"Ini hasil pemeriksaan Ibu kamu," jawab Dokter.
Ayang segera membukanya. Dia perhatikan satu persatu hasilnya.Ayang terkejut saat melihat hasil akhirnya. Ayang melihat dokter dengan tatapan sendu. Air mata yang dipelupuk mata Ayang mulai terlihat dan hampir menetes. "Dok, ini bohong, 'kan?" tanya Ayang dengan suara bergetar dan tangannya gemetar saat dia bertanya apakah hasilnya benar atau tidak. "Itu benar, tidak bohong," jawab Dokter dengan serius. Ayang menutup mulutnya dengan tangan dan air matanya yang sudah dia tahan akhirnya pecah. Ayang tidak sanggup untuk mengatakan kepada ibunya jika ditanya dia sakit apa. "Saya juga sudah tes berkali-kali dan hasilnya benar. Ibu Anda mengidap kanker ovarium dan jantungnya juga lemah. Dia harus segera di operasi." Operasi? Dapat dari mana uang untuk operasi. Gaji sebagai OG saja cukup untuk makan, sekarang operasi. Darimana dia bisa mendapatkan uang untuk operasi. "Dok, apa tidak ada cara lain untuk obati ibu saya selain operasi? Saya tidak punya uang untuk operasi ibu saya. Apa rumah sakit ini menerima ginjal dokter? Bagaimana saya jual ginjal sebagai ganti biaya operasi?" tanya Ayang yang sudah kalut dan akhirnya menawarkan ginjalnya sebagai biaya operasi untuk ibunya. Dokter dan suster yang mendengar apa yang Ayang katakan terkejut. "Mbak, jual ginjal itu dilarang, kami tidak bisa terima. Dan kalaupun ada, efeknya berbahaya bagi si penjual, jadi nggak bisa seenaknya jual!" tegas Suster. Ayang menangis hatinya pilu saat mendengar apa yang dikatakan Suster. Ibunya akan menderita dan akan meninggal kalau dia tidak segera dioperasi. "Begini saja, lebih baik Anda diskusi dengan pihak keluarga yang tadi antar Anda Mbak. Kalau boleh tau dengan Mbak siapa ya?" tanya dokter tersebut. "Saya Ayang, dokter. Apakah dengan operasi nanti, ibu saya sembuh dan berapa lama Ibu saya bisa bertahan kalau belum di operasi?" tanya Ayang berharap ibunya diberikan kesempatan untuk bisa sembuh sambil dia cari pinjaman di kantor. "Maaf, saya nggak bisa katakan berapa lamanya. Semua Tuhan yang tau," jawab Dokter. Setelah mendengarkan perkataan Dokter, Ayang keluar untuk bertanya biaya operasi ibunya dengan membawa surat dari dokter. "Mbak, permisi. Saya mau tanya, kalau operasi untuk orang yang mengidap kanker ovarium itu berapa ya?" tanya Ayang sambil menyerahkan surat dokter. "Sebentar, ya," sahut kasir yang mengambil surat dan mengeceknya di komputer. Setelah mendapatkan berapa nominalnya, kasir segera mencetak biaya operasi dan diserahkan ke Ayang. "Mbak, ini biayanya. Sekitar 1,5 M Mbak, itu belum termasuk biaya lainnya. Ada lagi biaya pasca operasi, pasien juga harus ada perawatan lebih intensif lagi, seperti kemoterapi dan sebagainya," Kasir menjelaskan berapa biaya operasi kanker ovarium tersebut. Tangan Ayang gemetar dan dia tidak tau harus cari uang kemana. Sesampainya di kamar, Ayang segera berlari mendekati ibunya dan menangis. "Ibu, maafkan Ayang. Ayang tidak bisa menjadi anak yang berguna. Selama ini, Ayang selalu menyusahkan ibu. Maafkan Ayang Ibu. Maafkan Ayang. Ayang janji akan mencari biaya itu, apapun akan Ayang kerjakan. Asal ibu sembuh seperti biasanya. Ayang janji, Bu!" Ayang menangis sambil memeluk ibunya. Biaya yang mahal membuat dia harus berpikir cara mendapatkan uang dalam sekejap mata. Dia tidak mau ibunya menderita. Suara ponsel terdengar membuat Ayang terbangun dari tidurnya. Matanya bengkak karena menangis memikirkan ibunya. Ayang melihat siapa yang menghubungi dia. Ayang tersenyum melihat nama si penelepon. Ayang segera menjawab panggilan tersebut. "Halo, iya," jawab Ayang. "Di rumah sakit Harapan Bunda. Datanglah, aku tunggu," jawabnya lagi dan panggilan berakhir. Tidak lama, orang yang menghubungi Ayang muncul. "Ayang!" panggilnya. "Cantika, masuk. Kamu baru pulang kerja ya?" tanya Ayang. "Iya. Aku katakan kalau aku sakit perut. Ini untuk ibumu. Lekas sembuh ya," jawab Cantika meletakkan buah-buahan di nakas. "Terima kasih banyak ya, merepotkan kamu saja," ucap Ayang. "Hanya buah saja. Lagi pula nggak merepotkan kok," jawab Cantika. Helaan terdengar dari Ayang. Cantika menoleh ke arah Ayang. "Kenapa?" "Aku harus cari uang yang cukup besar untuk operasi Ibuku. Ibuku kanker ovarium," ucap Ayang dengan wajah sendu. Cantika terkejut mendengar perkataan Ayang. "Berapa?" tanya Cantika. "1,5 M. Dan bisa lebih juga dari itu," jawabnya singkat. "Gila, itu uang semua, Ay. Apa kamu tau kalau uang itu cukup besar. Seumur hidup kita kerja pun sulit untuk mendapatkannya. Apa kamu tau itu?" tanya Cantika dengan wajah terkejut. "Aku tau. Aku akan pinjam ke kantor dan nggak apa-apa aku tidak di gaji yang penting aku bisa operasi ibuku. Dia ibuku satu-satunya, aku mau ibuku sembuh," jawab Ayang dengan air mata yang sudah mengenang dipelupuk matanya. Keduanya diam dan tiba-tiba, Cantika memandang dirinya. Ayang menoleh ke arah Cantika. "Kenapa?" "Aku punya kerjaan buatmu. Dan kamu bisa dapat uang dengan cara mudah. Bagaimana? Kamu setuju?" tanya Cantika dengan serius. "Pekerjaan apa itu? Jadi, pembantu?" "Sini, aku bisikin," jawab Cantika yang menarik Ayang. Ayang mendengar perkataan Cantika terkejut. "Gila kamu, aku nggak mau, Can. Aku masih punya harga diri, aku tidak mau ibuku marah padaku," tolak Ayang. "Duh, kamu ini bodoh sekali. Aku kasih tau kamu itu agar kamu bisa bayar biaya ibu kamu. Kalau kamu takut ibumu marah, ya kamu diam aja jangan kasih tau. Ingat, Ay, hidup itu keras. Kita akan tertindas kalau kita miskin. Aku sudah mengalaminya, walaupun sulit tapi aku bisa jalani walaupun aku harus menjatuhkan harga diri demi sejengkal perut. Tapi, aku beruntung menemukannya, dia baik padaku. Kalau mau aku akan kenalkan dengan dia, bagaimana? Demi ibu kamu," jawab Cantika. "Dan maaf, aku tidak bisa bantu kasih kamu uang, hanya itu yang bisa aku bantu," ucap Cantika lagi. Ayang ragu dengan tawaran Cantika. Dia mau yang halal, tapi yang halal tidak dia dapatkan. Benar kata Cantika, jika semua ini demi ibunya. Dengan perasaan yang campur aduk dan akhirnya dia pun menganggukkan kepala. "Iya, aku mau," jawab Ayang akhirnya menerima perkerjaan itu. Walaupun pekerjaan itu tidak sesuai nalurinya dan menjatuhkan harga dirinya, dia akan jalani, semua demi ibunya. "Bagus, hari ini ikut aku. Kita mulai jalankan tugas ini. Ibu kamu tidur bukan, jadi kita bisa pergi. Ayo cepat ambil tasmu!" ajak Cantika. Cantika menghubungi seseorang dan sekitar lima menit bicara mereka sepakat untuk bertemu. "Can, ayo kita pergi!" ajak Ayang. Cantika menahan tangan Ayang. "Tunggu, kamu yakin?" tanya Cantika sekali lagi dan Ayang menganggukkan kepala menjawab pertanyaan Cantika. *** Di tempat lain, di sebuah club kedua pria tengah menikmati malam dengan menyesap minuman alkohol. "Bro, ikut gue. Mau tidak?" tanya salah satu pria kepada rekannya. "Kemana lagi lo ajak gue, hmm? Bukannya sekarang gue sudah ikuti lo. Gue suntuk ini, ingin tenangkan diri. Lo tidak tau, gue banyak masalah, jadi sudahlah. Jangan ganggu gue," jawab pria tersebut sambil menegak minuman kembali. "Masalah lo dan istri lo itu rumit, tinggalkan saja dia, mana ada istri tidak mau punya anak karena takut tubuhnya melar, gendut. Istri seperti apa dia. Lebih baik, lo cari wanita lain saja, gue ada kenalan, lo mau tidak. Bukan untuk dinikahi, tapi dijadikan simpanan saja. Di saat lo butuh, ya lo pakai, jika tidak ya, lo buang saja dan cari lain. Lo bisa bayar dia, jangan takutlah, lo tidak akan rugi. Ayo ikut!" ajak teman pria itu kepada temannya yang bernama Barra Malik Virendra seorang pengusaha sukses di seluruh Indonesia sampai manca negara. Barra memandang temannya itu yang bernama Galih Samudera. Dan pada akhirnya, setelah berpikir lama, akhirnya Barra mengikuti apa yang sahabatnya ini minta, Barra pun ikut tanpa banyak protes. "Ayo turun, kita sudah sampai!" ajak Cantika. "Apa sekarang, ya?" tanya Ayang dengan raut wajah gugup. Cantika mengganggukkan kepala ke arah Ayang dan tersenyum. "Iya, tapi terserah kamu saja, mau lanjut atau tidak. Lagipula semua keputusan ada di tangan kamu," jawab Cantika. Ayang menarik napas dengan berat. Keduanya akhirnya turun dari mobil. Saat masuk hotel, seseorang melambaikan tangan ke arah Cantika. Melihat orang yang dia telpon tadi melambaikan tangannya ke arahnya. Cantika membalas lambaian tangan ke arah pria tersebut. "Hai, maaf lama, mana dia?" tanya Cantika. "Bar, bangun. Gue kenalkan dulu. Ini Barra, teman gue," jawab Galih memperkenalkan sahabatnya kepada keduanya. Barra hanya menatap datar ke arah kedua wanita di depannya. Dia pun kenalan dengan keduanya. Tanpa di sadari, ada seseorang memperhatikan Barra dari kejauhan. "Sepertinya, itu Barra. Tapi, siapa wanita bersama dia?" tanyanya dengan raut penasaran.Xavier menyiapkan keperluan pernikahan dan semuanya dia yang menanggung biaya. Karena dia ingin memberikan yang terbaik untuk istrinya. Pengawal Xavier membawa Puti ke butik atas perintah dirinya. Puti merasa seperti Cinderella yang mendapatkan pangeran berkuda putih dan tentu saja semua yang dia dapatkan itu tidaklah mudah. "Sudah datang, ayo ikut aku!" ajak Xavier kepada Puti yang baru saja masuk ke dalam butik ditemani dengan beberapa pengawal wanita yang khusus dia siapkan untuk Puti. "Sudah, kenapa harus beli baju yang mahal. Pakainya juga sebentar dan tidak terpakai lagi," jawab Puti. Puti merasa terlalu berlebihan baginya, dia tidaklah pantas memakai itu semua dan dia hanya ingin acara sederhana tapi dari yang ditunjukkan Kevin dan nenek Xavier serba mewah dan banyak wartawan yang meliput persiapan pernikahan mereka. "Sudah tidak apa, ini untuk seumur hidup. Kita tidak akan menikah lagi, jadi biarkan ini semua jadi kenangan kita untuk anak dan cucu kita," jawab Xavier. Xa
Saat ini, Xavier ada di depan kakek dan neneknya bersama Puti dan Mike, Kevin juga Paman Maya serta sepupu Ayang juga sahabatnya. Mereka memandang ke arah Xavier yang duduk dengan tenang tanpa ada sedikit pun rasa takut atau apapun itu. Dia terlihat tidak peduli dengan pandangan mereka semua. "Kapan ini terjadi?" tanya Nyonya Anjani ke Xavier dengan raut wajah yang serius. "Baru saja," jawab singkat Xavier. Nyonya Anjani memijit keningnya, tidak anaknya dulu sekarang nular ke cucunya. Menikah dengan wanita yang dia saja tidak tau siapa dan beruntung dia sudah menyelidikinya dan Nyonya Anjani setuju karena anaknya baik. Nyonya Anjani mengetahui semuanya ini saat diberitahu oleh salah satu temannya yang pergi ke catatan sipil dan melihat Xavier. Di situlah, teman dari Nyonya Anjani memberitahukan kalau Xavier di sana dan setelah di selidiki Xavier menikah, Nyonya Anjani mencari tau siapa istrinya dan ternyata istrinya Puti wanita yang mempunyai strata berbeda dengan mereka tapi dia
Ketiga orang pria benar-benar dibuat tidak bisa berkata-kata, mereka ingin sekali menghajar Xavier. "Mike, gedor sana kamar desek, i sudah muak menunggu, ikan i akan mati di kolam, menyebalkan sekali desek ini, lagi apa desek saat ini ya?" tanya Paman Maya ke Mike dan Kevin yang sudah merebahkan diri mereka di sofa. "Mana aku tau paman, jangan tanyakan aku. Tanyakan ikanmu di kolam masih mau menunggu kamu atau tidak. Jika tidak ya, mati berarti kalau nggak mati dia tunggu mati ditanganmu dan menjadi daging di perutmu, hahah!" tawa Mike. Kevin juga ikut tertawa karena apa yang dikatakan sahabatnya itu. "Benar itu, dan kalau paman mau gedor pintu ya sudah sana gedor jangan ajak kami, bahaya kalau kami gedor, bisa di nuklir kami dengan kakak," sahut Kevin. Paman Maya, hanya mendengus kesal dengan kelakuan anak muda yang satu ini. Mereka benar-benar tidak tau diri dan sekarang, mereka harus menerima kenyataan menunggu pengantin baru. Mereka paham, tidak ada cinta tapi balik lagi kalau
Xavier yang masuk ke dalam kamar melihat istrinya tidur di sofa dengan gaya yang sulit dia jabarkan. Xavier menghela napas melihat cara tidur dari istrinya ini. "Bagaimana bisa dia tidur seperti ini. Lihatlah, dia tidur seperti itu. Apakah ini sudah menjadi kebiasaannya atau memang dia begitu nyaman tidur di sofa, padahal ada ranjang tapi dia tetap tidur di situ. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini." Xavier mendekati Puti dan dia mengangkat tubuh wanita tersebut.Sangat ringan seperti kapas. "Apakah dia tidak makan selama ini dengan benar sehingga tubuhnya seperti ini ringan sekali." Xavier yang menggendong tubuh istrinya segera meletakkan di ranjang. Dan dia merapikan selimut istrinya, Xavier memandang lekat ke arah Puti, dia menjadi ragu untuk dekat dengan wanita tersebut. Tapi, saat di kantor dan melihat foto ibunya juga ayahnya, Xavier mulai tersentuh untuk memulai hubungan dengan wanita tersebut."Hah, aku akan memulai hubungan yang baru dengan wanita ini, mu
Mike masuk ke dalam ruangan Xavier dia tidak menyangka kalau kakaknya menangis. Bukan hanya kakaknya saja, tapi juga semuanya siapa lagi kalau bukan Kevin dan Paman Maya. "Kami agak melo hari ini, ayo kita pulang!" ajak Kevin menyudahi semuanya. Paman Maya juga ikut melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya. Dia tidak suka jika Xavier terlalu larut dalam kesedihan. "You kenapa ke sini? Apa you tidak pulang ke rumah langsung ya?" tanya Paman Maya kepada keponakannya itu. Mike geleng kepala ke arah Paman Maya. "Tidak, aku mau pulang dengan kalian. Kebetulan, aku lewat di sini ya sudah mampir. Kalian mau kemana lagi? Kalian mau pulang?" tanya Mike. "Ngak, kami mau mancing. Ikut?" tanya Kevin ke Mike. Mike membolakan matanya, dia tau arti kata Kevin itu apa. Xavier berdiri dan dia mengikuti mereka untuk pulang. Tidak ada pembicaraan selama dijalan. Boni mengantar Mike, Kevin dan terakhir Paman Maya baru Xavier yang terakhir. "Tuan, besok weekend. Saya izin mau pergi dengan t
Xavier membawa Puti ke rumahnya, rumah yang harusnya dia siapkan untuk istrinya kelak bersama keluarga tapi kini dia membawa wanita yang sudah dia nikahi. Apakah dia disebut istri? Ya, dia istri dan tentu saja itu membuat Xavier harus membawanya ke sana. Untuk mempunyai anak? Apakah dia akan berhubungan dengan wanita yang sekarang sudah menjadi istrinya? Entahlah, dia tidak tau itu. "Kakak, kita sudah sampai. Kakak kenapa melamun? Apa kakak ingin kita cari tempat lain?" tanya Kevin menoleh ke arah kakaknya yang melamun. "Tidak, aku tidak melamun. Ayo, kita pergi sekarang, eh maksudnya ayo turun sekarang!" ajak Xavier kepada Kevin dan yang lainnya untuk ikut bersama dirinya. Kevin, Paman Maya dan Puti ikut turun. Boni juga ikut turun, dia membawa barang Nona Xavier. Ya, sekarang bosnya itu sudah mendapatkan kekasih dan dia akan menghormati wanita tersebut. "Ayo, kakak. Silahkan masuk, jangan sungkan. Ini rumahmu, bukan begitu, Kakak?" tanya Kevin melirik ke arah Xavier. Kevin tau