Share

Bab 2 - Perkara Cinta dan Restu

Sebenarnya, aturan perusahaan yang menekankan kedisiplinan pada karyawan, Kirana sudah tahu. Tapi, soal peraturan dilarang menjalin hubungan justru Kirana baru tahu dari rekan-rekan sesama karyawan di lift tadi.

Hanya saja, Kirana tak akan mempermasalahkan itu. Ia hanya berharap akan betah dengan karir yang digelutinya di sini. Gaji yang dia dapat dari perusahaan berkelas seperti PT Langit Karya Indonesia juga lumayan besar.

Kirana sadar, bahwa sudah menjadi tugasnya membantu perekonomian keluarga yang berantakan semenjak kepergian ayahnya, tiga bulan yang lalu. Bahkan, karena tuntutan ekonomi yang hancur membuat Kirana harus memutar otak agar bagaimana ia bisa mendapatkan uang dalam jumlah yang cukup besar. Ia bahkan terpaksa meninggalkan ibunya di Makassar bersama adik dan kakaknya. Tentu, ia tak hanya mengandalkan gaji sebagai karyawan biasa di Jakarta. Ia juga bekerja paruh waktu sebagai seorang barista di sebuah kafe.

********

Sepulang dari kantor tadi, Kirana langsung menuju kafe tempatnya bekerja.

Dia sudah mulai bekerja paruh waktu dari tiga hari yang lalu.

Beruntung, karena pemilik kafe itu mengerti kondisi Kirana, sehingga memberinya kesempatan untuk bekerja setelah pulang kantor sampai jam 12 malam.

Kirana tak keberatan dengan jam kerjanya, meski itu memang cukup butuh penyesuaian karena besoknya juga harus bekerja pagi sampai sore.

Hari ke-4 bekerja di kafe itu cukup berat.

Terlebih, ia juga kini sudah mengenali pemilik kafe yang lainnya. Bahkan, ia sempat bertemu dengannya.

Saat melamar kerja, Raya sempat mengatakan padanya kalau kafe itu dirintis bersama dengan saudaranya yang dipisahkan selama 23 tahun.

Tanpa menyebutkan nama, katanya, saudaranya itu sedang ada urusan di luar kota. 

Namun, bagaikan tersambar petir, Kirana sekarang merasakan hatinya diaduk-aduk.

Matanya memanas begitu melihat sosok yang selama ini masih dirindu, meski berusaha ia jauhi.

Sosok itu ternyata salah satu pemilik 2R Café—tempatnya bekerja sampingan untuk mendapatkan penghasilan lebih demi misi yang ia bawa dari kota asalnya.

"Kirana?"

Deg!

Ucapan pria itu membuat Kirana terkesiap. Apakah rencana Allah di balik pertemuan ini?

Kirana sudah berusaha membunuh rasa cintanya dengan pulang ke Makassar setelah lulus kuliah dan menetap di sana.

Meski, sosok terkasihnya sempat datang untuk meminang dirinya, tapi ditolak oleh keluarganya karena berbeda iman. Setelah itu, dia tak pernah lagi datang karena telah bersepakat untuk mengakhiri semuanya. Sebab, Kirana menyadari bahwa cinta yang tercipta di antara mereka adalah sebuah kesalahan.

“Kita bertemu lagi, Kirana. Cahayaku,” ucapnya lagi dengan nada lirih, “aku merindukanmu. Aku nggak sanggup dan tidak akan pernah sanggup melupakanmu.”

Kirana dapat merasakan rindu di mata pria itu.

Tangan Kirana mengepal, berusaha menafikan perasaannya.

Dengan segala pertahanan diri tersisa, Kirana pun akhirnya berbicara. “Aku tidak mau mendengar hal itu lagi, Rey. Bukankah kita sudah sepakat untuk mengakhiri semua dengan baik-baik. Kalau kamu memang mencintaiku, relakan aku karena kita berbeda.”

“Aku nggak akan pernah menukar Tuhanku denganmu, Rey!” Baru kali ini, seumur hidupnya Kirana membentak seseorang.

Apalagi, dia adalah pria yang didamba. Sosok yang selama ini tidak pernah ditepis dalam kalbu dan ingatannya.

“Aku bekerja di sini, karena aku butuh pekerjaan tambahan. Maka kumohon kita bisa profesional sebagai seorang owner dan barista. Maafkan aku, Rey.”

Tanpa sadar, air mata Kirana luruh.

Ia pun melangkah pelan dengan sekelabat bayang menghantui dan segenap rasa yang menghancurkan pertahanannya.

Selama di kafe tadi, dia masih bisa menahan gejolak hatinya yang berkecamuk. Namun, tidak setelah ia pulang kerja. Semuanya tampak kembali mengenang kisah cinta yang indah, tapi berakhir luka.

Kirana memutuskan untuk duduk di halte terlebih dahulu, menetralkan guncangan batinnya yang naif sekali dianggap sudah rela melepasnya.Dia menutup wajah dengan tangan, tubuhnya terguncang hebat karena menangis.

Pikiran-pikiran yang kalang kabut membawanya berkelana pada kisah pilu di masa lalu.

“Apakah kau mencintai putriku?” Ayahnya memandang tegas Rey yang kala itu duduk di hadapannya.

“Sungguh, aku mencintainya dengan tulus, Om. Bahkan, jika Anda mengizinkan, akan kukerahkan diriku untuk melamarnya,” jawab pria itu mantap seraya mendongakkan sedikit kepala untuk menatap lawan bicara.

Suasana mendadak berubah hening. Arman, pria yang identik dengan peci dan kumis tebal yang terkenal paham agama di kompleksnya terdiam, sesekali memejamkan mata dan meneguk salivanya dalam-dalam, dia tidak menyangka dengan kenyataan yang baru saja disuguhkan untuknya.

“Aku menghargai perasaanmu, tapi agama kami tidak membenarkan cinta berbeda iman. Haram hukumnya orang tua menikahkan putrinya yang islam dengan laki-laki yang bukan islam. Pulanglah ke rumahmu. Kalau kau memang mencintai putriku, maka jauhi dia. Biarkan dia menemukan cinta sejatinya dengan yang seiman.”

Cukup lama, obrolan mereka berlangsung, tapi hanya seputar untuk mengakhiri cerita cinta berbeda iman yang telanjur terukir di hati putrinya dan anak muda yang diketahui satu kampus dengan sang putri.

Sampai pada akhirnya, pemuda itu pamit undur diri dengan raut kekecewaan yang jelas terpatri di setiap garis wajahnya.

Ingin rasanya, Kirana yang berdiri di balik tirai dapur rumahnya itu menghampiri. Menyampaikan permintaan maaf kepada sang kekasih hati, barangkali ada perkataan orang tuanya yang mengganjal di hati. Namun, ia melihat tatapan sang bapak seperti mengawasi, membuat kakinya berat untuk melangkah.

Perempuan bermata seperti biji kacang almond itu mengalihkan langkahnya ke kamar dan menguncinya rapat-rapat. Dari jendela kamar, dia melihat kekasih hatinya masuk ke dalam mobil.

Setelah mobilnya meninggalkan halaman rumah, Kirana mendengar panggilan dari Arman dan segera menghampiri beliau. Wulan, ibunya juga sudah menunggu di ruang keluarga.

“Bapak dan Ibu mengkuliahkan kamu jauh ke luar kota bukan untuk berpacaran, Kirana, melainkan untuk menuntut ilmu. Supaya kamu bisa selamat di dunia dan juga akhiratmu. Tapi, bagaimana kamu mau selamat kalau perbuatanmu itu mendekati zina?” murka Arman.

“Sebagai anak berpendidikan tinggi, kamu harus menjadi teladan untuk adikmu, kamu memikul tugas kakakmu yang gagal dia emban. Tapi, bagaimana kamu bisa menjadi teladan kalau kau menjerumuskan dirimu ke dalam kekafiran?”

Tanpa meminta jawaban, Arman kembali bertanya, “Apa kamu mau dilaknat Allah karena perbuatanmu? Apakah kamu ingin mencemarkan kembali nama baik orang tuamu di lingkungan karena ada seorang haji yang menikahkan anaknya dengan seorang kafir?”

Layaknya tsunami yang siap menggulung bumi dan menyeret Kirana ke dalam pusarannya, Arman terus menumpahkan kemarahannya yang meluap-luap. Sementara Kirana hanya terdiam dalam tangis. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah mengendalikan diri agar emosinya tidak ikut meledak.

Sang bapak benar. Kirana salah. Dia mengaku mencintai Allah, tapi juga mencintainya. Ia benar-benar bingung dan sedih sehingga tidak bisa menahan air mata yang meleleh melewati pipi dan turun ke dagunya. Terus turun dan terus mengalir deras, semakin deras.

“Pernikahan beda agama itu dilarang oleh Allah, Kirana. Kamu tahu, tercantum dalam surah dan ayat berapa?”

Tanpa berani memandang sang bapak, Kirana menjawab terbata-bata. “Al-Baqarah ayat 221, Pak.”

“Kalau sudah tahu, kenapa masih kamu langgar?!”

Kirana terisak pilu. Dia tak mampu menjawab karena sejatinya ia memang tidak punya jawaban akan hal itu.

“Jauhi dia, Kirana! Masih banyak laki-laki seiman yang lebih pantas untuk menjadi suamimu.”

Tubuh Kirana pun bergetar menahan tangis yang tumpah. Ibunya mendekat dan mendekap putrinya.

Bayang-bayang berlarian antara harapan abadi Jannah dalam naungan rido-Nya, bakti ikhlasnya pada ibu dan bapak, serta keceriaan hidup yang telah direguk bersama sang kekasih hati selama ini.

Terakhir, demi Islam di hati Kirana yang belum sempurna, tidak ada jalan lain selain harus melepas dengan rela. Kesadarannya mencabik-cabik ulu hati, menjadikan mimpi masa depan dunianya hancur berkeping bagai remahan peyek, tapi Kirana yakin bahwa Allah telah menetapkan rencana akhirat yang indah baginya karena tidak menukar Cinta Rabb dengan cinta insan yang berbeda iman.

***

Masih di tempat yang sama, pria bermata sipit itu memperhatikan seorang gadis berkostum khas barista di sebuah kafe yang saat ini tergolong sedang naik daun.

Dia memutuskan untuk memarkir mobilnya lebih dekat dan mendekati gadis itu. Entah apa masalahnya, sampai harus menangis di tempat seperti ini di jam yang sudah cukup larut.

Fikri, pemuda itu menyodorkan tisu yang ia bawa dari mobil atasannya. “Menangis di tempat seperti ini tidak akan mengubah niat jahat orang untuk merasa iba pada dirimu, Nona.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Karlos Alves
bagus ceritanya ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status