Share

Bab 4-Perdebatan

Andini mendatangi tempat kerja Devan ditemani pelayan yang bekerja untuk Devan.

Tokk.. Tokkk.. Tok..

"Permisi, Tuan! Nyonya Muda sedang bersama saya!" seru pelayan itu.

"Kau memanggilku? Ada apa?"

"Ah, Nyonya Muda kita sudah sampai rupanya! Kalian semua keluarlah!"

"Pelayan yang kuhukum kurungan itu, aku dengar kau sendiri yang menjemputnya di ruang bawah tanah. Bahkan kau memperlakukan dia dengan baik. Apa harus kau melakukan itu?" tanya Devan dengan sinis. Pandangannya seolah tidak suka dengan sikap Andini itu.

"Kau yang menghukumnya, lalu kenapa aku yang harus mengurusnya? Pertanyaan itu 'kan yang ingin kau tanyakan?" Dengan wajah yang datar Andini mengatakan itu, seolah ia menantang Devan.

"Sudah kuduga, kau memang pintar membaca situasi. Lalu, kenapa kau melakukan itu? Kau ingin semua orang memandang bahwa aku adalah orang yang kejam? Menghukum orang yang tidak bersalah! Itu 'kah yang ingin kau tampilkan?" teriak Devan.

Bukannya takut atau terkejut dengan kemarahan Devan, Andini malah memandang wajah Devan dengan ekspresi datar dan tenang.

"Aku tidak berniat seperti itu. Pikiranmu saja yang berlebihan. Apakah salah kalau aku memperlakukan sahabatku dengan baik? Orang yang menjagaku selama ini, tanpa memikirkan dirinya!"

"Gara-gara perbuatanmu itu, aku jadi tidak bisa mengusirnya," geram Devan.

Andini mengangkat sebelah alisnya. " Tidak baik mengusir orang yang telah menjagaku, ditambah lagi dia adalah sahabatku sejak kecil. Lagi pula, yang ia lakukan saat itu adalah hal yang wajar."

"Hal yang wajar menurutmu, ya? Jadi, kau bersikeras untuk mempertahankan pelayan pembangkangmu itu?"

"Hanya karena Lia melarang gundikmu itu untuk mendekatiku, kau jadi semarah ini?" batin Andini.

"Lia bukan pembangkang! Dia hanya melakukan tugasnya sebagai pelayan pribadiku." Andini tak mau kalah.

"Pembangkang membela pembangkang!" sindir Devan. "Aku akan memecat pelayanmu itu," Devan mengancam Andini. Walau dia tahu bahwa itu tidak akan berhasil.

"Orang yang kutunjuk sebagai pelayan pribadiku, sepenuhnya keputusan ada di tanganku. Mau aku memecatnya atau tidak, itu bukan urusanmu! Kau tidak berhak melakukannya."

Merasa benar apa yang dikatakan Andini, Devan tak dapat membalas ucapannya.

"Hah..! Lelah sekali beradu mulut denganmu," Devan terpaksa mengatakan itu supaya tidak ketahuan bahwa ia benar-benar kalah dengan ucapan Andini.

"Bisa tidak sekali saja kau patuh dengan ucapanku?" Pandangan matanya menatap Andini dengan sinis.

"Apa! Patuh? Kenapa aku harus patuh dengan ucapanmu yang tidak masuk akal ini?"

"Itulah sebabnya, kau selalu dibanding-bandingkan!"

Andini menyerngit heran. "Aku dibandingkan? Dengan siapa?" batinnya.

"Aku lelah bicara denganmu, lebih baik kau pergi!" usir Devan.

Tanpa tersinggung sedikit pun dengan pengusiran Devan, Andini menuju pintu keluar.

Ketika memegang kenop pintu, Andini berbalik kemudian berkata kepada Devan, " Berhentilah bersikap semena-mena kepada orang! Walaupun mereka hanya seorang pelayan. Karena bersikap buruk terhadap orang lain yang bahkan sudah melakukan tugasnya dengan baik, maka keburukan itu akan berbalik menimpamu!" Setelah mengatakan itu, Andini keluar dan menutup pintu ruang kerja Devan.

Devan sedikit kesal dengan perkataan Andini yang terakhir tadi, namun ia tak dapat membalasnya.

"Hah..! Menghadapi sikapnya yang keras kepala itu membuat tenagaku terkuras habis," gumam Devan. Dia membaringkan tubuhnya di atas sofa yang berada di ruang kerjanya itu.

KLINGG...! KLING..!

Devan membunyikan lonceng, memanggil pelayan.

"Haa..!" Devan menghela nafas.

"Memanggil saya, Tuan?" ujar seorang pelayan wanita yang Devan kenal suaranya.

Merasa tak asing dengan suara itu, Devan melirik ke samping.

Ia terkejut sekaligus senang melihat wajah gadis yang kemarin diselamatkannya. Lengkap mengenakan pakaian khusus pelayan.

"Silvi! Sejak kapan kamu melakukan hal ini? Aku 'kan sudah bilang tak perlu melakukan apa-apa dan berdiam diri saja di rumah kedua," ujar Devan lembut.

"Saya bosan kalau tidak melakukan apa-apa, Tuan!" Silvi bicara dengan aksen formal kepada Devan. Menurutnya hal itu akan membuat Devan semakin tertarik kepadanya.

"Lagi pula, saya tidak enak kalau hanya berdiam diri saja tanpa melakukan apa-apa. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk membalas kebaikan, Tuan Muda!"

"Lalu, apa kau tidak keberatan melakukan hal seperti ini?" tanya Devan.

"Tentu saja tidak, Tuan Muda!" jawabnya dengan penuh semangat.

"Haha..!" Devan tertawa melihat tingkah Silvi. "Kau memang gadis yang lucu, ya!" puji Devan.

"Padahal saat bertemu pertama kali denganku waktu itu, kau sangat pemalu. Tapi, malah dengan semangat melakukan hal seperti ini," ucap Devan sambil mengusap kepala Silvi.

"Karena kau sudah membuat suasana hatiku menjadi lebih baik, dessert itu untukmu saja. Makanlah!"

"Wah, yang benar, Tuan?" Mata Silvi berbinar ketika melihat kue coklat yang di atasnya disusun toping aneka buah premium.

"Terimakasih, Tuan Muda!" ujar Silvi tersenyum girang.

"Padahal hanya sebuah kue, tapi kau begitu senang!"

"Kenapa, Tuan Muda bicara begitu?"

"Nyonya Muda, diberikan emas dan berlian yang harganya sangat mahal, tanggapannya biasa saja. Berbeda denganmu!" Devan mengusap ujung bibir Silvi yang berlepotan coklat.

"Berbeda bagaimana, Tuan?" Silvi menikmati sentuhan Devan di bibirnya itu.

"Kau walau hanya diberikan kue saja, sudah sangat senang! Itulah bedanya."

"Apa Nyonya Muda, tak suka diberikan perhiasan mewah?"

"Dia suka bahkan selalu berterimakasih atas apapun yang aku beri. Tetapi, memang orangnya pendiam dan tidak ekspresif. Jadi sangat susah untuknya menunjukkan perasaan."

"Mungkin saja... Nyonya Muda, sejak kecil hidup di lingkungan yang mewah. Dan diberikan kemudahan hidup. Dia tidak tau bagaimana dunia di luar sana, sangat kejam bagi orang seperti kami," ujar Silvi dengan wajah sendu.

"Pasti dia sudah terbiasa dengan hal-hal mewah lainnya."

"Hmmm!" Devan mencoba merenungi kata-kata Silvi.

Takut salah bicara dan membuat Devan ilfil, Silvi segera tersadar dengan ucapannya.

"A-ah, tapi ini bukan berarti saya menyalahkan Nyonya Muda. Dan bukan salah Nyonya Muda sepenuhnya." Silvi panik.

"Hanya saja, orang yang kaya 'kan, biasanya begitu? Bukan hanya Nyonya Muda saja. Tapi semua orang yang merasakan kemewahan sejak kecil, pasti biasa saja saat diberikan hadiah, walau yang mewah sekalipun." Wajah paniknya itu terlihat lucu di mata Devan.

"Ternyata kau pintar juga, ya!" Devan membelai rambut panjang Silvi dan menciumnya. "Tak salah aku menargetkanmu sebagai hasil buruanku!" ujar Devan menyeringai. Bagaikan serigala yang bersiap untuk melahap mangsanya.

Silvi mencebikkan bibirnya. "Mengatakan saya hasil buruan, seperti hewan saja!" ujar Silvi, pura-pura merajuk.

"Haha," Devan tertawa kecil. Kemudian ia mendudukkan Silvi di pangkuannya.

Merasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertanya, Silvi mencoba memastikan, "Anu, Tuan! Tuan bilang akan menjadikan Silvi istri kedua 'kan, apa itu sungguhan?"

"Tentu saja," jawab Devan, enteng.

"Tapi, apa Nyonya Muda sudah tau tentang ini?"

"Sepertinya belum. Kau tidak perlu memikirkan hal itu, tenang saja. Serahkan semuanya padaku." ujar Devan jumawa.

Silvi merasa senang ketika mendengar hal itu. Dia merasa sudah maju selangkah untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang Nyonya Muda di rumah ini.

****

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status