Share

BAB 2

Author: Risyia
last update Last Updated: 2025-07-16 21:11:09

Ponsel Arya tiba-tiba berdering. Nada deringnya menggema di ruangan yang masih dipenuhi sisa amarah.

Ia melirik sekilas. Nomor tak dikenal.

Arya menghela napas singkat, hendak mengabaikan, tetapi entah kenapa jari-jarinya justru menggeser ikon hijau di layar.

“Halo?” suaranya terdengar pendek dan dingin.

Beberapa detik tidak ada jawaban. Lalu suara di seberang terdengar—pelan, ragu, namun familiar.

“Tuan Arya… ini saya, Zahra.”

Arya langsung tegak. “Zahra?”

“Maaf… saya pakai telepon rumah sakit. Saya tidak membawa ponsel. Oma… beliau tadi terjatuh di kamar mandi. Sekarang sedang ditangani di ruang UGD.”

Darah Arya seperti berhenti mengalir seketika. Ujung jarinya terasa dingin. Ia mencengkeram ponsel lebih erat.

“Oma jatuh?” suaranya tercekat, nyaris tak terdengar.

“Iya, Tuan Arya. Saya sudah bantu panggil ambulans. Beliau sempat tidak sadarkan diri sebentar, tetapi sekarang sudah ditangani tim medis…”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Arya langsung menutup sambungan. Ia meraih jas dan kunci mobil dalam gerakan cepat.

Haikal yang sejak tadi memperhatikan, langsung berdiri.

“Lo kenapa? Muka lo pucat banget.”

Arya melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat dan tegas.

"Oma di UGD. Gue harus ke sana sekarang.”

“Eh, gue ikut”

belum sempat Haikal menyelesaikan kalimatnya, pintu sudah tertutup di belakang Arya. Tidak dibanting, tetapi cukup keras untuk menandakan panik dan gelisah yang sudah tidak bisa ia bendung lagi.

---

Koridor rumah sakit pagi itu terasa dingin dan asing. Langkah kaki Arya terdengar berat namun cepat, menyusuri lorong menuju ruang UGD. Raut wajahnya tegang. Sesampainya di meja perawat, ia langsung bertanya tanpa basa-basi.

“Pasien atas nama Ratna,Beliau baru saja

dibawa ke sini.”

Perawat muda di balik meja mengecek daftar. “Nama pasien Ibu Ratna. Ruang UGD nomor tiga, Pak. Silakan ke ujung lorong, belok kanan.”

Arya tidak mengucapkan terima kasih. Ia langsung bergegas ke arah yang dimaksud. Langkahnya panjang-panjang, napasnya memburu.

Saat pintu ruang UGD terbuka, mata Arya langsung menangkap sosok yang sangat dikenalnya. Oma terbaring lemah di atas ranjang dengan selang infus terpasang di tangan. Wajahnya pucat, tapi mata itu masih terbuka—menatap kosong ke langit-langit.

Di samping ranjang, Zahra duduk dengan wajah cemas. Ia masih mengenakan kaus panjang dan rok gelap, tampak tergesa gesa seperti tadi keluar rumah tanpa sempat berganti pakaian. Ia langsung berdiri begitu melihat Arya masuk. Tangannya saling menggenggam, seperti menahan gugup yang tak bisa disembunyikan.

“Tuan Arya…” ucapnya pelan.

Namun Arya tidak menoleh ke arah Zahra. Ia hanya melangkah mendekat ke sisi ranjang Oma. Sorot matanya berubah—tidak lagi penuh kemarahan, melainkan cemas dan bersalah.

“Oma…” panggilnya pelan.

Oma mengedipkan mata, lalu menoleh perlahan. “Kamu datang…”

Arya menggenggam tangan keriput itu. Dingin. Lemah. Tapi masih terasa hangatnya kasih yang membesarkannya sejak kecil.

“Kenapa Oma tidak bilang kalau sedang tidak enak badan?” Arya mencoba menahan nada marahnya. “Kalau tahu begini…”

“Tenang, Arya.” Suara Oma lirih, tapi tetap terdengar tegas. “Oma hanya terpeleset sedikit. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Zahra menunduk, merasa tidak nyaman berada di antara keduanya. Ia membuka mulut, mencoba menjelaskan.

“Saya… tadi mendengar suara jatuh dari kamar mandi. Lalu saya ketuk pintu, tapi tidak ada respons. Akhirnya saya minta bantuan satpam buat cek keadaan Oma, dan saya langsung hubungi ambulans. Maaf kalau saya lancang,

" Tuan Arya…”

Arya masih menatap Oma, tidak menjawab Zahra.

Namun Oma menoleh ke arah Zahra.

“Kamu tidak salah, Zahra. Justru kamu yang paling sigap saat itu. Terima kasih, Nak.”

Zahra terdiam. Bibirnya gemetar, tapi ia hanya menunduk dan mengangguk pelan.

Setelah beberapa saat, dokter masuk dan menjelaskan kondisi Oma. Tidak ada luka serius, hanya tekanan darah sempat turun karena kelelahan. Namun Oma tetap harus diobservasi selama dua puluh empat jam ke depan.

Setelah dokter pergi, Arya berdiri dari kursinya. Wajahnya masih muram.

“Oma harus istirahat. Jangan banyak bicara dulu,” katanya, lalu menoleh sekilas ke arah Zahra.

“Kamu boleh pulang.”

Zahra mengangkat wajah, terkejut.

“Tapi saya… saya ingin berjaga di sini.”

Arya menatapnya dalam. Tatapannya tak lagi penuh amarah, tapi jelas belum sepenuhnya menerima.

“Rumah butuh dijaga. Dan Oma butuh ketenangan. Jangan buat beliau lelah dengan kehadiran yang tak perlu.”

Zahra menggigit bibir. Ia menahan perih di dadanya, lalu menunduk.

“Baik, Tuan Arya.”

Ia melangkah keluar dari ruangan dengan langkah kecil. Diam-diam, air matanya jatuh juga bukan karena ucapan Tuan Arya yang tajam, tetapi karena rasa bersalah yang terlalu besar dalam dada.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Pilihan Oma   BAB 21

    Beberapa hari berlalu sejak malam itu. Tuan Arya memang belum pulih sepenuhnya, tapi suhu tubuhnya sudah turun. Meski begitu, rasa lemas masih sering muncul. Selama itu, Zahra hampir tak pernah jauh dari sisinya. Ia yang biasanya canggung, kini sigap menyiapkan bubur hangat, mengganti kompres, menyiapkan obat tepat waktu. Meski lelah, Zahra tetap tersenyum setiap kali Tuan Arya membuka mata. “Mas harus makan sedikit, biar ada tenaga,” ucap Zahra lembut, menyodorkan sendok berisi bubur. “Aku bisa makan sendiri, Zahra.” “Tapi kalau Mas makan sendiri, buburnya paling cuma disentuh. Sudah, buka mulutnya” Arya terdiam, lalu akhirnya menurut. Setiap suapan terasa lebih dari sekadar bubur,ada rasa hangat yang pelan-pelan meresap ke dalam hatinya. Hingga suatu malam, setelah seharian sibuk merawat Arya, Zahra tertidur di sofa kamar. Kepalanya bersandar seadanya, tanpa selimut. Jemari mungilnya masih menggenggam botol obat. Arya yang terbangun karena batuk kecil, menatapnya lama.

  • Istri Pilihan Oma   BAB 20

    zahra menelan ludahnya gugup, wajahnya sudah merah padam. Jemarinya semakin kuat mencengkeram tirai ruang ganti, seolah itu satu-satunya pelindung yang tersisa. “Ma—Mas… jangan bercanda,” suaranya bergetar. “Ini di butik… banyak orang. Nanti ada yang lihat…” tuan Arya menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas pendek. Ia menepuk tirai lembut, kemudian mundur setengah langkah. “Baik. Aku tunggu di luar.” Suaranya kembali tenang, namun senyum di wajahnya masih jelas-jelas membuat pipi Zahra makin panas. Begitu ia benar-benar menjauh, Zahra buru-buru menutup tirai rapat-rapat. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, berusaha menenangkan diri. Setelah selesai memilih beberapa pakaian di butik, tua. Arya masih terus menuntun tangan Zahra. Mereka berkeliling mal, sesekali berhenti di toko lain untuk melihat barang-barang kecil. Zahra sempat beberapa kali mencoba menolak ketika tuan Arya menawarkan sesuatu, tapi laki-laki itu selalu menatapnya dengan tatapan tegas yang membuatnya

  • Istri Pilihan Oma   BAB 19

    Zahra membeku sejenak mendengar kalimat itu. Ajakan suami pada istrinya. Hatinya berdetak lebih cepat, sementara jemari yang masih menggenggam piring terasa kaku. “Su… suami pada istri?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Arya menatapnya, kali ini tidak menghindar. Ada sorot serius sekaligus lembut di matanya. “Ya. Memangnya salah?” Zahra menunduk dalam-dalam, pipinya terasa panas. “Bukan… bukan salah, hanya saja… saya belum terbiasa mendengar Tuan—eh, Arya bicara begitu.” tuan Arya menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Kalau begitu, anggap saja ini… latihan.”“Latihan?” Zahra mengerutkan dahi. “Latihan untuk terbiasa. Aku suamimu, Dan kau… istriku. Kenapa kita harus terus merasa seperti orang asing di bawah atap yang sama?” suara tuan Arya tenang, tapi ada sesuatu yang bergetar di dalamnya. Zahra terdiam, jantungnya makin kacau. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajah yang mulai bersemu merah. “Aku… saya tidak

  • Istri Pilihan Oma   BAB 18

    Setelah selesai menyuapi Tuan Arya, Zahra segera membereskan piring dan sendok, lalu berjalan kembali ke dapur. Saat punggungnya berbalik, Arya menyandarkan tubuh di kursi, menatap punggung Zahra dengan tatapan yang berbeda dari biasanya lebih lama, lebih dalam. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, tapi ia memilih kembali ke laptop, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Malam pun semakin larut. Suara ombak terdengar sayup dari kejauhan, berpadu dengan semilir angin laut yang menyelinap lewat jendela. Lampu-lampu taman memantulkan cahaya lembut di kolam renang, membuat vila terasa tenang. Zahra sudah berada di kamarnya, mencoba memejamkan mata. Namun, rasa haus membuatnya terbangun. Dengan langkah pelan, ia turun ke lantai bawah, niatnya hanya untuk mengambil segelas air putih di dapur. Begitu melewati ruang tamu, langkahnya terhenti. Di sana, Tuan Arya tertidur di kursi, kepalanya sedikit tertunduk di atas tumpukan berkas, laptop masih menyala di hadapannya. Cahaya layar membua

  • Istri Pilihan Oma   BAB 17

    Beberapa hari kemudian, suasana rumah terasa berbeda lebih hidup, lebih hangat. Oma sudah kembali bisa berjalan dengan bantuan tongkat, bahkan sempat bercanda dengan para pembantu rumah. Senyum di wajahnya tak pernah lepas sejak pagi. Di teras, koper-koper sudah tersusun rapi. Tuan Arya berdiri di samping mobil, mengenakan kemeja biru muda dengan lengan yang digulung, sementara Zahra dengan dress sederhana warna pastel sibuk memastikan semua barang bawaan mereka sudah lengkap. “Sayang, hati-hati di jalan, ya,” ucap Oma sambil tersenyum, matanya berkaca-kaca melihat keduanya bersiap pergi. “Nikmati perjalanan kalian. Jangan pikirkan urusan rumah dulu. Dan…” ia berhenti sejenak, menatap mereka bergantian, “semoga perjalanan ini bisa jadi awal yang baru.” Zahra menunduk sopan sambil tersenyum. “Baik, Oma.” Tuan Arya menyalami Oma, lalu memeluknya singkat. “Kami berangkat dulu ya Oma.” Oma mengangguk sambil tersenyum. “Hati-hati di jalan.” Mereka berdua pun berjalan menu

  • Istri Pilihan Oma   BAB 16

    tuan arya terdiam, menundukkan kepala. Kata-kata Oma berputar-putar di kepalanya, menusuk lebih dalam dari yang ia kira. “Oma…” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Arya… nggak pernah berniat nyakitin dia. Cuma… waktu itu Arya.." Oma menghela napas berat. “Itulah masalahnya, Nak. Kamu terlalu sering nggak mikir panjang. Perkataanmu, perbuatanmu… semuanya meninggalkan luka yang nggak selalu bisa diobati hanya dengan minta maaf.” tuan Arya terdiam lagi. Tangannya mengepal di pangkuan. “Kalau kamu mau, Arya…” suara Oma melembut, “kamu masih bisa memperbaiki semuanya. Zahra itu… anak yang penuh sabar. Tapi kesabaran ada batasnya.” tuan Arya menatap Oma, kali ini lebih lama. “baiklah,Arya akan mencobanya” Suara langkah pelan terdengar dari arah pintu. Zahra muncul sambil membawa nampan berisi teh hangat. Aroma wangi melati mengisi ruangan, namun hawa tegang di antara mereka bertiga tetap terasa. “Permisi, Oma…” ucap Zahra pelan, mencoba tersenyum. Oma menyambutnya dengan t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status