Suara benda jatuh dari dapur terdengar cukup keras, Ayang yang masih dikamar dan bersiap ingin pergi ke kantor terkejut dengan suara jatuh dari luar.
"Suara apa itu?" tanya Ayang pada dirinya sendiri. Ayang segera keluar dari kamar dan berlari ke sumber suara. Saat tiba di tempat tersebut, Ayang terkejut melihat ibunya sudah terjatuh di lantai. "Ibu, ya Tuhan. Ibu kenapa? Apa yang terjadi? Bangun, Bu!" Ayang terus membangunkan Ibunya tapi tidak ada reaksi sama sekali. Ayang bergegas keluar meminta bantuan tetang sebelah. Dengan berurai air mata, Ayang teriak dengan kencang memanggil sang empunya rumah. "Pak Noto, Bu Noto, tolong saya. Ibu saya pingsan, tolong Pak, Bu!" Ayang menjerit kencang memanggil kedua pasutri tersebut. "Pak, itu suara Ayang. Kenapa dengan dia? Apa ibunya terkena serangan jantung lagi? Ayo, Pak kita keluar sekarang, siapa tau dia butuh bantuan kita!" ajak Isti Pak Noto bernama Marni. "Ayo, Bu kita lihat," sahut Pak Noto yang bergegas keluar dari rumah untuk bertemu dengan Ayang. Kedua pasutri tersebut terkejut melihat Ayang sudah berlinang air mata. "Ada apa, Nak? Kenapa kamu menangis?" tanya Bu Marni. "Tolong Ibu saya, dia pingsan di dapur. Tolong bawa ke rumah sakit. Ayang, takut jika jantung ibu kumat lagi. Beberapa hari ini wajah ibu pucat, ditanya kenapa Ibu katakan hanya lelah, tolong bantu Ayang, Bu, Pak," jawab Ayang sambil mengusap air matanya. "Oalah, ayo cepat kita pergi sekarang, kamu jangan takut ibumu baik-baik saja. Cepat kamu ke rumah, Bu bantu Ayang, Bapak mau keluarkan mobil dulu, ayo cepat," ucap Pak Noto meminta istrinya membantu Ayang. "Baik, Pak," sahut Bu Marni. Bu Marni ikut bersama Ayang untuk membantu mengangkat ibunya. Pak Noto bergegas mengeluarkan mobil dari garasi. Bu Marni terkejut melihat Ibu Ayang sudah tiduran di lantai. "Kamu angkat tangannya, hati-hati ya, Ayang. Ibu angkat kakinya. Ayo, kita angkat dan bawa ke mobil." Ibu Marni memberikan intruksi kepada Ayang untuk mengangkat ibunya dengan posisi yang sudah dia beri tahukan. Pintu mobil terbuka, perlahan mereka membawa Ibu Ayang masuk. "Ayo, kamu ikut masuk, tapi kunci dulu rumahmu, ayo cepat!" Pak Noto meminta Ayang ikut dengannya. Pikirannya Ayang kalut, dia takut jika ibunya meninggalkan dia. Mobil melaju meninggalkan rumah, lima belas menit akhirnya mereka sampai. Ayang berteriak memanggil dokter juga suster. "Dokter, Suster! Tolong, tolong saya!" teriak Ayang dengan kencang memanggil keduanya. Suster yang berada di IGD keluar dan membantu Ayang. "Ayang, kamu sudah kasih tau temanmu kalau kamu tidak masuk kerja. Telpon dulu sana," pinta Bu Mirna. "Benar itu, telpon lah dulu. Bapak yakin, bos kamu pasti kasih izin. Ayo nak, telpon dulu," ucap Pak Noto. Ayang menghubungi bosnya diberikan izin cuti satu hari. "Bos mengizinkan saya untuk cuti hari ini," jawab Ayang yang di anggukkan oleh Pak Noto dan Bu Marni. "Syukurlah, sekarang kamu tenang aja, ibu kamu akan segera baik dan tidak akan kenapa-napa. Ibu kamu kuat, berdoa ya," ucap Marni yang di anggukkan oleh Ayang. Dokter keluar menemui Ayang yang berdiri dan menatap ke arah Dokter. Ayang cemas apa yang terjadi dengan ibunya. "Dok, bagaimana dengan ibu saya? Apa ibu saya, baik-baik saja? Dia punya riwayat sakit jantung sebelumnya. Apa jantungnya kumat lagi?" tanya Ayang dengan raut wajah cemas. "Kita harus periksa kembali ibu Anda untuk memastikannya apakah sakitnya karena jantung atau tidak. Sekarang, suster sedang ambil sampel darah. Kita tunggu hasilnya keluar dan sekarang, ibu anda akan kami pindahkan. Kamu bisa urus administrasi untuk ruang inap ibu kamu ya," jawab Dokter. Tanpa menunggu lama Ayang segera pergi ke kasir untuk bayar administrasi ibunya. Selesai membayar dan mendapatkan kamar untuk ibunya. Suster membawa Ibu Ayang ke ruang inap. "Bu, Ayang yakin ibu kuat. Tolong bertahan Bu, jangan tinggalkan Ayang sendiri," ucap Ayang dengan linangan air mata. Sedari dulu, masa kecil Ayang dihabiskan dengan kerja dan membantu ibunya. "Berdoa Ayang, kamu pasti kuat dan Ibu kamu juga. Jangan kamu sedih, kasihan Ibu kamu kalau kamu sedih Ibu kamu juga ikut sedih, jadi kamu kuat agar ibumu juga kuat sama seperti kamu," ucap Ibu Marni. Selesai memeriksa pasien, suster memandang ke arah Ayang. "Kalau Ibu kamu sudah sadar panggil kami. Jika hasilnya keluar, dokter akan katakan kepada kamu, tunggu saja ya," ujar Suster yang di anggukkan Ayang. Ayang mendekati ibunya dan menggenggam tangan ibunya yang kurus, tidak seperti dulu ibunya menyambut genggaman tangannya. Kini ibunya tidak merespon sama sekali. "Ayang, sudah jangan sedih. Kamu ingat kata istri saya tadi. Kalau kamu sedih Ibu kamu juga ikutan sedih," ucap Pak Noto meminta Ayang untuk tidak sedih walaupun dia tau siapapun di posisi Ayang pasti sedih. "Iya, Pak, terima kasih banyak. Maaf banyak merepotkan Bapak dan Ibu. Saya tidak tau bagaimana membalasnya," jawab Ayang. "Sudah, kamu itu sudah Ibu dan Bapak anggap anak sendiri. Kalau begitu Bapak dan Ibu pulang dulu, nanti kami ke sini lagi. Bapak mau kerja, nggak enak sama teman Bapak kalau bolos, kamu hubungi Bapak dan Ibu saja nanti ya," ucap Pak Noto. "Iya, terima kasih banyak ya, Pak Noto dan Ibu. Maaf nggak bisa kasih apa-apa," jawab Ayang. "Tidak perlu, cukup jaga Ibu kamu. Ayo Pak, kita pergi sekarang. Ayang, kami pergi dulu, kabari kami kalau ada apa-apa ya," ucap Bu Mirna. Ayang mengantar kepergian keduanya sampai pintu sambil melambaikan tangan ke arah keduanya. Ayang kembali masuk kembali dan duduk di dekat ibunya. Ayang menatap wajah pucat ibunya. "Bu, bangun, jangan tidur. Ayang takut kalau Ibu seperti ini, Ayang mohon Bu, bangun," pinta Ayang yang menidurkan kepalanya ke tangan Ibunya. Dokter dan suster masuk ke dalam kamar Ayang keduanya tersenyum melihat Ayang tertidur. "Dokter, anaknya tidur," kata Suster tersebut. "Ya sudah, nanti saja kita kasih tau," jawab Dokter. Dokter dan suster keluar dan saat bersamaan Ayang membuka matanya perlahan melihat dokter dan suster yang hendak keluar. "Dokter, Suster, maafkan saya. Saya ketiduran, apa hasilnya sudah keluar?" tanya Ayang dengan cemas. "Oh, maaf menganggu, kamu bisa ikut saya ke ruangan saya, ada yang mau saya katakan," jawab dokter dengan serius. Ayang pun pergi mengikuti dokter dan Suster, dia meninggalkan ibunya sendiri di kamar yang masih tertidur. Ayang saat ini masih tanda tanya apa yang terjadi dengan ibunya. Sampai di ruang dokter, Ayang duduk dan menatap Dokter yang sibuk membuka amplop coklat. Ayang masih terus memperhatikan dokter yang meletakkan di depannya. "Dokter, ini apa?" tanya Ayang dengan raut wajah serius.Xavier menyiapkan keperluan pernikahan dan semuanya dia yang menanggung biaya. Karena dia ingin memberikan yang terbaik untuk istrinya. Pengawal Xavier membawa Puti ke butik atas perintah dirinya. Puti merasa seperti Cinderella yang mendapatkan pangeran berkuda putih dan tentu saja semua yang dia dapatkan itu tidaklah mudah. "Sudah datang, ayo ikut aku!" ajak Xavier kepada Puti yang baru saja masuk ke dalam butik ditemani dengan beberapa pengawal wanita yang khusus dia siapkan untuk Puti. "Sudah, kenapa harus beli baju yang mahal. Pakainya juga sebentar dan tidak terpakai lagi," jawab Puti. Puti merasa terlalu berlebihan baginya, dia tidaklah pantas memakai itu semua dan dia hanya ingin acara sederhana tapi dari yang ditunjukkan Kevin dan nenek Xavier serba mewah dan banyak wartawan yang meliput persiapan pernikahan mereka. "Sudah tidak apa, ini untuk seumur hidup. Kita tidak akan menikah lagi, jadi biarkan ini semua jadi kenangan kita untuk anak dan cucu kita," jawab Xavier. Xa
Saat ini, Xavier ada di depan kakek dan neneknya bersama Puti dan Mike, Kevin juga Paman Maya serta sepupu Ayang juga sahabatnya. Mereka memandang ke arah Xavier yang duduk dengan tenang tanpa ada sedikit pun rasa takut atau apapun itu. Dia terlihat tidak peduli dengan pandangan mereka semua. "Kapan ini terjadi?" tanya Nyonya Anjani ke Xavier dengan raut wajah yang serius. "Baru saja," jawab singkat Xavier. Nyonya Anjani memijit keningnya, tidak anaknya dulu sekarang nular ke cucunya. Menikah dengan wanita yang dia saja tidak tau siapa dan beruntung dia sudah menyelidikinya dan Nyonya Anjani setuju karena anaknya baik. Nyonya Anjani mengetahui semuanya ini saat diberitahu oleh salah satu temannya yang pergi ke catatan sipil dan melihat Xavier. Di situlah, teman dari Nyonya Anjani memberitahukan kalau Xavier di sana dan setelah di selidiki Xavier menikah, Nyonya Anjani mencari tau siapa istrinya dan ternyata istrinya Puti wanita yang mempunyai strata berbeda dengan mereka tapi dia
Ketiga orang pria benar-benar dibuat tidak bisa berkata-kata, mereka ingin sekali menghajar Xavier. "Mike, gedor sana kamar desek, i sudah muak menunggu, ikan i akan mati di kolam, menyebalkan sekali desek ini, lagi apa desek saat ini ya?" tanya Paman Maya ke Mike dan Kevin yang sudah merebahkan diri mereka di sofa. "Mana aku tau paman, jangan tanyakan aku. Tanyakan ikanmu di kolam masih mau menunggu kamu atau tidak. Jika tidak ya, mati berarti kalau nggak mati dia tunggu mati ditanganmu dan menjadi daging di perutmu, hahah!" tawa Mike. Kevin juga ikut tertawa karena apa yang dikatakan sahabatnya itu. "Benar itu, dan kalau paman mau gedor pintu ya sudah sana gedor jangan ajak kami, bahaya kalau kami gedor, bisa di nuklir kami dengan kakak," sahut Kevin. Paman Maya, hanya mendengus kesal dengan kelakuan anak muda yang satu ini. Mereka benar-benar tidak tau diri dan sekarang, mereka harus menerima kenyataan menunggu pengantin baru. Mereka paham, tidak ada cinta tapi balik lagi kalau
Xavier yang masuk ke dalam kamar melihat istrinya tidur di sofa dengan gaya yang sulit dia jabarkan. Xavier menghela napas melihat cara tidur dari istrinya ini. "Bagaimana bisa dia tidur seperti ini. Lihatlah, dia tidur seperti itu. Apakah ini sudah menjadi kebiasaannya atau memang dia begitu nyaman tidur di sofa, padahal ada ranjang tapi dia tetap tidur di situ. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini." Xavier mendekati Puti dan dia mengangkat tubuh wanita tersebut.Sangat ringan seperti kapas. "Apakah dia tidak makan selama ini dengan benar sehingga tubuhnya seperti ini ringan sekali." Xavier yang menggendong tubuh istrinya segera meletakkan di ranjang. Dan dia merapikan selimut istrinya, Xavier memandang lekat ke arah Puti, dia menjadi ragu untuk dekat dengan wanita tersebut. Tapi, saat di kantor dan melihat foto ibunya juga ayahnya, Xavier mulai tersentuh untuk memulai hubungan dengan wanita tersebut."Hah, aku akan memulai hubungan yang baru dengan wanita ini, mu
Mike masuk ke dalam ruangan Xavier dia tidak menyangka kalau kakaknya menangis. Bukan hanya kakaknya saja, tapi juga semuanya siapa lagi kalau bukan Kevin dan Paman Maya. "Kami agak melo hari ini, ayo kita pulang!" ajak Kevin menyudahi semuanya. Paman Maya juga ikut melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya. Dia tidak suka jika Xavier terlalu larut dalam kesedihan. "You kenapa ke sini? Apa you tidak pulang ke rumah langsung ya?" tanya Paman Maya kepada keponakannya itu. Mike geleng kepala ke arah Paman Maya. "Tidak, aku mau pulang dengan kalian. Kebetulan, aku lewat di sini ya sudah mampir. Kalian mau kemana lagi? Kalian mau pulang?" tanya Mike. "Ngak, kami mau mancing. Ikut?" tanya Kevin ke Mike. Mike membolakan matanya, dia tau arti kata Kevin itu apa. Xavier berdiri dan dia mengikuti mereka untuk pulang. Tidak ada pembicaraan selama dijalan. Boni mengantar Mike, Kevin dan terakhir Paman Maya baru Xavier yang terakhir. "Tuan, besok weekend. Saya izin mau pergi dengan t
Xavier membawa Puti ke rumahnya, rumah yang harusnya dia siapkan untuk istrinya kelak bersama keluarga tapi kini dia membawa wanita yang sudah dia nikahi. Apakah dia disebut istri? Ya, dia istri dan tentu saja itu membuat Xavier harus membawanya ke sana. Untuk mempunyai anak? Apakah dia akan berhubungan dengan wanita yang sekarang sudah menjadi istrinya? Entahlah, dia tidak tau itu. "Kakak, kita sudah sampai. Kakak kenapa melamun? Apa kakak ingin kita cari tempat lain?" tanya Kevin menoleh ke arah kakaknya yang melamun. "Tidak, aku tidak melamun. Ayo, kita pergi sekarang, eh maksudnya ayo turun sekarang!" ajak Xavier kepada Kevin dan yang lainnya untuk ikut bersama dirinya. Kevin, Paman Maya dan Puti ikut turun. Boni juga ikut turun, dia membawa barang Nona Xavier. Ya, sekarang bosnya itu sudah mendapatkan kekasih dan dia akan menghormati wanita tersebut. "Ayo, kakak. Silahkan masuk, jangan sungkan. Ini rumahmu, bukan begitu, Kakak?" tanya Kevin melirik ke arah Xavier. Kevin tau