"Nyonya Muda! apa Nyonya sudah tau tentang berita itu?" tanya Lia saat sedang asyik merias wajah Andini.
"Berita apa?" Andini yang sibuk dengan urusan pekerjaan berapa hari ini tidak terlalu memperhatikan pembicaraan yang beredar."Berita bahwa Tuan Muda akan mengenalkan gundiknya ke acara pesta makan malam.""Pesta makan malam? Kapan? Kenapa Mas Devan tidak memberitahuku?" batin Andini."Benarkah? Aku tidak tau! Bahkan aku tidak tau kalau akan diadakan pesta makan malam." sahut Andini apa adanya."Hah, dasar! Apa sekarang Tuan Muda sudah lupa siapa istrinya setelah kedatangan wanita itu? Bahkan mereka tak malu bermesraan di depan kami," ucap Lia kesal.Andini termenung mendengar ucapan Lia."Hey, Erick!" Devan melambaikan tangannya memanggil pelayan pribadinya."Iya, Tuan!""Ikut aku sebentar!" Erick mengikuti Devan ke ruang kerjanya."Kau, ajarkan Silvi tentang 𝘛𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘮𝘢𝘯𝘯𝘦𝘳! Jangan sampai membuatku malu nanti!""Baik, Tuan!" Erick menunduk.Erick melaksanakan perintah yang diberikan oleh Devan."Nona Silvi! Saya akan mengajari anda tentang etika di meja makan.""Apakah harus seperti itu?" Silvi membulatkan bola matanya supaya terlihat imut di hadapan Erick."Iya, Nona! Kalau ingin ikut bergabung makan malam bersama rekan bisnis Tuan. Anda harus mempelajarinya.""Huh, baiklah!" Silvia mengerucutkan bibirnya."Kenapa Tuan harus bersusah payah untuk mengajak wanita ini ke acara itu, sih? Itu 'kan acara resmi," Erick membatin."Hah, kepalaku sakit, Erick! Apa orang kaya makannya harus seribet ini? Tinggal ambil pakai tangan apa susahnya, sih?" Silvia menggerutu."Iya, Nona! Cara makan para pembisnis menunjukkan etika dan kepribadian mereka. Semua pekerjaan besar yang Tuan Muda lakukan berawal dari acara makan ini. Kalau Nona disuruh belajar tentang hal ini, itu berarti Tuan Muda akan memperkenalkan Nona kepada semua rekan bisnisnya," terang Erick."Hah..! Padahal enakan makan pakai tangan!" gumam Silvia.Erick pun mulai terlihat kesal karena Silvia tidak bisa mengingat dan lebih banyak mengeluh.****"Selamat datang, Tuan dan Nyonya Besar!" sambut para pelayan. Mereka mulai mempersiapkan acara pesta makan malam itu."Hem!" Mereka hanya mengangguk."Mana Nyonya Muda?" tanya Nyonya Besar."Nyonya Muda sedang berada di halaman belakang, Nyonya!" jawab pelayan."Apa anda mau saya panggilkan, Nyonya?" tanyanya lagi."Tidak perlu! Biar saya saja yang ke sana!" Nyonya Besar berjalan menuju halaman belakang menghampiri Andini."Menantuku!" Nyonya Besar begitu senang ketika melihat menantunya itu."Ah, Mama!" Andini memang sangat dekat dengan mertuanya itu."Hei, Sayang! Gimana kabar kamu?" tanya mertuanya. Senyumnya terus saja mengembang di bibir merahnya itu."Baik, Ma!" Andini mengulas senyum."Kamu ngapain di sini?""Nggak ada, Ma! Lagi ingin menghirup udara segar saja!""Em, ya sudah! Mama masuk dulu, ya?""Iya, Ma!"Tak lama setelah kepergian ibu mertuanya, Andini pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya.Tak sengaja Silvi melihat interaksi diantara dua orang itu."Sepertinya Nyonya Besar, orang yang baik! Aku harus bisa merebut hatinya supaya menjadi kesayangan di rumah ini. Dan bisa menjadi Nyonya Muda menyingkirkan istri Mas Devan," gumam Silvi.****Seperti biasa, setiap Andini bekerja, Lia selalu ikut membantu."Lia! siapa lagi yang harus kita undang?" Andini tengah sibuk mempersiapkan undangan makan malam itu."Ah, ini sepertinya sudah semua, Nyonya?""Kamu yakin?" ulang Andini."Iya, Nyonya!""Baiklah! Sekarang kamu suruh pelayan lain untuk mengantarkan undangan itu.""Baik, Nyonya!""Huh, akhirnya selesai juga! Aku ingin beristirahat sebentar." Andini membaringkan tubuhnya di atas kasur yang terdapat di ruang kerjanya.***Acara makan malam pun dimulai. Di halaman sudah banyak berjejer mobil-mobil dari para rekan kerja Devan.Tuk.. Tuk...Bunyi suara sepatu fantofel terdengar, membuat orang-orang berfokus pada si pemilik sepatu."Ah, siapa itu? Saya baru lihat ada pria setampan itu!" bisik-bisik orang mulai terdengar.Devan yang awalnya menjadi pusat perhatian, terlihat kesal saat orang itu datang. Dia sangat kenal dengan orang itu. Bahkan dia menganggap pria itu sebagai rivalnya."Terimakasih sudah mengundang saya di acara makan malam ini, Tuan Muda Devan!" ucap si pria dengan sopannya sembari menjabat tangan Devan."Sebenarnya saya tidak mengundang anda, Tuan Muda David. Saya mengundang ayah anda, tetapi sepertinya beliau tidak bisa datang. Terimakasih sudah mewakili," balas Devan sarkas."Hahaaa! Tuan Muda Devan bisa saja! Iya, benar! Ayah tidak bisa hadir, jadi beliau mengutus saya kemari," terang David."Mari, Tuan David! Silahkan duduk."Mereka berkumpul di meja makan dan mulai membicarakan kerja sama yang akan mereka jalin."Bagaimana, Tuan David apa anda setuju?""Ya, saya setuju!" Mata David terus tertuju kepada Andini. Hal itu membuat Devan semakin kesal."Apa anda mendengarkan ucapan saya, Tuan?""Iya! Saya mendengarnya.""Benarkah? Saya lihat dari tadi anda selalu memperhatikan istri saya. Apa anda yakin mendengarkan dengan seksama?""Iya, Tuan Devan! Saya sangat setuju dengan ide anda! Permata apa yang anda inginkan untuk di pajang di dalam mall anda? Silahkan pilih, nanti saya akan berikan katalognya.""Baiklah!"Setelah selesai makan malam, rekan-rekan kerja Devan mulai mengobrol satu sama lain. Mereka begitu menikmati acara itu.David memilih berjalan sendirian di taman halaman belakang. Tempat yang paling disukai oleh Andini.Saat sedang asyik menikmati kesendiriannya. Tiba-tiba, David dikejutkan oleh suara wanita yang menyapanya dengan lembut, "Em, selamat malam, Tuan?""Malam!" balas David."Kenapa, Tuan memilih sendirian di sini? Padahal di sana banyak orang-orang berkumpul."David memalingkan wajahnya melihat orang-orang yang sedang asyik berbincang dan bercanda."Saya tidak suka keramaian," jawabnya datar."Begitu ya? Berarti kita sama!" ucap wanita itu."Sama apanya?" David terlihat tidak suka dengan wanita yang sok terlihat akrab itu, namun dia berusaha menyembunyikannya."Saya juga tidak menyukai keramaian. Makanya saya di sini.""Memangnya apa yang membuatmu tidak menyukai keramaian? Dan kenapa kamu memilih untuk berada di sini dari pada bersama para wanita lainnya?""Saya tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, Tuan! Jadi, buat apa bergabung? Lebih baik menyendiri berjalan di taman ini, bukan?" Wanita itu sengaja terlihat menyedihkan supaya lelaki yang berada di hadapannya ini terpesona."Tidak mengerti? Bukankah kamu istri salah satu dari mereka?" David bertanya begitu karena dia tau, semua istri-istri dari rekan bisnisnya mengerti bisnis."Ah, maaf! Saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Silvi! Saya istri kedua dari Tuan Devan. Pemilik rumah ini." Silvi mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan.Pernyataan itu sontak membuat David kaget. Pasalnya, wanita itu jauh di bawah standar keluarga Devan. Ya, meskipun wajahnya cantik."Oh, benarkah? Saya tak mengira kalau hati Nyonya Muda Andini bisa selapang itu," balas David."Mau tak mau, dia terpaksa harus menerima. Siapa suruh dia mandul? Tidak bisa memberikan keturunan untuk Mas Devan."Lagi-lagi, ucapan Silvi yang kelewatan membuat David menjadi ilfeel."Oh, benarkah?""Iya! Itu sebabnya Mas Devan menikah lagi. Karena saya bisa memberikan dia keturunan.""Apa Devan suka wanita yang seperti ini? Hah, seleranya begitu rendah sekali!" David hanya bisa membatin."Sudahlah! Tak perlu membahas itu sekarang. Apa Tuan, ingin berkeliling? Mari, saya antar!" Silvi berusaha untuk mencari perhatian David."Ah, tidak perlu! Saya bisa berkeliling sendiri. Saya tak ingin Tuan Devan marah karena saya membawa istrinya yang cantik ini!" David mengedipkan sebelah matanya. Silvi semakin terpikat akan ketampanannya."Tuan Devan itu cemburuan orangnya," bisik David."Kalau begitu, saya permisi dulu, Nona!" pamit David dengan suara lembutnya.Silvi semakin salah tingkah dengan sikap lembut David padanya. Dia mengira bahwa David sudah terpesona akan kecantikannya.****Bersambung..."Silvi! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu!" "Apa itu, Tuan? Silvi jadi penasaran," ujarnya dengan nada yang dibuat manja. "Apa... Apa kamu bersedia untuk menjadi Nyonya utama di rumah ini?" Silvi terkejut. Pertanyaan Devan membuatnya tercengang. "Apa Tuan serius? Atau pertanyaan Tuan ini hanya ingin mengetes saya saja?" Silvi ragu sebab di awal pertanyaan, Devan seperti ragu saat mengatakannya. "Tidak! Saya serius. Apa kamu mau?" Silvi menunduk. Dia ragu ingin menjawab apa. "Semua wanita, siapa pun itu. Pasti tak akan menolak untuk menjadi pendamping Tuan Devan dan menjadi Nyonya utama. Saya pun begitu, tetapi... Apa Tuan yakin untuk menjadikan saya Nyonya utama?" lirih Silvi. Lain di mulut, lain di hati. Itulah yang saat ini Silvi katakan. Dia berusaha menarik ulur agar bisa memastikan kalau pertanyaan Devan benar-benar serius memintanya untuk menjadi Nyonya utama. Devan gemas. Dia takut kalau Silvi menolak, terpaksa dia harus mencari wanita lain lagi untuk
Devan diam tak berkutik. Dia tak bisa membela Silvi sama saat seperti mamanya memojokkan Silvi waktu itu. "Ingat, Devan! Kamu tau 'kan peraturan mutlak di rumah ini? Anak dari hasil hubungan gelap maupun anak dari istri kedua tidak akan bisa menjadi penerus. Hanya anak dari istri sah dan pertama saja yang bisa diangkat menjadi penerus keluarga." Nenek Grace menekankan. "Benar, Devan! Meski wanita itu sudah kamu nikahi secara sah sekalipun, anak yang ada di dalam kandungannya tidak bisa menjadi penerus. Apalagi wanita itu hanya kamu nikahi secara siri." Kakek Devan ikut menimpali. "Segeralah lakukan pemeriksaan dan fokus untuk memberikan keluarga ini seorang penerus. Kami berharap banyak padamu." Setelah mengatakan itu, Tuan Bill dan Nyonya Grace pergi begitu saja. Devan terduduk. Tenaganya seakan terkuras habis dengan kedatangan mendadak nenek dan kakeknya. Erick menghampiri Devan yang shock. "Tuan Muda tidak apa-apa?" "Tak apa. Aku hanya shock dengan kedatangan merek
Silvi yang terbawa emosi, menampar wajah Rania dengan keras. Hingga meninggalkan bekas merah di pipinya. "Kauuu!" desis Rania. Dia mengangkat tangan ingin membalas tamparan Silvi, namun dengan cepat Rania berhasil mengendalikan emosinya. "Sifat burukmu itu memang tidak bisa diperbaiki. Baru menjadi 'mainan baru' Tuan Devan saja, sudah berani bersikap kurang ajar! Ternyata bukan hanya sifatmu saja yang jelek, kau juga wanita murahan.""Dasar Kau memang wanita rendahan!" Rania pun berlalu meninggalkan Silvi. Tangan Silvi gemetaran setelah menampar pipi Rania. Dia begitu ketakutan. "Bagaimana ini? Apa yang akan dilakukan Tuan Radit kepadaku?" Saking takutnya, tanpa sadar dia menggigit kuku jarinya. Keesokan harinya Tuan Radit kembali mendatangi Silvi setelah mendapat laporan dari anaknya kalau wanita itu menamparnya. "Apa yang kau lakukan kepada anakku, Rania?" Wajahnya terlihat sangat marah. "Itu salah anakmu sendiri. Kenapa dia tak bisa menjaga mulutnya." Silvi berkata dengan ra
"Tuan Radit kembali menemui Nona Silvi, Nyonya!" ujar pengawal Andini. "Dia menemuinya lagi?""Iya!""Apa yang sedang mereka lakukan, ya? Semenjak kejadian itu mereka menjadi sering bertemu. Apa Tuan Radit sedang mengancamnya?" pikir Andini. "Baiklah! Terimakasih. Kau boleh pergi."Setelah pengawal itu pergi, Bu Dewi berkata, "Apa besok karena Nyonya ingin berbicara secara pribadi dengan Nona Rania?""Wanita itu memanggil Tuan Radit pasti ingin menyuruh Nona Rania diam. Dasar wanita licik!" sambung Lia geram. "Yang aku inginkan bukan itu." Andini tersenyum. "Pancingan ku berhasil. Kalau sampai wanita itu takut seperti ini, pasti ada yang dia sembunyikan. Tapi... Apa ya?" pikir Andini. "Kalau bukan untuk mengorek informasi dari Nona Rania. Apa yang membuat Nyonya mewawancarai Nona Rania secara khusus?" Lia heran karena tidak biasanya Nyonya Mudanya ini berbuat begitu. "Seperti ini saja sudah cukup bagiku. Menekannya seperti ini." Bu Dewi dan Lia saling pandang mereka tidak menger
"Saat itu aku sangat ketakutan. Berbeda denganmu, kau tidak akan kehilangan apa-apa.""Heh! Kau memang lelaki egois.""Aku..." Pria itu tak dapat membalas. "Aku tidak ingin membahas masa lalu. Kalau begitu sekarang kau mengerti dengan posisiku 'kan, Dilan? Karena saat itu kau juga merasakannya." Silvi memandang sinis kepada mantan majikannya ini, anak Tuan Radit. "Kau bisa membuatku kehilangan segalanya sekarang. Jadi, berpura-puralah tidak mengenaliku dan urus adikmu yang tidak tau sopan santun itu," ujarnya tegas. Silvi berlalu meninggalkan Dilan seorang diri. "Sekarang aku bukan wanita yang lemah. Aku bahkan bisa berkata tegas kepada seseorang yang dulunya majikanku," ujarnya dalam hati sembari menyeringai. Silvi berjalan angkuh, mengangkat wajahnya. Selayaknya seorang Nyonya.Dilan memandang sendu dengan kepergian Silvi. Tak ada lagi sikap polos dan lembut dari diri wanita itu. ****Keesokan harinya Silvi mengajak Rafael bertemu. "Ada apa Nona mengajak saya bertemu?" Rafael
Devan mengepalkan tangannya, kesal. "Kau terlalu menganggap harga dirimu terlalu tinggi hingga enggan untuk mengakui kesalahan.""Seorang pemimpin perusahaan sepertiku harus mengganggap dirinya tinggi, tetapi bukan berarti aku bisa seenaknya menuduh orang tanpa bukti. Hanya menyimpulkan berdasarkan kejanggalan dan prasangka." Andini menjawab dengan tenang dan datar. Andini berusaha tidak menghiraukan Devan, namun pria itu terus saja mengganggunya. "Kalau aku sudah bilang menyelidiki tapi tidak mendatangimu untuk meminta maaf, itu berarti aku tidak menemukan kalau anggota keluargaku pelakunya." Andini meninggalkan Devan yang masih kesal. Dia memutuskan untuk bersantai sejenak di taman bagian samping yang tak biasa dilalui oleh orang. Berdebat dengan Devan membuat moodnya menjadi semakin jelek. "Hah! Aku tak tau apa yang ada di pikirannya sehingga senang sekali mengaitkan apapun yang terjadi kepada wanita itu denganku." Andini bergumam dengan menghela nafas berat. Devan yang kesal