Share

Bab 5 - Makan Malam

"Nyonya Muda! apa Nyonya sudah tau tentang berita itu?" tanya Lia saat sedang asyik merias wajah Andini.

"Berita apa?" Andini yang sibuk dengan urusan pekerjaan berapa hari ini tidak terlalu memperhatikan pembicaraan yang beredar.

"Berita bahwa Tuan Muda akan mengenalkan gundiknya ke acara pesta makan malam."

"Pesta makan malam? Kapan? Kenapa Mas Devan tidak memberitahuku?" batin Andini.

"Benarkah? Aku tidak tau! Bahkan aku tidak tau kalau akan diadakan pesta makan malam." sahut Andini apa adanya.

"Hah, dasar! Apa sekarang Tuan Muda sudah lupa siapa istrinya setelah kedatangan wanita itu? Bahkan mereka tak malu bermesraan di depan kami," ucap Lia kesal.

Andini termenung mendengar ucapan Lia.

"Hey, Erick!" Devan melambaikan tangannya memanggil pelayan pribadinya.

"Iya, Tuan!"

"Ikut aku sebentar!" Erick mengikuti Devan ke ruang kerjanya.

"Kau, ajarkan Silvi tentang 𝘛𝘢𝘣𝘭𝘦 𝘮𝘢𝘯𝘯𝘦𝘳! Jangan sampai membuatku malu nanti!"

"Baik, Tuan!" Erick menunduk.

Erick melaksanakan perintah yang diberikan oleh Devan.

"Nona Silvi! Saya akan mengajari anda tentang etika di meja makan."

"Apakah harus seperti itu?" Silvi membulatkan bola matanya supaya terlihat imut di hadapan Erick.

"Iya, Nona! Kalau ingin ikut bergabung makan malam bersama rekan bisnis Tuan. Anda harus mempelajarinya."

"Huh, baiklah!" Silvia mengerucutkan bibirnya.

"Kenapa Tuan harus bersusah payah untuk mengajak wanita ini ke acara itu, sih? Itu 'kan acara resmi," Erick membatin.

"Hah, kepalaku sakit, Erick! Apa orang kaya makannya harus seribet ini? Tinggal ambil pakai tangan apa susahnya, sih?" Silvia menggerutu.

"Iya, Nona! Cara makan para pembisnis menunjukkan etika dan kepribadian mereka. Semua pekerjaan besar yang Tuan Muda lakukan berawal dari acara makan ini. Kalau Nona disuruh belajar tentang hal ini, itu berarti Tuan Muda akan memperkenalkan Nona kepada semua rekan bisnisnya," terang Erick.

"Hah..! Padahal enakan makan pakai tangan!" gumam Silvia.

Erick pun mulai terlihat kesal karena Silvia tidak bisa mengingat dan lebih banyak mengeluh.

****

"Selamat datang, Tuan dan Nyonya Besar!" sambut para pelayan. Mereka mulai mempersiapkan acara pesta makan malam itu.

"Hem!" Mereka hanya mengangguk.

"Mana Nyonya Muda?" tanya Nyonya Besar.

"Nyonya Muda sedang berada di halaman belakang, Nyonya!" jawab pelayan.

"Apa anda mau saya panggilkan, Nyonya?" tanyanya lagi.

"Tidak perlu! Biar saya saja yang ke sana!" Nyonya Besar berjalan menuju halaman belakang menghampiri Andini.

"Menantuku!" Nyonya Besar begitu senang ketika melihat menantunya itu.

"Ah, Mama!" Andini memang sangat dekat dengan mertuanya itu.

"Hei, Sayang! Gimana kabar kamu?" tanya mertuanya. Senyumnya terus saja mengembang di bibir merahnya itu.

"Baik, Ma!" Andini mengulas senyum.

"Kamu ngapain di sini?"

"Nggak ada, Ma! Lagi ingin menghirup udara segar saja!"

"Em, ya sudah! Mama masuk dulu, ya?"

"Iya, Ma!"

Tak lama setelah kepergian ibu mertuanya, Andini pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya.

Tak sengaja Silvi melihat interaksi diantara dua orang itu.

"Sepertinya Nyonya Besar, orang yang baik! Aku harus bisa merebut hatinya supaya menjadi kesayangan di rumah ini. Dan bisa menjadi Nyonya Muda menyingkirkan istri Mas Devan," gumam Silvi.

****

Seperti biasa, setiap Andini bekerja, Lia selalu ikut membantu.

"Lia! siapa lagi yang harus kita undang?" Andini tengah sibuk mempersiapkan undangan makan malam itu.

"Ah, ini sepertinya sudah semua, Nyonya?"

"Kamu yakin?" ulang Andini.

"Iya, Nyonya!"

"Baiklah! Sekarang kamu suruh pelayan lain untuk mengantarkan undangan itu."

"Baik, Nyonya!"

"Huh, akhirnya selesai juga! Aku ingin beristirahat sebentar." Andini membaringkan tubuhnya di atas kasur yang terdapat di ruang kerjanya.

***

Acara makan malam pun dimulai. Di halaman sudah banyak berjejer mobil-mobil dari para rekan kerja Devan.

Tuk.. Tuk...

Bunyi suara sepatu fantofel terdengar, membuat orang-orang berfokus pada si pemilik sepatu.

"Ah, siapa itu? Saya baru lihat ada pria setampan itu!" bisik-bisik orang mulai terdengar.

Devan yang awalnya menjadi pusat perhatian, terlihat kesal saat orang itu datang. Dia sangat kenal dengan orang itu. Bahkan dia menganggap pria itu sebagai rivalnya.

"Terimakasih sudah mengundang saya di acara makan malam ini, Tuan Muda Devan!" ucap si pria dengan sopannya sembari menjabat tangan Devan.

"Sebenarnya saya tidak mengundang anda, Tuan Muda David. Saya mengundang ayah anda, tetapi sepertinya beliau tidak bisa datang. Terimakasih sudah mewakili," balas Devan sarkas.

"Hahaaa! Tuan Muda Devan bisa saja! Iya, benar! Ayah tidak bisa hadir, jadi beliau mengutus saya kemari," terang David.

"Mari, Tuan David! Silahkan duduk."

Mereka berkumpul di meja makan dan mulai membicarakan kerja sama yang akan mereka jalin.

"Bagaimana, Tuan David apa anda setuju?"

"Ya, saya setuju!" Mata David terus tertuju kepada Andini. Hal itu membuat Devan semakin kesal.

"Apa anda mendengarkan ucapan saya, Tuan?"

"Iya! Saya mendengarnya."

"Benarkah? Saya lihat dari tadi anda selalu memperhatikan istri saya. Apa anda yakin mendengarkan dengan seksama?"

"Iya, Tuan Devan! Saya sangat setuju dengan ide anda! Permata apa yang anda inginkan untuk di pajang di dalam mall anda? Silahkan pilih, nanti saya akan berikan katalognya."

"Baiklah!"

Setelah selesai makan malam, rekan-rekan kerja Devan mulai mengobrol satu sama lain. Mereka begitu menikmati acara itu.

David memilih berjalan sendirian di taman halaman belakang. Tempat yang paling disukai oleh Andini.

Saat sedang asyik menikmati kesendiriannya. Tiba-tiba, David dikejutkan oleh suara wanita yang menyapanya dengan lembut, "Em, selamat malam, Tuan?"

"Malam!" balas David.

"Kenapa, Tuan memilih sendirian di sini? Padahal di sana banyak orang-orang berkumpul."

David memalingkan wajahnya melihat orang-orang yang sedang asyik berbincang dan bercanda.

"Saya tidak suka keramaian," jawabnya datar.

"Begitu ya? Berarti kita sama!" ucap wanita itu.

"Sama apanya?" David terlihat tidak suka dengan wanita yang sok terlihat akrab itu, namun dia berusaha menyembunyikannya.

"Saya juga tidak menyukai keramaian. Makanya saya di sini."

"Memangnya apa yang membuatmu tidak menyukai keramaian? Dan kenapa kamu memilih untuk berada di sini dari pada bersama para wanita lainnya?"

"Saya tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan, Tuan! Jadi, buat apa bergabung? Lebih baik menyendiri berjalan di taman ini, bukan?" Wanita itu sengaja terlihat menyedihkan supaya lelaki yang berada di hadapannya ini terpesona.

"Tidak mengerti? Bukankah kamu istri salah satu dari mereka?" David bertanya begitu karena dia tau, semua istri-istri dari rekan bisnisnya mengerti bisnis.

"Ah, maaf! Saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Silvi! Saya istri kedua dari Tuan Devan. Pemilik rumah ini." Silvi mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan.

Pernyataan itu sontak membuat David kaget. Pasalnya, wanita itu jauh di bawah standar keluarga Devan. Ya, meskipun wajahnya cantik.

"Oh, benarkah? Saya tak mengira kalau hati Nyonya Muda Andini bisa selapang itu," balas David.

"Mau tak mau, dia terpaksa harus menerima. Siapa suruh dia mandul? Tidak bisa memberikan keturunan untuk Mas Devan."

Lagi-lagi, ucapan Silvi yang kelewatan membuat David menjadi ilfeel.

"Oh, benarkah?"

"Iya! Itu sebabnya Mas Devan menikah lagi. Karena saya bisa memberikan dia keturunan."

"Apa Devan suka wanita yang seperti ini? Hah, seleranya begitu rendah sekali!" David hanya bisa membatin.

"Sudahlah! Tak perlu membahas itu sekarang. Apa Tuan, ingin berkeliling? Mari, saya antar!" Silvi berusaha untuk mencari perhatian David.

"Ah, tidak perlu! Saya bisa berkeliling sendiri. Saya tak ingin Tuan Devan marah karena saya membawa istrinya yang cantik ini!" David mengedipkan sebelah matanya. Silvi semakin terpikat akan ketampanannya.

"Tuan Devan itu cemburuan orangnya," bisik David.

"Kalau begitu, saya permisi dulu, Nona!" pamit David dengan suara lembutnya.

Silvi semakin salah tingkah dengan sikap lembut David padanya. Dia mengira bahwa David sudah terpesona akan kecantikannya.

****

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status