Bab 5.
Yang namanya keinginan dosen, mau kita sudi atau tidak pasti harus diikuti. Terlepas seberapa sakit dan ikhlas kita memenuhinya tapi inilah yang harus dihadapi. Nasi telah menjadi bubur, Alya harus menerima keputusan Raka untuk menikah dua minggu lagi.Salah. Alya mengakui kalau semua ini berawal dari kesalahannya sendiri. Dia yang meminta bantuan sama Raka jadi sudah semestinya dia setia pada janjinya. Termasuk tentang pernikahan yang dipercepat.Sejujurnya, sampai sekarang Alya sendiri belum sepenuhnya lega. Bayang-bayang chat dari Aji dan rasa khawatir tidak bisa masuk ke keluarga Raka membuat Alya ragu untuk meneruskan semuanya. Namun, sebagai gadis yang memiliki budi pekerti bagaimana pun Alya harus menerima resikonya, setidaknya sampai hutang budinya dikatakan lunas dan memastikan keluarga Raka aman sentosa.Ya, sampai situ saja. Titik. Tanpa koma.[Ya, kamu ingat kan janji kita hari ini. Hari ini jam 11 kita akan fitting baju dan pilih cincin. Kamu jangan lupa? Tempatnya sudah saya kirim.]Alya menarik napas berat ketika membaca pesan Raka sekali lagi. Seperti yang diminta Raka, tepat jam 11.00 pagi usai mengerjakan skripsi dan menolong Emak, Alya langsung berangkat menuju mall sesuai lokasi yang disebutkan Raka. Tak terasa sudah lima belas menit, Alya menunggu di TKP tapi Raka belum terlihat batang hidungnya.Gelisah. Alya pun memutuskan menelepon Raka, perasaan tadi dia bulang sudah ada di sekitar mall tapi sepanjang Alya memandang wajah Raka belum terlihat."Ih gimana, sih? Ke mana si Pak Dosen ini?" gerutu Alya ketika panggilan teleponnya tak jua diangkat oleh Raka.Untunglah setelah beberapa menit menunggu, suara Raka akhirnya terdengar."Assalammu'alaikum Pak, di mana Pak? Saya ....""Saya ada di belakang kamu."Mendengar ada suara lain yang tepat berbisik di telinganya, Alya langsung berbalik dan matanya langsung terbelalak ketika menemukan Raka tepat berdiri cukup dekat di belakangnya."Pa-Pak Raka? Sejak kapan ada di situ?" tanya Alya kaget.Raka tersenyum. "Barusan aja. Kamu udah lama?""Lu-lumayan Pak," jawab Alya terbata. Ini kali pertama mereka jalan bareng selayaknya manusia biasa alias pria dan wanita. Bukan sebagai dosen dan mahasiswa.Tolong! Jangan ditanyakan rasanya pada Alya karena pasti deg-degan luar biasa."Oh, baguslah. Ayo kamu ikut saya," ujar Raka seraya melangkah menuju ke utara mall. "Kamu sudah tahu kan kalau hari ini jadwal milih cincin nikah?""Iya, Pak," jawab Alya sambil mengekori Raka yang berjalan lebih dulu di depannya. Mereka berdua sama-sama jalan menuju tempat toko perhiasan langganan keluarga Raka yang sebelumnya sudah diberitahukan oleh Raja.Selama berjalan berdua seperti ini, entah mengapa Alya merasa beberapa orang mulai memperhatikan mereka. Mungkin mereka mengira Alya adalah sugar baby-nya Raka saking imutnya."Nanti saya harap kamu pilih sesuai selera kamu saja dan setelah itu baru kamu ketemu keluarga saya.""Hah keluarga? Waduh!" Alya yang tadi santai-santai saja seketika mengaduh. Dia terkejut karena mendengar kalau di toko nanti akan ada keluarga Raka. Itu berarti nanti dia akan bertemu sang calon mertua padahal Alya belum nyiapin apa-apa."Kok bilang waduh?" tanya Raka sambil terus berjalan. Tinggal beberapa meter lagi mereka akan sampai."Ya, nggak apa-apa sih Pak tapi saya jadi ragu nih Pak. Gimana kalau ibunya Pak Raka gak suka sama saya?""Sudahlah, kamu tenang saja. Sebenarnya emang itulah yang saya cari."Buk!"Aw! Mas! Kalau berhenti itu bilang-bilang kek." Langkah Alya terpaksa terhenti ketika kepalanya menabrak punggung Raka dari belakang. Ternyata mereka telah sampai di depan toko."Makanya konsen," tuding Raka sambil melirik Alya sekilas lalu pria kembali menatap ke depan. Raka bersalaman dengan wanita cantik yang usianya menurutku kira-kira sekitar 40 tahunan."Wah, selamat datang Pak Dosen. Ini ya yang namanya Maura? Duh, cantiknya mempelai wanitanya Pak Dosen. Ternyata masih muda, ya?" Wanita tadi menatap Alya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pandangannya sangat antusias juga ramah tapi penuh perhitungan. Dipandang begitu, Alya melotot karena namanya jelas bukan Maura."Eh, bukan Bu. Bukan saya. Nama saya bukan Maura tapi Alya. Saya hanya mahasiswa Pak Raka. Ya, kan Pak?" ralat Alya langsung mengklarifikasi di bawah pandangan sinis Raka. Pria tampan dan matang itu nampak tak nyaman dengan jawaban Alya."Apa? Mahasiswa?" Perempuan itu menutup mulutnya tak percaya. Dia menatap Alya sangsi.Alya mengangguk berulang kali. "Iya beneran. Ini saya punya bukti kartu tanda mahasiswa." Untuk meyakinkan, Alya hampir saja mengeluarkan KTM yang ia punya tapi Raka yang tahu maksud Lina sebenarnya langsung mencegah Alya dengan tangannya."Dia memang mahasiswa istimewa saya. Apa Ibu keberatan saya membawanya?" sela Alya pada Lina yang reflek menggelengkan kepala."Oh tidak, tentu tidak! Saya hanya kaget, saya kira Mbaknya itu yang namanya Maura calonnya Pak Dosen ganteng ini. Oke, deh, perkenalkan saya Lina ya Mbak, saya yang punya toko butik dan sekaligus perhiasan yang ada di sebelahnya. Sekarang lebih baik ayo kita masuk!" Wanita itu terlihat tak enak hati, dia langsung menuntun Alya dan Raka menuju ke arah dalam.Alya dan Raka dibawa ke sebuah etalase kaca yang di dalamnya banyak terpajang perhiasan-perhiasan mahal. mereka duduk di kursi yang telah disediakan ."Nah ini Pak dosen pilihan cincinnya, silahkan dipilih kira-kira mau yang mana?" Bu Lina mempersilahkan keduanya melihat-lihat."Baik Bu terima kasih," ujar Raka santai seraya memindai perhiasan di depannya. Sementara Alya malah bengong menatap satu kalung berhiaskan permata yang letaknya agak jauh dari mereka.Bukan tanpa alasan Alya menatap itu, entah mengapa kalung permata itu mengingatkannya pada kalung permata Emak yang dijual Babeh pas mau nyekolahin Alya SMA. Dulu, sebenarnya Emak itu katanya keturunan orang berada tapi karena nikah sama Babeh jadi miskin banget kayak gini.Seandainya Alya bisa beliin Emak. Emak pasti bahagia, tapi sayangnya buat bayar hutang aja udah susah. Gimana buat beli kalung permata?"Kamu ngapain liatin kalung itu. Kamu suka sama kalung itu?" Suara Raka yang meng-interupsi membuyarkan lamunan Alya.Alya terkesiap. "Eh, oh, enggak Pak. Saya cuman liat aja bagus. Oh ya, jadi apa yang perlu saya bantu Pak?""Oh saya kira kamu mau. Ya udah sini mana jadi kamu!" perintahnya pada Alya."Eh, jari? Jari saya, Pak?" tanya gadis itu pura-pura gak paham padahal gengsi aja. Seumur-umur dia gak pernah dipegang cowok."Ya, siapa lagi selain kamu. Kamu kan ke sini buat bantu saya. Ayo, sinikan! Lagi pula ini buat perjanjian, santai aja saya juga gak mau kok nyentuh kamu," paksa sang dosen dengan nada sarkastik dan sadis di telinga Alya.Walau bete mendengarnya, Alya merasa gak ada pilihan. Gadis itu pun menganggukkan kepala sambil menyodorkan tangan ke depan pria tampan yang berbahu lebar tersebut. Hati Alya jadi menciut begitu dia menegaskan kalau sebenarnya Raka juga malas menyentuhnya.'Yaelah, gak semenarik itukah gue?' Alya ngebatin."Saya pikir, cincin ini akan bagus di kamu cobalah." Raka mengambil salah satu cincin dari dalam box yang tadi diserahkan Bu Lina.Dengan pelan dan lembut, dia memasangkan cincin itu di jari manis Alya. "Cantik," ujarnya seraya tersenyum. Lama Raka menatap jari Alya seolah cincin itu punya arti tersendiri.'Hah! Cantik? Gue yang cantik? Apa cincin? Ya Salam gue keggeran lagi.'Alya yang melihat tingkah Raka yang mengandung umpan tak ayal jadi deg-degan, terutama ketika mata Raka yang tadi menatap jari kini beralih menatapnya."Ya, kamu suka?" tanya Raka sambil mengusap-ngusap cincin yang ada di jari Alya membuat dada gadis itu berdebar tak karuan. Alya paham banget dia sedang bertanya tentang model cincinnya tapi entah mengapa jantungnya dibuat gak santai."Alya ...." panggil Raka lagi karena Alya malah terpana tanpa sebab. "Kamu gak suka?""Dia pasti gak suka. Karena itu bukan untuknya tapi untuk Maura."Bukan. Bukan Alya yang menjawab tapi suara seorang wanita tiba-tiba menyela mereka.Sontak baik Alya mau pun Raka menoleh ke arah pintu dan terkejutlah keduanya ketika mendapati ada sesosok wanita setengah baya muncul di sana. Wanita itu sesaat memandang Alya juga sama terkejutnya, pandangan yang sama saat ketika Raka pertama kali melihatnya. Mungkin karena Alya mirip dengan anaknya tapi sejurus kemudian ibu itu maju dengan tatapan tajam. "Ibu?" pekik Raka membuat Alya terhenyak. Gadis itu buru-buru melepaskan tangannya dari tangan Raka dan bersembunyi di belakang Raka.Alya ketakutan. Soalnya tampilan Bu Liliana--ibunya Raka mirip sama mertua-mertua yang ada di film azab Indosemar. "Kamu lagi apa di sini Raka? Siapa gadis itu? Kenapa dia mirip dengan kakakmu? Kenapa juga kamu gak bersama Maura?" hardik sang Ibu membuat Raka berdiri melindungi Alya.Raka bergeming. "Maaf Bu, saya memang sengaja gak bersama Maura karena Alya-lah yang akan saya nikahi bukan Maura," ujar pria itu menantang ibunya yang menegang marah."LANCANG KAMU!"Malam harinya. Aku menutup pintu kamarku dengan rapat, kali ini aku tak mau berbicara apa pun termasuk dengan Pak Raka. Entah kenapa, semenjak aku melihat dia bersama Maura di kantin rasanya malas bertemu suamiku.Padahal. Siapa aku? Aku hanya istri rahasia, gak sepatutnya sibuk menjauhi dan cemburu.Namun, harus kuakui, semenjak Pak Raka membantuku pada saat pemakaman ibu, perasaanku jadi mendadak aneh. Apalagi ketika dia membelaku di depan ibunya semakin lama semakin hati ini kian berdebar kencang saja.Apa ini yang dinamakan cinta? Ataukah aku hanya terbawa suasana? Eh, tapi kan bukankah Pak Raka bilang aku gak boleh mencintainya karena dia tidak mungkin menyentuhku? Agh, mengingat itu entah mengapa aku jadi serasa ditusuk sembilu.Agh, sial! Ini benar-benar mengganggu.Berat. Kubawa tubuh ini untuk berbaring miring di atas ranjang, penat rasanya memikirkan semua keraguanku, bahkan saking tak enak hatinya, nafsu makanku pun jadi ikutan tiarap. Tak lama kudengar derap langkah ses
"Ibu ingin pernikahan kalian dirahasiakan sampai Raka jadi komisaris. Bagaimana kalian mau kan? Jujur, Ibu sangat takut ini akan bermasalah ke depannya, seperti diketahui kalian juga nikah diam-diam. Ini sungguh keterlaluan." Sekali lagi aku mengingat ucapan Bu Lili semalam yang cukup membuatku syok sampai sekarang dan aku pikir Pak Raka pun sama. Pria itu pasti gak menyangka kalau pada akhirnya Bu Lili memergoki kami secepat ini, padahal kami berencana datang ke rumah mereka besok dan mengatakan semuanya. Namun, apa yang mau dikata. Nasi telah menjadi bubur, Bu Lili sudah murka karena Pak Raka tak meminta ijinnya. Tak bisa terelakan, menyaksikan kemarahan itu nyaliku yang pada awalnya menggebu diam-diam jadi menciut. Apalagi setelah mendengar syarat Bu Lili yang katanya akan memaafkan kami jika aku dan Pak Raka bisa merahasiakan pernikahan ini sampai Pak Raka jadi komisaris dan aku wisuda. Ya Salam. Sehina ini jadi mahasiswa warisan budaya? Coba bayangkan, sampai mertuaku pun malas
Dengan canggung aku meletakkan segelas teh di meja kecil yang ada di ruang tamu sederhana dan lalu duduk di samping Pak Raka. Di depan kami sudah ada Bu Lili yang sedang duduk tegak dengan pandangan mata yang menyorot tajam padaku dan Pak Raka.Glek. Aku menelan ludah grogi, lalu memutuskan untuk menundukkan kepala dalam. Menurutku situasi kali ini sangat tak menguntungkan, siapa sangka di saat kami sedang sibuk menguruskan masalah skripsi Bu Lili malah datang menyantroni. Masih kuingat tadi tatapan Bu Lili yang tajam saat tadi aku membuka pintu. Terlihat sekali kalau Bu Lili murka ketika melihat aku ada di rumah anaknya. Aku tidak memahami bagaimana cara Pak Raka menjelaskan pada ibunya tapi aku hanya berharap Bu Lili memahami kondisiku yang telah menjadi istri anaknya walau masih berstatus istri secara agama. "Silahkan diminum Bu." Pak Raka menyodorkan cangkir yang berisi air teh itu ke arah Bu Lili tapi wanita paruh baya itu menggeleng tegas. "Enggak. Ibu gak mau minum, jelask
"Jadi Ini judul skripsi kamu?" Pak Raka tak melepaskan pandangannya dari map biru yang kuberikan. "Ya Pak," jawabku canggung. Saat ini kami sudah berada di ruang tengah. Kami duduk berhadapan dan dipisahkan oleh meja.Sepulangnya dari pemakaman, Pak Raka benar-benar menjalankan janjinya untuk memberikan bimbingan. Seingatku ini kali pertama kami membahas tentang skripsiku.Namun, selama berjalannya bimbingan dadakan dengan status yang berbeda, aku mengakui ternyata nyaliku hampir ciut karena berhadapan dengan dosen yang bermetamorfosa jadi pembimbing rumah tangga. Aku tidak yakin Pak Raka akan menerima hasil skripsiku, apalagi aku tahu Pak Raka itu adalah dosen galak yang punya standar tinggi.Pak Raka membenarkan letak kacamatanya, tubuhnya condong ke depan sambil terus membolak-balik berkasku sampai jantungku ikut kebalik setiap Pak Raka menggerakannya. Oh Tuhan, begini amat jadi mahasiswa warisan budaya! "Kamu berpikir judulmu bagus? Unhairing Kulit Sapi dengan Metode Enzim?"
POV Alya Pembicaraan tadi pagi dengan Pak Raka membat pikiranku seolah gak ada di tempatnya. Sejujurnya, sampai sekarang aku masih syok dan sekaligus tak menyangka kalau ternyata alasan Pak Raka gak menikah lagi dan menjauhi wanita ternyata karena dia seorang impoten. Wow. Amazing really? Ini mah sih judulnya bukan 'Ganteng-Ganteng Serigala tapi 'Ganteng-Ganteng Impoten'. Ya Allah, gini amat ujian perawan? Sekalinya dinikahi eh, malah gak bisa berkembang biak dan hanya dijadikan tumbal perjanjian. Mana, kayaknya Pak Raka ogah banget nerusin pernikahan ini karena dia sama sekali tidak menjawab saat aku bertanya tentang kemungkinan ke depannya. "Lihat nantilah, saya hanya gak mau kalau kamu terluka karena saya."Sekali lagi, aku terngiang ucapannya saat kami mau berangkat tadi. Sumpah, aku tidak tahu niat Pak Raka mengapa dia bilang begitu? Emang kenapa kalau semisal nanti aku jatuh cinta padanya? Mengapa aku akan terluka? Di saat aku sedang sibuk-sibuknya berpikir tiba-tiba aku ba
POV Alya.Pak Raka menggendongku? Apakah aku bermimpi? Jujur, ini kali pertama aku memeluk leher seorang pria dan itu ternyata Pak Raka. Duh, mana dia bilang kalau aku berat. Emang aku seberat itu ya? Perasaan aku sudah mengurangi porsi makanku deh. Aku berbicara sendiri sambil melihat bentuk badanku yang menurutku baik-baik saja. Namun, setelah aku digendong Pak Raka gara-gara kecoa entah mengapa pikiranku jadi gak tenang karena setiap melihatnya dadaku kerap kali berdebar kencang. Aku tak menyangka kalau pesona seorang Raka bisa membiusku sebegininya. Ah, tapi meski dia tampan, mapan dan rupawan aku gak boleh jatuh cinta! Gak boleh!Tok. Tok. Tok. "Alya, kamu sudah selesai?" Kepalaku sontak menoleh ke samping dan kutemukan Pak Raka sedang melihatku dari ambang pintu yang sedikit terbuka. Dengan mode Putri Solo turun dari comberan aku pun mendatangi Pak Raka dengan gugup. "Eh, Pak Raka? Iya Pak saya udah selesai," ujarku seraya nyengir kuda. "Oh, ya, sebenarnya kita mau ke mana