Tuan Arya berdiri terpaku di ambang pintu. Matanya tak lepas dari pelukan antara Zahra dan Oma. Untuk pertama kalinya setelah sekian hari penuh ketegangan, ia melihat senyum kembali menghiasi wajah Oma—senyum tulus yang nyaris tak pernah ia lihat sejak wanita tua itu terbaring lemah.
Senyum itu pula yang membuat dada Arya terasa hangat. Tanpa sadar, sudut bibirnya ikut terangkat. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. Bukan senyum kemenangan—melainkan kelegaan. Keputusan impulsifnya malam ini… ternyata tidak salah. Ia melangkah mundur perlahan, membiarkan Zahra dan Oma menikmati waktu mereka. Lalu menutup pintu kamar dengan hati-hati, tanpa suara. Ia berdiri sejenak di depan pintu, menarik napas panjang, dan mengusap wajahnya yang lelah. Ia menarik napas dalam, lalu merogoh ponsel dari saku celana. Setelah menelusuri daftar kontak, jarinya berhenti di satu nama. Ia menekan tombol hijau. Tak lama kemudian, suara dari seberang menyahut, "hallo,ada apa bro malem malem begini nelpon?” “Haikal,” ucap Arya singkat, nadanya datar tapi tegas. "gw mau minta tolong sama Lo, bantu urus semua yang dibutuhkan untuk pernikahan. Secepatnya.” “Pernikahan… dengan Zahra?” suara Haikal terdengar ragu. Arya menatap lantai, rahangnya mengeras. “Ya. Dengan Zahra.” “kenapa Tiba tiba banget?" Arya tak langsung menjawab. Ia berjalan menjauh dari kamar Oma, menyusuri lorong rumahnya yang hening. Setelah beberapa langkah, ia berhenti dan berkata, “Oma ingin ini terjadi. Dan sekarang dia tersenyum lagi… setelah sekian lama.” Haikal terdiam. Arya melanjutkan, lebih pelan, “Aku hanya ingin melihat Oma bahagia. Jadi, lakukan saja. Urus semua yang diperlukan. Dokumen, tanggal, apa pun.” “Baik… Tapi Arya, lo yakin dengan ini? Menikahi Zahra bukan keputusan kecil.” Suara Arya terdengar dingin, tanpa ragu. “gw nggak butuh cinta atau keromantisan di pernikahan ini. gw butuh Oma sembuh dan tenang. Dan kalau menikahi Zahra bisa membuat itu terjadi… maka gw akan melakukannya.” Haikal menghela napas panjang. “Kalau begitu, gw akan urus semuanya" “Terima kasih,” ucap Arya singkat sebelum memutus sambungan telepon. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding. Tatapannya kosong menembus kegelapan ruang keluarga. --- Keesokan harinya Cahaya matahari pagi menyusup lembut melalui celah tirai kamar Oma. Udara masih segar, aroma teh hangat dan bunga melati dari vas di atas meja kecil menyatu dalam keheningan yang menenangkan. Tuan Arya berdiri di dekat jendela, tangan disilangkan di dada. Sorot matanya tajam tapi lelah. Zahra duduk di kursi rotan dekat ranjang Oma, sibuk menuangkan teh ke cangkir, sementara Oma bersandar pada bantal, tersenyum menatap keduanya bergantian. Ada semburat haru di matanya, namun ia mencoba menyembunyikannya di balik senyum ramah. Arya menarik napas sebelum melangkah mendekat. “Oma,” ucapnya dengan nada tenang namun serius. Tatapan Oma langsung tertuju padanya. “Iya, sayang?” Arya berdiri tegak di sisi ranjang, tangannya kini dimasukkan ke saku celana. “Aku sudah putuskan.” Zahra berhenti menuang teh. Tangan mungilnya sedikit gemetar, namun ia tidak menoleh. Arya melanjutkan, “Aku akan menikah dengan Zahra. Tanpa pertunangan. dan akan terjadi dalam dua hari lagi.” Oma terdiam beberapa detik, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak salah dengar. “Kamu… yakin, Arya?” “Aku melakukan ini karena Oma,” jawabnya jujur. Pandangannya tidak beralih. “Aku tahu ini bukan keputusan mudah. Tapi aku sudah bicara dengan Haikal. Semua akan diurus hari ini.” Zahra perlahan menoleh. Tatapannya jatuh pada wajah Arya yang datar tanpa emosi. Jantungnya berdetak tak menentu. Ia belum tahu bagaimana harus menanggapi semua ini. Oma menatap cucunya dalam-dalam, lalu menoleh ke arah Zahra yang masih diam membisu. “Dua hari lagi?” gumam Oma, seakan berbicara kepada dirinya sendiri. “Iya. Hari ketiga dari sekarang, akad akan dilaksanakan di rumah ini. Sederhana. dan akan dihadiri oleh keluarga terdekat saja!" jelas Arya. "Tidak!" suara Oma terdengar mengejutkan. Arya dan Zahra sama-sama menoleh ke arahnya. “Pernikahan ini tidak bisa dilangsungkan sesederhana itu!” lanjut Oma dengan nada yang tak bisa dibantah. “Ini harus semewah mungkin. Dan semua orang harus tahu bahwa kamu telah menikah, Arya. Bahwa Zahra adalah istri sahmu. Bukan sembunyi-sembunyi. Bukan diam-diam seolah kau malu mengakui nya sebagai seorang istri” Zahra spontan menunduk. Jantungnya berdetak kencang. Matanya mulai terasa panas. Ia tidak tahu harus merasa tersentuh atau malah semakin tertekan. Arya menahan napas, lalu melangkah satu langkah mendekat ke ranjang Oma. “Oma, aku paham maksud Oma. Tapi—” “Tidak ada tapi!” potong Oma cepat, dengan mata berkaca-kaca. “Selama ini, kamu terlalu sering memutuskan segalanya sendiri. Menyingkirkan urusan hati dan keluarga demi urusan perusahaan. Tapi kali ini... kali ini, dengarkan Oma" Oma mengusap dada pelan, lalu menatap cucunya dengan sungguh-sungguh. “Ini bukan cuma soal pernikahan. Ini tentang menempatkan kehormatan keluarga kita. Tentang menunjukkan bahwa kamu, cucu satu-satunya, telah memilih istri bukan sekadar karena paksaan. Tapi karena keyakinan. Dan kamu harus berdiri bersama Zahra di depan semua orang. Dengan bangga.” Keheningan menggantung lama di ruangan itu. Lalu, terdengar suara pelan. “Kalau memang membuat pernikahan ini diumumkan secara besar akan menenangkan hati Oma,” katanya pelan, tanpa menatap siapa pun, “arya tidak keberatan.” Arya menoleh cepat ke arahnya. Zahra tetap menunduk, tangannya menggenggam cangkir teh yang hampir dingin. “Oma boleh atur semua, Arya.... akan menurut,” Oma menghela napas. Ia meraih tangan Zahra dan tersenyum bahagia. Sementara itu, Arya hanya diam. Tatapannya kosong menatap ke luar jendela. Ia belum tahu ke mana arah semua ini akan berakhir. Tapi satu hal yang pasti: pernikahan ini akan terjadi. Bukan karena cinta… tapi karena janji untuk membuat sang Oma bahagia.Beberapa hari berlalu sejak malam itu. Tuan Arya memang belum pulih sepenuhnya, tapi suhu tubuhnya sudah turun. Meski begitu, rasa lemas masih sering muncul. Selama itu, Zahra hampir tak pernah jauh dari sisinya. Ia yang biasanya canggung, kini sigap menyiapkan bubur hangat, mengganti kompres, menyiapkan obat tepat waktu. Meski lelah, Zahra tetap tersenyum setiap kali Tuan Arya membuka mata. “Mas harus makan sedikit, biar ada tenaga,” ucap Zahra lembut, menyodorkan sendok berisi bubur. “Aku bisa makan sendiri, Zahra.” “Tapi kalau Mas makan sendiri, buburnya paling cuma disentuh. Sudah, buka mulutnya” Arya terdiam, lalu akhirnya menurut. Setiap suapan terasa lebih dari sekadar bubur,ada rasa hangat yang pelan-pelan meresap ke dalam hatinya. Hingga suatu malam, setelah seharian sibuk merawat Arya, Zahra tertidur di sofa kamar. Kepalanya bersandar seadanya, tanpa selimut. Jemari mungilnya masih menggenggam botol obat. Arya yang terbangun karena batuk kecil, menatapnya lama.
zahra menelan ludahnya gugup, wajahnya sudah merah padam. Jemarinya semakin kuat mencengkeram tirai ruang ganti, seolah itu satu-satunya pelindung yang tersisa. “Ma—Mas… jangan bercanda,” suaranya bergetar. “Ini di butik… banyak orang. Nanti ada yang lihat…” tuan Arya menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas pendek. Ia menepuk tirai lembut, kemudian mundur setengah langkah. “Baik. Aku tunggu di luar.” Suaranya kembali tenang, namun senyum di wajahnya masih jelas-jelas membuat pipi Zahra makin panas. Begitu ia benar-benar menjauh, Zahra buru-buru menutup tirai rapat-rapat. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, berusaha menenangkan diri. Setelah selesai memilih beberapa pakaian di butik, tua. Arya masih terus menuntun tangan Zahra. Mereka berkeliling mal, sesekali berhenti di toko lain untuk melihat barang-barang kecil. Zahra sempat beberapa kali mencoba menolak ketika tuan Arya menawarkan sesuatu, tapi laki-laki itu selalu menatapnya dengan tatapan tegas yang membuatnya
Zahra membeku sejenak mendengar kalimat itu. Ajakan suami pada istrinya. Hatinya berdetak lebih cepat, sementara jemari yang masih menggenggam piring terasa kaku. “Su… suami pada istri?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Arya menatapnya, kali ini tidak menghindar. Ada sorot serius sekaligus lembut di matanya. “Ya. Memangnya salah?” Zahra menunduk dalam-dalam, pipinya terasa panas. “Bukan… bukan salah, hanya saja… saya belum terbiasa mendengar Tuan—eh, Arya bicara begitu.” tuan Arya menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Kalau begitu, anggap saja ini… latihan.”“Latihan?” Zahra mengerutkan dahi. “Latihan untuk terbiasa. Aku suamimu, Dan kau… istriku. Kenapa kita harus terus merasa seperti orang asing di bawah atap yang sama?” suara tuan Arya tenang, tapi ada sesuatu yang bergetar di dalamnya. Zahra terdiam, jantungnya makin kacau. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajah yang mulai bersemu merah. “Aku… saya tidak
Setelah selesai menyuapi Tuan Arya, Zahra segera membereskan piring dan sendok, lalu berjalan kembali ke dapur. Saat punggungnya berbalik, Arya menyandarkan tubuh di kursi, menatap punggung Zahra dengan tatapan yang berbeda dari biasanya lebih lama, lebih dalam. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, tapi ia memilih kembali ke laptop, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Malam pun semakin larut. Suara ombak terdengar sayup dari kejauhan, berpadu dengan semilir angin laut yang menyelinap lewat jendela. Lampu-lampu taman memantulkan cahaya lembut di kolam renang, membuat vila terasa tenang. Zahra sudah berada di kamarnya, mencoba memejamkan mata. Namun, rasa haus membuatnya terbangun. Dengan langkah pelan, ia turun ke lantai bawah, niatnya hanya untuk mengambil segelas air putih di dapur. Begitu melewati ruang tamu, langkahnya terhenti. Di sana, Tuan Arya tertidur di kursi, kepalanya sedikit tertunduk di atas tumpukan berkas, laptop masih menyala di hadapannya. Cahaya layar membua
Beberapa hari kemudian, suasana rumah terasa berbeda lebih hidup, lebih hangat. Oma sudah kembali bisa berjalan dengan bantuan tongkat, bahkan sempat bercanda dengan para pembantu rumah. Senyum di wajahnya tak pernah lepas sejak pagi. Di teras, koper-koper sudah tersusun rapi. Tuan Arya berdiri di samping mobil, mengenakan kemeja biru muda dengan lengan yang digulung, sementara Zahra dengan dress sederhana warna pastel sibuk memastikan semua barang bawaan mereka sudah lengkap. “Sayang, hati-hati di jalan, ya,” ucap Oma sambil tersenyum, matanya berkaca-kaca melihat keduanya bersiap pergi. “Nikmati perjalanan kalian. Jangan pikirkan urusan rumah dulu. Dan…” ia berhenti sejenak, menatap mereka bergantian, “semoga perjalanan ini bisa jadi awal yang baru.” Zahra menunduk sopan sambil tersenyum. “Baik, Oma.” Tuan Arya menyalami Oma, lalu memeluknya singkat. “Kami berangkat dulu ya Oma.” Oma mengangguk sambil tersenyum. “Hati-hati di jalan.” Mereka berdua pun berjalan menu
tuan arya terdiam, menundukkan kepala. Kata-kata Oma berputar-putar di kepalanya, menusuk lebih dalam dari yang ia kira. “Oma…” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Arya… nggak pernah berniat nyakitin dia. Cuma… waktu itu Arya.." Oma menghela napas berat. “Itulah masalahnya, Nak. Kamu terlalu sering nggak mikir panjang. Perkataanmu, perbuatanmu… semuanya meninggalkan luka yang nggak selalu bisa diobati hanya dengan minta maaf.” tuan Arya terdiam lagi. Tangannya mengepal di pangkuan. “Kalau kamu mau, Arya…” suara Oma melembut, “kamu masih bisa memperbaiki semuanya. Zahra itu… anak yang penuh sabar. Tapi kesabaran ada batasnya.” tuan Arya menatap Oma, kali ini lebih lama. “baiklah,Arya akan mencobanya” Suara langkah pelan terdengar dari arah pintu. Zahra muncul sambil membawa nampan berisi teh hangat. Aroma wangi melati mengisi ruangan, namun hawa tegang di antara mereka bertiga tetap terasa. “Permisi, Oma…” ucap Zahra pelan, mencoba tersenyum. Oma menyambutnya dengan t