Share

BAB 7

Author: Risyia
last update Huling Na-update: 2025-07-20 16:47:53

Tiga Hari Kemudian

Hari Pernikahan

Gedung pernikahan mewah di jantung kota, dipenuhi cahaya dan bunga. Tirai putih mengalun lembut, aroma melati dan mawar memenuhi udara. Undangan berdatangan, sebagian besar keluarga besar dan rekan bisnis Nyonya Ratna.

Namun hari ini, ada satu pertanyaan yang bergulir lirih di antara bisik-bisik tamu: “Siapa Zahra? Kenapa begitu tertutup kisahnya?”

Di ruang rias pengantin wanita, Zahra duduk diam di hadapan cermin besar. Gaun putih panjang menghiasi tubuh mungilnya potongan sederhana, tapi elegan. Rambut hitamnya disanggul rapi dengan hiasan bunga melati segar. Hanya anting kecil di telinganya.

Wajahnya dipoles lembut oleh perias, tapi sorot matanya tetap… kosong.

Zahra menatap pantulan dirinya dalam cermin. Siapa perempuan di depannya ini? Ia bahkan nyaris tak mengenal sosok itu.

Ketukan pelan terdengar di pintu.

Oma masuk dengan langkah hati-hati. Kebaya navy membalut tubuhnya anggun. Senyumnya hangat saat melihat Zahra.

“Kamu cantik sekali, Nak,” bisiknya, memandangi Zahra seolah menatap cucu sendiri.

Zahra tersenyum kecil.

"terimakasih Oma,tapi....”

Oma menggeleng pelan, lalu menggenggam tangannya.

“Sayang, hari ini kamu akan resmi menjadi bagian dari keluarga kami.”

Zahra mengerjapkan mata pelan, berusaha menahan gejolak di dadanya.

"Oma,Zahra merasa bahwa Zahra sangat tidak pantas untuk bersanding dengan tuan Arya"

Oma tersenyum, mengusap punggung tangan Zahra dengan lembut.

“Tidak ada satu pun di dunia ini yang bisa menentukan siapa yang pantas dan siapa yang tidak. Oma melihat hatimu, Zahra. Bukan statusmu.”

Zahra mengatupkan bibir. Sorot matanya mulai memanas.

"dan Oma memilih kamu karna Oma yakin,Arya akan bahagia hidup bersama mu"ucap Oma tanpa ragu

Zahra menunduk, Hatinya berdesir getir. Kalimat Oma sehangat pelukan.

“Bahagia?” batinnya bergemuruh.

“Apa Tuan Arya bisa bahagia dengan perempuan seperti aku?”

Ia menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang menggenang di pelupuk mata. Ragu. Takut. Dan… sedih.

“Aku hanya pembantu di rumah ini… bahkan selama ini, Tuan Arya tidak pernah benar-benar menatapku sebagai perempuan. Apalagi sebagai calon istri.”

Zahra menarik napas dalam-dalam, menatap pantulan dirinya sekali lagi. Gaun putih itu seperti mimpi. Tapi di balik semua kemewahan, hatinya tetap terasa asing.

disisi lain,diruang tunggu pengantin pria.

suasana jauh lebih hening dan kaku. Tuan Arya duduk di kursi dengan jas hitam yang terpotong rapi, dasinya sedikit longgar, dan tangan menggenggam ponsel yang tak kunjung dibuka. Tatapannya kosong ke arah dinding seolah pikirannya sedang berjalan jauh entah ke mana.

Haikal berdiri di sudut ruangan, bersandar ke dinding sambil mengamati sahabatnya dalam diam. Ia menghembuskan napas panjang, lalu akhirnya mendekat.

"Bro, lo yakin mau jalanin ini?" tanyanya perlahan, nyaris berbisik, seolah takut kata-katanya memecahkan suasana sunyi yang sudah tegang sejak tadi.

Arya tak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas, panjang.

Haikal menatapnya lekat-lekat. “Gue ngerti lo pengen nyenengin Oma.Tapi... menikahi Zahra? Perempuan yang bahkan lo sendiri masih belum sepenuhnya terbuka sama dia?”

Arya akhirnya menoleh. Tatapannya tenang tapi dalam.

“gw nggak punya alasan untuk menolaknya, Kal"

Haikal mengerutkan kening.

“Itu bukan jawaban. Bukan begitu caranya lo nikahin seseorang. Pernikahan tuh bukan cuma soal ‘nggak salah’ atau ‘perempuan baik’. Tapi soal lo yakin, lo pengen hidup bareng dia, setiap hari, dengan segala kekurangannya. Lo bisa bayangin itu?”

Arya menunduk. Jemarinya menggenggam ponsel makin erat. Sejenak, ia menatap layar—nama "Oma" masih ada di riwayat panggilan terakhir. Lalu ia mengembuskan napas pelan.

“gw nggak tahu, Kal. Tapi untuk pertama kalinya… gw ngerasa ini bukan tentang gw lagi.”

Haikal menggeleng pelan. “Tapi Zahra juga manusia, Arya. Dia bukan alat buat nyelametin warisan, bukan pelindung dari tekanan keluarga. Dia punya hati. Dan lo tau kan, Zahra itu bisa terluka lebih dalam dari yang lo kira.”

Arya terdiam.

Kalimat itu menghantamnya pelan, tapi akurat.

Dalam diamnya, pikirannya melayang ke malam-malam singkat yang sempat mempertemukan mata mereka. Senyapnya Zahra. Tatapan gugupnya setiap kali berbicara. Dan terutama caranya menyembunyikan luka dengan senyum tipis yang selalu dipaksakan.

tiba tiba saja,terdengar suara ketukan pelan darj arah pintu ruang tunggu pengantin pria, diikuti oleh suara sopan dari balik pintu.

“Permisi, Tuan Arya. Acara akad akan segera dimulai. Mohon bersiap untuk menuju pelaminan.”

Seorang pria bersetelan hitam, salah satu panitia pernikahan, membungkuk hormat begitu pintu terbuka. Ia tersenyum tipis, menunggu konfirmasi.

Arya mendongak perlahan. Matanya bertemu tatapan pria itu, tapi tak segera berdiri. Ada jeda panjang. Seolah waktu membeku sebentar.

“Baik.”

Hanya satu kata yang meluncur dari bibir Arya. Pelan. Penuh beban.

Ia bangkit dari duduknya. Jas hitam itu kini terasa seperti jubah besi yang membelenggu. Ia merapikan dasi dengan gerakan pelan, lalu menatap bayangannya sekilas di kaca besar di dinding.

Langkah Tuan Arya terasa berat saat keluar dari ruang tunggu. Lorong panjang menuju pelaminan tampak seperti jalan terpanjang yang pernah ia tempuh. Di kanan kirinya, para tamu berdiri memberi jalan, beberapa menyapanya dengan senyum dan anggukan hormat. Namun, semua terasa kabur di matanya.

Haikal mengiringi sampai setengah jalan, lalu berhenti.

“Gue tunggu di sini,” katanya singkat.

Arya mengangguk pelan, lalu meneruskan langkahnya sendiri.

Di bawah panggung pelaminan, Nyonya Ratna sudah duduk anggun, bersama keluarga dan beberapa saksi pernikahan. Pandangan Oma menatap Arya lembut namun penuh harap. Saat mata mereka bertemu, Arya sempat diam sejenak, lalu menunduk hormat.

Ia duduk di kursi pengantin pria, tepat di depan penghulu. Tangan di pangkuan, punggung tegak. Tapi debar di dadanya menggema kencang.

Tiba-tiba musik berhenti. Suasana jadi lebih hening. Lalu pintu sisi ruangan terbuka perlahan.

Semua mata menoleh.

Zahra muncul di ambang pintu, diiringi dua perempuan pembawa bunga. Gaun putih sederhana yang membungkus tubuh mungilnya seolah menyerap seluruh cahaya ruangan. Rambutnya disanggul anggun, dihiasi bunga melati dan bros kecil di sisi kanan bros milik Oma.

Wajahnya pucat, namun tetap indah. Langkahnya pelan. Teratur. Tapi setiap jejaknya terasa berat, seolah satu dunia sedang ia seret bersama keraguan dalam dadanya.

Arya yang duduk di depan, mendongak sedikit. Ia menatap Zahra dengan tatapan yang berbeda. Bukan tatapan kagum tapi ia menatapnya seolah wanita yang akan menjadi beban dalam kehidupan selanjutnya.

Zahra tiba di pelaminan, dan dengan tangan gemetar, ia duduk di sisi kiri Arya. Tak berani menatap langsung, tapi bisa merasakan kehadiran pria itu begitu dekat. Jarak yang dulu tak terjangkau, kini hanya sejengkal.

Penghulu membuka buku nikahnya.

Semua bersiap.

Termasuk dua hati yang sama sama ragu… namun akan segera diikat oleh satu janji suci.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Istri Pilihan Oma   8

    Suasana berubah hening. Semua tamu duduk dengan khidmat. Penghulu membuka acara dengan singkat, lalu meminta Arya untuk mengucapkan ijab kabul. Zahra menunduk, menahan napas. Tangannya dingin, bahkan saat menggenggam kain gaun. Tanpa banyak kata, Arya menjawab dengan suara dalam dan tenang: “Saya terima nikahnya Zahra dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Sejenak sunyi. Lalu terdengar gumaman “sah” dari para saksi. Beberapa tamu mengusap mata haru. Begitupun dengan Oma yang tersenyum lega dan penuh syukur. Zahra tidak berkata apa-apa. Tapi di dalam dadanya, sesuatu terasa mengikat. Bukan hanya janji suci… tapi juga kenyataan yang belum siap ia genggam sepenuhnya. Pesta berlangsung megah. Musik lembut mengalun, aroma bunga memenuhi udara. Para tamu silih berganti naik ke pelaminan, mengucapkan selamat dan doa. Zahra duduk di samping Arya. Ia tersenyum, menunduk sopan pada setiap tamu. Tapi dalam hati, ia masih merasa asing. Semua ini seperti mimpi atau justru drama

  • Istri Pilihan Oma   BAB 7

    Tiga Hari Kemudian Hari Pernikahan Gedung pernikahan mewah di jantung kota, dipenuhi cahaya dan bunga. Tirai putih mengalun lembut, aroma melati dan mawar memenuhi udara. Undangan berdatangan, sebagian besar keluarga besar dan rekan bisnis Nyonya Ratna. Namun hari ini, ada satu pertanyaan yang bergulir lirih di antara bisik-bisik tamu: “Siapa Zahra? Kenapa begitu tertutup kisahnya?” Di ruang rias pengantin wanita, Zahra duduk diam di hadapan cermin besar. Gaun putih panjang menghiasi tubuh mungilnya potongan sederhana, tapi elegan. Rambut hitamnya disanggul rapi dengan hiasan bunga melati segar. Hanya anting kecil di telinganya. Wajahnya dipoles lembut oleh perias, tapi sorot matanya tetap… kosong. Zahra menatap pantulan dirinya dalam cermin. Siapa perempuan di depannya ini? Ia bahkan nyaris tak mengenal sosok itu. Ketukan pelan terdengar di pintu. Oma masuk dengan langkah hati-hati. Kebaya navy membalut tubuhnya anggun. Senyumnya hangat saat melihat Zahra. “Kamu c

  • Istri Pilihan Oma   BAB 6

    Tuan Arya berdiri terpaku di ambang pintu. Matanya tak lepas dari pelukan antara Zahra dan Oma. Untuk pertama kalinya setelah sekian hari penuh ketegangan, ia melihat senyum kembali menghiasi wajah Oma—senyum tulus yang nyaris tak pernah ia lihat sejak wanita tua itu terbaring lemah. Senyum itu pula yang membuat dada Arya terasa hangat.Tanpa sadar, sudut bibirnya ikut terangkat. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Bukan senyum kemenangan—melainkan kelegaan. Keputusan impulsifnya malam ini… ternyata tidak salah.Ia melangkah mundur perlahan, membiarkan Zahra dan Oma menikmati waktu mereka. Lalu menutup pintu kamar dengan hati-hati, tanpa suara. Ia berdiri sejenak di depan pintu, menarik napas panjang, dan mengusap wajahnya yang lelah. Ia menarik napas dalam, lalu merogoh ponsel dari saku celana. Setelah menelusuri daftar kontak, jarinya berhenti di satu nama. Ia menekan tombol hijau. Tak lama kemudian, suara dari seberang menyahut, "hallo,ada apa bro malem malem beg

  • Istri Pilihan Oma   BAB 5

    Tuan Arya melangkah mundur perlahan dari ambang pintu. Ia mengusap wajahnya, lalu menarik napas dalam-dalam. Sorot matanya mengeras."Aku harus cari dia."Tanpa ragu, ia segera berbalik arah dan menuruni tangga dengan langkah yang tergesa. ia tau kemana perginya Zahra,dengan penuh keyakinan ia pun menancap gas mobilnya dengan kelakuan penuh. Sesampainya di depan pintu kamar Zahra— Tok! Tok! Tok! Tok! Ketukan keras itu menggema di lorong sempit. Dinding tipis memantulkan suara. Beberapa pintu kamar lain berderit dibuka. Beberapa kepala mengintip, penasaran melihat siapa yang menggedor pintu malam-malam begini. Tuan Arya tak peduli. Matanya fokus pada satu pintu di depannya. “Zahra!” serunya lantang. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, lebih keras. Tok! Tok! Tok! “Zahra! Buka pintunya! Ini aku, Arya!” Masih sunyi. Arya mendekatkan wajah ke daun pintu, suaranya lebih dalam dan tajam. “Kalau kamu tidak membukakan pintu malam ini, aku akan terus berdiri di sini sampai

  • Istri Pilihan Oma   BAB 4

    Tiga hari setelah kejadian di rumah sakit. Langit sore diselimuti awan tipis, menciptakan suasana tenang saat mobil hitam keluarga Arya perlahan berhenti di halaman rumah. Pintu terbuka, dan Tuan Arya turun lebih dulu, lalu bergegas ke sisi kanan mobil, membukakan pintu untuk Oma. Oma menyambut tangan cucunya yang terulur. Meski masih lemah, wajahnya tetap anggun. Arya menggenggam tangan itu dengan hati-hati, membantu sang oma berdiri dan menuntunnya keluar dengan penuh perhatian. “Pelan-pelan, Oma,” ucap Arya lembut. “Aku tidak selemah itu, sayang,” sahut Oma, tersenyum tipis. Arya hanya tersenyum kecil, tetap mendampingi langkah Oma yang sedikit tertatih. Mereka berjalan melewati halaman depan, menuju pintu utama rumah yang sudah lama tak ditinggali Oma. Saat pintu terbuka,udara sunyi menyambut mereka. Tak ada suara dari dapur, tak ada langkah ringan, tak ada suara halus Zahra memanggil ‘Oma’ sambil membawa air minum seperti biasanya. Oma melangkah perlahan ke dalam

  • Istri Pilihan Oma   BAB 3

    Lorong rumah sakit terasa lengang. Cahaya putih dari lampu-lampu di langit-langit memantul di lantai keramik yang mengilap. Langkah kaki Zahra bergema pelan, menyusuri lorong dengan kepala tertunduk. Jemarinya meremas ujung rok panjangnya. Ia berjalan perlahan, mencoba menjauh dari pandangan Tuan Arya dari sorot mata dingin yang entah mengapa terasa lebih menyakitkan daripada kemarahan. Baru beberapa langkah menjauh, suara itu menghentikannya. “Zahra.” Langkahnya terhenti. Bahunya langsung menegang. Belum sempat menoleh, pergelangan tangannya dicengkeram kasar dari belakang. “T- tuan...” suaranya pelan, gugup. Tanpa menjawab, Arya menariknya menjauh dari lorong. Langkahnya besar dan cepat. Zahra hanya bisa mengikuti, menahan sakit di pergelangan tangannya. Mereka berhenti di depan pintu bertuliskan Balkon Darurat. Arya membukanya paksa dan mendorong Zahra ke luar. Udara sore menyambut, namun yang lebih menusuk adalah sorot mata Tuan Arya. “Apa sebenarnya yang kau cari?” su

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status