Orang tersebut pergi setelah melihat Barra dengan seorang wanita. Walaupun ada satu wanita dan satu pria di sana, tetap saja orang tersebut penasaran dengan wanita cantik dan mungil di depan Barra. Karena pandangan Barra ke wanita tersebut berbeda itulah membuat orang tersebut curiga siapa wanita itu.
Barra berdehem dan kembali duduk, dia tidak begitu memperdulikan wanita yang di kenalkan temannya tersebut. Melihat Barra tidak peduli, Galih hanya menghela napas. "Barra, kalau mau bicara silahkan. Kalian mungkin butuh waktu untuk bicara. Karena semua ini tergantung kamu. Dan satu lagi, pikirkan yang aku katakan tadi. Ayo, Sayang, kita pergi biarkan mereka berdua!" ajak Galih kepada Cantika. Cantika menganggukkan kepala dan mendekati Ayang dan membisikkan sesuatu kepada Ayang dengan pelan. "Semoga ini yang terbaik buat kamu dan ibumu," bisik Cantika dengan pelan agar tidak didengar oleh Barra dan Galih. Ayang hanya menganggukkan kepala pelan, dia sudah pasrah karena tidak ada cara lain untuk mengobati ibunya. Terlebih lagi, jika dia bisa menyembuhkan sakit jantung sekaligus kanker ovarium yang diidap ibunya. "Kamu tenang saja, aku sudah putuskan. Dan, aku tidak akan mundur," jawab Ayang dengan raut wajah yang meyakinkan. Keduanya melepaskan pelukkan dan saling menatap satu sama lain. Ayang ingin menangis namun dia tahan. Sudah tidak perlu lagi air mata, sekarang yang harus dia pikirkan adalah ibunya. Apapun akan dia jalani, suka atau tidak suka dia harus terima. Cantika dan Galih pergi meninggalkan keduanya. Barra memandang dingin saat Ayang duduk tepat di depannya. Ayang memainkan ujung tasnya. "Siapa namamu?" tanya Barra singkat. "Ayang Kalila, Tuan," jawab Ayang dengan suara lembut. Barra masih mempertahankan wajahnya yang datar, Barra segera berdiri dan menoleh ke arah Ayang "Ikut saya," ucap Barra meminta Ayang ikut dengan dirinya. Barra membawa Ayang pergi ke tempat yang aman dan dia segera mengirimkan pesan ke asistennya untuk datang ke tempat yang sudah dia tentukan dan membawa apa yang sudah dia uraikan dipesan tersebut. Tanpa menunggu jawaban dari asistennya mengiyakan apa yang dirinya katakan, Barra melangkah kaki ke parkiran. Ayang tidak banyak bicara, dia hanya mengikuti dari belakang dengan kepala tertunduk. Saat berada di depan mobil mewah miliknya, Barra berhenti. Ayang yang tidak tahu Barra berhenti tanpa sengaja menabrak punggung gagah milik Barra. "Ma-maaf," ujarnya dengan pelan. Ayang mengusap keningnya, dia sedikit merasa sakit karena punggung kokoh Barra. Barra hanya diam, dia menghela napas dan segera masuk ke dalam mobil disusul dengan Ayang. "Saya bukan supir kamu, duduk depan!" Titah Barra. Ayang menganggukkan kepala dan segera keluar dari mobil dan pindah ke depan. Tapi, saat hendak dibuka, pintu mobil terkunci. Ayang mengetuk kaca mobil, tanpa menunggu lama Barra segera membuka pintu mobilnya. "Masuk!" Perintah Barra agar Ayang segera masuk. Ayang tidak tau kemana dirinya dibawa oleh pria yang di sampingnya ini. Dua puluh menit akhirnya mereka sampai dan keduanya turun. Ayang melihat gedung tinggi dan mewah. Barra membawa Ayang ke apartemen mewah yang hanya orang kaya saja bisa membeli apartemen tersebut. Barra keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya menuju unitnya yang berada di lantai 26 dan saat keluar lift terlihat seseorang berdiri dan menundukkan kepala ke arah Barra. "Sudah semuanya?" tanya Barra. "Sudah, sesuai dengan yang Anda inginkan, Tuan," jawab pria tersebut. Pria tersebut adalah asisten Barra bernama Arya Satya. Arya membuka pintu dan terlihat dari luar suasana di dalam apartemen. Ayang mengangga melihat mewahnya apartemen tersebut. Lagi-lagi Ayang memikirkan ibunya. Apakah dengan cara ini dia mendapatkan uang untuk pengobatan ibunya. Batinnya menolak, tapi saat mengingat kondisi ibunya, dia semakin yakin kalau dia harus melakukan semuanya, asal ibunya sehat dan bisa berkumpul lagi dengan dirinya apapun dia lakukan. "Silahkan, Nona," ucap Arya mempersilahkan Ayang masuk dan duduk tepat di depan Barra. Arya meletakkan sebuah map di meja dan pulpen. "Nona, bisa baca dulu, setelah itu tanda tangani semuanya," jawab Arya. Ayang memandang Barra dengan lekat, wajah pria dingin tersebut membuat bulu kuduk Ayang berdiri. Sorot mata tajam Barra dan gestur tubuhnya yang tenang lagi-lagi membuat dirinya gugup. Ayang tidak banyak tanya, dia membuka map dan membacanya dari awal sampai akhir. Ayang terdiam dan tidak tau harus apa. Ayang memandang ke arah Barra, dia meminta Barra menjelaskan semuanya. Barra yang tau maksud dari pandangan Ayang akhirnya buka suara. "Selama kamu menjadi simpananku, tidak ada yang boleh tau, kamu akan tinggal di sini. Tidak boleh keluar dari apartemen ini tanpa izin dariku. Aku akan berikan uang sejumlah yang tertera di sana. Layani aku seperti yang tertera di sana jika kamu melanggar maka kamu aku tuntut. Ingat kamu hanya simpanan tidak lebih dari itu!" tegas Barra. Ayang terpaku mendengar penjelasan dari Barra. Dia saat ini hanya simpanan dari pria angkuh dan arogan yang ada di depannya ini, tanpa status dan ikatan sama sekali. Bisakah dia menjadi istrinya nanti? Walaupun istri kedua? Tanya Ayang dalam hatinya. Jawabanya, tidak pernah dan tidak akan terjadi. Karena pria di depannya ini sudah mengatakan hanya simpanan, tidak lebih. "Ap-aakah boleh aku bertanya, Tuan?" tanya Ayang dengan suara pelan dan terbata-bata. "Hmm," jawab Barra. Ayang menoleh ke arah Arya, dia sungkan dengan Arya yang berdiri seperti patung manekin tanpa senyum sekalipun. Barra melihat Ayang memandang Arya langsung berdehem ke arah Arya. Mendengar kode Barra, Arya segera pergi dari hadapan keduanya. "Katakan, aku tidak punya waktu, apa maumu," pinta Barra. "Ehm, di dalam surat ini aku harus melahirkan anakmu, Tuan. Apakah nanti aku masih tetap menjadi simpanan Anda walaupun aku sudah melahirkan anak Anda atau apakah aku akan di buang nantinya dan satu lagi, apakah Anda tidak kasihan dengan anak ini yang lahir diluar nikah. Apa Anda tidak memikirkan nasib dia ke depannya?" tanya Ayang. Ayang berharap jika dia melakukan hubungan yang lebih jauh harus ada ikatan. Dia tidak mau jika dia mempunyai anak nantinya dan anaknya akan dikatakan anak haram. Dan, anaknya harus punya ayah dan ibu yang lengkap. Walaupun Barra katakan hanya simpanan tapi dia tidak mau anaknya mempunyai status yang tidak jelas. "Saya sudah menikah, tidak mungkin menikah lagi. Anak itu nanti istri saya yang asuh. Jadi, saya sudah katakan jangan meminta lebih. Jika tidak mau, silahkan pergi," jawab Barra dengan tegas. Ayang terpaku mendengar jawaban Barra. Dia sudah menikah. Itu artinya, dia orang ketiga dalam rumah tangga pria yang di depannya. Barra mulai kesal karena Ayang yang lagi-lagi melamun dan dia tidak juga menandatangani kertas itu. Tanpa pikir panjang, Ayang segera menandatangani surat tersebut, dia tidak lagi memikirkan apapun saat ini selain ibunya. Demi mengobati ibunya, dia akan lakukan semuanya walaupun sebagai simpanan pria di depannya ini atau apapun itu. Lagipula, dia bisa kumpulkan uang nantinya jika tidak bersama pria ini lagi pikirnya. Barra hanya menatap Ayang yang menggoreskan tinta tersebut di atas materai perjanjian mereka. "Su-sudah, Tuan," jawab Ayang menatap Barra. Barra mengambil kertas tersebut dan memeriksanya dan semuanya sudah ditandatangani. Tinggal dia yang belum. Setelah dia menandatangani, Barra menghubungi Arya. Arya masuk dan mengambil map tadi dan segera pergi. Panggilan telepon masuk, seketika raut wajah Barra berubah teduh dan segera menjawab panggilan telpon tersebut. "Hmm, ada apa?" tanya Barra mendengarkannya apa yang dibicarakan oleh orang tersebut. "Baiklah, aku akan ke sana sekarang, tunggulah," jawab Barra yang mengakhiri panggilan telpon tersebut. Barra memandang wanita yang baru saja menjadi simpanannya. Keduanya saling memandang satu sama lain. "Kamu tetap di sini, jangan keluar tanpa izinku," jawab Barra. "Tapi, aku mau ...." Ayang menghentikan ucapannya saat Barra menatapnya dengan tajam.Xavier menyiapkan keperluan pernikahan dan semuanya dia yang menanggung biaya. Karena dia ingin memberikan yang terbaik untuk istrinya. Pengawal Xavier membawa Puti ke butik atas perintah dirinya. Puti merasa seperti Cinderella yang mendapatkan pangeran berkuda putih dan tentu saja semua yang dia dapatkan itu tidaklah mudah. "Sudah datang, ayo ikut aku!" ajak Xavier kepada Puti yang baru saja masuk ke dalam butik ditemani dengan beberapa pengawal wanita yang khusus dia siapkan untuk Puti. "Sudah, kenapa harus beli baju yang mahal. Pakainya juga sebentar dan tidak terpakai lagi," jawab Puti. Puti merasa terlalu berlebihan baginya, dia tidaklah pantas memakai itu semua dan dia hanya ingin acara sederhana tapi dari yang ditunjukkan Kevin dan nenek Xavier serba mewah dan banyak wartawan yang meliput persiapan pernikahan mereka. "Sudah tidak apa, ini untuk seumur hidup. Kita tidak akan menikah lagi, jadi biarkan ini semua jadi kenangan kita untuk anak dan cucu kita," jawab Xavier. Xa
Saat ini, Xavier ada di depan kakek dan neneknya bersama Puti dan Mike, Kevin juga Paman Maya serta sepupu Ayang juga sahabatnya. Mereka memandang ke arah Xavier yang duduk dengan tenang tanpa ada sedikit pun rasa takut atau apapun itu. Dia terlihat tidak peduli dengan pandangan mereka semua. "Kapan ini terjadi?" tanya Nyonya Anjani ke Xavier dengan raut wajah yang serius. "Baru saja," jawab singkat Xavier. Nyonya Anjani memijit keningnya, tidak anaknya dulu sekarang nular ke cucunya. Menikah dengan wanita yang dia saja tidak tau siapa dan beruntung dia sudah menyelidikinya dan Nyonya Anjani setuju karena anaknya baik. Nyonya Anjani mengetahui semuanya ini saat diberitahu oleh salah satu temannya yang pergi ke catatan sipil dan melihat Xavier. Di situlah, teman dari Nyonya Anjani memberitahukan kalau Xavier di sana dan setelah di selidiki Xavier menikah, Nyonya Anjani mencari tau siapa istrinya dan ternyata istrinya Puti wanita yang mempunyai strata berbeda dengan mereka tapi dia
Ketiga orang pria benar-benar dibuat tidak bisa berkata-kata, mereka ingin sekali menghajar Xavier. "Mike, gedor sana kamar desek, i sudah muak menunggu, ikan i akan mati di kolam, menyebalkan sekali desek ini, lagi apa desek saat ini ya?" tanya Paman Maya ke Mike dan Kevin yang sudah merebahkan diri mereka di sofa. "Mana aku tau paman, jangan tanyakan aku. Tanyakan ikanmu di kolam masih mau menunggu kamu atau tidak. Jika tidak ya, mati berarti kalau nggak mati dia tunggu mati ditanganmu dan menjadi daging di perutmu, hahah!" tawa Mike. Kevin juga ikut tertawa karena apa yang dikatakan sahabatnya itu. "Benar itu, dan kalau paman mau gedor pintu ya sudah sana gedor jangan ajak kami, bahaya kalau kami gedor, bisa di nuklir kami dengan kakak," sahut Kevin. Paman Maya, hanya mendengus kesal dengan kelakuan anak muda yang satu ini. Mereka benar-benar tidak tau diri dan sekarang, mereka harus menerima kenyataan menunggu pengantin baru. Mereka paham, tidak ada cinta tapi balik lagi kalau
Xavier yang masuk ke dalam kamar melihat istrinya tidur di sofa dengan gaya yang sulit dia jabarkan. Xavier menghela napas melihat cara tidur dari istrinya ini. "Bagaimana bisa dia tidur seperti ini. Lihatlah, dia tidur seperti itu. Apakah ini sudah menjadi kebiasaannya atau memang dia begitu nyaman tidur di sofa, padahal ada ranjang tapi dia tetap tidur di situ. Aku tidak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini." Xavier mendekati Puti dan dia mengangkat tubuh wanita tersebut.Sangat ringan seperti kapas. "Apakah dia tidak makan selama ini dengan benar sehingga tubuhnya seperti ini ringan sekali." Xavier yang menggendong tubuh istrinya segera meletakkan di ranjang. Dan dia merapikan selimut istrinya, Xavier memandang lekat ke arah Puti, dia menjadi ragu untuk dekat dengan wanita tersebut. Tapi, saat di kantor dan melihat foto ibunya juga ayahnya, Xavier mulai tersentuh untuk memulai hubungan dengan wanita tersebut."Hah, aku akan memulai hubungan yang baru dengan wanita ini, mu
Mike masuk ke dalam ruangan Xavier dia tidak menyangka kalau kakaknya menangis. Bukan hanya kakaknya saja, tapi juga semuanya siapa lagi kalau bukan Kevin dan Paman Maya. "Kami agak melo hari ini, ayo kita pulang!" ajak Kevin menyudahi semuanya. Paman Maya juga ikut melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya. Dia tidak suka jika Xavier terlalu larut dalam kesedihan. "You kenapa ke sini? Apa you tidak pulang ke rumah langsung ya?" tanya Paman Maya kepada keponakannya itu. Mike geleng kepala ke arah Paman Maya. "Tidak, aku mau pulang dengan kalian. Kebetulan, aku lewat di sini ya sudah mampir. Kalian mau kemana lagi? Kalian mau pulang?" tanya Mike. "Ngak, kami mau mancing. Ikut?" tanya Kevin ke Mike. Mike membolakan matanya, dia tau arti kata Kevin itu apa. Xavier berdiri dan dia mengikuti mereka untuk pulang. Tidak ada pembicaraan selama dijalan. Boni mengantar Mike, Kevin dan terakhir Paman Maya baru Xavier yang terakhir. "Tuan, besok weekend. Saya izin mau pergi dengan t
Xavier membawa Puti ke rumahnya, rumah yang harusnya dia siapkan untuk istrinya kelak bersama keluarga tapi kini dia membawa wanita yang sudah dia nikahi. Apakah dia disebut istri? Ya, dia istri dan tentu saja itu membuat Xavier harus membawanya ke sana. Untuk mempunyai anak? Apakah dia akan berhubungan dengan wanita yang sekarang sudah menjadi istrinya? Entahlah, dia tidak tau itu. "Kakak, kita sudah sampai. Kakak kenapa melamun? Apa kakak ingin kita cari tempat lain?" tanya Kevin menoleh ke arah kakaknya yang melamun. "Tidak, aku tidak melamun. Ayo, kita pergi sekarang, eh maksudnya ayo turun sekarang!" ajak Xavier kepada Kevin dan yang lainnya untuk ikut bersama dirinya. Kevin, Paman Maya dan Puti ikut turun. Boni juga ikut turun, dia membawa barang Nona Xavier. Ya, sekarang bosnya itu sudah mendapatkan kekasih dan dia akan menghormati wanita tersebut. "Ayo, kakak. Silahkan masuk, jangan sungkan. Ini rumahmu, bukan begitu, Kakak?" tanya Kevin melirik ke arah Xavier. Kevin tau