Apakah kau tidak punya sopan santun? Beraninya ingin menarik tangan,Nyonya!Memangnya kau sedang sok akrab dengan siapa? Menjijikkan...!" umpatnya."Menyebut seseorang menjijikkan! Apa maksudnya itu?"Suara itu semakin membuat suasana menjadi tegang.Ada yang bisa menebak suara siapa itu?"*****Bersambung....."Silvi! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" "Apa itu, Tuan? Silvi jadi penasaran," ujarnya dengan nada yang dibuat manja. "Apa... Apa kamu bersedia untuk menjadi Nyonya utama di rumah ini?" Silvi terkejut. Pertanyaan Devan membuatnya tercengang. "Apa Tuan serius? Atau pertanyaan Tuan ini hanya ingin mengetes saya saja?" Silvi ragu sebab di awal pertanyaan, Devan seperti ragu saat mengatakannya. "Tidak! Saya serius. Apa kamu mau?" Silvi menunduk. Dia ragu ingin menjawab apa. "Semua wanita, siapa pun itu. Pasti tak akan menolak untuk menjadi pendamping Tuan Devan dan menjadi Nyonya utama. Saya pun begitu, tetapi... Apa Tuan yakin untuk menjadikan saya Nyonya utama?" lirih Silvi. Lain di mulut, lain di hati. Itulah yang saat ini Silvi katakan. Dia berusaha menarik ulur agar bisa memastikan kalau pertanyaan Devan benar-benar serius memintanya untuk menjadi Nyonya utama. Devan gemas. Dia takut kalau Silvi menolak, terpaksa dia harus mencari wanita lain lagi untuk
Devan diam tak berkutik. Dia tak bisa membela Silvi sama saat seperti mamanya memojokkan Silvi waktu itu. "Ingat, Devan! Kamu tau 'kan peraturan mutlak di rumah ini? Anak dari hasil hubungan gelap maupun anak dari istri kedua tidak akan bisa menjadi penerus. Hanya anak dari istri sah dan pertama saja yang bisa diangkat menjadi penerus keluarga." Nenek Grace menekankan. "Benar, Devan! Meski wanita itu sudah kamu nikahi secara sah sekalipun, anak yang ada di dalam kandungannya tidak bisa menjadi penerus. Apalagi wanita itu hanya kamu nikahi secara siri." Kakek Devan ikut menimpali. "Segeralah lakukan pemeriksaan dan fokus untuk memberikan keluarga ini seorang penerus. Kami berharap banyak padamu." Setelah mengatakan itu, Tuan Bill dan Nyonya Grace pergi begitu saja. Devan terduduk. Tenaganya seakan terkuras habis dengan kedatangan mendadak nenek dan kakeknya. Erick menghampiri Devan yang shock. "Tuan Muda tidak apa-apa?" "Tak apa. Aku hanya shock dengan kedatangan merek
Silvi yang terbawa emosi, menampar wajah Rania dengan keras. Hingga meninggalkan bekas merah di pipinya. "Kauuu!" desis Rania. Dia mengangkat tangan ingin membalas tamparan Silvi, namun dengan cepat Rania berhasil mengendalikan emosinya. "Sifat burukmu itu memang tidak bisa diperbaiki. Baru menjadi 'mainan baru' Tuan Devan saja, sudah berani bersikap kurang ajar! Ternyata bukan hanya sifatmu saja yang jelek, kau juga wanita murahan.""Dasar Kau memang wanita rendahan!" Rania pun berlalu meninggalkan Silvi. Tangan Silvi gemetaran setelah menampar pipi Rania. Dia begitu ketakutan. "Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan Tuan Radit kepadaku?" Saking takutnya, tanpa sadar dia menggigit kuku jarinya. Keesokan harinya Tuan Radit kembali mendatangi Silvi setelah mendapat laporan dari anaknya kalau wanita itu menamparnya. "Apa yang kau lakukan kepada anakku, Rania?" Wajahnya terlihat sangat marah. "Itu salah anakmu sendiri. Kenapa dia tak bisa menjaga mulutnya." Silvi berkata dengan ra
"Tuan Radit kembali menemui Nona Silvi, Nyonya!" ujar pengawal Andini. "Dia menemuinya lagi?""Iya!""Apa yang sedang mereka lakukan, ya? Semenjak kejadian itu mereka menjadi sering bertemu. Apa Tuan Radit sedang mengancamnya?" pikir Andini. "Baiklah! Terimakasih. Kau boleh pergi."Setelah pengawal itu pergi, Bu Dewi berkata, "Apa besok karena Nyonya ingin berbicara secara pribadi dengan Nona Rania?""Wanita itu memanggil Tuan Radit pasti ingin menyuruh Nona Rania diam. Dasar wanita licik!" sambung Lia geram. "Yang aku inginkan bukan itu." Andini tersenyum. "Pancingan ku berhasil. Kalau sampai wanita itu takut seperti ini, pasti ada yang dia sembunyikan. Tapi... Apa ya?" pikir Andini. "Kalau bukan untuk mengorek informasi dari Nona Rania. Apa yang membuat Nyonya mewawancarai Nona Rania secara khusus?" Lia heran karena tidak biasanya Nyonya Mudanya ini berbuat begitu. "Seperti ini saja sudah cukup bagiku. Menekannya seperti ini." Bu Dewi dan Lia saling pandang mereka tidak menger
"Saat itu aku sangat ketakutan. Berbeda denganmu, kau tidak akan kehilangan apa-apa.""Heh! Kau memang lelaki egois.""Aku..." Pria itu tak dapat membalas. "Aku tidak ingin membahas masa lalu. Kalau begitu sekarang kau mengerti dengan posisiku 'kan, Dilan? Karena saat itu kau juga merasakannya." Silvi memandang sinis kepada mantan majikannya ini, anak Tuan Radit. "Kau bisa membuatku kehilangan segalanya sekarang. Jadi, berpura-puralah tidak mengenaliku dan urus adikmu yang tidak tau sopan santun itu," ujarnya tegas. Silvi berlalu meninggalkan Dilan seorang diri. "Sekarang aku bukan wanita yang lemah. Aku bahkan bisa berkata tegas kepada seseorang yang dulunya majikanku," ujarnya dalam hati sembari menyeringai. Silvi berjalan angkuh, mengangkat wajahnya. Selayaknya seorang Nyonya.Dilan memandang sendu dengan kepergian Silvi. Tak ada lagi sikap polos dan lembut dari diri wanita itu. ****Keesokan harinya Silvi mengajak Rafael bertemu. "Ada apa Nona mengajak saya bertemu?" Rafael
Devan mengepalkan tangannya, kesal. "Kau terlalu menganggap harga dirimu terlalu tinggi hingga enggan untuk mengakui kesalahan.""Seorang pemimpin perusahaan sepertiku harus mengganggap dirinya tinggi, tetapi bukan berarti aku bisa seenaknya menuduh orang tanpa bukti. Hanya menyimpulkan berdasarkan kejanggalan dan prasangka." Andini menjawab dengan tenang dan datar. Andini berusaha tidak menghiraukan Devan, namun pria itu terus saja mengganggunya. "Kalau aku sudah bilang menyelidiki tapi tidak mendatangimu untuk meminta maaf, itu berarti aku tidak menemukan kalau anggota keluargaku pelakunya." Andini meninggalkan Devan yang masih kesal. Dia memutuskan untuk bersantai sejenak di taman bagian samping yang tak biasa dilalui oleh orang. Berdebat dengan Devan membuat moodnya menjadi semakin jelek. "Hah! Aku tak tau apa yang ada di pikirannya sehingga senang sekali mengaitkan apapun yang terjadi kepada wanita itu denganku." Andini bergumam dengan menghela nafas berat. Devan yang kesal