Kirana tersentak kaget dan langsung mendongak. Tatapan matanya terfokus pada tisu yang disodorkan untuknya. Ia meraih sedikit pelan, lalu menghapus bekas air matanya.
“Kamu karyawan baru di LKI, kan?” Fikri mengingat-ingat wajah yang tak asing di hadapannya itu. Beberapa kali sempat berpapasan di kantor, meski tak bertegur sapa. Ia juga pernah secara tidak langsung menyelamatkan gadis itu dari perdebatan tak berkesudahan Dzaka beberapa satu pekan lalu.Kirana menganggukkan kepala sebagai jawaban.“Oh, kerja di kafe itu juga?” tanyanya sambil menunjuk sebuah kafe yang beroperasi dua puluh empat jam itu. “Apa nggak capek pulang dari kantor harus bekerja lagi di kafe?”Kirana tersenyum masam. “Capek, Pak. Tapi, mau bagaimana lagi? Saya harus melakukannya.”“Apa gajimu di kantor tidak cukup?” Fikri menautkan kedua alisnya.Lagi, Kirana tersenyum. “Jika hanya persoalan biaya hidup, sudah lebih dari cukup, Pak. Tapi, ada hal lain yang membuatnya jauh dari kata cukup.”Fikri mengangguk. Tak lagi ingin bertanya lebih karena dirasa kurang pantas menanyakan hal privasi orang lain.“Oh, ya, panggil saja, Fikri. Tidak usah pakai Pak. Dan ngomongnya pakai aku kamu aja. Terlalu formal kalau pakai saya.”“Duh, kalau panggil nama rasanya tidak sopan, Pak. Atau Mas Fikri saja?”Fikri tertawa mendengar penawaran gadis yang belum diketahui namanya itu. “Iya, senyaman kamu saja. Asal bukan Pak.”“Oke. Aku Kirana, Mas.”Sesaat, suasana mendadak hening. Tercipta kecanggungan di antara mereka.Melihat gadis polos itu, mendadak Fikri punya ide.Ah, ia tidak menuduh, tapi hanya menduga kalau Kirana sedang butuh uang. Tidak ada salahnya, menawarkan pekerjaan yang tak biasa itu, mungkin. Terlebih, Kirana juga sampai bela-belain bekerja dari pagi sampai malam demi, bukankah itu semua demi pundi-pundi?Ia tiba-tiba teringat perintah Dzaka atasannya tadi siang.“Fik, carikan seorang gadis yang bisa dibayar untuk berpura-pura menjadi calon istriku di hadapan bunda,” titah Dzaka dua hari lalu pada Fikri yang sedari tadi berdiri mematung mendengarkan keluh kesah atasannya itu.“Jangan gegabah, Tuan. Kita harus memikirkan cara yang lebih baik.” Fikri berusaha bersikap santai.“Tidak ada cara lain. Aku sudah habis akal memikirkannya.”“Tapi, ini terlalu berisiko, Tuan. Kalau sampai Nyonya Andari tau, beliau akan marah besar. Jadi, pikirkan juga jangka panjang dari ide itu. Tuan bisa saja terjebak dalam sandiwara berlarut-larut.”Fikri terus berupaya untuk mengajak Dzaka berpikir lebih jernih. Ia tidak mau melihat atasan yang dianggapnya seperti sahabat justru terperangkap ke dalam kubangan dustanya sendiri.“Aku tidak peduli. Sekarang, aku hanya mau membawa calon istri ke hadapan bunda. Sekalipun, itu hanya pura-pura,” kekeh Dzaka. Dia bahkan merasa hidupnya sangat miris.“Baiklah, Tuan. Aku akan usahakan secepatnya.” Fikri memilih mengakhiri perdebatannya dengan atasannya. Toh, ia sudah paling tahu bagaimana Dzaka jika keinginannya tidak dituruti. Dia akan mengamuk, bahkan kadang tak segan untuk menonjoknya.Fikri mengembuskan napas pelan tatkala mengingat perintah Dzaka yang seakan-akan tidak bisa dibantah.Melihat Kirana membuat ia kepikiran sesuatu.“Aku ingin menawarkan kamu pekerjaan, tapi jangan tersinggung. Karena ini agak sensitif sebenarnya.” Fikri memecahkan kembali keheningan di antara mereka.“Apa itu?” tanya Kirana bingung.“Kamu mau jadi calon istri pura-pura Tuan Dzaka?” tanya Fikri langsung to the point.Kirana melotot kaget. Pekerjaan macam apa itu? Dia saja tidak dekat dengan Tuan Dzaka.Jangankan dekat, bertegur sapa saja tidak pernah. Ah, Kirana ingat, ia pernah sekali memaki atasannya itu di halaman kantor karena mobilnya hampir menabrak dirinya hingga tangan dan lututnya lecet, ditambah pergelangan kakinya ikut sakit karena keseleo. Kirana hanya tahu dari mulut karyawan lain kalau yang disebut Tuan Dzaka oleh Fikri itu orangnya ini dan itu. Berpura-pura menjadi calon istrinya, bukankah sama saja mencari neraka kehidupan sendiri?“Tuan Dzaka? Direktur utama di kantor bukan, Mas?”Fikri mengangguk.“Waduh … aku takut, Mas. Bagaimana mungkin aku harus berpura-pura menjadi calon istri pimpinan perusahaan? Ini terlalu berisiko untuk hidup dan pekerjaanku. Aku tidak mau nanti menjadi sorotan publik di luar sana. Menjadi bahan gunjingan karyawan lain di kantor. Citraku jadi buruk nanti, Mas,” jelas Kirana panjang lebar.“Lagian, kenapa harus cari calon istri pura-pura? Apa Pak Dzaka sudah tidak begitu laku?”“Jaga ucapanmu, Kirana. Tuan Dzaka akan marah jika mendengarnya.” Fikri memperingatkan.“Maaf, Mas. Oh, ya, bukankah di kantor ada aturan yang tidak memperbolehkan orang-orangnya punya hubungan, baik itu atasan dengan karyawan ataupun karyawan dengan karyawan?” Kirana mengingat aturan aneh yang sempat didengar dari karyawan lain.Bukannya membenarkan, Fikri malah tertawa. Dia tahu memang ada peraturan yang seperti itu, tapi bukan begitu maksudnya. Lantas, bagaimana?“Kamu tidak pernah membaca draft tata terbit?” tanya Fikri. “Hubungan yang dimaksud tidak boleh itu yang melewati batas, yang menganggu pekerjaan, dan yang merusak citra perusahaan. Perusahaan itu tidak bisa mengendalikan perasaan pekerjanya, tapi harus meminimalisir risiko jatuhnya perusahaan karena kelakuan orang-orangnya,” tutur Fikri menanggapi kesalahpahaman Kirana. Dia tahu gadis ini tidak membaca draft tata tertib sampai selesai.“Kalau kamu mau bekerja sama, status kalian akan dirahasiakan di media. Identitasmu juga. Pokoknya kamu akan aman. Aku juga akan melindungi kamu. Jadi, tenang saja. Tidak ada imbasnya sama sekali dengan pekerjaan kamu di perusahaan. Lagian, kamu hanya pura-pura dan tidak sedang menjalin hubungan dengan atasan, dalam kata lain kalian tidak sedang berpacaran. Bonusnya, kamu dapat bayaran yang cukup besar.”Mendengar itu, Kirana merasa tertarik. Dia seakan mulai terobsesi dengan uang. Ya, uang. Bukankah misi yang ia bawa dari kota kelahiran ayahnya itu membutuhkan uang?“Seandainya aku menerima, apa yang harus kulakukan dengan sandiwara itu, Mas?”“Kamu hanya harus berpura-pura menjadi calon istri Tuan Dzaka di hadapan orang tuanya.”Kirana terdiam sejenak. Ia terlihat berpikir.“Selebihnya, nanti kamu tanyakan pada Tuan Dzaka harusnya kamu bagaimana dan seperti apa. Termasuk nominal pembayaran, diskusikan sendiri dengannya, karena aku tidak punya hak lebih dari ini.”Kirana mengangguk paham dan memutuskan untuk berpikir terlebih dahulu. Dia akan menghubungi Fikri jika sudah menemukan jawabannya.***Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.05 dini hari, tetapi matanya masih enggan untuk terpejam. Rasa bersalah kepada orang tuanya kian mencekik batin. Pertemuannya kembali dengan sosok dari masa lalu membuat Kirana seakan tak bisa menepis rindu dan kenyataan untuk tak bersama. Rasa cinta itu utuh dalam kalbu. Kirana menyadari bahwa hal itulah yang menjadi ketakutan sang ibu beberapa waktu lalu saat dirinya pamit ke Jakarta.Dua tahun sudah berlalu, semenjak kejadian dirinya dimarahi habis-habisan karena ketahuan orang tua tengah menjalin hubungan dengan pria beda agama sewaktu Rey datang ke Makassar membawa niat unt
“Enya atuh, Dzaka. Sekarang Bunda teh bebaskan kamu. Kalau kamu tidak mau mengenal gadis yang Bunda ingin kenalkan. Please, Dzaka bawa gadis pilihannya ke hadapan Bunda. Mau saha aja, asal itu teh bukan Clarissa. Sebab, jika Clarissa, sampai iraha pun Bunda enggak akan rido.”(“Baiklah, Dzaka. Sekarang, Bunda bebaskan. Kalau kamu tidak mau mengenal gadis yang Bunda ingin kenalkan. Silakan, Dzaka bawa gadis pilihannya ke hadapan Bunda. Mau siapa saja, asal itu bukan Clarissa. Sebab, jika Clarissa, sampai kapan pun Bunda enggak akan rido.”)“Iya, Bunda. Segera akan Dzaka bawa gadis yang Dzaka mau.”“Kumaha maneh we. Bunda tunggu kabar baiknya.”(“Terserah kamu saja. Bunda tunggu kabar baiknya.”)Pria itu mengerang frustrasi di meja kerjanya. Ucapan sang bunda terus terngiang-ngiang menghantui pikirannya. Dia selalu saja didesak akan hal serumit itu. Bagaimana tidak? Dzaka sama sekali tidak bisa mengenalkan gadis manapun ke hadapan bundanya. Sejauh ini, ia hanya mengenal satu orang gadis
Jeans hitam dan kemeja putih digulung sesiku membalut tubuh kekar pria yang berdiri sembari melipat tangan di depan dada. Kini, dia sudah berada di area perjanjian dinner dengan bundanya malam ini. Fikri setia mengawalnya ke mana pun dan di mana pun. Sengaja, mereka berdiam di tempat yang tak terlalu banyak orang berlalu lalang, sembari menunggu sosok yang akan membantu menyelamatkan reputasinya dalam mencari cinta di hadapan sang bunda.Lelah sudah dia dikecam dengan ancaman perjodohan jika tak membawa calon istri. Meski disadari, apa yang dilakukan ini adalah sebuah kesalahan yang justru mengancam semakin memperburuk citranya jika ketahuan memanipulasi keadaan. Tapi, jalan pikirannya sudah buntu. Tak lagi bisa berpikir jernih walau sesaat.Sepuluh menit sudah mereka menunggu, tapi yang ditunggu belum kunjung menampakkan batang hidungnya. Sesekali, Dzaka mendengkus sebal dan melihat jam tangannya. Dia paling tidak suka menunggu. Apalagi, di tempat dijangkau sedikit cahaya, banyak n
Senyum manis terpancar di wajah Kirana saat kalimat itu diucapkan Dzaka, walaupun kini ia susah payah menelan ludahnya sendiri. Ia belum pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang pria di hadapan orang tuanya. Tentu saja, karena cinta pertamanya tak mendapat restu sama sekali. Dia juga tidak pernah dibawa untuk bertemu orang tuanya Rey.“MasyaAllah, Very-very smart bujang Bunda cari calon istri geulis pisan ini teh.” Wanita berhijab pashmina yang dimodel sedemikian rupa itu berbicara dengan logat sunda dan kadang dibumbuhi dengan Bahasa Inggris, sudah menjadi ciri khasnya yang memang lahir di Bandung dan kerap ke luar negeri dalam waktu yang lama.Kirana hanya tersenyum kikuk, malu-malu dipuji sedemikian frontal-nya. “Bisa aja, Tante.”“Aduh, kumaha ini teh konsepnya? Jangan panggil Tante atuh, Neng. Panggil Bunda aja. Biar terbiasa, jadi harus dibiasakan dari sekarang mah nya,” ujarnya.Tak berselang begitu lama, seorang pelayan menghampiri mereka. Setidaknya, hal itu bisa memutu
“Ada apa kiranya kamu menemuiku, Rey?” tanya Kirana berusaha keras untuk mengalihkan pandangannya dari pria itu.Ada rasa yang sulit untuk ditafsirkan tatkala melihatnya. Dia berusaha tetap tegar dan menahan luapan rasa yang menggebu dalam dadanya.“Aku mengkhawatirkanmu, Kiranaku. Kamu tidak datang ke kafe hari ini,” jawabnya.“Aku ada urusan, Rey. Bukankah aku sudah meminta izin ke Raya sebelum kamu datang ke kafe tadi?”“Tentu, aku tahu itu. Tapi, bolehkah aku tahu siapa sosok yang mengantarmu tadi?” tanyanya, mencari jawaban kejujuran di mata Kirana.Kirana tersenyum singkat. “Bukan siapa-siapa. Dan kurasa itu bukan urusanmu untuk mengetahuinya.”“Aku paham.” Rey menunduk, lalu kembali memandang Kirana, dalam-dalam. “Jujur … dan maaf karena sampai saat ini aku senantiasa masih merindukan dan menginginkan cintamu, Cahayaku.”Ucapan Rey itu membuat Kirana susah payah menelan ludahnya. Rindu? Sejatinya, ia tak bisa bohong bahwa juga merindukan sosok yang haram untuknya dirindu.“Aku
Pertanyaan itu membuat Kirana diam. Wulan memang sudah tahu perihal Kirana yang bertemu kembali dengan Rey. Bahkan, Kirana bekerja di tempatnya Rey. Sempat, Wulan meminta Kirana untuk berhenti bekerja di sana, tapi putrinya itu menolak dan ia akan bertahan sedikit saja. Seenggaknya, sekarang pun Kirana ingin sekali jujur bahwa Rey masih terus mengejarnya. Namun, ia takut jika kejujurannya nanti hanya menciptakan kecemasan dalam batin ibunya. Minimal, Kirana berjanji bisa meminimalisir perasaan dan mengatasi masalahnya dengan Rey sendiri.“Kita sering bertemu, Bu. Karena Nana kan setiap malam memang kerja di tempatnya Rey juga.”“Ibu paham. Ibu Cuma tidak mau kamu terjerumus lagi. Tetap jaga sikap dan ingat selalu pesan-pesan Almarhum Bapak.”Kirana mengangguk.“Tapi ingat, Nana pernah janji sama Ibu kalau Kak Jihan sudah sembuh, akan berhenti bekerja di sana. Ibu sebenarnya tidak rela melihat kamu dan Rey masih terikat satu sama lain, meskipun itu karena pekerjaan. Akan sulit untuk ka
Gadis berhijab abu-abu muda itu mulai menginjakkan kaki di jalan berpeping halaman kantornya. Seperti biasa, dia lebih memilih turun di pinggir jalan tak jauh dari gedung daripada harus diantar oleh Abang Gojek hingga ke depan lobby.Bukan malu, tapi Kirana lebih suka saja jalan kaki dari luar. Seandainya pun kos-nya dekat, dia mungkin lebih memilih jalan kaki. Namun, sayangnya karena jarak tempuhnya lumayan nguras tenaga jika harus ditempuh dengan berjalan kaki.“Kirana … tunggu!” suara teriakan itu sontak membuat Kirana menghentikan langkah. Dia berbalik, melihat sumber suara cempreng yang sangat dikenal selama hampir sebulan bekerja.“Apa, Din?” tanya Kirana sembari mengangkat satu alisnya. “Suaranya sampe gedung sebelah tau.”“Hari Minggu nanti kamu free, nggak?” tanya Dina. Mereka sembari terus berjalan beriringan.Kirana berdehem pelan. “Aku kerja pagi di kafe. Kenapa?”Dina memanyunkan bibir tipisnya. “Yaaa … padahal mau m
Kirana memejamkan mata sebantar. Berusaha mengatur emosi yang mulai tak stabil. “Kalau begitu, kenapa aku harus terus menerus ikut terjerumus ke dalam sandiwaramu, Tuan?” Kirana menghela napas, lalu berjalan menghampiri Dzaka. Kemudian duduk di sofa lain tanpa dipersilakan. “Aku mungkin dibayar, tapi tidak bisa seenaknya diatur. Tuan bisa saja menjadikanku tameng karena uang, tapi aku bukan robot yang bisa mengikuti segala perintahmu tanpa memikirkan urusan pribadiku.”Wajah Dzaka berubah datar. “Lo bisa izin, kan?” tanyanya. “Gue bisa bayar dua kali lipat dari gaji lo yang hilang satu hari itu.”Kirana bergeming. Entah ada apa dengan dirinya yang dulu sangat berambisi untuk mendapatkan uang banyak, kini seakan-akan seperti tak butuh.Ah, bukan tidak butuh, tapi sisi lainnya justru memikirkan hal yang lain. Ia merasa telah sangat bersalah karena membantu seseorang berbohong dan mengorbankan pekerjannya.Kirana pun tak tahu apakah uang banyak yang