Ayana turun dari mobil milik Adira, kini ia melangkah tepat dibelakang punggung Adira yang tegap. Langkah kakinya perlahan membawanya pada sebuah gedung fashion yang memang ingin ditujunya hari ini.
Hari ini adalah pertama kali mereka bertemu, dan mereka langsung pergi untuk menemui Designer yang akan mendandani mereka untuk pesta pernikahan yang akan digelar sebentar lagi.
Sorot mata Ayana terus mengitari luasnya gedung. Banyak baju pengantin yang sekedar digantung dan di pasang pada Patung Manekuin untuk dijadikan sample model baju.
“Selamat siang Tuan dan Nyonya Adira, saya Tarisa akan membantu anda untuk memilih baju pengantin,” ucap Tarisa sopan.
Tarisa pun berjalan mendahului Adira dan Ayana menuntun mereka ke ruangan yang sudah disiapkan untuk mereka. Tarisa tersenyum kearah Ayana, menuntun tubuh mungil Ayana untuk masuk ke dalam bilik ganti.
Ayana mengikuti setiap langkah Tarisa tanpa melawan ataupun menolaknya dengan perkataan sama sekali. Di dalam Ayana tertegun melihat gaun megah dan elegant untuk dirinya yang hanya sebatas remaja yang akan tumbuh dewasa dalam waktu dekat.
“Silahkan dipakai, akan saya bantu,” ucap Tarisa sopan.
Sedangkan Adira tengah bergelut dengan Jas hitam yang kini sedang dirapikannya. Tubuhnya tampak gagah dengan pakaian sederhana yang akan ia kenakan saat acara pernikahannya nanti.
“Tuan Adira sangat tampan,” ucap Rena yang membantu Adira merapikan pakaiannya.
Adira tidak mengeluarkan respon lebih selain mengangguk samar. Sorot matanya tampak fokus pada cermin besar dihadapannya. Dari raut wajah Adira, tampaknya ia merasa sangat puas dengan pakaiannya saat ini.
Adira tertegun saat melihat gadis keluar dari bilik ganti, ia bisa melihat Ayana yang sedang berjalan mendekat kearahnya dari pantulan cermin dihadapannya ini.
Adira terus menatap kagum Ayana yang tampak sangat berbeda dengan gaun pengantin. Adira bersusah payah menelan salivanya karena merasakan sesuatu yang berbeda dari dalam tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang hanya melihat Ayana dengan pakaian pengantinnya.
“Tuan Adira, nyonya Ayana sudah selesai,” ucap Tarisa.
Adira pun perlahan memutar tubuhnya menghadap Ayana yang kini sedang berdiri dihadapannya. Adira menatap Ayana sebnetar sebelum akhirnya Ayana memutuskan untuk tidak melakukan kontak mata dengannya.
“Bagaimana? Bukankah nyonya Ayana sangat cantik dengan gaun ini?” tanya Tarisa dengan senyum menggoda kearah Adira yang masih tertegun melihat Ayana.
Wedding Dress V-Neck Sleeve berwarnah putih yang Ayana kenakan saat ini sangat pas ditubuhnya. Kesan gadis sekolah yang melekat pada dirinya, seolah sirna dan kini menjadi gadis dewasa yang elegant.
Adira tampak mengernyit saat Ayana tampak beberapa kali membenarkan bajunya yang memang mengkespos bagian dadanya. “Kamu kenapa?” tanya Adira yang berusaha menatap manik milik Ayana yang sedari tadi menghindarinya.
Ayana tidak menggubris Adira, melainkan ia menatap Tarisa yang memang tahu keluhannya dari awal ia memakai gaun tersebut.
“Nyonya Ayana tidak nyaman dengan baju yang mengekspos dadanya, tapi ini adalah baju yang cocok untuk mendukung penampilan kalian berdua agar tidak terlalu terlihat kesenjangan umurnya,” jelas Tarisa mewakili Ayana yang sedari tadi menatapnya.
Adira mengangguk, ia terus menatap Ayana yang kini kembali menunduk. “Kalau begitu, ganti saja bajunya yang sesuai dengan umurnya,” ucap Adira yang lebih terkesan dingin.
Ayana kini mendongak setelah mendengar pernyataan Adira. Sorot mata Adira yang tajam kini menatapnya, tanpa Ayana bisa artikan arti tatapan tersebut.
“Hanya sebentar, tidak akan jadi masalah untuk saya,” balas Ayana menolak saran Adira.
“Kamu tidak perlu memaksa, aku akan baik-baik saja bahkan jika para tamu membicarakan ku di belakang karena menikahi gadis kecil seperti mu,”
Napas Ayana terkcekat mendengar ucapan Adira yang berhasil mengoyakkan hatinya. Baru hari ini ia bertemu dengan Adira namun ia sudah bisa membuatnya merasa kecewa dengan pribadinya yang tidak baik.
“Bagaimana pun saya tidak ingin mempermalukan bapak,” balas Ayana.
-
Adira memberhentikan mobilnya tepat di depan halaman rumah Ayana yang besar. Ayana keluar begitu juga dengan Adira.
“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Ayana sopan sembari membungkuk sebelum ia akhirnya melangkah masuk ke dalam rumah.
“Persiapkan dirimu untuk besok,” ucap Adira mengingatkan bahwa mereka ada jadwal Foto Prewedding besok.
Ayana mengangguk tanpa berbalik untuk menatap Adira. Ia terus melangkah masuk ke dalam rumahnya yang besar. Ayana menghela dibalik pintu yang baru saja ia tutup. Dalam lubuk hatinya ia bertanya, Apa Adira sudah pergi? Tapi ia tidak mendengar suara mobilnya.
“Sudah pulang? Bagaimana dengan Adira?” tanya Elvina pada Ayana yang tengah bersandar pada punggung pintu berwarna putih tersebut.
Ayana tampak terkejut dengan kedatangan Ibu tirinya itu. “Dia sudah pergi,” balas Ayana cepat.
Ayana melangkah mendahului Elvina yang masih berdiri menatapnya. Hubungan Ayana dan Elvina memang tidak baik layaknya anak dan ibu tiri pada umumnya. Hal itu yang membuat mereka tidak banyak berbicara meski di rumah sekalipun.
“Kenapa kau tidak menyuruh dia masuk?” ucap Elvina dengan nada tinggi.
Ayana menghentikan langkahnya, ia menatap lurus tembok putih rumahnya itu dengan tajam. “Kau tidak perlu memainkan drama di hadapan Adira juga,” sarkas Ayana sebelum ia melenggang pergi.
Ayana menutup pintunya kasar. Kakinya membawanya untuk melangkah mendekati meja belajar miliknya, ia tampak meraih bingkai foto yang memperlihatkan antara dia dan ibunya saat ia berusia 7 tahun kala itu.
Ayana duduk lemas diatas kursi, jemarinya tampak mengusap foto sang Ibu yang tengah tersenyum disana. Kenangan manis bersama sang Ibu kini hanya bisa ia kenang, tanpa ia rasakan kembali.
“Ayana kangen sama mama,” lirih Ayana dengan suara parau.
Air mata perlahan luruh di pipi mulus Ayana. Sekelibat ia merindukan sosok sang Ibu yang selalu menyayanginya, yang selalu ada untuknya di masa ia kecil. Ia sangat merindukan kasih sayang itu lagi.
“Sekarang ngga ada lagi yang bisa belain Ayana Ma,” lanjut Ayana ditengah isakannya.
Sorot matanya menatap sayu foto sang Ibu. Ia memeluknya hangat, seolah bisa merasakan balasan pelukan sang Ibu meski hanya lewat foto.
Semoga kalian suka ^^
Sinar mentari pagi berhasil menembus masuk ke dalam celah gorden bilik Ayana yang tertutup rapat. Sedangkan Ayana masih asik dalam mimpi indahnya. Suara ketukan pintu terdengar samar ditelinganya yang masih belum tersadar penuh. “Ay, ada Adira cepetan bangun,” ucap seorang gadis yang lebih dewasa dari Ayana. Suara ketukan terus berlangsung, hingga pengetuk pintu merasa geram karena tidak adanya sahutan dari dalam. Gadis berambut panjang ikal itu menerobos masuk secara paksa tanpa adanya izin dari pemilik kamar. Tiara Salshabilla Adi Wangsa, kakak tiri Ayana yang merupakan anak kandung ibu tirinya dengan mantan suaminya. Umurnya tidak jauh darinya, hanya berkisar 5 tahun lebih tua darinya. Tiara menghentikan langkahnya saat melihat Ayana yang masih terbaring lelap dalam tidurnya. Ia pun akhirnya dengan keras menarik selimut yang membungkus tubuh Ayana agar tetap hangat, tindakan Tiara pun berhasil membuat tidur Ayana terusik. Ayana p
"Orang yang terlihat sangat bahagia, menyimpan luka besar di dalam dirinya." - Ayana duduk disamping kursi kemudi. Sudah dua jam ia menghabiskan waktu untuk pemotretan hari ini, dan kini mereka sedang dalam perjalan untuk melihat rumah yang akan mereka tinggali. Sepanjang perjalanan, pikiran Ayana terus bergelut pada sikap Adira yang tiba-tiba memeluk pinggangnya dengan erat, alih-alih ia kesal pada Ryan yang terus menggoda Ayana. “Mau makan dulu?” tanya Adira memecah keheningan antara mereka berdua. Ayana menoleh kesamping dan mendapati Adira yang kini sedang menatapnya. “Bapak lapar?” tanya Ayana yang kemudian di angguki oleh Adira. Ayana pun tersenyum, “Yaudah kita mampir dulu buat makan.” ucap Ayana. Suasana kembali hening, kini hanya terdengar alunan musik yang keluar dari playlist radio yang sedang Adira mainkan. Dinginnya air conditioner yang keluar dari mesin mobil Adira, berhasil merasuk hingga kedalam tubuh masing-masing
Kini Adira berjalan diantara para tamu undangan dengan balutan Jas Hitam yang melekat pada tubuh sempurnanya untuk menjemput Ayana yang berdiri diujung karpet yang tengah ia pijak saat ini. Senyumnya terpancar atas kebahagiaannya hari ini bisa menikahi Ayana. Adira tampak mengulurkan tangan kananya untuk menggandeng tangan Ayana menuju pusat tamu, dimana mereka akan melakukan dansa disana. Aji tampak menyerahkan tangan kanan putrinya pada lelaki yang kini akan bertanggung jawab atas hidup anaknya sekarang. Adira pun menggenggamnya dengan kuat dan kini menuntun Ayana dengan perlahan untuk menuju tempat yang sedang mereka tuju. Adira kini berdiri menghadap Ayana, tangan kanan dan kirinya perlahan memeluk pinggang ramping milik Ayana. Sedangkan Ayana tampak mengalungkan kedua tangannya pada pundak tinggi Adira. Sorot lampu kini hanya berfokus pada mereka berdua, dentingan piano kini mengalun dengan romantis menemani dua insan ini yang se
yana merebahkan tubuhnya di atas Sofa ruang tamu setelah ia membersihkan tubuhnya. Ia lelah karena sudah berjalan untuk membagikan masakannya pada tetangga di dekat rumanya. Menurutnya masakan itu akan terbuang sia-sia, dan perjuangannya untuk memasak tidak akan ada nilainya. Ayana kini tampak fokus dengan buku tebal yang ia pegang. Ujian untuk masuk Universitas semakin dekat, dan ia harus bisa lolos seleksi untuk melanjutkan kuliah di Universitas impiannya. Suara dering telepon rumah kini memecah hening suasananya. Ia pun mendekat dan kini mengangkatnya. “Halo,” sapa Ayana sopan. “Na ini Papa Rajendra,” Ayana sempat terkejut saat mertuanya kini menelponnya melalui telepon rumah. Ia pun segera membenarkan posisi duduknya menjadi tegap. “Ada apa Pa?” “Adira dirumah kan? Soalnya Papa telepon dari tadi dianya ngga angkat. Papa takut dia tinggalin kamu dirumah sendirian, ini kan hari pertama kalian menikah. Awas aja kalau dia sampai berangkat ke k
Adira terkejut dengan suara Alarm nyaring yang menembus gendang telinganya. Ia tampak menyesuaikan cahaya lampu yang masuk menembus retinaya. Jam sudah menunjukkan pukul 07:00 AM. Ia pun segera bangun dan pergi menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Kini Adira sudah siap dengan pakaian kantornya. Ia menghadap kearah cermin, melihat bagaimana gagahnya ia saat ini. Setelah semuanya rapi, kini ia mengambil tas kantornya dan melenggang meninggalkan kamarnya. Adira mengernyit heran saat tidak mendengar suara bising karena tingkah Ayana pagi ini. Ia pun melangkah menuju dapur, dan mendapati makanan yang sudah siap disana. Adira mendekat saat ada sepucuk surat di dekat makanan tersebut. Selamat pagi, Pak. Saya pergi pagi-pagi sekali hari ini karena ada test untuk masuk perguruan tinggi. Saya sudah mencoba membangungkan Bapak dengan mengetuk pintu berkali-kali, tapi Bapak tidak kunjung bangun jadi saya memutuskan untuk menulis surat ini, hehehee.
Adira membuka pintu rumahnya, tubuhnya sangat lelah hari ini karena sudah menemani Zayna sepanjang hari untuk menyenangkan hatinya. Adira mengernyit saat lampu di ruang tamu mati, karena Adira selalu menyalakannya sepanjang hari. Ia pun bergerak untuk menuju saklar lampu dan menekannya. Ia terkejut begitu lampu menyala, kini dihadapannya ada sosok gadis yang ia yakini adalah Ayana. Ayana duduk menghadap tv berada, dan menatap lurus dalam diam. “Kok kamu belum tidur?” tanya Adira sembari berjalan mendekat kearah Ayana Ayana menoleh kearah Adira, kini mata mereka saling bertemu tatap. “Saya nunggu suami pulang,” jawab Ayana. “Saya sudah pulang, sekarang kamu tidur.” Ucap Adira tegas. Adira pun melangkah untuk meninggalkan Ayana yang masih diam di ruang tamu. “Saya ngga bisa tidur Pak,” sahut Ayana cepat. Adira terus melangkah menghiraukan Ayana yang kini menatap punggungnya dalam. “Saya tadi lihat Bapak bersama wanita sedang berbela
Aku mengeliat saat ada sinar yang berusaha masuk menembus retinaku. Perlahan aku membuka mata, dan terkejut saat ada wajah dingin yang tidak pernah perduli padaku kini berada dihadapanku. Sorot matanya yang tajam, kini tidak menakutkan kala ia menutup matanya. Bulu matanya yang lentik, dan alisnya yang tebal serta hidung dan bibir yang proporsinya sangat pas dengan wajahnya, menjadikannya sangat tampan. Ditambah lagi aku bisa melihatnya sedekat ini, seolah bagaikan mimpi untuk ku. Tapi bagaimana bisa aku bisa berakhir tidur satu ranjang dengannya? Bukankah semalam aku tidur di Sofa? Aku segera menutup mata kembali saat melihat pergerakan tubuh dari Adira. Aku tidak mau ia merasa malu saat ku pandangi dari dekat. “Na bangun,” ucap Adira dengan suara seraknya. Dalam hati ku rasanya ratusan kupu-kupu telah terbang tinggi, senang sekali mendengarnya membangunkan ku untuk pertama kalinya dengan suaranya yang serak. Aku berakt
WARNING 18+ - Adira mengetuk pintu Apartemen milik sang kekasih berkali-kali, namun tidak kunjung di bukakan. Ia pun sesekali menelepon nomor milik Zayna, namun tidak kunjung mendapat jawaban. “Ke mana sih, ngga tahu apa aku lagi kangen,” lirih Adira dengan tangan yang terus mengetuk dan memencet bel Apartemen milik Zayna. Sudah hampir sepuluh menit ia berdiri, dan kini orang yang ditunggunya pun sudah datang dengan raut wajah berantakan. “Hai sayang,” ucap Zayna pada Adira. Adira mengikuti langkah kaki Zayna yang kini masuk kedalam Apartemen miliknya. Sorot mata Adira melihat sekeliling ruangan yang tampak berantakan. Seluruh bantal sofa berhamburan di lantai, dan banyak barang yang tidak berada di tempatnya. “Kok Apartnya berantakan sayang?” tanya Adira karena merasa penasaran apa yang sudah terjadi semalam di Apartemen miliknya ini. “Aku habis party semalam sama teman ku, dan belum sempat beresin paginya,” jawab Zayna cepat sembari membersihkan ruang