Sebenarnya, aturan perusahaan yang menekankan kedisiplinan pada karyawan, Kirana sudah tahu. Tapi, soal peraturan dilarang menjalin hubungan justru Kirana baru tahu dari rekan-rekan sesama karyawan di lift tadi.
Hanya saja, Kirana tak akan mempermasalahkan itu. Ia hanya berharap akan betah dengan karir yang digelutinya di sini. Gaji yang dia dapat dari perusahaan berkelas seperti PT Langit Karya Indonesia juga lumayan besar.
Kirana sadar, bahwa sudah menjadi tugasnya membantu perekonomian keluarga yang berantakan semenjak kepergian ayahnya, tiga bulan yang lalu. Bahkan, karena tuntutan ekonomi yang hancur membuat Kirana harus memutar otak agar bagaimana ia bisa mendapatkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Ia bahkan terpaksa meninggalkan ibunya di Makassar bersama adik dan kakaknya. Tentu, ia tak hanya mengandalkan gaji sebagai karyawan biasa di Jakarta. Ia juga bekerja paruh waktu sebagai seorang barista di sebuah kafe.
********
Sepulang dari kantor tadi, Kirana langsung menuju kafe tempatnya bekerja.
Dia sudah mulai bekerja paruh waktu dari tiga hari yang lalu.
Beruntung, karena pemilik kafe itu mengerti kondisi Kirana, sehingga memberinya kesempatan untuk bekerja setelah pulang kantor sampai jam 12 malam.
Kirana tak keberatan dengan jam kerjanya, meski itu memang cukup butuh penyesuaian karena besoknya juga harus bekerja pagi sampai sore.
Hari ke-4 bekerja di kafe itu cukup berat.
Terlebih, ia juga kini sudah mengenali pemilik kafe yang lainnya. Bahkan, ia sempat bertemu dengannya.
Saat melamar kerja, Raya sempat mengatakan padanya kalau kafe itu dirintis bersama dengan saudaranya yang dipisahkan selama 23 tahun.
Tanpa menyebutkan nama, katanya, saudaranya itu sedang ada urusan di luar kota.
Namun, bagaikan tersambar petir, Kirana sekarang merasakan hatinya diaduk-aduk.
Matanya memanas begitu melihat sosok yang selama ini masih dirindu, meski berusaha ia jauhi.Sosok itu ternyata salah satu pemilik 2R Café—tempatnya bekerja sampingan untuk mendapatkan penghasilan lebih demi misi yang ia bawa dari kota asalnya.
"Kirana?"
Deg!
Ucapan pria itu membuat Kirana terkesiap. Apakah rencana Allah di balik pertemuan ini?
Kirana sudah berusaha membunuh rasa cintanya dengan pulang ke Makassar setelah lulus kuliah dan menetap di sana.
Meski, sosok terkasihnya sempat datang untuk meminang dirinya, tapi ditolak oleh keluarganya karena berbeda iman. Setelah itu, dia tak pernah lagi datang karena telah bersepakat untuk mengakhiri semuanya. Sebab, Kirana menyadari bahwa cinta yang tercipta di antara mereka adalah sebuah kesalahan.
“Kita bertemu lagi, Kirana. Cahayaku,” ucapnya lagi dengan nada lirih, “aku merindukanmu. Aku nggak sanggup dan tidak akan pernah sanggup melupakanmu.”
Kirana dapat merasakan rindu di mata pria itu.
Tangan Kirana mengepal, berusaha menafikan perasaannya.
Dengan segala pertahanan diri tersisa, Kirana pun akhirnya berbicara. “Aku tidak mau mendengar hal itu lagi, Rey. Bukankah kita sudah sepakat untuk mengakhiri semua dengan baik-baik. Kalau kamu memang mencintaiku, relakan aku karena kita berbeda.”
“Aku nggak akan pernah menukar Tuhanku denganmu, Rey!” Baru kali ini, seumur hidupnya Kirana membentak seseorang.Apalagi, dia adalah pria yang didamba. Sosok yang selama ini tidak pernah ditepis dalam kalbu dan ingatannya.
“Aku bekerja di sini, karena aku butuh pekerjaan tambahan. Maka kumohon kita bisa profesional sebagai seorang owner dan barista. Maafkan aku, Rey.”Tanpa sadar, air mata Kirana luruh.Ia pun melangkah pelan dengan sekelabat bayang menghantui dan segenap rasa yang menghancurkan pertahanannya.
Selama di kafe tadi, dia masih bisa menahan gejolak hatinya yang berkecamuk. Namun, tidak setelah ia pulang kerja. Semuanya tampak kembali mengenang kisah cinta yang indah, tapi berakhir luka.
Kirana memutuskan untuk duduk di halte terlebih dahulu, menetralkan guncangan batinnya yang naif sekali dianggap sudah rela melepasnya.Dia menutup wajah dengan tangan, tubuhnya terguncang hebat karena menangis.
Pikiran-pikiran yang kalang kabut membawanya berkelana pada kisah pilu di masa lalu.
“Apakah kau mencintai putriku?” Ayahnya memandang tegas Rey yang kala itu duduk di hadapannya. “Sungguh, aku mencintainya dengan tulus, Om. Bahkan, jika Anda mengizinkan, akan kukerahkan diriku untuk melamarnya,” jawab pria itu mantap seraya mendongakkan sedikit kepala untuk menatap lawan bicara.Suasana mendadak berubah hening. Arman, pria yang identik dengan peci dan kumis tebal yang terkenal paham agama di kompleksnya terdiam, sesekali memejamkan mata dan meneguk salivanya dalam-dalam, dia tidak menyangka dengan kenyataan yang baru saja disuguhkan untuknya.“Aku menghargai perasaanmu, tapi agama kami tidak membenarkan cinta berbeda iman. Haram hukumnya orang tua menikahkan putrinya yang islam dengan laki-laki yang bukan islam. Pulanglah ke rumahmu. Kalau kau memang mencintai putriku, maka jauhi dia. Biarkan dia menemukan cinta sejatinya dengan yang seiman.”Cukup lama, obrolan mereka berlangsung, tapi hanya seputar untuk mengakhiri cerita cinta berbeda iman yang telanjur terukir di hati putrinya dan anak muda yang diketahui satu kampus dengan sang putri.Sampai pada akhirnya, pemuda itu pamit undur diri dengan raut kekecewaan yang jelas terpatri di setiap garis wajahnya.Ingin rasanya, Kirana yang berdiri di balik tirai dapur rumahnya itu menghampiri. Menyampaikan permintaan maaf kepada sang kekasih hati, barangkali ada perkataan orang tuanya yang mengganjal di hati. Namun, ia melihat tatapan sang bapak seperti mengawasi, membuat kakinya berat untuk melangkah.
Perempuan bermata seperti biji kacang almond itu mengalihkan langkahnya ke kamar dan menguncinya rapat-rapat. Dari jendela kamar, dia melihat kekasih hatinya masuk ke dalam mobil.
Setelah mobilnya meninggalkan halaman rumah, Kirana mendengar panggilan dari Arman dan segera menghampiri beliau. Wulan, ibunya juga sudah menunggu di ruang keluarga.“Bapak dan Ibu mengkuliahkan kamu jauh ke luar kota bukan untuk berpacaran, Kirana, melainkan untuk menuntut ilmu. Supaya kamu bisa selamat di dunia dan juga akhiratmu. Tapi, bagaimana kamu mau selamat kalau perbuatanmu itu mendekati zina?” murka Arman.“Sebagai anak berpendidikan tinggi, kamu harus menjadi teladan untuk adikmu, kamu memikul tugas kakakmu yang gagal dia emban. Tapi, bagaimana kamu bisa menjadi teladan kalau kau menjerumuskan dirimu ke dalam kekafiran?”Tanpa meminta jawaban, Arman kembali bertanya, “Apa kamu mau dilaknat Allah karena perbuatanmu? Apakah kamu ingin mencemarkan kembali nama baik orang tuamu di lingkungan karena ada seorang haji yang menikahkan anaknya dengan seorang kafir?”Layaknya tsunami yang siap menggulung bumi dan menyeret Kirana ke dalam pusarannya, Arman terus menumpahkan kemarahannya yang meluap-luap. Sementara Kirana hanya terdiam dalam tangis. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah mengendalikan diri agar emosinya tidak ikut meledak.Sang bapak benar. Kirana salah. Dia mengaku mencintai Allah, tapi juga mencintainya. Ia benar-benar bingung dan sedih sehingga tidak bisa menahan air mata yang meleleh melewati pipi dan turun ke dagunya. Terus turun dan terus mengalir deras, semakin deras.“Pernikahan beda agama itu dilarang oleh Allah, Kirana. Kamu tahu, tercantum dalam surah dan ayat berapa?”Tanpa berani memandang sang bapak, Kirana menjawab terbata-bata. “Al-Baqarah ayat 221, Pak.”“Kalau sudah tahu, kenapa masih kamu langgar?!”Kirana terisak pilu. Dia tak mampu menjawab karena sejatinya ia memang tidak punya jawaban akan hal itu.“Jauhi dia, Kirana! Masih banyak laki-laki seiman yang lebih pantas untuk menjadi suamimu.”Tubuh Kirana pun bergetar menahan tangis yang tumpah. Ibunya mendekat dan mendekap putrinya.Bayang-bayang berlarian antara harapan abadi Jannah dalam naungan rido-Nya, bakti ikhlasnya pada ibu dan bapak, serta keceriaan hidup yang telah direguk bersama sang kekasih hati selama ini.
Terakhir, demi Islam di hati Kirana yang belum sempurna, tidak ada jalan lain selain harus melepas dengan rela. Kesadarannya mencabik-cabik ulu hati, menjadikan mimpi masa depan dunianya hancur berkeping bagai remahan peyek, tapi Kirana yakin bahwa Allah telah menetapkan rencana akhirat yang indah baginya karena tidak menukar Cinta Rabb dengan cinta insan yang berbeda iman.***Masih di tempat yang sama, pria bermata sipit itu memperhatikan seorang gadis berkostum khas barista di sebuah kafe yang saat ini tergolong sedang naik daun.Dia memutuskan untuk memarkir mobilnya lebih dekat dan mendekati gadis itu. Entah apa masalahnya, sampai harus menangis di tempat seperti ini di jam yang sudah cukup larut.
Fikri, pemuda itu menyodorkan tisu yang ia bawa dari mobil atasannya. “Menangis di tempat seperti ini tidak akan mengubah niat jahat orang untuk merasa iba pada dirimu, Nona.”Kirana tersentak kaget dan langsung mendongak. Tatapan matanya terfokus pada tisu yang disodorkan untuknya. Ia meraih sedikit pelan, lalu menghapus bekas air matanya.“Kamu karyawan baru di LKI, kan?” Fikri mengingat-ingat wajah yang tak asing di hadapannya itu. Beberapa kali sempat berpapasan di kantor, meski tak bertegur sapa. Ia juga pernah secara tidak langsung menyelamatkan gadis itu dari perdebatan tak berkesudahan Dzaka beberapa satu pekan lalu.Kirana menganggukkan kepala sebagai jawaban.“Oh, kerja di kafe itu juga?” tanyanya sambil menunjuk sebuah kafe yang beroperasi dua puluh empat jam itu. “Apa nggak capek pulang dari kantor harus bekerja lagi di kafe?”Kirana tersenyum masam. “Capek, Pak. Tapi, mau bagaimana lagi? Saya harus melakukannya.”“Apa gajimu di kantor tidak cukup?” Fikri menautkan kedua alisnya.Lagi, Kirana tersenyum. “Jika hanya persoalan biaya hidup, sudah lebih dari cukup, Pak. Tapi, ada hal lain yang membuatnya jauh dari kata cukup.”Fikri mengangguk. Tak l
Kirana terdiam sejenak. Ia terlihat berpikir.“Selebihnya, nanti kamu tanyakan pada Tuan Dzaka harusnya kamu bagaimana dan seperti apa. Termasuk nominal pembayaran, diskusikan sendiri dengannya, karena aku tidak punya hak lebih dari ini.”Kirana mengangguk paham dan memutuskan untuk berpikir terlebih dahulu. Dia akan menghubungi Fikri jika sudah menemukan jawabannya.***Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.05 dini hari, tetapi matanya masih enggan untuk terpejam. Rasa bersalah kepada orang tuanya kian mencekik batin. Pertemuannya kembali dengan sosok dari masa lalu membuat Kirana seakan tak bisa menepis rindu dan kenyataan untuk tak bersama. Rasa cinta itu utuh dalam kalbu. Kirana menyadari bahwa hal itulah yang menjadi ketakutan sang ibu beberapa waktu lalu saat dirinya pamit ke Jakarta.Dua tahun sudah berlalu, semenjak kejadian dirinya dimarahi habis-habisan karena ketahuan orang tua tengah menjalin hubungan dengan pria beda agama sewaktu Rey datang ke Makassar membawa niat unt
“Enya atuh, Dzaka. Sekarang Bunda teh bebaskan kamu. Kalau kamu tidak mau mengenal gadis yang Bunda ingin kenalkan. Please, Dzaka bawa gadis pilihannya ke hadapan Bunda. Mau saha aja, asal itu teh bukan Clarissa. Sebab, jika Clarissa, sampai iraha pun Bunda enggak akan rido.”(“Baiklah, Dzaka. Sekarang, Bunda bebaskan. Kalau kamu tidak mau mengenal gadis yang Bunda ingin kenalkan. Silakan, Dzaka bawa gadis pilihannya ke hadapan Bunda. Mau siapa saja, asal itu bukan Clarissa. Sebab, jika Clarissa, sampai kapan pun Bunda enggak akan rido.”)“Iya, Bunda. Segera akan Dzaka bawa gadis yang Dzaka mau.”“Kumaha maneh we. Bunda tunggu kabar baiknya.”(“Terserah kamu saja. Bunda tunggu kabar baiknya.”)Pria itu mengerang frustrasi di meja kerjanya. Ucapan sang bunda terus terngiang-ngiang menghantui pikirannya. Dia selalu saja didesak akan hal serumit itu. Bagaimana tidak? Dzaka sama sekali tidak bisa mengenalkan gadis manapun ke hadapan bundanya. Sejauh ini, ia hanya mengenal satu orang gadis
Jeans hitam dan kemeja putih digulung sesiku membalut tubuh kekar pria yang berdiri sembari melipat tangan di depan dada. Kini, dia sudah berada di area perjanjian dinner dengan bundanya malam ini. Fikri setia mengawalnya ke mana pun dan di mana pun. Sengaja, mereka berdiam di tempat yang tak terlalu banyak orang berlalu lalang, sembari menunggu sosok yang akan membantu menyelamatkan reputasinya dalam mencari cinta di hadapan sang bunda.Lelah sudah dia dikecam dengan ancaman perjodohan jika tak membawa calon istri. Meski disadari, apa yang dilakukan ini adalah sebuah kesalahan yang justru mengancam semakin memperburuk citranya jika ketahuan memanipulasi keadaan. Tapi, jalan pikirannya sudah buntu. Tak lagi bisa berpikir jernih walau sesaat.Sepuluh menit sudah mereka menunggu, tapi yang ditunggu belum kunjung menampakkan batang hidungnya. Sesekali, Dzaka mendengkus sebal dan melihat jam tangannya. Dia paling tidak suka menunggu. Apalagi, di tempat dijangkau sedikit cahaya, banyak n
Senyum manis terpancar di wajah Kirana saat kalimat itu diucapkan Dzaka, walaupun kini ia susah payah menelan ludahnya sendiri. Ia belum pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang pria di hadapan orang tuanya. Tentu saja, karena cinta pertamanya tak mendapat restu sama sekali. Dia juga tidak pernah dibawa untuk bertemu orang tuanya Rey.“MasyaAllah, Very-very smart bujang Bunda cari calon istri geulis pisan ini teh.” Wanita berhijab pashmina yang dimodel sedemikian rupa itu berbicara dengan logat sunda dan kadang dibumbuhi dengan Bahasa Inggris, sudah menjadi ciri khasnya yang memang lahir di Bandung dan kerap ke luar negeri dalam waktu yang lama.Kirana hanya tersenyum kikuk, malu-malu dipuji sedemikian frontal-nya. “Bisa aja, Tante.”“Aduh, kumaha ini teh konsepnya? Jangan panggil Tante atuh, Neng. Panggil Bunda aja. Biar terbiasa, jadi harus dibiasakan dari sekarang mah nya,” ujarnya.Tak berselang begitu lama, seorang pelayan menghampiri mereka. Setidaknya, hal itu bisa memutu
“Ada apa kiranya kamu menemuiku, Rey?” tanya Kirana berusaha keras untuk mengalihkan pandangannya dari pria itu.Ada rasa yang sulit untuk ditafsirkan tatkala melihatnya. Dia berusaha tetap tegar dan menahan luapan rasa yang menggebu dalam dadanya.“Aku mengkhawatirkanmu, Kiranaku. Kamu tidak datang ke kafe hari ini,” jawabnya.“Aku ada urusan, Rey. Bukankah aku sudah meminta izin ke Raya sebelum kamu datang ke kafe tadi?”“Tentu, aku tahu itu. Tapi, bolehkah aku tahu siapa sosok yang mengantarmu tadi?” tanyanya, mencari jawaban kejujuran di mata Kirana.Kirana tersenyum singkat. “Bukan siapa-siapa. Dan kurasa itu bukan urusanmu untuk mengetahuinya.”“Aku paham.” Rey menunduk, lalu kembali memandang Kirana, dalam-dalam. “Jujur … dan maaf karena sampai saat ini aku senantiasa masih merindukan dan menginginkan cintamu, Cahayaku.”Ucapan Rey itu membuat Kirana susah payah menelan ludahnya. Rindu? Sejatinya, ia tak bisa bohong bahwa juga merindukan sosok yang haram untuknya dirindu.“Aku
Pertanyaan itu membuat Kirana diam. Wulan memang sudah tahu perihal Kirana yang bertemu kembali dengan Rey. Bahkan, Kirana bekerja di tempatnya Rey. Sempat, Wulan meminta Kirana untuk berhenti bekerja di sana, tapi putrinya itu menolak dan ia akan bertahan sedikit saja. Seenggaknya, sekarang pun Kirana ingin sekali jujur bahwa Rey masih terus mengejarnya. Namun, ia takut jika kejujurannya nanti hanya menciptakan kecemasan dalam batin ibunya. Minimal, Kirana berjanji bisa meminimalisir perasaan dan mengatasi masalahnya dengan Rey sendiri.“Kita sering bertemu, Bu. Karena Nana kan setiap malam memang kerja di tempatnya Rey juga.”“Ibu paham. Ibu Cuma tidak mau kamu terjerumus lagi. Tetap jaga sikap dan ingat selalu pesan-pesan Almarhum Bapak.”Kirana mengangguk.“Tapi ingat, Nana pernah janji sama Ibu kalau Kak Jihan sudah sembuh, akan berhenti bekerja di sana. Ibu sebenarnya tidak rela melihat kamu dan Rey masih terikat satu sama lain, meskipun itu karena pekerjaan. Akan sulit untuk ka
Gadis berhijab abu-abu muda itu mulai menginjakkan kaki di jalan berpeping halaman kantornya. Seperti biasa, dia lebih memilih turun di pinggir jalan tak jauh dari gedung daripada harus diantar oleh Abang Gojek hingga ke depan lobby.Bukan malu, tapi Kirana lebih suka saja jalan kaki dari luar. Seandainya pun kos-nya dekat, dia mungkin lebih memilih jalan kaki. Namun, sayangnya karena jarak tempuhnya lumayan nguras tenaga jika harus ditempuh dengan berjalan kaki.“Kirana … tunggu!” suara teriakan itu sontak membuat Kirana menghentikan langkah. Dia berbalik, melihat sumber suara cempreng yang sangat dikenal selama hampir sebulan bekerja.“Apa, Din?” tanya Kirana sembari mengangkat satu alisnya. “Suaranya sampe gedung sebelah tau.”“Hari Minggu nanti kamu free, nggak?” tanya Dina. Mereka sembari terus berjalan beriringan.Kirana berdehem pelan. “Aku kerja pagi di kafe. Kenapa?”Dina memanyunkan bibir tipisnya. “Yaaa … padahal mau m